Ternyata, doa yang selama ini aku panjatkan tiap kali melakukan kewajiban kepada Tuhan, tidak terkabulkan oleh-Nya. Tapi, aku tak boleh terlalu sedih, karena aku harus mengingat perkataan orang yang pernah bilang padaku, "Kamu boleh berdoa, kamu boleh berusaha, tapi ada Tuhan yang menentukan takdir kamu, dan takdir untuk kamu pasti baik, walaupun di mata kamu nggak baik."
Jadi, mungkin ini memang takdir Tuhan untukku yang tersimpan seribu kebaikan, walaupun aku sedih melihat dan menjalani takdir ini. Dan kesedihan yang aku alami adalah, Papa memberiku undangan pernikahannya Minggu depan, ia datang bersama calon istrinya. Secara tidak langsung, Papa juga mengenalkan ibu baru untukku. Ya sekalipun, aku masih ikut sama Mama sampai kapan pun.
"Papa minta, kamu datang di hari bahagianya Papa ya, Gen. Nggak mungkin kan, Papa bahagia tapi kamu nggak datang? Biar Papa dan kamu bahagia bersama juga."
Aku tersenyum kecil, tapi dalam hati misuh-misuh. Papa bilang aku harus ikut bahagia dihari pernikahannya, padahal kenyataannya undangan itu adalah hal keburukan untukku. Namun apa boleh buat selain diam dan menyimpan rasa perih, karena aku juga nggak mungkin menghancurkan pernikahan mereka minggu depan.
Perceraian Papa dan Mama berlangsung ketika aku kelas 11 SMA, dimana itu adalah masa-masa bahagia disaat umur remaja. Tapi nyatanya, aku ditimpa keterpurukan karena perceraian orang tua. Sebelumnya, keluargaku sudah tidak harmonis lagi ketika aku kelas 3 SMP. Namun, aku selalu mencoba muncul saat pertengkaran Mama dan Papa dimulai untuk melerai mereka, dengan tujuan utama tidak ada perpecahan. Tapi apa daya, jika Tuhan berskenario bahwa Mama dan Papa tak bisa lagi bersama hingga tua.
Ya sudah, sejak perpecahan keluarga terjadi, aku bertahan hidup tanpa Papa, hingga terbiasa hidup hanya dengan Mama. Begitu juga dengan ekonomi keluarga, Mama tak lagi mengandalkan Papa. Untungnya, saat keluarga masih utuh, Mama tidak sepenuhnya mengandalkan Papa, melainkan jualan roti pesanan dan makanan lainnya. Lambat laun, Mama memajukan usahanya menjadi usaha catering, dan kini catering Mama sudah memiiki nama di pasar.
"Aku nggak janji untuk bisa datang, tapi aku berusaha," kataku jujur.
Aku memang belum sepenuhnya rela Papa bercerai dengan Mama, yang artinya tak juga rela Papa menikah lagi. Padahal kejadian itu terjadi ketika umurku 16 tahun, dan sekarang umurku sudah 24 tahun. Maka dari itu, agak berat rasanya menyaksikan Papa menikahi orang lain.
Iya, aku terbiasa hidup tanpa Papa di rumah. Tapi, aku dan Papa masih hubungan darah, dan selama ini kami sering bertemu untuk kangen-kangenan, sekalipun sering itu hanya satu kali sebulan. Dan yang menjadikanku berat Papa menikah adalah, aku takut Papa akan abai padaku, aku takut Papa terlalu fokus pada keluarga barunya, takut kasih sayang Papa akan berkurang atau bahkan hilang. Apalagi aku tahu bahwa calon istri Papa punya anak seumuran aku dan punya adik lagi.
"Bunda nggak bahagia, kalau Genna nggak datang ke pernikahan Papa," kata calon istri Papa, yang aku tebak itu hanya pemanis bibir.
Aku memang belum tahu sifat asli calon istrinya Papa, tapi tetap saja aku tak suka sekalipun ia berbuat seribu kebaikan padaku. Sekalipun aku tahu bahwa calon istrinya Papa itu tidak menyumbang satu persen mengenai perceraian orang tuaku. Entah kenapa, tapi nggak suka aja.
"Ya!"
