Teman tak selamanya baik, tak selamanya tulus dan tak selamanya mendukung. Abimanyu datang kembali di kehidupan Genna setelah berpisah usai kelulusan SMA, di saat Genna sudah menjalin asmara dengan Irza. Abi tahu itu, tapi ia tak bisa merelakan perasaan yang ia pendam sejak SMA pada Genna. Ia selalu mencari cara agar bisa menyatakan perasaan dan berharap disambut baik, selalu memanfaatkan keadaan saat Genna jauh dengan Irza dan saat Genna terpuruk karena keluarga serta asmaranya. Karena itu, Genna kehilangan sosok pria idamannya. Apalagi saat ia tahu bahwa Abi punya rencana buruk sedari dulu, ia langsung memutus pertemanan secara sepihak. Genna hanya bisa menerima keadaan, menyerah, dan menjalani hidupnya yang seolah-olah tak pernah sesuai keinginannya.
Lihat lebih banyakAbimanyu : Jalan ya! Mandi aja! Aku jemput.
Pesan singkat dari Abi tak aku hiraukan, karena ia memang tak pernah serius dengan ucapannya. Paling mentok, itu cuman lagaknya doang sok-sokan ngajak jalan di weekend begini, karena setiap ia mengajakku jalan, hanya berakhir chat yang nggak kejadian di realita.
Jadi, saat ia sudah mengirimkan pesan begitu, aku masih duduk santai di ruang tamu. Tak kunjung mandi walaupun sudah pukul 9 pagi. Dan masih memakai celana pendek serta kaos oversize.
Abimanyu : Aku udah di depan rumah kamu. Keluar ya!
Setelah beberapa menit, pesan dari Abi kembali muncul di layar notifikasi usai aku mendengar suara motor matic berhenti di depan rumah yang aku kira abang-abang kurir.
Genna : Bohong Lo! Lo kan suka bohong.
Pesanku untuk Abi hanya di baca, tanpa ia balas. Jangankan membalas, ia saja tidak mengetik untuk membalas pesanku.
"Permisi!" Ketukan pintu beserta tubuh tinggi Abi yang berdiri di ambang pintu, menjadi suatu yang tak ingin aku akui kebenarannya. Tapi kenyataannya, itu memang nyata. Abi benar-benar ada di sini. "Hai, Gen!" sapanya kemudian sambil melambaikan tangan.
"Hah?" balasku lalu menganga, seolah-olah tak percaya jika Abi benar-benar ada di sini. Dan Abi, malah tertawa. Mungkin menertawakan keadaanku sekarang. "Hai, Bi. Masuk aja!"
"Tante ke mana, Gen? Ada di rumah kan?" tanyanya setelah duduk tepat di seberang.
Dengan cepat, aku mengambil bantal sofa untuk menutupi paha. Lalu, duduk bersila dan bersikap tenang menanggapi Abi. Jika aku tahu Abi benar-benar akan datang, mungkin aku akan mengganti celana pendekku dengan celana panjang. Alasannya, sedikit malu jika belum mandi dan memakai celana sependek ini.
"Pergi. Ngapain lo ke sini?"
"Ngajakin kamu jalan, ke ... Terserah kamu aja deh. Aku ngikut kamu ke mana aja," jelasnya dengan ucapan yang terjeda selama beberapa detik.
"Males ah. Gue belum mandi," jujurku.
"Tinggal mandi, Gen. Aku tungguin." Aku hanya memandangnya sekilas, lalu mengecek W******p, barang kali ada kabar dari seseorang yang sedari tadi aku tunggu kabarnya.
Andai saja, yang berucap tadi adalah Mas Irza, andai juga yang mengajakku kencan di weekend kali ini adalah mas Irza, maka aku tak perlu malas-malasan seperti ini. Setelah mendapatkan ajakan untuk kencan, pasti aku sudah mandi, wangi, dan memilih outfit yang pas dan sebisa mungkin serasi dengan Mas Irza.
Tapi, jangankan si Mas Irza ngajakin kencan, dari kemarin malam saja tidak ada kabar darinya. Dia tidak mengirimi pesan padaku atau bahkan main ke rumah. Padahal biasanya, saat malam Minggu kami sama-sama meluangkan waktu untuk pacar.
"Gen! Ayo! Aku udah rapi, masak kamu yang perawan masih kucel?" Perkataan Abu benar, itu mengapa aku tak berhak untuk marah. Maka, yang aku lakukan hanyalah tersenyum dan mengangguk.
