Share

Yang Nggak Baik-baik Saja

Aku menarik napas pelan dan dalam-dalam, lalu menghembuskannya samar-samar, berharap air mata yang luruh tak semakin banyak. Tiba-tiba, Abi menyodorkan sebuah mug padaku. "Biar kamu agak tenang," kata Abi. 

Aku menggelengkan kepala, Abi hanya mengangguk dan menaruhnya di atas meja. Mendadak, Abi duduk tepat di depanku, menatapku lekat-lekat dengan pandangan matanya yang teduh. "Maaf, gue malah nangis gini," ucapku pelan dan terdengar serak. 

Abimanyu mengangguk pelan, seolah-olah ia memberiku ruang banyak untuk tetap menangis di sini. "Kok lo biasa aja sih, lihat gue nangis gini." Aku mencoba terkekeh menertawakan diriku sendiri yang tak tahu malu begini. Karena gemash bercampur kesal, aku mengambil tangan Abi, mengangkatnya dan menarik kemejanya yang di gulung sampai siku. "Nggak ada tissue," ujarku seraya mengelap sudut mata dengan lengan kemajanya tadi.

"Nggak papa." Abi membiarkanku melakukan aktifitas sesuka hati. Tentu saja, aku melanjutkan aksi yang pasti menurut orang, ini adalah hal konyol dengan senang hati. "Santai."

"Gue masih nggak ikhlas, Bi, kalau Papa nikah lagi. Karena selama ini, gue punya harapan dan selalu berdoa biar Mama dan Papa bisa rujuk. Doaku selama ini mungkin terdengar gila, tapi aku iri sama lo yang baik-baik aja orang tuanya. Ternyata, enggak, Papa nikah lagi yang artinya nggak bakalan rujuk." Abi masih menatapku sesekali mengangguk dengan tatapan sedikit berduka, tidak seperti saat di resto tadi yang memaksa orang dengan wajah bahagia. 

"Karena itu, gue langsung kepikiran kalau Papa bakalan abai sama gue, kasih sayangnya bakalan berkurang, lalu lupa tentang anaknya ini. Karena calon istrinya Papa punya anak seumuran gue dan adiknya."

"Kamu nggak perlu takut, Om bakalan tetap sayang sama kamu, karena kamu anaknya. Lagian kamu sudah bertahun-tahun nggak hidup sama Om, jadi udah terbiasa kan, Gen?"

Aku berkedip pelan untuk meluruhkan air mata, menangis diam seraya menatap Abi. Jadi ingat saat SMA dan SMP dulu, aku selalu melakukan hal seperti ini kepada Abi berdua saja. Kadang di kelas sepulang sekolah, di rumahnya ini, di rumahku dan kadang kala di taman belakang rumahnya. Patut di syukuri tentang kehadiran Abi di hidupku, karena ia selalu mau saat aku ingin bercerita, selalu siap saat meminta bantuan, merelakan waktunya hanya untuk bertanya tentang kehidupanku apakah baik-baik saja atau ada masalah. 

"Gue tahu, tapi ya nggak ngerti aja gue, tiba-tiba kepikiran gitu. Padahal gue udah gede, yang mestinya nggak perlu mikir pusing masalah gituan," kataku sambil tertawa pelan. 

Benarkan? Untuk umur, aku sudah masuk ke tahap dewasa. Seharusnya aku nggak perlu mikirin tentang kasih sayang dari Papa, karena aku masih punya Mama yang harus dijaga, harus disayang, harus diperlakukan sedemikian seperti ratu, agar Mama juga memperlakukanku seperti putri. 

Masalah Papa, biarlah Tuhan mau berkehendak apa. Tentang Papa yang benar-benar masih menganggapku saat nanti, atau bahkan perlahan-lahan hilang dari list nama-nama orang tersayang. 

"Gue bukan lagi anak TK, yang mesti iri kalau temannya digendong papanya. Gue bukan lagi anak SD, yang mesti benci saat melihat rapor teman diambil papanya. Gue bukan lagi pelajar, yang belum bisa cari uang." Sekarang, aku kembali berlagak sok kuat, sok bisa sendiri, padahal saat tadi rapuh seperti kayu lapuk. "Jadi, gue nggak perlu bersedih kan, Bi?" 

Abi tersenyum hingga menyipitkan matanya, mengangguk pelan seolah-olah membenarkan ucapanku tadi. Sekarang, aku malah merasa bahwa hidupku makin nggak baik-baik saja, ya walaupun mulutku berbicara tegar tapi tidak dengan hati dan perasaan. Semuanya aku perlakukan ya sudah, dan berharap setelah tidur nanti tak ada lagi sesuatu yang membuatku bersedih. 

Aku pernah berpikir, kadang bilang nggak ada apa-apa dan semuanya akan baik-baik saja lebih baik, daripada harus bercerita panjang lebar yang pada akhirnya hanya membuang tenaga karena bercerita tapi tidak membawa perubahan baik, atau bahkan sesudah bercerita nanti malah menambah masalah. 