"Jangan nggak sopan sama Bunda," tegur Papa, membuatku mengumpat dalam hati.
"Mohon maaf," balasku ambigu, terserah dianggap tidak sopan oleh Papa dan calon istrinya itu.
"Oh iya, di situ juga ada undangan untuk Abimanyu. Kalian masih berteman baik kan? Kemarin Abi sudah Papa telepon untuk janjian makan malam di sini, mungkin Abi telat," info Papa, aku hanya mengangguk lalu kembali menyantap kentang goreng milikku.
Tak heran saat Papa juga mengundang Abimanyu, karena Abi memang satu-satunya temanku yang dipercayai Papa sepenuhnya. Aku sempat bingung memikirkan itu ketika SMP dulu, temanku banyak, apalagi yang wanita, tapi Papa lebih percaya ke Abi sejak SMP hingga SMA. Mungkin, Abi memang punya sikap paling dewasa dari kebanyakan temanku, dan Abi yang paling akrab dengan Papa.
"Masih."
"Mas, udah malam, pulang ya. Aku udah ditanyain sama anak-anak." Mendengar ucapan calon istri Papa, aku menelan ludah tak suka. Lebih tak suka lagi, saat tangan perempuan itu bergelayut pada lengan Papa.
"Iya. Genna, Papa sama Bunda pamit ya. Kamu juga jangan pulang malam-malam, nggak baik. Apalagi kamu nggak bawa teman." Papa bangkit, lalu mengecup keningku sebentar. "Papa sayang kamu, kalau kangen Papa datang ke rumah ya! Jangan sungkan-sungkan," imbuhnya.
"Iya," balasku singkat.
Selepas mereka pergi, aku memandang dua kartu undangan berwarna silver. Di situ, tertulis untuk Genna, dan satunya lagi untuk Abimanyu. Setelah membaca ini, aku jadi teringat akan Mama. Kenapa Mama tidak di undang juga, apa karena Mama adalah mantan Papa? Tapi kenapa tidak turut di undang, jika mantan pacar saja turut di undang pada acara resepsi pernikahan.
"Aku duduk sini ya!" Wajahku mendongak setelah mendengar suara seseorang yang familiar di telingaku. Setelah menatap wajahnya untuk memastikan apakah ia orang yang sesuai dugaanku atau tidak, aku mengangguk mempersilahkannya duduk.
"Kenapa baru dateng? Papa udah pulang, lo nya malah masih ngaret nggak jelas," kataku hanya sekedar basa-basi.
"Maaf. Baru pulang dari acara, terus mampir ke rumah buat mandi kilat. Yang penting, aku ketemu anaknya."
"Undangan, nikahannya Papa, buat lo!" Aku menyodorkan salah satu kartu undangan untuknya. "Datang ya, Bi. Lo kan, kesayangan Papa."
"Kamu juga datang kan? Sama siapa?"
"Siapa aja, kalau aku datang," balasku santai, padahal kenyataannya aku pasti akan datang dengan Mas Irza. Mana mungkin aku tidak memberi kabar hal ini padanya, pasti ia akan marah-marah karena menyembunyikan hal yang penting darinya, lalu mendiamkanku beberapa hari hingga ia merindu akan kedatanganku.
"Sama aku aja, aku nggak ada gandengan."
"Nggak jadi, gue mau gandengan sama Mama," candaku, sebagai alibi juga tentunya, agar nggak jujur-jujur amat bahwa aku akan gandengan sama Mas Pacar.
"Kamu udah makan?" Aku mengangguk, lalu meneguk minuman yang dipesankan Papa. "Tapi aku belum. Kamu temenin aku ya!" Aku menggeleng, tak ingin lama-lama di sini karena ingin pulang cepat untuk memberi kabar ini kepada Mama. "Kenapa? Kita nggak pernah makan malam bareng semenjak lulus SMA."
"Pengen pulang cepet aja, kalau lo mau pulang ya ayo!"
"Aku belum makan, nanggung banget, udah duduk di sini juga kan?"
"Kok maksa?" Abi memang pria halus, maksudnya bukan pria kasar. Tapi sehalus-halusnya ia hidup jadi pria, ia suka memaksaku untuk menuruti kehendakku, kecuali aku akan marah dan menyentaknya, maka ia akan mengalah.
