LOGINRumah kecil itu terasa lebih pengap dari biasanya. Bau antiseptik bercampur dengan aroma jahe rebus yang menguar dari dapur. Anisa sedang menyeka wajah ayahnya yang luka-luka dengan kapas yang sudah dibubuhi alkohol. Sementara Bi Laila menyeka darah kering di dekat alis dan sudut bibir suaminya. Paman Jalal menggerutu pelan, tak terima karena Hilal menghajarnya. Ia terus mengoceh ini dan itu.Nawang baru saja selesai membersihkan diri. Ia keluar dari kamar dengan rambut dibungkus handuk. Wajahnya tampak letih setelah semua peristiwa keributan di pasar.Satu jam kemudian, mereka bertiga duduk di ruang tamu. Ketegangan halus menggantung di udara. Anisa dan Zulham diminta Bi Laila masuk ke kamar masing-masing. Bi Laila ingin berbicara tanpa pihak lain.Bi Laila memulai lebih dulu. Suaranya datar namun tajam. Menuntut dua orang yang duduk di depannya memahami kata-katanya.“Bang Jalal, dengarkan aku baik-baik. Aku capek karena harus terus menerus mengulang kata-kata ini. Dan ini adalah pe
Paman Jalal sempoyongan. Hidungnya berdarah, sudut bibirnya sobek. Namun Hilal belum berhenti. Rahangnya mengeras, matanya gelap seperti hewan buas yang marah."Bang Hilal! Berhenti!"Nawang memeluk lengan Hilal dari belakang, menarik sekuat tenaga.Hilal mengangkat tangan lagi, siap memukul, tetapi tubuhnya seketika kaku ketika Nawang menempelkan kepalanya di punggung Hilal sambil berteriak,"Abang! Tolong cukup... Saya takut!"Suara itu — gemetar menahan tangis — menembus kemarahan Hilal. Tangannya turun perlahan. Napasnya memburu seperti baru selesai berlari jauh. Ia memejamkan mata dan menahan diri.Beberapa pedagang yang belum pulang terdiam dan hanya berani menonton kebrutalan Hilal. Selama hampir enam bulan menjaga pasar, baru kali inilah mereka melihat Hilal marah besar. Beberapa pedagang lainnya menelepon Bi Laila dan Zulham karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tewasnya Pak Jalal di tangan Hilal—misalnya.Paman Jalal bangkit dengan goyah, memegangi rahangnya, w
Nawang tidak menggubris kehadirannya. Namun ia juga tidak mengusir saat Pak Gatot mendekatinya. "Saya bantu tutup terpalnya ya, Nawang?" tawar Pak Gatot penuh harap. Nawang berhenti menggulung plastik, wajahnya tetap datar.“Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri," tolaknya tegas.Pak Gatot menelan ludah. Ia berdiri menatap Nawang yang bekerja dengan wajah lelah. Luka-luka di tubuh Nawang membuatnya makin merasa bersalah. Ia tidak bisa melindungi Nawang. "Mengenai rumah yang saya tawarkan kemarin dulu, bagaimana? Kamu sudah mempertimbangkannya?" tanya Pak Gatot sambil mengangkati kandang ayam dari bambu. "Tidak perlu, Pak. Saya sudah nyaman tinggal di rumah Bibi. Ia tidak malu mengakui saya sebagai keponakannya dan memperlakukan saya dengan sangat baik. Bapak pulang saja. Saya tidak membutuhkan bantuan Bapak," ucap Nawang dingin. Kata-kata Nawang membuat Pak Gatot tertohok. Nawang terang-terangan menyindir sekaligus mengusirnya. "Kamu... tidak ingin menanyakan soal... ehm hubungan
"Nama lengkap saya Hilal Ramadhan. Berusia 35 tahun, dengan pangkat AKBP. Kasat Intelkam Polres besar."Hilal mulai menceritakan kehidupan pribadinya kepada Nawang pada suatu sore di pasar. Saat ini Nawang berada di kios sendirian karena Bi Laila sedang sakit. Anisa yang tadi menemaninya sudah pulang lebih dulu untuk merawat ibunya.Ia menemui Nawang di kios ditemani Vonny. Akan janggal jika ia mendekati Nawang tanpa "pacarnya" di depan para pedagang. Saat ini Vonny duduk di sampingnya sambil memakai headset. Ini memang permintaannya. Tidak lucu kalau Vonny mendengar semua rayuan gombalnya pada Nawang."Maaf ya, Bang. Bukannya saya sok pintar… tapi sepengetahuan saya, usia 35 tahun itu ketinggian untuk pangkat AKBP. AKBP juga seharusnya sudah tidak turun ke lapangan kalau menyamar," sela Nawang pelan. Ia teringat cerita Virni bahwa pamannya yang berpangkat AKBP sudah berusia 48 tahun dan hanya duduk di kantor. Paman Virni sudah menjadi Kapolres. "Bisa saja, Nawang. Kalau…"Hilal meng
Nawang baru saja mengangkat pakaian dari jemuran ketika ia mendengar deru mobil berhenti di depan gang. Ia menegakkan tubuh. Jangan-jangan Pak Gatot. Sudah beberapa hari ini Pak Gatot meneleponnya, tapi ia abaikan. Pak Gatot mendapatkan nomor ponselnya dari Kenes. Kenes bilang pakdenya ingin menawarkan pekerjaan sampingan padanya, makanya tanpa rasa curiga Kenes memberikan nomornya. Di tengah kegamangan tentang siapa yang datang, tampak dua sosok muncul bersamaan: Nindy dengan wajah kaku, dan seorang pria berjas rapi membawa map tebal. Pak Syarir Siregar, pengacara keluarga mereka. Dulu Pak Siregar kerap menjumpai ayah tirinya di ruang kerja.“Mbak Nindy, Pak Siregar," sapa Nawang sopan dengan pakaian yang sudah kering di pelukanNindy tidak menjawab sapaan itu. Ia hanya melirik dingin, seolah kedatangannya kemari adalah suatu keterpaksaan. Sementara Pak Syahrir tersenyum sopan seperti biasa. "Siapa yang datang, Naw?" Bi Laila keluar dari dapur sambil mengelap tangan. Wajahnya langs
Setelah suasana pasar kembali tenang dan Bu Hayati dibawa pulang oleh para pedagang lain, Nawang meraih lima bungkusan berisi ayam potong yang harus ia antar untuk para pelanggan yang rumahnya di sekitar pasar. Zulham sudah mengantar pesanan yang lokasinya agak jauh. Setelahnya, ia akan langsung pulang karena akan sekolah siang.Nawang berjalan memutari pasar, mencari jalan pintas ke rumah Bu Ratmi. Baru berjalan beberapa langkah, Nawang melihat seseorang berjalan cepat menuju deretan kios kosong di ujung pasar.Pria berambut cepak itu-anak buah Hilal. Pria selingkuhan Vonny. Naluri Nawang tiba-tiba terpacu. Sebenarnya ia tidak berniat menguping... tapi kakinya seakan bergerak sendiri mengikuti langkah pria itu.Ia melangkah pelan, bersembunyi di balik tumpukan karung bawang.Tak lama, seorang perempuan datang terburu-buru dari arah parkiran. Vonny. Ia mengenakan hoodie abu-abu, masker, dan kacamata hitam besar-namun ciri tubuh dan suaranya tak mungkin ia salah.Mereka bertemu di anta