"Seharusnya emang begitu, kamu nggak perlu bersedih. Tuhan selalu bertanggung jawab atas kehidupan makhluk-Nya, kamu juga hidup nggak sendirian. Tapi, kalau kamu sedih, itu wajar kok, Gen. Karena kamu hanya manusia biasa. Namun--"

"Jangan sedih lama-lama, selain nanti bakalan ngaruh sama pikiran dan kehidupan, aku nggak suka ngelihat kamu yang cengeng begini." Aku memotong ucapan Abi dan melanjutkannya. Abi tersenyum lebar dan menatapku sedemikian, aku hanya terkekeh seraya mengelap pipi dengan telapak tangan. 

"Masih ingat ucapan aku. Udah bertahun-tahun lho, Gen." Ucapan Abi terdengar seperti mengagumi orang lain. 

Aku masih ingat ucapan Abi yang baik-baik. Sebenarnya bukan ingat, tapi sengaja mengingat. Karena ya, Abi selalu berucap kalimat yang sama ketika kami masih sekolah bersama, ia juga menuliskan kata-katanya di kertas HVS warna, lalu ia print di tempat foto copy, setelahnya di laminating agar awet. Lalu, ia menaruh itu semuanya di laci meja belajarku. Aneh memang si Abi, tapi aku juga nggak nolak. 

Apalagi saat kami lulus SMA dan ia harus merantau ke luar kota karena orang tua, ia semakin memperbanyak kertas buatannya itu. Kerennya lagi, ia menempelkan foto kami, tulisan-tulisan kami, prestasi kami di buku binder, dan masing-masing membawa satu. 

Aku sih oke-oke saja untuk menyimpannya, sampai sekarang juga masih ada di dalam laci almari. Namun, sedari dulu tak pernah aku buka, karena ya buat apa aku buka, juga membaca tulisan Abi yang di print itu sudah cukup untuk mengingat kalimat baiknya. 

Saat aku tanya alasannya kenapa harus buat buku ginian segala, ia menjawab agar pertemanan kita nggak putus tengah jalan, agar kita saling mengingat satu sama lain. Konyolnya, bisa dijadikan obat rindu. Aku tertawa mendengarnya, karena jaman kami lulus SMA itu bukan jaman kuno, kangen tinggal telepon, ingin ketemu tinggal atur waktu karena kendaraan sudah banyak. Lalu Abi bilang, "Udah, kamu tinggal simpan ini aja, apa susahnya?" Ya sudah, aku tidak membantah. 

Setelah kami berpisah, Abi sering menelponku untuk bertanya kabar juga bertukar tentang dunia perkuliahan. Aku bersambut baik, tapi lama-lama kesal karena berteleponan itu menyita waktu banyak. Jadi, aku jujur pada Abi bahwa teleponnya itu menganggu aktifitasku, setelah itu Abi jarang sekali menghubungiku. Karena jarang, aku jadi sedikit melupa tentangnya. Makanya saat ia datang, aku sempat kaget. 

Balik ke awal lagi..

"Itu kata keramat lo, sewaktu gue lepas nangis." Abi tertawa-tawa, maka tatapan heran langsung menghunus matanya. "Ngapain ketawa?" Aku kembali mengambil lengannya, dan melakukan hal yang sama, yakni mengelap sudut mata dengan kemejanya. Entah karena apa aku melakukan ini, tapi ya suka saja menjahilinya. "Salah lo, gue kode minta tissue nggak dikasih-kasih." 

"Masih sama ya, Gen. Habis nangis, terus ketus atau kalau enggak ketawa." Ia terkekeh, aku tak memperdulikan karena sibuk mengotori bajunya. "Eh, ada lagi. Biasanya kamu tidur. Yang jarang itu, sedihnya berlarut-larut." Mendadak, aku merasakan sebuah tangan berulah di atas kepalaku, yang pastinya pelakunya adalah Abi.

"Gimana mau lanjut nangis terus, lo selalu cerewet." Abi hanya tertawa kecil.

"Kalau gitu, gue pulang ya." Aku segera mengemas ponsel dan mengambil kunci motor yang ada di samping tempat duduk. 

"Sekarang?" 

"Udah pukul sebelas nih, masak gue pulang dini hari. Pulang jam segini aja, pasti udah dikasih julid sama tetangga lo, Bi." 

Setelah siap dan merasa tidak ada yang tertinggal, aku berjalan keluar rumah dan bersiap mengendarai motor milikku. Baru saja selesai menyimpan helm ke dalam jok motor, Abi sudah menghidupkan mesin motornya dan mendekat ke arahku. Tentu saja, ini menimbulkan tanda tanya. "Mau kemana, Bi?" tanyaku seraya memakai helm. 

"Anterin kamu. Nggak baik pulang sendirian."

"Lo buang waktu, Bi. Tidur kan enak."

"Sayangnya, aku nggak bisa begitu." Terserah Abi, maka aku membiarkannya mengantarkanku pulang hingga rumah dengan kendaraannya sendiri. Bahkan saat Mama membuka pintu rumah, Abi sempat mencium tangan Mama dan meminta maaf karena mengajakku main terlalu lama. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status