Share

03 - Pergi Bersama

Setelah rapat divisinya selesai, Adinda, Misha, Haiqal, Hatta, Gibran, Irsyad, Ayana, Hanica, dan Alisa pun segera membereskan barang barangnya untuk ditaruh di loker kampus.

“Raina ke mana?” Tanya Hatta pada Adinda.

“Sakit, kayaknya sih,” jawab Adinda, “Dia kemarin beli seblak Teh Maya level sepuluh anjir, sok banget kan. Padahal udah gue ingetin, jangan sampe pedes banget, dia aja makan bon cabe level 1 udah nangis kepedesan.”

Hatta terkekeh, “Namanya juga anak batu. Oh ya, lu jadi beli barang yang kita butuhin kan? Ama siapa dah lu? Sama kak Hanica?”

Adinda jadi terdiam mendengar pertanyaan Hatta, “Um, Ta, gue mau nanya bentar deh.”

“Ya, silahkan, mau nanya apa?” Tanya Hatta sembari menaikkan satu alisnya, “Catatannya belom dikasi sama kak Alisa?”

Adinda menggeleng, “Udah kok, udah dikasih sama kak Alisa, tapi gue bukan mau nanya itu.”

“Lah terus nanya apa?”

“Kak Radit…”

Hatta ber-oh ria, “Oh, dia. Baik kok, nggak gigit. Kalo sama cewek mah dia gapernah bertingkah, aman lah kalau buat lu.”

Adinda mendelik lalu mencubit lengan Hatta pelan, "Ih bukan gitu! Gue tuh sebenernya diajak beli barang bareng dia, tapi guenya udah takut duluan.”

“Ngapa takut? Biasa aja kali.”

“AH LO MAH GAK PEKA!” Seru Adinda lalu merapatkan tubuhnya ke Hatta, “Masalahnya tadi dia keliatan bete, kayaknya mah gegara gue. Kira-kira dia tetep mau beli bareng gak ya?” Tanyanya dengan suara yang pelan agar tidak terdengar oleh sekitarnya.

“Oh anjing,” jawab Hatta lalu ia mengerutkan dahinya, “Ngapa bete? Elu jatohin motornya?”

Adinda menggeleng, “Bukan, gue aja gak tahu motor dia. Tapi... dia kayak cemburu–”

Hatta membulatkan matanya tak percaya, “JEIRA ADINDA TOLONG SADAR DIRI! LO BUKAN SIAPA SIAPA KOK NGAREP DICEMBURUIN?!” teriak Hatta yang membuat Adinda mendengus kesal dan reflek memukul lengan Hatta.

“Ih, pelanin suara lo! Nanti kalau yang lain denger gimana?!” Ujar Adinda lalu melirik ponselnya, “Hm, semoga aja dia tetep mau belanja ama gue, kalau beneran belanja sama kak Hanica… gue gak sanggup.”

Hatta mengangguk-angguk, “Ya, aamiin. Dah sana ke parkiran.”

Adinda mendelik, “Ya tunggu dichat lah!”

“Manja lu,” celetuk Hatta.

“Bawel lu.”

Hatta tidak menjawab lagi karena ia sibuk chatan dengan Raina. Ia menanyakan kabar Raina, apakah benar sakit atau hanya ingin menghindari Hatta karena Raina memiliki hutang janji membelikan Hatta seblak Teh Maya.

Raditya: gua dah selese, lu dimana?

Adinda: aku di bawah pohon kak, sama hatta berdua

Raditya: pacaran?

Adinda: gak duluuu wkwk

Adinda: aku cuma minta ditemenin sama dia sampe kakak selesai kok

Raditya: wkwkwk oh yaudah ayo ke parkiran

Raditya: gua udah di motor

Adinda: oke kak

Adinda: aku otw

Adinda menoleh ke belakang, tepatnya ke arah parkiran, ia melihat sosok pemuda berperawakan tinggi dan tampan yang duduk di atas motor ninjanya dan sedang fokus dengan ponselnya. Adinda langsung meluruskan pandangannya, “Ta, dia udah ada di parkiran.”

Hatta yang tadinya fokus ke ponsel langsung melirik sejenak ke parkiran lalu menatap Adinda, “Yaudah hati hati lu. Ntar kalo dia ngebut, gebuk kepalanya. Bilang, disuruh Hatta ganteng.”

Adinda mendelik, “Idih, mana berani gue. Dah ya, makasi Ta dah mau temenin gueeeee!”

“Yoi santuy, lu kan temen gua,” jawab Hatta lalu membuka aplikasi game.

Lalu kemudian, Adinda berlari kecil menghampiri motor Raditya. Ia sendirian di parkiran, masih banyak motor yang terparkir, itu artinya memang para panitia masih di kampus.

“Nunggu lama ya kak?” Tanya Adinda sesaat sudah di sebelah Raditya.

