Tahun 2004
Rosa menatap keluar jendela mobil, matanya bergerak mengamati setiap pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan. Sesekali dia menarik jaketnya, dingin AC mobil membuatnya menarik kedua kakinya, meringkuk seperti anak kecil. Kini kepalanya bersandar pada kaca jendela, tidak nyaman baginya tapi cukup membuatnya memiliki ruang mengamati seisi mobil. Di depannya persis, sopir terlihat begitu khusuk menjaga laju kendaraan dan mungkin juga laju kantuk di matanya. Di samping sopir Mardi tertidur lelap, kepalanya miring ke kiri, dengkuran halus terdengar dari mulutnya. Rosa tersenyum tipis melihat itu. Di kursi sebelah Rosa, ibu Nyak juga tertidur. Rosa mengangkat tubuhnya, merapikan sarung yang dijadikan selimut tubuh Nyak lalu kembali ke posisinya semula. Sedangkan di kursi belakang Mpok Leli, kakak Mardi yang di Rawalumbu tidur telentang sendirian.
Matanya kembali k
Halo lagi, banyak yang bertanya-tanya kok bagian Rosa dan Mardi nggak diceritain detail sih? Diliat-liat sih benar juga. Jadinya lahirlah spin off khusus Rosa dan Mardi ini. Beneran cinta nggak si Rosa sama Mardi? Yuk lanjutin bacanya. ***
“SIAPA SURUH KAMU NGGAK BISA HAMIL?!” bentak David kehilangan kontrol. Setelah mengucapkan itu, David keluar dari kamar dengan membanting pintu sekencang mungkin.Kalimat David ini membuat Giselle—istrinya—limbung seketika. Tangannya mencengkeram erat pinggir lemari. Amarah dan cemburunya hilang seketika, berganti dengan perasaan rendah diri. Rasa tidak berdaya, rasa kalah, rasa tidak becus, dan rasa percuma menjadi perempuan.Salahkah dirinya memiliki kelainan itu? Salahkah dirinya menerima pernikahan yang dia pikir akan baik-baik saja karena David pernah berkata menerima dirinya apa adanya? Salahkah apabila sekarang dia merasa semua khayalan tentang pernikahan yang bahagia selamanya adalah semu belaka?Giselle menjatuhkam dirinya ke ranjang, menangis sepanjang malam hingga lelah mengantarnya ke dalam mimpi yang menakutkan.
Tahun 1988Jakarta“Kini aku bertanya dalam hatiDi balik semua ituAdakah misteri?Di balik sinar matamu nan tajamKulihat ada suatu misteri, suatu misteri!”Aku berteriak, melengking, menyanyikan lagu Penari Ular-nya Ita Purnamasari yang terkenal saat ini. Tubuhku meliuk-liuk mengikuti gaya penyanyi yang sedang naik daun itu. Namun tiba-tiba keadaan senyap, aku mendongak. Ternyata Mommy yang menekan tombol on-off di walkman-ku. “Teriak-teriak nggak jelas,” omel Mommy. Aku merengut, tapi mengangguk juga. Siapa yang berani melawan Mommy? Acara TVRI baru akan mulai setengah lima nanti, aku hanya ingin hiburan.“Kam
Tahun 1993Selopeng-Madura Hari ini pipisku berwarna merah, seperti darah yang pernah kulihat saat Eppa’[1] membuat ayam peliharaanku menjadi ayam goreng.Ebo’ yang melihatku di kamar mandi. Aku sudah lama berdiri seakan kakiku terpasak ke bumi, menunduk memandangi lantai yang tergenang cairan kemerahan. Dalam hati ketar-ketir, apakah di dalam perutku ada penyembelihan sesuatu yang membuatku seperti ayam itu? Tapi aku tidak merasakan sakit, mungkin ayamnya yang kesakitan. Iya, pasti itu.“Rosa, ada apa?” Itu ibuku, nada suaranya seperti keheranan. Dia menatapku dari pintu kamar mandi yang tidak aku tutup saat melaksanakan hajat kecilku tadi. Aku merasa, hanya Ebo’ yang bisa menjelaskannya padaku.“Pipis Oca merah…” jawabku pelan. Sepelan angi
Aku tidak tahu harus bagaimana, akhirnya masuk kamarku sendiri, mengambil baju kemudian ke kamar mandi.Tak ada suara apa-apa saat aku keluar dari kamar mandi. Aku kembali masuk ke kamar, menyisir pelan rambut panjangku yang terasa gimbal—lengket satu sama lain—karena ulah angin tadi.Kutatap wajahku di cermin kecil berbingkai Hello Kitty, hadiah dari teman-temanku. Ulang tahunku lagi, tapi yang kesebelas.Suara azan magrib terdengar sayup-sayup. Dari cermin aku melihat bayangan Ebo’. Ia menghampiri, bertanya apakah aku mengganti pembalutku dengan yang baru dan membuang yang lama ke tempat sampah setelah aku mencuci bersih dan membungkusnya rapi dengan kertas bekas. Aku mengangguk dan Ebo’ tersenyum puas. Matanya terlihat merah, aneh bagiku, matanya menangis, tapi tersenyum padaku.“Ayo makan, jangan sholat dulu, kamu sedang halangan.” &l
