Share

04 - Ditinggal Sendirian

Ketika sedang berbincang membicarakan Hanica serta anggota divisi masing-masing, tak lama ponsel Raditya berdering, ia merogoh kantung celananya untuk mengambil ponselnya tersebut. Adinda mendongak dan agak melirik ke layar ponsel Raditya.

Yah gak keliatan, batin Adinda.

Adinda langsung mengalihkan pandangannya ke arah kanan yang terdapat lemari berisi barang-barang gemas, ia takut akan ketahuan oleh Raditya jika sedang mengintip layar ponselnya.

“Eh Din, gua angkat telfon dulu ya,” ucap Raditya lalu berjalan keluar dan meninggalkan Adinda tanpa menunggu jawaban dari gadis itu.

Adinda mengangguk dan menoleh ke arah pemuda itu, tetapi garis wajahnya langsung berubah ketika melihat Raditya yang sudah di luar toko, “Elah, ambil langkahnya cepet banget,” ucapnya gusar.

Apa itu dari dia ya? batin Adinda.

Namun, Adinda tak ambil pusing, ia langsung mengeluarkan ponselnya, lalu membuka aplikasi game, dan kemudian mengambil airpods di saku bajunya dan menghubungkannya dengan ponsel miliknya.

Lalu setelah itu, Adinda sudah sibuk tenggelam dalam game dan lagu di telinganya, jempolnya juga sibuk menekan layar ponselnya secara cepat, kepalanya mengikuti irama yang game itu berikan, ya, Adinda sedang bermain game Piano Tiles.

Kemudian di layarnya menunjukkan jika ia mendapat tiga bintang. Serta notifikasi pesan masuk, dari Raditya.

Raditya: jangan pulang dulu

Raditya: tungguin gua

Raditya: masi lama kan?

Raditya: gua ke simpang depan bentar

Adinda mengerutkan dahinya lalu menoleh ke arah luar, sudah tidak ada lagi motor hitam milik Raditya.

“Wah anjir, gue ditinggal?” Gumam Adinda tak terima.

Lalu ia kembali menatap ponselnya dan menjawab chat Raditya.

Adinda: ok kak

“Dah ya, responnya biasa kan itu gak keliatan marah,” kata Adinda berbicara sendiri, “Dahlah bodoamat anjir, gue marah juga paling dia gak peduli.”

Selang satu jam kemudian, Raditya baru saja datang kembali ke toko. Adinda sampai harus membayarnya terlebih dahulu barang-barang milik divisi Raditya, walau sebenarnya tak apa, tetapi masalahnya ponsel Adinda sudah kehabisan baterai dan ia tidak membawa powerbank untuk mengisi ulang ponselnya.

“Sori ya, tadi gua tinggal. Sarabella tiba-tiba nelfon, butuh bantuan,” sahut Raditya sesaat ia turun dari motornya dan melihat Adinda duduk di kursi panjang depan toko, “Barangnya udah dapet semua? Harganya?”

“Iya, gapapa kok. Semuanya ada disini, harganya gatau, ntar aku cek di struknya,” jawab Adinda dengan senyuman tipis.

Setelahnya, senyuman Adinda memudar, wajahnya menjadi datar, anjir lu, gue suruh nunggu satu jam SENDIRIAN. Ampe mati hape gue, batin Adinda.

Raditya yang menyadari perubahan ekspresi Adinda, langsung menipiskan bibirnya, lumayan ketakutan, “Yuk makan, laper gak?”

Adinda mendongak, “Um, nggak deh. Kayaknya aku mau pulang–”

“Ayo makan dulu,” ucapnya terdengar tegas dan terasa tidak menginginkan penolakan.

Adinda tersentak pelan mendengar nada ucapan Raditya, maka dari itu, ia hanya mengangguk dan menjawab, “Oke.”

Lalu setelah itu mereka keluar dari toko tersebut dan Raditya menyalakan motor ninjanya. Kemudian mereka menelusuri jalanan yang cukup padat, karena jam sudah menunjukkan pukul 7 malam.

