Abi benar, penyesalan akan datang jika tidak berkunjung ke sini. Pemandangan kota yang digemerlapi lampu-lampu terpampang jelas memanjakan mata, suasana bukit juga benar-benar terasa, dan .... pokoknya benar-benar bahagia bila berkunjung ke sini.
Bisa jadi melihat pemandangan lampu gemerlap seperti ini dari gedung tinggi, tapi ya tetap saja beda dari suasana dan rasa, yang pastinya akan mengurangi nilai. Well, nggak menyesal menempuh perjalanan lebih dari 20 menit dari Candi Ratu Boko, mampir minum di pinggir jalan, ibadah di musholla, mandi dan istirahat di SPBU. Semuanya terbayar lunas bahkan lebih.
"Bagus kan?" Aku mengangguk, menanggapi pertanyaan Abi yang duduk di depanku. "Gen," panggilnya.
Seraya tersenyum, aku menaikkan alis sebelah. Bukan karena wajah Abi yang menjadi sumber kebahagiaan, tapi suasana dan pemandangan.
"Bulan ini aku bertambah umur," katanya membuatku spontan untuk mengingat-ingat bukan kelahirannya, tapi sa
Entah angin apa yang membuatku tergiur untuk mencari gara-gara dengan Mas Irza. Pukul dua belas malam, ia masih online di aplikasi chatting. Tiba-tiba aku mengirimkan fotoku dan Abi, berdiri di depan pagar dengan latar belakang Bukit Bintang. Kini aku hanya perlu menunggu balasan darinya.Mas Irza : Bahagia banget kamu. Mas Irza : Sama seperti kemarin, selamat liburan.Aku mengerutkan kening, seolah-olah tak percaya dengan balasan yang ia kirimkan, seakan-akan ingin mengelak bahwa itu bukan balasan darinya."Kenapa?" tanya Abi yang mungkin melihat perubahan wajahku."Nggak kenapa-kenapa," balasku santai."Santai kali, Gen. Bukannya kamu malah bebas menggunakan ruang untuk liburan kali ini ya, Gen?" sahut Abu setelah beberapa saat.Eh? Ternyata Abi melihat room chat Mas Irza membuatnya ia paham akan kegelisahanku barusan."Cemburunya hilang, gue ngerasa ada hilang juga. Sebenarnya gue benci sama pikiran gue yang begini, tapi di s
Abimanyu : Jalan ya! Mandi aja! Aku jemput. Pesan singkat dari Abi tak aku hiraukan, karena ia memang tak pernah serius dengan ucapannya. Paling mentok, itu cuman lagaknya doang sok-sokan ngajak jalan di weekend begini, karena setiap ia mengajakku jalan, hanya berakhir chat yang nggak kejadian di realita. Jadi, saat ia sudah mengirimkan pesan begitu, aku masih duduk santai di ruang tamu. Tak kunjung mandi walaupun sudah pukul 9 pagi. Dan masih memakai celana pendek serta kaos oversize. Abimanyu : Aku udah di depan rumah kamu. Keluar ya! Setelah beberapa menit, pesan dari Abi kembali muncul di layar notifikasi usai aku mendengar suara motor matic berhenti di depan rumah yang aku kira abang-abang kurir. Genna : Bohong Lo! Lo kan suka bohong. Pesanku untuk Abi hanya di baca, tanpa ia balas. Jangankan membalas, ia saja tidak mengetik untuk membalas pesanku. "Permisi!" Ketukan pintu beserta tubuh tinggi Abi yang berdiri di amb
Minggu sore, aku harus merelakan waktu me time dengan senja yang ala-ala begitu, karena harus datang ke rumah Mas Irza untuk meluruskan kesalahpahaman tentang kejadian tadi pagi di tempat lontong sayur. Sejujurnya aku malas untuk berdiri di sini, selain jarak waktu tempuh perjalanan yang jauh, sifat Mas Irza yang benar-benar cuek ketika marah juga menjadi alasan mendasar. Tapi, aku harus bagaimana lagi kecuali mengambil langkah seperti ini? Dijelaskan lewat telepon, pasti Mas Irza tak akan percaya. Jangankan percaya, dia mengangkat teleponku saja berlagak orang penting yang sok sibuk. "Permisi!" kataku lantang lalu disusul dengan ketukan pintu tiga kali. Tak ada respon dari dalam, aku kembali mengulang dan setelahnya disusul balasan dari dalam. "Kakak!" Usai membuka pintu, Kika langsung memelukku erat-erat hingga membuatku kaget karena mendapat serangan tiba-tiba. "Aku kangen banget tahu, sama Kakak. Tapi kenapa Kakak baru ke sini sekarang?" ujarnya membuat s
Usahaku datang ke rumah Mas Irza tidak membuahkan hasil, yang ada malah aku rugi sendiri karena sudah datang jauh-jauh ke rumahnya hanya untuk buang waktu dan energi. Alasan tidak membuahkan hasil, Mas Irza masih marah denganku, masih mendiamkanku, bahkan kita seperti orang asing. Sekarang, aku bisa apa kalau sudah begini?Bahkan, saat kemarin sore, Mas Irza membiarkanku ketiduran hingga pukul enam sore nyaris setengah tujuh, lebih tepatnya selesai adzan magrib. Ketika aku bangun, aku lihat Mas Irza tengah memainkan ponsel. Yang ingin membuatku marah, ia selesai beribadah tapi tak membangunkanku. Tapi ya, aku mau marah gimana?Akhirnya, selesai numpang beribadah di rumahnya, aku memilih pulang tanpa melanjutkan obrolan kembali, karena Mas Irza malah sibuk kembali dengan laptopnya.Dan hari ini? Sudah tiga hari kami tidak berkomunikasi. Mulai Minggu, Senin, lalu Selasa. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi belum ada respon sama sekali. Ya sudahlah, aku tak mau
