Share

Pemaksa

Minggu pagi, sosok Mas Irza sudah mengetuk pintu kamarku tanpa konfirmasi via W******p terlebih dahulu. Awalnya aku kaget, tapi akhirnya tersenyum karena orang yang dikangenin bisa muncul di depan mata.

"Kebiasaan, makan siang baru bangun," katanya sambil menyibak tirai, lalu membuka jendela kamar. Aku yang dibully begitu, hanya menyengir tanpa tahu malu, padahal penampilan sangatlah alakadarnya. Celana training, kaos oblong, rambut masih urak-urakan, dan wajah nggak ada cantik-cantiknya sama sekali.

"Enggak tiap hari," balasku santai, seraya merapikan rambut.

Lagipula, perkataan Mas Irza itu hoax belaka. ketika weekend, aku nggak selalu tidur sampai siang, jikapun tidur sampai siang nggak akan molor sampai waktu makan siang. Paling mentok hanya sampai pukul delapan. Kalau sedang rajin ya, pukul lima sudah bangun seperti hari biasanya.

"Tapi tiap weekend," bantahnya tak mau kalah denganku. Mas Irza geleng-geleng kepala sambil melihatku yang tak kunjung beranjak dari kasur, lalu duduk di kursi dengan santai, seperti outfitnya hari ini yang terlihat santai sekali.

"Enggak lah. Nggak ada jadwal pagi hari aja. Lagian ke rumah Mas juga masih nanti. Tapi kalau udah ada Mas di sini ya, aku makin sellow," jelasku.

Setelah kemarin Mas Irza mendiamkanku tanpa kejelasan, kini ia kembali seperti manusia normal lainnya. Tetap berkomunikasi, kadang chatting, kadang telepon untuk curhat satu sama lain, dan kadang Vidio call jika kami sama-sama tidak sibuk.

Namun sebelum ia beralih menjadi manusia pada umumnya, aku harus menjelaskan kembali mengenai tragedi hari Minggu kemarin bersama Abi. Setelah dijelaskan dan berceloteh dengan berbagai bentuk kalimat, Mas Irza akhirnya percaya, lalu bernasihat agar tidak terjadi kesalahpahaman kembali.

"Hari ini mau ngapain?" tanyanya.

"Seperti kata Mas, mau tidur sampai makan siang," balasku dengan niatan ingin menyindir. Yang disindir, ternyata sadar juga, ia tersenyum tipis masih dengan menatapku. "Tapi kalau udah ada Mas, aku nggak tahu mau ngapain."

"Mandi sana! Nggak malu sama Mas, yang udah rapi tapi kamu belum mandi?"

"Ngapain? Sekarang atau entaran, Mas bakalan cium bau aku yang baru bangun tidur. Jadi, anggap aja simulasi kehidupan pernikahan, Mas! Ya nggak?" Tanpa tahu malu, aku berkata seperti itu yang membuat Mas Irza tersenyum tipis dan geleng-geleng kepala, terlihat seperti orang yang ingin mengakui kebenaran perkataanku, namun gengsi sehingga hanya diam saja.

Sikap Mas Irza yang begitu, selalu saja membuatku gemash, tapi juga kesal karena cuek, nggak ada humorisnya sama sekali. Tapi ya sudahlah, karena itu memang sifatnya dari dulu, dan aku tak bisa merubahnya.

Dulu aku sempat protes, kenapa dia nggak humoris seperti lelaki pada umumnya yang dekat denganku. Kenapa dia tidak bisa membuatku tertawa dengan candaannya seperti pria lain.  Dan ia hanya bilang, "Mas beda, nggak bisa disamakan." Aku hanya bisa memaklumi, dan kemakluman tersebut harus dilakukan hingga sampai kapanpun itu, walaupun kadang aku sebal sendiri.

"Mandi! Mas tunggu di luar," katanya lalu beranjak dari kursi. Aku kira, dia akan keluar kamar lalu menutup pintu, namun yang ada ia malah mendekat. Reflek, aku menaikkan alis tanda tanya. "Kenapa diam?" Aku semakin menatapnya dengan tanda tanya besar, sambil mengerutkan kening.

"Mas ngapain gitu?"

"Simulasinya jangan nanggung. Ternyata kamu sedikit wangi juga kalau bangun tidur," ucapnya membuatku tak paham apa maksudnya setelah ia menghirup rambutku sebentar. Mendadak, tangannya yang menggantung ke bawah dudah ada di atas dahiku, lalu turun kembali. Aneh. Aku melihat orang aneh sepagi ini.

Saat ia berjalan, dengan cepat aku mencekal tangannya hingga langkahnya terhenti. "Apa?"

"Mau usap dahi? Boleh kali. Jangan grogi amat lah!" ledekku, lalu mengambil tangannya dan menaruhnya di atas kepalaku.