Dan setelah 15 menit menerjang jalanan yang tidak bersahabat, Raditya menghentikan motornya di warung pinggir jalan, lalu tanpa disuruh, Adinda langsung turun dari motor. Diikuti oleh Raditya sesaat setelah menurunkan standar motornya.

“Di sini enak, gapapa kan?” Tanya Raditya memastikan Adinda tidak keberatan.

Adinda mengangguk, “Gapapa, dulu aku sering kesini kok.”

Raditya menoleh tertarik dengan jawaban Adinda, "Iya? Sama siapa?”

Adinda tersenyum, “Sama temenku, ayo masuk kak.”

Lalu keduanya memasuki tenda bersebelahan dan Raditya memilih tempat duduk terlebih dahulu di dekat penjualnya tersebut. Tak lupa, posisi duduk mereka adalah berhadapan. Tetapi yang satu sibuk dengan ponsel dan yang satu lagi sibuk dengan buku menunya.

“He, gak pilih menu?” Tanya Raditya kepada gadis yang ada di hadapannya.

Adinda mendongak, “Kak Raditya udah pilih?”

Raditya mengangguk, “Pecel ayam sama es teh manis.”

“Oke,” jawab Adinda dengan lembut lalu menoleh ke mas mas penjual, “Mas Arik! Aku pesen kayak biasa dan temenku pesen pecel ayam sama es teh manis.”

Raditya melongo terkejut karena mendengar Adinda menyebut nama sang penjual, “Din, lu udah seberapa sering kesini deh anjir?”

Adinda hanya terkekeh geli mendengar pertanyaan Raditya.

“OKE NENG CAKEP! Eeeeee kok beda cowoknya? Mana Mas Ju–”

“Tolong jangan bergosip ya Mas Arik, jadi cepat buatin makanannya,” sahut Adinda lalu menoleh dan menatap Raditya, “Aku kalo mama gak masak, suka diajak kesini.”

Raditya mengangguk paham, "Jadi emang langganan ya."

“Iyaaa, udah langganan di Mas Arik. Oh iya aku mau nanya, tadi kak Radit kenapa bete mukanya?” Tanya Adinda to the point.

“Ha? Bete?” Tanya Raditya kebingungan, "Kaga dah, gua kaga bete perasaan."

Adinda mengangguk, “Ih, bete tau! Pas aku mau ambil bola, muka kak Radit kayak bete gitu. Kakak marah sama kak Hanica apa sama aku?”

“Ha marah sama lu? Lah ngapain gua marah sama lu?” Tanya Raditya sembari mengangkat alis.

“Berarti sama kak Hanica?”

Raditya menggeleng.

“LAH TERUS SAMA SIAPA? Kak Misha? Dia kan diem doang sambil makan cireng,” sahut Adinda menebak-nebak.

“Sama Ezarion,” jawab Raditya santai, “Gua marah sama Ezarion.”

Adinda terkejut mendengar jawaban Raditya, tetapi ia segera menguasai diri, “Ha? Oh jadi selama ini, rumornya tuh bener ya?”

“Ha? Rumor apaan lagiiii? Buset deh ya, gua berasa artis segalaan punya rumor,” sahut Raditya masih berusaha mencairkan suasana.

“Itu loh, rumor kalo kak Radit tuh rebutan cewek sama kak Yon,” jawab Adinda sembari menatap sekilas mata Raditya, “Jangan-jangan ceweknya tuh yang tadi nelfon kak Radit ya?” Tembaknya tanpa berpikir.

Raditya mengatupkan bibirnya, seketika ia merasa jika gadis yang ada di hadapannya ini memiliki kecerdasan di atas rata-rata, jadi ia mampu menyimpulkan sesuatu dengan cepat.

“Dan nama ceweknya itu kak Sarabella Lazuardi,” lanjutnya yang membuat Raditya semakin terdiam, “Bener, 'kan?”

Raditya mengangguk pelan, “Kok tau? Tau darimana? Sampai hapal nama panjangnya.”

Adinda terkekeh kecil, “Dia pernah ngelabrak aku tauuu, karena dia kira aku tuh pacarnya kak Yon. Padahal–”

“Padahal bukan?” Potong Raditya cepat.

“Emang bener aku pacarnya kak Ezarion,” jawab gadis itu dengan wajah tenang.