Ucapan Desman terdengar begitu jelas. Tak salah lagi. Perutku memang kenyang, setelah menghabiskan sepiring nasi goreng merah dan segelas fanta hijau, tapi oksigen masih cukup memenuhi otakku untuk mencerna ucapannya. Aku menunduk. Aku benar-benar tidak siap menghadapi ini semua. Aku memang dekat padanya, tapi—“Ca?”“Aku … Desman….” Lidahku kelu. Pikiranku buntu, oksigennya sudah berebut memenuhi lambung. Aku hanya menganggap Desman sebagai teman. Pernyataan cintanya sungguh di luar dugaan dan harapan. Harapan? Iya, tak pernah aku berharap ada cinta di antara kami. Selama ini cukup sudah dengan status “teman”.Ia berusaha menggenggam tanganku namun kutarik pelan. Tak ada yang namanya “kesetrum”, “meleleh” atau apa pun istilah yang digunakan oleh novel-novel remaja yang sering Soca pinjamkan kepadaku. Yang ada hanya perasaan asing, kosong, bahkan yang katanya cewek akan terbuai oleh
Sepulang dari pasar, Eppa’ memanggilku, tanpa berganti baju hanya meletakkan keranjang bambu di samping rumah. Eppa’ bau amis laut, bau hampir semua laki-laki di daerah ini.Begitu Eppa’ duduk di bale-bale dan mengipasi dirinya dengan caping, Ebo’ sudah datang mendekat dengan secangkir kopi hitam kental di tangan.“Pa’, sudah nelpon Enning?” tanyaku tak sabar.Eppa’ mengangguk.“Marfu’a tak keberatan kamu ikut ke Jakarta. Tapi katanya kamu harus siap mental. Tak gampang hidup di Jakarta. Marfu’a tak masalah kamu mau bantu dia di pasar atau kamu mau cari kerjaan sendiri di sana.”Aku tersenyum lebar. Aku tahu Enning Marfu’a memiliki pemikiran luas seperti Eppa’.Ebo’ melirik Eppa’, kali ini tanpa kerutan lagi di antara alisnya. Mafhum.Aku merasa tidak sabar menunggu hari keberangkatan, ijazah lulus dari SMA Ambunten kupandang
“Rosa!” Aku mencari asal suara, dari jarak beberapa meter aku melihat Enning setengah berlari menghampiri. Laki-laki tambun usil itu tiba-tiba saja menjauh lalu menghilang di antara kerumunan orang banyak. Aku bernapas lega. “Enning!” Aku tersenyum lebar padanya. Enning Marfu’a adalah tante favoritku sejak dulu. Orangnya baik, periang, suka ceplas-ceplos. Di belakang Enning, Enceng[1] Ibrahim, suaminya. Laki-laki yang berasal dari Surabaya, mereka bertemu di Perak dan menikahi Enning sebulan kemudian. “Rosa, sampai juga kamu, Nak!” seru Enning dengan senyum lebar. Aku meraih tangan mereka berdua, menempelkannya di keningku dengan hormat. Enceng Ibrahim mengambil tas besar dan kedua dus, lalu menentengnya dengan langkah tergesa. Aku dan Enning mengekor di belakangnya. Enning pun berjalan seperti ada yang mengejar. Kulihat sekelilingku, semuanya seperti terburu-buru. Aku menyamakan langkah dengan Enning. Apa semua orang Jakarta seperti ini?
Tertulis jelas disertai nomor telepon yang bisa dihubungi. Diam-diam aku menghafal deretan angka itu. Tak ada salahnya. Enning membayar minuman kami dan langsung melaju pulang ke rumah.Bulan berikutnya Enceng malah memberiku uang lebih banyak lagi, enam ratus ribu! Tak kepalang rasa bahagia di hati.Banyak hal yang sudah kupelajari dan kupetik selama ikut mereka berdua. Namun dalam hati masih mengganjal sesuatu. Ada merasa tidak puas. Aku merasa kepintaranku mungkin tak sepadan dengan uang-uang itu. Aku harus tetap mencari pekerjaan.Rasa galau ini melanda berhari-hari, ada desakan dalam diri agar aku mendapatkan yang lebih baik. Membantu Enning adalah baik, tetapi aku merasa ada yang lebih baik lagi di luar sana.Sudah dua bulan lebih aku bersama kedua orang yang luar biasa itu. Suatu sore, aku nekat mendekati Enning yang sedang santai di teras bersama anak bungsunya.“Ning…” panggilku lirih.Enning menoleh dan menyuruhk