"Nggak. Kamu sok tahu."

"Ya udah, sana! Sana!" usirku seraya melepaskan cekakan tangannya.

"Kamu marah?" tanyanya ketika aku mulai melangkah menuju kamar mandi.

"Nggak. Mas sok tahu," balasku tanpa menatap mukanya, dengan kalimat sama persis ucapannya beberapa detik yang lalu.

***

Pukul dua belas siang, Mas Irza mengajakku pergi keluar rumah, tentunya dengan seijin Mama. Saat aku tanya pergi ke mana, bilangnya anterin beli ponsel baru. Ya sudah, aku hanya memakai pakaian santai, nggak terlalu formal tapi nggak terlalu santai amat.

Tapi, setelah ia mendapatkan ponsel sesuai incarannya, ia memintaku untuk singgah di rumahnya. Ketika sampai di rumahnya, ia memintaku kembali untuk memasakkan makan malam. Aku menurut saja, bahkan mau memasak makanan sesuai request darinya, yakni soto ayam.

Namun, ketika kami sudah menikmati makanan di meja makan, ia meminta satu hal lagi padaku, dan itu ingin membuatku marah padanya. Jika saja permintaannya sudah dikatakan sebelum kami pergi dari rumahku, dengan mudahnya aku bilang iya. Namun, ia bilang baru sekarang ini, sedangkan permintaannya harus dituruti beberapa jam nanti. Bukan hal yang sulit untuk aku turuti, tapi persiapan yang ribet membuatku mudah untuk menolak.

Hal yang ia minta adalah, menemaninya pergi ke kondangan malam nanti.

"Mas kenapa nggak bilang sebelum pergi dari rumahku tadi sih?" tanyaku frustasi lalu meneguk air putih.

"Maaf, Gen. Mas baru ingat tadi," jawabnya santai, tanpa memikirkan raut wajahku yang ingin menjambak rambutnya seperti Minggu lalu hingga rontok.

Andai, dia bukan pacar yang umurnya lebih tau dariku, atau ia hanya teman biasa seperti Abi dan yang lainnya, maka aku akan meninjunya atau menjambak rambutnya untuk melampiaskan kekesalanku.

"Biasanya kamu langsung siap tanpa marah-marah kalau Mas minta anterin kondangan." Aku menatapnya malas, lalu menghabiskan sisa-sisa makanan di piring.

Aku rasa, Mas Irza yang sudah berpacaran denganku lebih dari satu tahun, tak paham mengenai kebiasaanku saat akan pergi kondangan. Nyatanya, ia hanya bilang begitu. Padahal, ketika aku akan pergi ke kondangan ataupun menemaninya, butuh baju dan butuh lainnya untuk memperbaiki penampilan agar tidak jomplang dengan penampilannya, agar tidak insecure ketika bersanding dengan ketampanannya, agar tidak malu-maluin si dia.

"Aku mana ada baju untuk pergi? Mas kasih taunya telat," jujurku sambil menatapnya tanpa berkedip, dengan kedua telapak tangan menangkup pipi.

"Solusinya? Biasanya kamu selalu punya solusi," bantahnya lagi, yang aku simpulkan bahwa aku harus ikut ke undangan pernikahan temannya.

Aku sebenarnya punya solusi. Beli baju untuk kondangan, tapi aku tak bawa uang banyak, hanya yang cash yang nggak sampai 200 ribu, sementara ATM ketinggalan di rumah. Ada solusi lain, minta dibelikan baju olehnya, tapi sungkan untuk meminta dibelikan baju, walaupun Mas Irza itu dompetnya tebal, tetap saja sungkan dan malu untuk meminta. Dikode-kode agar ia inisiatif membelikan baju, harus nunggu satu tahun agar ia memahami kode.

Tapi, ada satu cara lain, dimana cari ini sangat menguntungkan bagiku, memberikan kenyamanan untukku sendiri. "Aku ngikut temenin Mas, tapi di mobil doang. Itu solusinya, Mas."

Ia malah mengernyitkan dahi, lalu geleng-geleng kepala. "Enggak-enggak. Kamu mau, Mas dikira nggak punya pasangan, terus pasangan kamu ini digodain perempuan lain?"

Membayangkan ucapan Mas Irza, aku seperti orang yang melihat pasangannya mesra dengan wanita lain, lalu aku merasa cemburu. Kalau Mas Irza bukan pria yang aku sukai, sudah sejak dulu aku membiarkan ia diseret oleh wanita lain. Sayangnya, aku suka dia, aku suka wajahnya, aku suka caranya dalam hal apapun yang beda dengan teman pria.

Pasalnya, cari pasangan yang modelannya seperti Mas Irza itu susah, khusus untuk diriku yang bobrok gini. Ganteng, tajir, mapan, sopan, orang tua juga suka sama dia. Kalau bisa, jangan sampai dilepas selamanya. Jadi, aku nggak siap kalah kehilangan Mas Irza.