"Nanggung banget, Genna. Sayang kan? Aku traktir kamu lagi deh."
Dikasih penawaran traktiran gratis dari teman patut dipertimbangkan, apalagi aku sedang ingin makan lagi malam ini. Tapi, aku juga butuh pulang, karena Mama berpesan agar aku langsung pulang, sebab Mama selalu khawatir jika aku pergi bertemu Papa atau bersama Papa. Katanya, aku takut diculik dan tidak dikembalikan pada Mama. Padahal, Papa nggak bakalan mungkin ngelakuin itu.
"Nggak ah, Bi. Aku beneran, harus pulang."
"Ada apa? Kenapa buru-buru?"
"Aku ada cerit-- maksudnya ada keperluan sama Mama.
"Tentang masalah ini? Mau cerita sama Mama? Kalau begitu, oke, kita pulang." Abi sudah berdiri, mengambil dua undangan kami, lalu mencekal tanganku membantu berdiri.
"Kok lo aneh si, Bi?"
"Aku nggak aneh kok, tapi aku nggak mau aja maksa ditemenin makan di saat kamu mau curhat sama Mama. Kecuali kalau kamu mau curhat ke aku, kita bisa sambil makan."
Mendadak, mataku merasa panas seperti akan menangis namun di tahan. Entah karena apa, tapi rasanya air mataku sudah menggenang di pelupuk mata saat mendengar ucapan Abi, ditambah dengan over thinking-ku kepada Papa. Rasanya ini sudah hampir tumpah, tapi tak aku biarkan jatuh di depan Abi begitu saja, sehingga aku sedikit mendongak dengan badan menyamping agar Abi tak begitu memperhatikan.
Namun, dengan santainya Abi mengacak rambutku, membuat air mataku luruh, untungnya air mataku kali ini tidak banyak yang tergenang. "Abi, gue nangis," infoku dengan suara serak.
"Tahu. Kita pulang aja." Abi merangkul pundakku hingga tubuh kami benar-benar menempel, dan membuatku susah berjalan.
"Gara-gara lo, gue malu."
Entah angin apa yang membuatku tergiur untuk mencari gara-gara dengan Mas Irza. Pukul dua belas malam, ia masih online di aplikasi chatting. Tiba-tiba aku mengirimkan fotoku dan Abi, berdiri di depan pagar dengan latar belakang Bukit Bintang. Kini aku hanya perlu menunggu balasan darinya.Mas Irza : Bahagia banget kamu. Mas Irza : Sama seperti kemarin, selamat liburan.Aku mengerutkan kening, seolah-olah tak percaya dengan balasan yang ia kirimkan, seakan-akan ingin mengelak bahwa itu bukan balasan darinya."Kenapa?" tanya Abi yang mungkin melihat perubahan wajahku."Nggak kenapa-kenapa," balasku santai."Santai kali, Gen. Bukannya kamu malah bebas menggunakan ruang untuk liburan kali ini ya, Gen?" sahut Abu setelah beberapa saat.Eh? Ternyata Abi melihat room chat Mas Irza membuatnya ia paham akan kegelisahanku barusan."Cemburunya hilang, gue ngerasa ada hilang juga. Sebenarnya gue benci sama pikiran gue yang begini, tapi di s
Abi benar, penyesalan akan datang jika tidak berkunjung ke sini. Pemandangan kota yang digemerlapi lampu-lampu terpampang jelas memanjakan mata, suasana bukit juga benar-benar terasa, dan .... pokoknya benar-benar bahagia bila berkunjung ke sini.Bisa jadi melihat pemandangan lampu gemerlap seperti ini dari gedung tinggi, tapi ya tetap saja beda dari suasana dan rasa, yang pastinya akan mengurangi nilai. Well, nggak menyesal menempuh perjalanan lebih dari 20 menit dari Candi Ratu Boko, mampir minum di pinggir jalan, ibadah di musholla, mandi dan istirahat di SPBU. Semuanya terbayar lunas bahkan lebih."Bagus kan?" Aku mengangguk, menanggapi pertanyaan Abi yang duduk di depanku. "Gen," panggilnya.Seraya tersenyum, aku menaikkan alis sebelah. Bukan karena wajah Abi yang menjadi sumber kebahagiaan, tapi suasana dan pemandangan."Bulan ini aku bertambah umur," katanya membuatku spontan untuk mengingat-ingat bukan kelahirannya, tapi sa