Bahu Raditya menurun, Adinda bisa melihat garis wajah pemuda tersebut berubah, “Tapi cuma boongan,” lanjutnya, “Awalnya dia cuma sekadar curhat. Terus kelamaan, aku jadi dianter jemput sama dia, dijajanin risoles mayo danus, terus dia suka kasih kado kecil yang gemesin. Aku sih gak baper. Soalnya pas itu aku punya pacar, pacar aku juga tau kak Yon.”

Mata Raditya membulat, “Gak diomelin?” Tanya Raditya penasaran.

Adinda menggeleng, “Nggak, dia biasa aja. Entah emang dia paham keadaan aku atau emang udah gak sayang,” jawabnya dengan lirih.

Adinda meneguk ludah, mengalihkan wajahnya ke arah lain, “Hari dimana kak Sarabella ngelabrak aku, itu hari dimana pacar aku mutusin aku. Jadi awalnya kak Yon minta ke bioskop, karena dia tau aku diputusin pacar, dia mau menghibur gitu deh. Nah, pas aku jalan keluar dari parkiran mobil, eh tiba tiba aku ditampar sama kak Sarabella,” ceritanya dengan terkekeh.

Raditya menaikkan satu alisnya keheranan melihat adik tingkatnya tertawa, “Kenapa lu ketawa?”

“Lucu aja gitu, masa tiba-tiba aku ditampar. Pas itu aku belum nangis sejak aku diputusin, eh pas ditampar aku langsung nangis kejer, padahal mah gak sakit, cuma kayak… apa ya?” Tanya Adinda menatap Raditya, “Ah gatau deh. Jagain kak Sarabella ya kak, dia baik, cuma emang gatau yang sebenernya.”

Raditya tersenyum kecut, “Kok lu tau dia baik?”

Adinda bergidik mengangkat bahunya, “Gak tau, feeling aja. Buktinya kak Raditya mau rela pergi buat nolongin dia, kak Yon juga pernah ninggalin aku di mall karena kak Sarabella minta tolong.”

“Balik lagi?” Tanya Raditya.

Adinda menggeleng, “Nggak, tapi dia nyuruh supirnya buat anter aku. Aneh banget kan.”

Raditya tertawa, “Aneh apanya?”

“Aneh aja, orang kaya tuh aneh semua,” sahut Adinda, membuat tawa Raditya berhenti.

“Anti orang kaya ya lu? Gak demen ama orang kaya?” Tanya Raditya sembari memainkan tempat sambal yang ada di hadapannya.

“Gak lah, gak gitu. Maksudnya, mereka gampang keluarin uang buat hal gak masuk akal,” jawab Adinda.

Raditya terdiam, ingin menanyakan sesuatu kepada Adinda.

“Um, Din, emang Ezarion pernah kasih apa?” Tanya Raditya.

“Yang paling aneh kali ya? Dia pernah kasih aku gelang emas yang ada tulisan nama aku,” jawabnya, “Stress banget pas tau harganya. Takut disangka nyolong.”

Raditya terkekeh, “Ezarion emang gitu kalo udah nyaman sama orang.”

Adinda mengangguk, “Iya! Makanya aku bikin kalung handmade, ada inisial namanya sama bandulan bentuk buaya. Emang sih gak sebanding sama apa yang dia kasih, makanya abis itu aku mau bantuin dia.”

Raditya hanya mengangguk-angguk paham, “Oh yang sampe sekarang dia pake ya?”

“Iya, padahal bisa aja dibuang. Tapi sama dia disimpen, eh ya aku boleh nanya sesuatu gak?” Tanya Adinda.

Raditya membulatkan matanya dan mengangguk cepat, “Nanya apa aja dah, bakal gua jawab.”

“Kak Sarabella sakit apa?”

Lidah Raditya langsung kelu tak mampu mengeluarkan kata kata, “Ha?”

“Dia sakit kan? Soalnya kak Yon gak pernah bisa tinggalin dia sendirian gitu, terus aku tadi liat snapgram kak Yon ada di rumah sakit dan ngetag kak Sarabella. Kenapa gak kakak aja yang nemenin?”