Raditya menoleh dan tersenyum kecil, “Aturan gua yang nanya,” lalu ia menurunkan kedua kakinya, lalu membenarkan posisi duduknya di motor, dan menyalakan mesin motornya, “Nih helmnya.”

"Okey," lalu Adinda memakai helm pemberian Raditya. Namun, ia sedikit kebingungan bagaimana cara ia naik ke atas motor ninja. Karena ini adalah pertama kalinya ia dibonceng dengan motor ninja.

“Tangan gua bisa lo pegang,” sahut Raditya sembari melirik ke kaca spion, memahami jika Adinda kebingungan untuk naik ke motornya.

Adinda mengangguk paham lalu menggenggam lengan kanan Raditya untuk pegangan dan kaki kanannya ia taruh di pijakan motor, setelah itu ia mengangkat kaki kirinya dan segera duduk dengan sempurna di motor hitam milik Raditya.

Lalu ia melepaskan genggamannya pada lengan Raditya dan mencari besi belakang motor– sebentar, “Kak, ini besi belakangnya kok gaada?” Tanya Adinda yang membuat Raditya terkekeh.

“Pegangan pundak gua aja,” jawab Raditya lalu segera memakai helm, “Dah ya pegangan.”

"Kak masa pegangan pundak? Aku pegangan tas aja ya," sahut Adinda dengan nada malu-malu.

Raditya hanya tersenyum di balik helmnya yang berwarna hitam, "Iya gapapa, pegangan tas ya."

“Iya kak, Udah,” kata Adinda pelan, Aduh anjir tasnya kecil banget, gimana gue mau pegangan anyiiiiing. Menyeeeesaaaalllllll, batin Adinda.

Lalu motor ninja berwarna hitam itu langsung berjalan keluar dari area parkiran motor yang tanpa mereka berdua sadari, ada dua pasang mata yang sedang memperhatikan mereka.

“Aih goblok, udahlah bang, sadar diri napa. Udah ditolak masih weeee ngeliatin. Awas juling,” sahut Lino saat duduk di pos satpam bersama Ezarion yang menatap Adinda yang dibonceng oleh Raditya dengan tatapan pedih.

“Padahal udah gua ajakin pake mobil, eh taunya tu anak maunya sama yang pake ninja,” sahut Ezarion dengan miris.

Sementara Adinda dan Raditya, selama di perjalanan, mereka tidak banyak mengobrol.

Karena pertama; Adinda tidak mau mengganggu konsentrasi Raditya saat mengendarai motor.

Kedua; Adinda tidak tahu harus membicarakan apa dengan Raditya.

Terakhir; Adinda masih takut kalau Raditya teringet dengan kejadian beberapa waktu yang lalu perihal typo "selamanya".

Namun, selama di perjalanan, biasanya Raditya yang memulai percakapannya.

Buktinya, di percakapan pertama;

“Din, lu disuruh Alisa beli dimana?” Tanya Raditya.

Adinda menghela nafas, “Hm… Gatau kak, kak Alisa suruh aku beli di tempat kak Radit beli aja, jadinya barengan gitu.”

“Lah kalo gaada gimana?” Tanya Raditya lagi.

Mata Adinda membulat, tak kepikiran sampai sana, “Um, emang kak Radit mau beli apa aja?”

“Gatau gua belom liat daftarnya, ada di tas. Buka aja,” ucap Raditya dengan santai.

Adinda tersentak sedikit dan langsung menggelengkan kepalanya, “Eh gausah, nanti kita liat sama sama aja di toko.”

“Oke dah,” jawab Raditya dengan anggukan.

Dan ini adalah percakapan mereka yang kedua dan bahkan yang terakhir di motor sebelum mereka sampai di toko;

“Oiya Din,” kata Raditya sembari melirik kaca spion yang bertujuan untuk melihat Adinda.

“Kenapa kak?” Tanya Adinda yang fokusnya masih ke jalanan dan tidak sadar jika Raditya memperhatikannya lewat kaca spion.

“Lu kalo diliat-liat, cakep dah.”

Eh eh EH eh eh eh

Anjir nih ADUHHHHH

Aduhhhhh napas gue udah kayak orang sekarat

ORGILLLLLL

Adinda menoleh, “Haaa?” Tanya Adinda kebingungan lalu melirik kaca spion dan ia melihat Raditya yang sedang melirik kaca spion juga.

Jadi, secara tidak langsung, mata mereka saling menatap satu sama lain.

ASTAGAAAAAA KENAPA SIHHHHHHH, batin Adinda.

Gila, padahal gua sering begini sama Joce atau Oyong atau bahkan sama Erin, tapi kenapa beda ya rasanya? Batin Raditya.

Adinda menipiskan bibirnya lalu mengalihkan pandangannya jadi kembali lurus ke depan. Raditya hanya terkekeh melihat tingkah adik tingkatnya satu ini.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status