Setelah merasa pegal dan sedikit lelah, kami berdua memutuskan balik ke hotel. Masih sama seperti pergi tadi, kami berjalan kaki. Sedikit dingin memang, tapi ya yang seperti ini nggak selalu dilakukan tiap malam hari. Apalagi dengan tempat yang sama, satu tahun belum tentu bisa ke sini lagi."Night, Bi," pamitku padanya untuk berpindah kamar ke kamarnya Jeana.Malam ini aku dan Abi tidak jadi menginap dalam satu kamar. Bukan tanpa alasan ketika di jalan tadi aku meminta pisah, selain berjanji untuk jaga jarak dengan Abi ketika bersama Mas Irza kemarin, sedikit nggak sopan untuk kami yang cuman teman tanpa terdesak atau terpaksa. Abi iya-iya saja ketika aku meminta hal tersebut, tapi yang jelas aku bisa melihat wajahnya tak sesegar seperti semula.Dipikir-pikir dari awal, kayaknya aku juga sedikit nggak waras, mau-mau tatkala satu kamar dengannya padahal hanya teman. Tapi gimana lagi kalau penerimaan penawaran Abi kemarin menguntungkan diriku ya
Kukira destinasi liburan gratis oleh papa ke luar pulau, ke pojokan Indonesia, ke pulau-pulau Indonesia yang liburannya bakalan anti mainstream, atau bahkan hidup di kapal dan diving berkali-kali. Itu adalah dugaan yang tidak muluk-muluk, tapi ternyata salah. Jangankan ke luar negeri, ke luar daerah saja tidak. Ternyata di Jogja, saja, untuk ukuran papa yang kaya raya tapi perhitungan dengan anaknya."Nikmati aja, Gen. Masih gratis kan? Nanti juga bakalan seru," kata Abi yang sudah terdengar seperti ejekan.Abi tahu tentang remehanku pada liburan kali ini, karena sejak tiba di hotel aku langsung berkomentar yang tidak-tidak dan blak-blakan, tentu saja hanya dengannya. Aku masih punya sopan walaupun tidak setinggi langit tingkat kesopananku."Apaan? Nyesel gue," kataku serta merta tak bersyukur sama sekali."Mandi sana! Aku udah punya planning selama kita di sini, besuk kita jelajahi bareng-bareng.""Gue tebak, mama kalau tah
"Mas udah dong," pintaku dengan rengekan nggak jelas, tapi uang jelas tidak terdengar manja menurutku sendiri."Five minutes!""Sok! Nggak usah bahasa Inggris!" ketusku yang hanya dibalas kekehan oleh Mas Irza. Lama-lama aku ingin mematikan sambungan telepon kami dan aku lanjut tidur, itu lebih baik daripada aku harus memandangi wajahnya yang sayangnya sibuk memandangi MacBook miliknya. Buang-buang umur."Iya, sedikit lagi," katanya tenang tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun.Pukul sembilan ia menghubungiku lewat video call, tanpa pikir panjang langsung aku terima. Aku kira ia akan menjawab pertanyaanku tadi sore, ternyata hanya untuk menemaninya menghadap laptop dan sesekali kami berbicara. Pukul sepuluh aku mulai bosan membuat lontaran kapan ia selesai selalu keluar dari mulutku."Mas ngapain sih?""Kerja, Gen.""Kerja apa? Sibuk banget ya?""Banget. Kalau kamu sudah jadi istri jangan bosen