“Ya ada Ezarion, kenapa harus gua? Lagi juga kan gua lagi sama lu,” jawab Raditya sekenanya.

“Kak Sarabella lebih seneng ditemenin siapa?”

“Bukan gua.”

“Oh aku paham. Jadi... kak Sarabella suka sama Kak Youn, terus kak Youn juga suka, tapi karena dia tau kakak juga suka sama kak Sarabella, makanya dia minta aku jadi pacar boongannya, terus kak Sarabella marah, ngelabrak aku deh. Terus sekarang, kakak masih suka?” Tanya Adinda dengan tersenyum meledek.

Raditya bengong mendengar seluruh kata yang keluar dari mulut Adinda, “Apaan banget dah, sok tau banget lu.”

Adinda tersentak mendengar respon Raditya yang terkesan menanggapi serius ucapan Adinda, “Dih, yaudah kali santai aja,” ucapnya lalu menoleh ke arah Mas Arik yang sedang membawakan nampan berisi pesanan mereka.

“Dah dah, makan dah. Jangan ribut disini,” ujar Mas Arik lalu menaruh piring pesanan di hadapan keduanya.

Raditya mengangguk tersenyum kecil kepada Mas Arik sedangkan Adinda mengangguk sembari menyedot es jeruk miliknya. Lalu keduanya sibuk mengambil piring masing-masing dan mencuci tangan di mangkuk yang berisi air keran- yang mana memang untuk mencuci tangan- dan ada jeruk nipis sebagai pewangi.

Lima belas menit berlalu tanpa ada yang bersuara, mereka sibuk menghabiskan makanan yang ada di piringnya hingga bersih tak bersisa. 

Sampai dimana ponsel Adinda menyala, menandakan jika ada yang menelfonnya.

“Bentar ya,” ucap Adinda, entah pada makanannya atau Raditya.

“Halo?”

“Dimana?”

“Kepo.”

“Jawab gua anjir.”

“Lagi makan sama Mas Arik.”

“Lah? Lu nemenin masak Mas Arik?"

"Iya."

"Din.”

“Apa sih kak Bin?”

“JEIRA ADINDA PRADITYA, ELU HARUS TAU TADI ADA KEJADIAN YANG MENEGANGKAN. YON  NENDANG MOTOR RADIT! GILA, CUY! GUE KAN TADI SEMPET NGIKUTIN RADIT YA, EH ANJIR DITENDANG MOTORNYA SAMA YON! COBA ELU LIAT, DI TANGAN KIRINYA RADIT PASTI LUKA BESOT-BESOT. SINI, DIN, ELU BAWA KE RUMAH MISHA, KITA LAGI PADA DI SINI.”

“HAH? APASIH KAK JOCE NGACO NIH. Ini orangnya aja ada di depan gue jir-”

“-Wait. Bentar.”

Adinda menatap Raditya dengan lamat, Raditya yang tadinya mau menegak es teh manisnya jadi terhenti, “Apaan? Ngapain ngeliatin gua?” Tanya Raditya dengan tatapan polos.

“Hm, oke ntar gue ke sana sama dia,” jawabnya lalu mematikan ponselnya dan menaruh ponselnya di sebelah kiri.

“Kak, mau pinjem tangannya,” ujar Adinda dengan nada datar.

Raditya mencibir menggoda, “Apa, sih, emang tangan lu lagi nggak bisa dipake, ya, ampe minjem tangan gua?”

“Kak, pinjem tangannya.”

Raditya diam tersentak, lalu mau tidak mau ia merentangkan kedua tangannya, lalu gadis itu langsung menarik lengan kirinya perlahan dan menaikkan baju bagian lengannya ke atas.

Benar kata Binar, lengan Raditya dipenuhi oleh luka baret, seperti telah mencium aspal jalanan.

Adinda berdeham, “Hmmm, emang jagoan neon, ya, ternyata,” ucapnya lalu mengembalikan bajunya seperti semula, “Dah abisin dulu makanannya.”

Raditya hanya menghembuskan napas, mengangguk tanpa menjawab ucapan Adinda.

Adinda hanya memandangi pemuda yang ada di hadapannya dengan tatapan pasrah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status