"Kenapa tiba-tiba ngajakin jalan?" todongku setelah meletakkan ponsel di atas meja. Sepertinya, tangan yang selalu mengecek W******p tidak ada gunanya lagi. Karena tidak ada kabar kehidupan dari Mas Irza, jadi ngapain aku mesti buka W******p tiap menit? Alasannya juga, ada tamu yang mesti aku ajakin ngobrol.
"Salah ya, Gen? Aku cuman kepikiran kamu aja, terus pengen traktir kamu makan siang sekaligus jalan."
Alasan Abi mengajak makan siang sedikit tak aku terima. Ia sudah menghubungiku berkali-kali untuk sekedar makan malam bersama dan keluar, tapi selalu ia batalkan dengan beragam alasan, dan baru kali ia benar-benar menepati ajakannya. Jadi, mana mungkin tiba-tiba kepikiran ngajak jalan, jika sejak kemarin sudah melakukan hal yang sama?
"Gih mandi, aku bakalan traktir kami sepuasnya!"
"Udah jadi PNS nih, langsung traktir gue?" godaku, Abi hanya menyengir tak jelas.
"Mandi sana!" Abi mengusirku dari ruang tamuku sendiri.
"Gue udah bilang, Bi. Males keluar rumah," kataku masih bersikukuh.
Mendadak, Abi berdiri dari tempat duduknya lalu mengambil bantal uang ada di atas pahaku. "Ngapain lo?" tanyaku sedikit kebingungan.
Ia menolehkan kepalanya menuju dalam rumah, dan tangan satunya ia ulurkan di depanku. "Mandi gih! Jangan malas. Aku nggak mau ditolak kali ini." Pada akhirnya, Abi masih tetap memaksakan kehendaknya.
"Kok maksa?"
Abi memaksaku berdiri dengan cara memegang kedua bahuku, setelah aku berdiri ia merangkul pundakku sambil berjalan menuju dalam rumah. "Mandi, ganti baju. Kalau nggak mau mandi, ganti baju aja." Ia membuka pintu kamarku, lalu ikut masuk bersamaan denganku. Karena sudah di dalam kamar, dan aku tak suka dengan posisi ini, aku meninju punggungnya kuat-kuat. "Sakit, Genna."
"Iya-iya! Gue mandi. Sana, sana! Ngapain masih di dalam." Abi masih seperti dulu, suka memaksa orang lain, terlebih padaku yang menurutnya itu untuk kebaikanku sendiri.
"Iya Genna! Aku keluar," ucapnya dan berjalan keluar kamar.
Setelah satu langkah berhasil Abi jangkau, aku meraih gagang pintu hendak mengunci kamar. "Bi! Gue lupa, belum tawarin lo minum. Bikin sendiri ya, atau kalau mau yang instan, buka aja kulkas!"
"Oke! Thanks, Gen!"
***
"Gue pengen sarapan, Bi. Tapi kalau sarapan, kasihan lo harus jadi saksi gue makan tanpa ikut makan."
Aku tahu, Abi itu orang yang disiplin sedari dini. Perihal sarapan, itu adalah hal wajib dalam kehidupannya sehari-hari. Ibaratnya seperti ibadah wajib kepada Tuhan. Maka dari itu, pukul sepuluh siang pasti ia tak akan sarapan karena sudah sarapan atau bahkan makan siang sebelum waktunya.
Sangking disiplinnya, ia menerapkan kedisiplinan itu kepada orang lain. Aku pernah tidak sarapan ketika masih SMP dahulu, makan malam juga terlewatkan, menyebabkan diriku lemas dan pingsan ketika upacara. Entah bagaimana ceritanya, saat aku sudah sadar dan selesai minum teh, Abi langsung memarahiku tanpa jeda, membuatku sebal sendiri akan sikapnya yang sok-sok begitu.
Aku tahu, kalau dia membagikan pengetahuan tentang hidup sehat kepada orang lain, tapi kalau share ilmu pakai nada ngomel, marah-marah, seolah-olah itu adalah dosa besar, siapapun itu pasti akan merasa tidak nyaman.
"Kan, udah tua masih dibiasain nggak sarapan. Ngapain nggak sarapan sih, Gen?" Aku menatap wajahnya dari spion lalu memutar bola mata malas. "Sekarang, kamu mau sarapan di resto, warteg, atau rumah makan?"
"Depan nanti ada SPBU, terus ke barat dikit ada pertigaan, nanti masuk gang, ada lontong pecel, belok deh. Anterin ya, Bi." Aku menjelaskan mengenai tempat makan yang paling cocok untuk pagi ini, maksudnya siang ini.