Senyumku benar-benar tak bisa kutahan tatkala melihat wajah tampan Mas Irza yang tengah sibuk menatap ponsel, moodku seketika naik setelah hancur karena perjalanan yang terasa panjang ditambah tubuh yang terasa sangat lelah. Akhirnya juga, setelah sekian berminggu-minggu kami tidak bertemu, wajahnya bisa kuraba sekarang jika mau."Hai, Mas!" sapaku lalu duduk di depannya. Ia tersenyum tipis, meletakkan ponselnya di atas meja dan mengalihkan atensinya padaku sepenuhnya. Well, aku suka, sangat suka dengan sikapnya yang satu ini."Hai! Gimana?""Heh? Apanya yang gimana?""Oh, enggak." Aku lihat Mas Irza mendadak salah tingkah, ia tersenyum tipis lalu menggaruk tengkuknya yang aku yakini sedang tidak gatal.Aneh. Tapi ya sudahlah, mungkin Mas Irza memang benar-benar salah tingkah karena ucapannya yang salah, oh, tunggu .... atau Mas Irza takut ketahuan bahwa ia sedang menyembunyikan sesuatu? Tapi apa? Kurasa itu hanya duga
Sebut saja penyiksa orang lain, itu adalah deskripsi yang paling tepat untuk menggambarkan sikap Abi pagi kali ini yang kenyataannya nggak bisa disebut lazim. Ia, dengan teganya menyeretku pulang dari rumah kakakknya ketika pukul setengah lima pagi, tepat saat adzan subuh berkumandang yang artinya masih dingin-dinginnya.Ya kalau di rumah masih bisa nahan dingin, tapi kalau di jalan pasti terasa sangat dingin dan aku nggak terbiasa begini, sedangkan Abi membawa motor bukan mobil. Maka dari itu aku hanya diam sepanjang perjalanan, mencoba biasa-biasa saja.Jika tidak mau menyiksa, Abi bisa membawaku pulang ketika matahari sudah kelihatan sedikit, mungkin pukul setengah enam.“Ngapain diam? Masih marah karena pelukan tadi malam, Gen?”Tanpa sadar aku berdecak, lalu merapatkan kedua tangan yang terlipat di area dada. Abi masih saja mengingat kejadian tadi malam yang membuatku merasa malu, karena kakaknya Abi selalu menggoda kami den
Jangan lupa, wa Mas kalau sudah dibuka ya!!!Mas akan sangat suka juga, kalau hadiahnya dipakai.Itu adalah secarik kertas kecil yang ada di dalam kardus pemberian darinya. Aku yang usai membacanya hanya mengembuskan napas, lalu mengambil sebuah jam tangan yang ada di dalam kotak.Ketika membaca merk-nya, aku mengernyitkan kening dan mencoba mengingat-ingat sesuatu. Merk jam tangan ini agak asing bagiku sendiri, mungkin karena selera aku dan Samasta sangat berbeda. Saat teringat, aku membulatkan bibir. Ini adalah merk jam tangan yang iklannya pernah aku lihat di Ig. Bisa dibilang jam outdoor, karena setahuku merk-nya lebih condong untuk produksi kebutuhan outdoor, semacam alat pendakian.Ah, ini pasti mahal. Tapi apa pedulinya aku bahwa ini mahal atau tidak. Namun wajar juga kalau Samasta memberiku barang mahal, karena papa adalah orang kaya. Setahuku juga Samasta sudah bekerja, tapi aku tak tahu ia bekerja apa.
Genna : Apa sih inti pembicaraan lo tentang hubungan gue?Genna : Yang bahkan nggak cukup satu hari lo bahas, Bi.Abi menjadi orang yang membuatku tidak bisa tidur kembali malam ini hanya karena ucapannya tadi malam saat mengantarkanku pulang dari rumah papa. Bodoh amat bisa digunakan jalan untuk menyikapi ucapannya, tapi untuk malam ini aku benar-benar nggak bisa bodoh amat, ketika tak sengaja terbangun pukul tiga pagi lalu mendadak kepikiran ucapannya tersebut.Aku yang benar-benar bodoh karena mau-mau saja memikirkan, atau ucapannya memang membuat siapapun itu kepikiran hingga membuat berpikir sewaktu-waktu. Jadi kapok ngobrol serius dengan Abi.Sekarang aku memilih ke dapur untuk memasak mie instan, membuat segelas kopi lalu menikmatinya pada dini hari begini. Mungkin ini adalah faktor makan malam yang sedikit di rumah papa, serta terbangun mendadak tapi tak bisa tidur kembali. Apalagi aku sedang kepikiran sesuatu tentang papa dan