"Apa kau memiliki penjelasan yang masuk akal tentang semua ini Kesya?" Sean tengah duduk dengan bertopang kaki sambil menatap tajam ke arah Kesya.
Suasana hatinya begitu buruk. Andai saja Kesya bukan wanita yang dicintainya sudah dapat dipastikan wanita itu tidak akan lagi bisa menyaksikan sang Surya keesokan hari. Walaupun demikian, ekspresinya tampak tenang saat ini sengaja menyembunyikan aura berbahaya yang tersimpan rapi di dalam jiwanya."Apa kau mulai membisu? Atau mungkin telingamu tidak bekerja dengan baik?" Sean berujar dengan rentetan pertanyaan menuntut, mendesak Kesya untuk segera memberi jawaban semua itu.Kesya sendiri hanya bisa terdiam, dia sama sekali belum menemukan jawaban yang tepat. Tatapan Sean yang seakan menusuk jantungnya membuat Kesya kesulitan untuk berpikir dan merangkai kata untuk berkilah. Aura kamar itu sangatlah panas, Kesya bahkan sangat kesulitan untuk sekedar bernafas."Kesya." suara Sean dalam nan tegasTangan Kesya bergerak untuk menutup mulutnya dari rasa keterkejutan yang teramat sangat. Bagiamana tidak, saat ini dia dan Sean sedang berdiri di depan sebuah restoran mewah dan pastilah termahal di kota itu. Kesya bahkan sempat terdiam beberapa saat hanya untuk menatap gedung tinggi itu. Perlahan, kepalanya menoleh ke arah Sean."Sean, ini... ini..."Restoran sayang, saat ini kita berada di restoran." Sean menyela cepat perkataan Kesya."Tapi... restoran ini sangat mahal." ujarnya tanpa sadar melupakan status Sean si pewaris tunggal keluarga Kingston.Alis Sean terangkat tinggi. "Apa kau sedang menghinaku?" sahutnya dengan ekspresi wajah datar."Bukan seperti itu? Hanya saja ini begitu aneh bagiku. Aku tidak terbiasa dengan semua ini." sahut Kesya dengan cepat, langsung mematahkan asumsi Sean.Sean menipiskan bibirnya, lalu menarik tangan Kesya memasuki restoran."Kalau begitu biasakan dirimu dengan semua
"Tuan?"David, salah seorang pengawal kepercayaan Charles langsung berucap ketika lelaki paruh baya itu memerintahkan untuk masuk setelah lelaki itu mengetuk pintu ruang kerjanya."Ada apa David?" Charles menolehkan kepala dan mengangkat alis ketika melihat lelaki itu berdiri diambang pintu dengan tatapan ragu."Tuan, ini tentang Tuan muda. Ben baru saja memberitahu bahwa saat ini terjadi penyerangan dari pihak yang tidak dikenal di sebuah restoran yang terletak di pusat kota. Tuan Sean dan nyonya Kesya tengah berada di sana.""Apa?"Charles seketika berdiri dari posisi duduk ketika mendengar penjelasan tangan kanannya. Matanya melebar, dipenuhi keterkejutan yang teramat sangat bercampur dengan perasaan takut yang luar biasa.Ekspresi Charles menggelap. "Pergilah. Kerahkan seluruh pengawal. Jangan sampai terjadi sesuatu pada Sean dan Kesya." sambungnya memberi perintah tegas dan tak terbantah."Baik Tuan."
Meskipun senjata kini berada tepat di pelipis Sean namun, sikap lelaki itu tampak begitu tenang. Sean tersenyum sinis, melupakan rasa sakit di bahunya, dengan gerakan cepat dia memelintir tangan lelaki itu kebelakang kemudian mengambil senjatanya. Suara teriakan membahana begitu menusuk pendengaran. Sean langsung balik menempatkan senjata di pelipis lelaki itu."Bagaimana jika timah panas ini bersarang di kepalamu." Sean berujar dengan nada dingin, cengkraman tangannya semakin menguat."Brengsek! Lepaskan tanganku!" lelaki itu berseru sambil meronta-ronta, meloloskan diri dari kungkungan Sean.Kening Sean berkerut dalam. Suara lelaki bertopeng itu terasa tidak asing baginya."Dastan?" Sean berujar dengan sikap hati-hati, seolah berjaga jika tebakannya tidak tepat sasaran."Lepaskan tanganku Kingston!" lelaki itu melepas topengnya dengan tangannya yang terbebas. "Aku Dastan Oliver, sekarang lepaskan tanganku, sialan!" mata Dastan
"Sean.... Sean... jangan tinggalkan aku. Jangan tinggalkan aku. Sean... Sean....!!!!!"Kesya mengusap peluh yang membanjiri pelipisnya. Nafasnya tersengal-sengal. Mimpi buruk itu sangatlah menakutkan. Hal yang pertama sekali dilihat oleh Kesya ketika terbangun adalah sebuah kamar yang didominasi warna coklat dan wangi cytrus yang selalu manjakan penciumannya. Tanpa perlu ragu lagi, dia sudah begitu yakin bahwa saat ini dia berada di kamar Sean. Pandangannya bergerak ke seluruh penjuru kamar. Langsung saja kedua kelopak mata Kesya melebar ketika melihat ranjang di sebelahnya kosong. Dengan cepat, dia lalu menyibakkan selimut yang membungkus tubuhnya. Gerakan Kesya terhenti saat merasakan sakit di telapak tangan atas. Dia menolehkan kepala, ekspresi wajahnya nampak kebingungan ketika melihat telapak tangan atasnya tertancap selang infus. Tanpa memikirkan rasa sakit, Kesya melepas infus itu kemudian berlari ke arah pintu."Buka pintunya. Siapapun yang diluar ku mo