Tempatnya murah, rasanya enak, nggak nguras kantong, penjualnya ramah lagi. Ya walaupun sudah nggak muda lagi penjualnya, tapi nggak tua-tua amat. Masalah lokasi, nggak terlalu jauh dan nggak terlalu dekat dari rumah.
"Nggak mau ah, Gen."
Aku melototkan mata sedikit, dan bibirku sedikit menganga. Tanpa sadar, tangan membentuk kepalan dan meninju punggungnya. Sudah tak paham lagi dengan pola pikir Abimanyu. Saat tadi, ia mengomeli diriku karena meninggalkan sarapan, padahal aku tidak sarapan juga karena ia memaksaku pergi. Dan sekarang, dengan mudahnya nggak mau nganter ke tempat makan.
Andai saja Mas Irza yang tahu bahwa aku nggak sarapan, pasti dia suka rela untuk mengantar makanan jika aku minta, tanpa ada upaya untuk menolak terlebih dahulu. Tapi, yang namanya Abi dan Mas Irza jelas berbeda, jadi aku mana boleh membandingkan.
"Iya, iya. Aku antar," katanya pasrah. "Mampir di SPBU dulu ya."
Setelah isi bahan bakar motor milik Abi dengan antrian panjang, kami berdua sudah mendarat di tempat lontong sayur yang aku request tadi. Abi yang sudah sarapan, ternyata ikut memesan satu porsi lontong sayur, dengan alasan ingin menemani makan dan tak ingin ngiler karena lihat aku makan. Ya sudah, aku tak bisa melarang, yang penting ia bayar sendiri.
"Enak juga ya," celetuknya tiba-tiba setelah mencoba bumbu kacang yang rasanya khas banget.
"Bi, lo beneran nggak punya pacar?" Demi apa, aku membalas ucapan Abi dengan pertanyaan yang jelas-jelas jauh dari topik obrolan.
Bukan apa-apa, atau bahkan aku cemburu saat tahu bahwa Abi punya pacar lagi. Itu tidak. Tapi, aku nggak nyaman kalau makan dengan cowok yang sudah punya pacar saat weekend begini. Kalau jadi rekan kerja, atau tidak sengaja bertemu di tempat makan, aku masih nyaman. Tapi dalam hal ini, Abi jelas mengajakku pergi keluar rumah, dan kami bukan saudara. Takutnya, aku dilabrak oleh pacarnya.
"Kenapa nanya itu terus? Mau nyalon jadi pacar aku?" Aku meliriknya dengan tatapan malas, lalu memasukkan sayur bayam ke dalam mulut.
"Takut dikira rebut lo dari pacar lo lah!" jawabku sengak. Mencalonkan diri agar bisa menjadi pacar Abi adalah suatu hal yang mustahil bagiku. Aku bukan tipe orang-orang yang berani jujur masalah perasaan, dan memang aku nggak pernah ada rasa dengan Abi. Jadi ngapain bilang mau jadi pacarnya?
"Masak kamu nggak tahu kalau aku jomblo?"
"Gue nggak pernah ngurusin hidup lo, Bi. Lagian lo kan baru gentayangan akhir-akhir ini, langsung muncul setelah beberapa tahun nggak pernah ketemu. Waktu lo chatting gue, gue nggak percaya kalau itu lo. Gue pikir, lo udah sukses dan ngelupain gue gitu aja."
"Aku belum punya pacar," akunya membuatku sedikit tak percaya.
Abi itu tampan, tinggi, putih tapi nggak putih-putih amat, karena masih putihan aku. Penampilannya sudah lebih dewasa daripada saat dulu. Pokoknya glow up luar biasa dibandingkan saat SMP yang masih gemuk. Jadi, bohong kalau dirinya nggak dideketin sama cewek-cewek cantik. Pastinya, mudah baginya untuk macarin seorang cewek di real life, sambil ghostingin para cewek di W******p.
"Kemarin gue lihat lo jajanin cewek di mall. Ngikutin dia di toko baju."
"Susah ngomong sama kamu. Bawaannya nggak percayaan." Aku tertawa saja mendengar keluh kesahnya tentang diriku. "Yang ada, aku tanya. Kamu udah punya pacar, kenapa santai aja makan sama aku?"
"Bilang aja lo yang maksa," balasku simple. Tapi yang pasti, aku bakalan nggak sesimpel itu jika nanti kepergok Mas Irza ketika posisiku begini.
"Hai Genna!" Saat aku sedang menyuap makanan ke mulut sambil lihat ke bawah, tiba-tiba aku mendengar suara yang selama ini aku rindukan, yang beberapa jam lalu aku nanti kabarnya. "Lagi makan? Sama cowok nih! Gebetan baru, Gen?"