Minggu pagi, sosok Mas Irza sudah mengetuk pintu kamarku tanpa konfirmasi via WhatsApp terlebih dahulu. Awalnya aku kaget, tapi akhirnya tersenyum karena orang yang dikangenin bisa muncul di depan mata."Kebiasaan, makan siang baru bangun," katanya sambil menyibak tirai, lalu membuka jendela kamar. Aku yang dibully begitu, hanya menyengir tanpa tahu malu, padahal penampilan sangatlah alakadarnya. Celana training, kaos oblong, rambut masih urak-urakan, dan wajah nggak ada cantik-cantiknya sama sekali."Enggak tiap hari," balasku santai, seraya merapikan rambut.Lagipula, perkataan Mas Irza itu hoax belaka. ketika weekend, aku nggak selalu tidur sampai siang, jikapun tidur sampai siang nggak akan molor sampai waktu makan siang. Paling mentok hanya sampai pukul delapan. Kalau sedang rajin ya, pukul lima sudah bangun seperti hari biasanya."Tapi tiap weekend," bantahnya tak mau kalah denganku. Mas Irza geleng-geleng kepala sambil melihatku yang tak kunjung be
Ternyata, doa yang selama ini aku panjatkan tiap kali melakukan kewajiban kepada Tuhan, tidak terkabulkan oleh-Nya. Tapi, aku tak boleh terlalu sedih, karena aku harus mengingat perkataan orang yang pernah bilang padaku, "Kamu boleh berdoa, kamu boleh berusaha, tapi ada Tuhan yang menentukan takdir kamu, dan takdir untuk kamu pasti baik, walaupun di mata kamu nggak baik."Jadi, mungkin ini memang takdir Tuhan untukku yang tersimpan seribu kebaikan, walaupun aku sedih melihat dan menjalani takdir ini. Dan kesedihan yang aku alami adalah, Papa memberiku undangan pernikahannya Minggu depan, ia datang bersama calon istrinya. Secara tidak langsung, Papa juga mengenalkan ibu baru untukku. Ya sekalipun, aku masih ikut sama Mama sampai kapan pun."Papa minta, kamu datang di hari bahagianya Papa ya, Gen. Nggak mungkin kan, Papa bahagia tapi kamu nggak datang? Biar Papa dan kamu bahagia bersama juga."Aku tersenyum kecil, tapi dalam hati misuh-misuh. Papa bila
Aku menarik napas pelan dan dalam-dalam, lalu menghembuskannya samar-samar, berharap air mata yang luruh tak semakin banyak. Tiba-tiba, Abi menyodorkan sebuah mug padaku. "Biar kamu agak tenang," kata Abi.Aku menggelengkan kepala, Abi hanya mengangguk dan menaruhnya di atas meja. Mendadak, Abi duduk tepat di depanku, menatapku lekat-lekat dengan pandangan matanya yang teduh. "Maaf, gue malah nangis gini," ucapku pelan dan terdengar serak.Abimanyu mengangguk pelan, seolah-olah ia memberiku ruang banyak untuk tetap menangis di sini. "Kok lo biasa aja sih, lihat gue nangis gini." Aku mencoba terkekeh menertawakan diriku sendiri yang tak tahu malu begini. Karena gemash bercampur kesal, aku mengambil tangan Abi, mengangkatnya dan menarik kemejanya yang di gulung sampai siku. "Nggak ada tissue," ujarku seraya mengelap sudut mata dengan lengan kemajanya tadi."Nggak papa." Abi membiarkanku melakukan aktifitas sesuka hati. Tentu saja, aku melanjutkan aksi
Mas Irza : Bagaimana pertemuan kamu dengan papa? Cerita ke Mas lewat telepon, atau ketemuan? Membacanya saja, aku sudah tersenyum lebar, apalagi saat mendengarnya langsung, mungkin aku bereaksi lebih dari sekedar tersenyum. Segera saja, aku mengetikkan balasan. Tapi, melihat jam di sudut atas ponsel membuatku urung melakukannya. Dengan tergesa, aku mengambil tas ransel yang sudah kumasuki laptop, buku dan berkas lain-lainnya. Lalu, asal mengambil kaos kaki yang ada di laci almari, memakainya lalu menarik sepatu yang ada di rak. Untungnya, motor sudah lebih dulu ku keluarkan dari bagasi rumah, tinggal menggunakannya. Tapi, usai menggunakan helm dengan baik dan benar, getaran ponsel di dalam saku membuatku berdecak karena telah menganggu aktivitasku pagi ini yang amat sangat tergesa. "Pagi. Hallo?" kataku sopan setelah menerima panggilan ponsel tanpa melihat nama yang tertera di layar ponsel terlebih dahulu. "Pagi, Gen. Aku udah di per