"Tinggal sikap Mas kan? Aku percaya sama Mas. Mas kan orangnya sombong, pasti cewek-cewek pada mundur kalau mau godain Mas."

"Mas maunya ada gandengan," kilahnya lagi.

Aku menghembuskan napas kasar, masih dengan menatapnya. Namun sekarang, kedua tangan tidak lagi kugunakan untuk menangkup pipi, melainkan sebagai tumpuan dagu di atas meja. "Aku pakai ginian doang kalau begitu," balasku enjoy.

Mas Irza menyipitkan mata, lalu tersenyum tipis. Padahal kalau ia menampakkan senyuman lebar atau bahkan tertawa hingga matanya menyipit dan hidungnya berkerut, kadar ketampanannya akan bertambah, dan hal tersebut membuatku makin tergila-gila padanya. Tapi sayang, ia jarang tertawa hingga menyipitkan mata walau di depan pacarnya sendiri.

"Mas antar beli baju. Tapi kamu temenin Mas kondangan," katanya memberi solusi.

"Aku nggak bawa ua...."

"Mas beliin, Genna!" Ia memotong ucapanku dengan suara sedikit sebal. Aku yang mendengarnya begitu, tertawa namun terdiam ketika Mas Irza menyipitkan matanya.

"Nggak ah, Mas. Mas pergi sendiri aja, soalnya aku harus pulang."

"Sama siapa?"

"Taxi online masih ada, kang ojol juga, minta jemput teman pasti pada..."

"Siapa? Si Abimanyu gabetan kamu kemarin itu?" Entah kenapa, tiap kali aku tak sengaja mengucap teman cowok, Mas Irza selalu marah dengan cara memotong ucapanku. Padahal biasanya, ia santai saja ketika aku makan siang bersama teman cowok. Tapi jika teman cowok itu Abi, reaksi Mas Irza beda.

"Mas kenapa, kalau sama Abi langsung bahaya? Padahal kalau teman cowokku yang lain, santai aja. ... Seperti saat Mas tahu, aku makan bareng cowok waktu dulu."

"Beda Genna. Kamu makan ada teman perempuan, yang kemarin kamu sengaja dan satu pria saja." Ia memberikan alasannya masih dengan menatapku, padahal nasi di piringnya masih tersisa. "Jangan bicara yang lain! Pokoknya malam ini anterin Mas. Habis itu, Mas antar kamu pulang kalau nggak kemalaman."

Seketika, aku merasa resah gelisah mendengar ucapannya yang terakhir. "Kalau kemalaman?"

"Tidur di kamar Mas. Mas di kamar tamu."

"Besuk aku ngajar kali, Mas."

"Pagi banget, Mas anterin."

"Mas selalu gitu, nggak pernah nggak gitu," rengekku menyimpulkan sikapnya. Dari awal aku mengenalnya, dia memang manusia yang tipe-tipe pemaksa, sekalipun aku mempunyai seribu satu alasan, pasti dia punya beragam kalimat untuk mematahkan alasanku. Kecuali, kalau alasannku benar-benar tidak bisa dipatahkan olehnya, dan hatinya sedang baik.

Entahlah, dari dulu aku tahu sikapnya begitu, tapi aku sendiri malah suka padanya walaupun sikapnya yang sedikit pemaksa membuatku uring-uringan.

"Kalau nggak gitu, bukan Mas kan?" Aku hanya diam, tak merespon apapun. Hingga beberapa saat kemudian, ia menatapku dengan raut muka tanda tanya. "Marah sama Mas?" Kemudian, ia tersenyum lebar.

Aku yang sedari tadi berhasil menatapnya datar, kini tak bisa menahan senyuman hanya karena ia tersenyum padaku. Tanpa tahu malu, aku ikut tersenyum sambil memegang beberapa jarinya yang bisa kuraih. "Aku mana bisa bisa marah, sama Mas," jujurku to the point.

"Mas tahu."

"Tahu apa?" Yang ditanya malah menaikkan alis. "Gak jelas!"

***

"Anterin pulang ya, Mas!"

"Mas suka saat kamu pakai kebaya, anggun dan cantik." Aku melihatnya dengan pandangan tak paham, merasa aneh dengan sikapnya malam ini. Juga obrolan kami yang nggak nyambung sama sekali. Benar-benar aneh.

"Mas nggak nyambung diajak ngobrol!" keluhku.

"Mas bilang jujur." Pasti, Mas Irza sedang tidak baik-baik saja, karena jarang sekali ia memujiku tentang penampilan. Jika pacar orang lain sering memuji pasangannya cantik, ayu, anggun, menggoda iman, mantu idaman, namun Mas Irza beda.

Bahkan ketika aku berkali-kali menemaninya pergi ke acara pernikahan, atau sekedar jalan berdua dan di mana penampilanku itu sedang cetar membahana dari sudut pandangku, Mas Irza tidak memuji cantik. Maka dari itu, aku sangat heran dengan pujiannya kali ini.

"Perasaan, aku pernah pakai ginian berkali-kali sama Mas. Tapi kenapa Mas baru bilang aku cantik saat ini doang?"

Tak ada jawaban, Mas Irza hanya memberikan senyuman tipis padaku. "Kamu kalau Mas puji terus, bisa besar kepala."

Pada akhirnya, Mas Irza tidak benar-benar memuji. Maksudnya, setelah aku diterbangkan ke tempat langit yang paling tinggi, ia langsung menerjunkan perasaanku secara bebas tanpa aba-aba terlebih dahulu. Tahu gitu begini akhirannya, aku lebih memilih tidak mendengar pujiannya.

"Terserah Mas lah!" Aku melepas safety belt, berniat turun dari dalam mobil. Tapi, tangan Mas Irza sudah melepaskan safety belt sebelum aku melepasnya. "Ngapain?"

"Marah sama Mas?"

"Itu terus ngomongnya. Emang kalau aku gini, artinya marah ya, Mas? Ya enggak lah. Kalau aku marah, aku pasti ngediemin Mas," jelasku agar ia tidak selalu bertanya seperti tadi.

"Kamu selalu cantik, dengan cara kamu sendiri," katanya santai, lalu tersenyum, dengan jarak wajah kami dekat, bahkan bisa dibilang sangat dekat. Dari jarak kami, aku bisa melihat' wajah Mas Irza secara detail untuk pertama kalinya secara real life, karena biasanya aku hanya melihat wajahnya melalui ponsel.

"Please, Mas, aku nggak paham sama yang lagi diomongin sekarang ini. Aku mau nge-charge ponsel ajalah." Aku mendorong dada Mas Irza agar jarak kami bisa dibilang normal.

"Ya udah, berarti nginap sini kan?" Yang awalnya kakiku sudah bersiap turun dari mobil, gagal begitu saja mendengar ucapannya. Tapi, setelahnya aku kembali keluar dari mobil tanpa mengindahkan ucapannya.

Sebenarnya aku ingin menjawab 'enggak', tapi tidak jadi karena aku tahu Mas Irza akan menyanggah lagi, dan itu hanya akan memperpanjang waktu kami di dalam mobil.

Sampai di ruang tengah, aku mencari keberadaan charger Mas Irza disekitar televisi, karena biasanya Mas Irza sering menaruhnya di sini. Namun, sudah berkali-kali mencari aku tidak menemukannya. Hingga akhirnya, Mas Irza sendiri yang menyodorkan charger miliknya padaku, "Cari ini kan?" Aku mengangguk, lalu menerimanya.

Sebelum benar-benar sekarat, aku segera mencolokkan adaptor dan menyambungkan kabel dengan ponsel. Lalu duduk tenang di sofa, lebih tepatnya di samping Mas Irza.

"Aku nggak mungkin nginap di sini. Selain karena kita masih belum apa-apa, Mama juga nggak kasih ijin," tuturku halus agar Mas Irza mendengar opiniku kali ini, berharap ia bersedia mengantarku pulang.

"Tante sudah kasih ijin."

Aku sedikit kaget, tapi detik berikutnya mencoba biasa-biasa saja karena memang begitu adanya. Mama sudah tak asing lagi dengan Mas Irza, malah lebih menganggap bahwa Mas Irza sudah menjadi anaknya. Tak heran, apabila ia dengan mudah mendapatkan ijin dari Mama.

"Aku yang nggak mau."

"Mas lelah banget, seminggu ini Mas sibuk. Kamu lihat kan, kantung mata Mas yang hitam ini?"

Aku menyadari itu, dan aku tahu fakta bahwa ia sibuk akhir-akhir ini, makanya ia sedikit abai denganku beberapa hari yang lalu. Dan hari Minggu ini, kami full time berdua.

"Aku bisa bilang iya. Tapi di rumah ini hanya kita berdua Mas, Mas tahu kan ini nggak baik? Kecuali ada orang lain."

Rumah ini rumah pribadinya Mas Irza. Tentang Kika yang pernah bertemu denganku tempo hari yang lalu di rumah ini, mungkin ia sedang menginap di rumah kakaknya selama beberapa hari, lalu setelahnya pulang ke rumah orang tuanya.

"Kika tidur di kamarnya. Kita bertiga."

Sampai sini, aku tahu dan paham bila Mas Irza tidak mau dibantah. Semua penuturanku beberapa menit yang lalu sia-sia, dan aku tidak bisa berbuat lebih selain menurut padanya. Lagipula jika aku nekat pulang sendiri, mungkin akan membahayakan diriku karena tidak bawa kendaraan sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status