Ketika aku mendongak, benar saja dugaanku. Mas Irza duduk di sampingku dengan raut muka menahan amarah. Tentu, ini membuatku kaku, karena kepergok Mas Pacar sedang makan dengan seorang cowok, dan Mas Irza tidak tahu siapa Abi itu. Mungkin jika dia tahu, dia percaya bahwa aku nggak ngapa-ngapain sama Abi.
"Mas Irza? Hai? Sarapan, Mas, sama teman SMP." Aku mencoba menanggapi dengan santai, padahal dalam hati sudah deg-degan nggak karu-karuan takut Mas Irza marah, biar Mas Irza mengira bahwa aku nggak sedang selingkuh.
Urusan sama Mas Irza saat marah begini, susahnya minta ampun. Bisa berhari-hari, sampai bisa membuatku jengah untuk mempertahankan hubungan. Mas Irza memang orangnya terlihat santai, tapi kalau pasangannya nggak jujur dan aku berbuat salah seperti jalan sama cowok lain, dia seperti anak kecil yang nggak keturunan keinginannya.
"Sarapan ya? Nggak lagi cari penggantinya Mas? Enjoy aja makannya! Mas mau balik lagi," pamitnya dengan suara cuek, dingin, khas orang marah. Ketika Mas Irza benar-benar pergi setelah aku mencoba menahan tangannya, aku menghembuskan napas berat, menyesali makan dengan seorang cowok tanpa jujur terlebih dahulu.
Bersamaan saat Mas Irza sedang memakai helm, aku menatapnya memelas, mencoba memasang wajah sedih agar Mas Irza tidak marah. Namun, Mas Irza malah mengeluarkan motor dari barisan motor lainnya. Dan aku, hanya bisa melihatnya sampai motornya tak terlihat lagi. Aku juga nggak mungkin mengejar Mas Irza dan menyelesaikan masalah ini di parkiran seperti di FTV. Karena menurutku, sama saja aku memberikan tontonan gratis kepada para pengunjung lain.
"Sorry, Gen. Aku nggak ngerti kalau ini bakalan ngerusak hubungan kamu," kata Abi. Baru saja beberapa menit sebelum Abi ngobrol masalah pacarku, Tuhan langsung merealisasikan ucapan Abi.
Entah angin apa yang membuatku tergiur untuk mencari gara-gara dengan Mas Irza. Pukul dua belas malam, ia masih online di aplikasi chatting. Tiba-tiba aku mengirimkan fotoku dan Abi, berdiri di depan pagar dengan latar belakang Bukit Bintang. Kini aku hanya perlu menunggu balasan darinya.Mas Irza : Bahagia banget kamu. Mas Irza : Sama seperti kemarin, selamat liburan.Aku mengerutkan kening, seolah-olah tak percaya dengan balasan yang ia kirimkan, seakan-akan ingin mengelak bahwa itu bukan balasan darinya."Kenapa?" tanya Abi yang mungkin melihat perubahan wajahku."Nggak kenapa-kenapa," balasku santai."Santai kali, Gen. Bukannya kamu malah bebas menggunakan ruang untuk liburan kali ini ya, Gen?" sahut Abu setelah beberapa saat.Eh? Ternyata Abi melihat room chat Mas Irza membuatnya ia paham akan kegelisahanku barusan."Cemburunya hilang, gue ngerasa ada hilang juga. Sebenarnya gue benci sama pikiran gue yang begini, tapi di s
Abi benar, penyesalan akan datang jika tidak berkunjung ke sini. Pemandangan kota yang digemerlapi lampu-lampu terpampang jelas memanjakan mata, suasana bukit juga benar-benar terasa, dan .... pokoknya benar-benar bahagia bila berkunjung ke sini.Bisa jadi melihat pemandangan lampu gemerlap seperti ini dari gedung tinggi, tapi ya tetap saja beda dari suasana dan rasa, yang pastinya akan mengurangi nilai. Well, nggak menyesal menempuh perjalanan lebih dari 20 menit dari Candi Ratu Boko, mampir minum di pinggir jalan, ibadah di musholla, mandi dan istirahat di SPBU. Semuanya terbayar lunas bahkan lebih."Bagus kan?" Aku mengangguk, menanggapi pertanyaan Abi yang duduk di depanku. "Gen," panggilnya.Seraya tersenyum, aku menaikkan alis sebelah. Bukan karena wajah Abi yang menjadi sumber kebahagiaan, tapi suasana dan pemandangan."Bulan ini aku bertambah umur," katanya membuatku spontan untuk mengingat-ingat bukan kelahirannya, tapi sa