"Senjata yang digunakan untuk menembus punggungmu sangatlah berbahaya. koyakannya begitu besar pun dengan pendarahannya yang parah. Kau beruntung masih hidup menahan luka ini selama berjam-jam." dokter Derrick berucap sambil membebat luka yang berada di punggung Sean. "Katakan siapa yang membalut lukamu dengan perban itu. Setidaknya dia cukup bijak menghentikan pendarahan mu sesaat." sambungnya kemudian.Sean hanya terdiam, dia sama sekali tidak menaruh minat apapun tentang medis. Luka yang bekas tembakan itu memanglah parah hanya saja semua itu terbayar lunas ketika dirinya masih bisa bernafas dan kembali di sisi Kesya."Beruntung sekali timah panas itu tidak mengenai jantungmu. Jika hal itu sampai terjadi, aku yakin kau tak lagi bisa melihat mentari pagi bersinar." sahut dokter Derrick lagi sambil melilitkan perban itu dengan hati- hati. Dia memasang penyangga siku untuk menjaga tangan kanan Sean tidak bergerak leluasa sehingga memperlambat proses pemulihan.
Happy reading...😘"Sebenarnya apa yang ada dalam pikiranmu. Kau selalu saja bertingkah layaknya anak kecil."Diandra Oliver, wanita cantik berusia paruh bayah itu tampak begitu frustasi menghadapi semua tingkah laku Dastan. Suara Diandra yang membahana mengusik ketenangan seluruh penghuni kediaman Oliver."Sebenarnya apa yang terjadi disini?" dokter Derrick berujar dengan suara serak, matanya masih terpejam ketika menuruni tangga."Ini pasti kak Dastan. Hanya kak Dastan yang dapat mengobarkan api kemarahan ibu."Daniela Oliver, mulai mengintrupsi pertikaian yang sedang terjadi dari balik punggung ayahnya. Dengan wajah masam, dia menatap dalam-dalam ekspresi wajah Dastan."Ada apa lagi ini, mengapa kalian sudah bangun?" Diandra langsung menodong suami dan putri bungsunya sesudah mereka berada di hadapannya."Tanyakan yang masuk akal sayang, suaramu sudah seperti gendang yang ditabuh. Jangankan m
Sejak tadi wajah Kesya tak lagi bertahan dengan sinar cerah bahagia. Keinginan Sean yang tiba-tiba melibatkan diri untuk menemaninya membuat dirinya menggeram tertahan. Lelaki itu sedang tidak dalam keadaan baik namun, keputusannya tak mampu terbantahkan oleh siapapun."Apa kau masih marah?" Sean mulai bersuara ditengah keheningan yang sedari tadi melanda mereka."Jika aku katakan ya, apa kau mau untuk kembali ke apartemen?" Kesya sengaja menjawab pertanyaan Sean dengan pertanyaan."Tidak. Aku akan ingin menemanimu. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu." kalimat perintah berisi suara tegas Sean berhasil menyulut emosi Kesya."Sesuatu apa yang sedang kau bicarakan? Apa kau tidak lihat jejeran puluhan mobil yang mengawalku di belakang?" Kesya menggeram karena amarah, sikap over protective Sean membuatnya hampir frustasi.Sayangnya sikap keras kepala Kesya berhasil menyulut bara kemarahan Sean. Dengan kasar lelaki itu membuka sek
"Bagaimana keadaanmu?" suara Bobby yang berisi kecemasan langsung menyapa Sean dan Kesya sesaat setelah keduanya masuki butik."Aku baik-baik saja. Lihatlah, tidak ada yang kurang bukan dari anggota tubuhku?" Sean berucap santai, sengaja mengusir kecemasan yang nampak di wajah Bobby."Kau selalu bersikap seolah semuanya baik-baik saja." ujar Bobby mengalihkan pandangan di samping Sean. "Bagaimana denganmu Kesya, apa kau juga akan menjawab hal yang sama seperti Sean?" sambung Bobby menyelipkan sindiran sinis pada Sean."Aku baik-baik saja. Tenang saja, aku sudah menyiapkan argumen kuat jika berdebat denganmu nanti." jawab Angel dengan senyum lebar.Seketika Ekspresi wajah Bobby berubah datar. Kesya selalu punya cara untuk membungkamnya."Lebih baik kita hentikan perang dingin ini." sahut Bobby mengakhiri pertikaian mereka. "Ayo Kesya, kau harus segera mencoba gaunmu" sambungnya kemudian lalu beranjak dari hadapan Sean dan Kesya."Aku pergi du