Setelah merasa pegal dan sedikit lelah, kami berdua memutuskan balik ke hotel. Masih sama seperti pergi tadi, kami berjalan kaki. Sedikit dingin memang, tapi ya yang seperti ini nggak selalu dilakukan tiap malam hari. Apalagi dengan tempat yang sama, satu tahun belum tentu bisa ke sini lagi."Night, Bi," pamitku padanya untuk berpindah kamar ke kamarnya Jeana.Malam ini aku dan Abi tidak jadi menginap dalam satu kamar. Bukan tanpa alasan ketika di jalan tadi aku meminta pisah, selain berjanji untuk jaga jarak dengan Abi ketika bersama Mas Irza kemarin, sedikit nggak sopan untuk kami yang cuman teman tanpa terdesak atau terpaksa. Abi iya-iya saja ketika aku meminta hal tersebut, tapi yang jelas aku bisa melihat wajahnya tak sesegar seperti semula.Dipikir-pikir dari awal, kayaknya aku juga sedikit nggak waras, mau-mau tatkala satu kamar dengannya padahal hanya teman. Tapi gimana lagi kalau penerimaan penawaran Abi kemarin menguntungkan diriku ya
Kukira destinasi liburan gratis oleh papa ke luar pulau, ke pojokan Indonesia, ke pulau-pulau Indonesia yang liburannya bakalan anti mainstream, atau bahkan hidup di kapal dan diving berkali-kali. Itu adalah dugaan yang tidak muluk-muluk, tapi ternyata salah. Jangankan ke luar negeri, ke luar daerah saja tidak. Ternyata di Jogja, saja, untuk ukuran papa yang kaya raya tapi perhitungan dengan anaknya."Nikmati aja, Gen. Masih gratis kan? Nanti juga bakalan seru," kata Abi yang sudah terdengar seperti ejekan.Abi tahu tentang remehanku pada liburan kali ini, karena sejak tiba di hotel aku langsung berkomentar yang tidak-tidak dan blak-blakan, tentu saja hanya dengannya. Aku masih punya sopan walaupun tidak setinggi langit tingkat kesopananku."Apaan? Nyesel gue," kataku serta merta tak bersyukur sama sekali."Mandi sana! Aku udah punya planning selama kita di sini, besuk kita jelajahi bareng-bareng.""Gue tebak, mama kalau tah
"Mas udah dong," pintaku dengan rengekan nggak jelas, tapi uang jelas tidak terdengar manja menurutku sendiri."Five minutes!""Sok! Nggak usah bahasa Inggris!" ketusku yang hanya dibalas kekehan oleh Mas Irza. Lama-lama aku ingin mematikan sambungan telepon kami dan aku lanjut tidur, itu lebih baik daripada aku harus memandangi wajahnya yang sayangnya sibuk memandangi MacBook miliknya. Buang-buang umur."Iya, sedikit lagi," katanya tenang tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun.Pukul sembilan ia menghubungiku lewat video call, tanpa pikir panjang langsung aku terima. Aku kira ia akan menjawab pertanyaanku tadi sore, ternyata hanya untuk menemaninya menghadap laptop dan sesekali kami berbicara. Pukul sepuluh aku mulai bosan membuat lontaran kapan ia selesai selalu keluar dari mulutku."Mas ngapain sih?""Kerja, Gen.""Kerja apa? Sibuk banget ya?""Banget. Kalau kamu sudah jadi istri jangan bosen
Senyumku benar-benar tak bisa kutahan tatkala melihat wajah tampan Mas Irza yang tengah sibuk menatap ponsel, moodku seketika naik setelah hancur karena perjalanan yang terasa panjang ditambah tubuh yang terasa sangat lelah. Akhirnya juga, setelah sekian berminggu-minggu kami tidak bertemu, wajahnya bisa kuraba sekarang jika mau."Hai, Mas!" sapaku lalu duduk di depannya. Ia tersenyum tipis, meletakkan ponselnya di atas meja dan mengalihkan atensinya padaku sepenuhnya. Well, aku suka, sangat suka dengan sikapnya yang satu ini."Hai! Gimana?""Heh? Apanya yang gimana?""Oh, enggak." Aku lihat Mas Irza mendadak salah tingkah, ia tersenyum tipis lalu menggaruk tengkuknya yang aku yakini sedang tidak gatal.Aneh. Tapi ya sudahlah, mungkin Mas Irza memang benar-benar salah tingkah karena ucapannya yang salah, oh, tunggu .... atau Mas Irza takut ketahuan bahwa ia sedang menyembunyikan sesuatu? Tapi apa? Kurasa itu hanya duga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen