Yang Terpilih

Yang Terpilih

Oleh:  Yustini Setia Darma  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
9 Peringkat
36Bab
3.0KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Rosa Putri Azra mengembara dari kampung ke Jakarta. Dia berambisi untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, dengan tujuan baik : membahagiakan orangtuanya di kampung. Nasehat ibunya selalu dia pegang erat, untuk mendapatkan uang dengan cara halal. Hingga dirinya bertemu dengan seorang wanita bernama Giselle Fransisca Oetomo. Kehidupan Rosa mendadak berubah seratus delapan puluh derajat. Tak ada lagi kamar kos sempit, tak ada lagi penampilan sederhana, tak ada lagi perut lapar. Uang pun mengalir, sederas air matanya. Karena keserakahan telah membuat orang-orang terkasih di sekitarnya terluka.

Lihat lebih banyak
Yang Terpilih Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Zia Cherry
Gaya penulisannya, alurnya, pendalaman karakternya oke banget. Buat yg mau belajar nulis novel ini bisa jd referensi nih.
2022-01-07 23:01:48
2
default avatar
SRi
novel yg lain ada ga mbak? ada di mana?
2021-12-15 12:18:09
1
user avatar
HeNov
Keep it up, thorrrr
2021-12-03 13:17:59
1
user avatar
SILAN
aku gak bisa bahasa madura, baca ini jadi sedikit tau. Semangat buat penulisnya!
2021-12-02 10:20:48
1
user avatar
HeNov
Wah...jadi nostalgia masa dulu ya...
2021-12-01 19:28:18
1
user avatar
Ayunina Sharlyn
masih saja jadi masalah kalau wanita ga bisa hamil. anak itu anugerah. bukan manusia yang buat anak. ...
2021-12-01 19:26:25
1
user avatar
Kariani Sukadi
Aku mampir ya thor ninggalin jejak
2021-11-08 10:57:28
1
user avatar
Sandra Setiawan
akhirnya novel ini eksis juga. Kangen tulisan mak KY. Novel lama keluarin semua mak. sambil tulis novel baru.
2021-11-07 13:05:54
1
user avatar
Sandra Setiawan
akhirnya bisa baca tulisan mak KY lagi. senangnyaaaa...
2021-10-30 10:37:36
1
36 Bab
Prolog
 “SIAPA SURUH KAMU NGGAK BISA HAMIL?!” bentak David kehilangan kontrol. Setelah mengucapkan itu, David keluar dari kamar dengan membanting pintu sekencang mungkin.Kalimat David ini membuat Giselle—istrinya—limbung seketika. Tangannya mencengkeram erat pinggir lemari. Amarah dan cemburunya hilang seketika, berganti dengan perasaan rendah diri. Rasa tidak berdaya, rasa kalah, rasa tidak becus, dan rasa percuma menjadi perempuan. Salahkah dirinya memiliki kelainan itu? Salahkah dirinya menerima pernikahan yang dia pikir akan baik-baik saja karena David pernah berkata menerima dirinya apa adanya? Salahkah apabila sekarang dia merasa semua khayalan tentang pernikahan yang bahagia selamanya adalah semu belaka? Giselle menjatuhkam dirinya ke ranjang, menangis sepanjang malam hingga lelah mengantarnya ke dalam mimpi yang menakutkan. 
Baca selengkapnya
Giselle Fransisca Oetomo-Rapuh Seperti Kaca
Tahun 1988Jakarta “Kini aku bertanya dalam hatiDi balik semua ituAdakah misteri?Di balik sinar matamu nan tajamKulihat ada suatu misteri, suatu misteri!” Aku berteriak, melengking, menyanyikan lagu Penari Ular-nya Ita Purnamasari yang terkenal saat ini. Tubuhku meliuk-liuk mengikuti gaya penyanyi yang sedang naik daun itu. Namun tiba-tiba keadaan senyap, aku mendongak. Ternyata Mommy yang menekan tombol on-off di walkman-ku.            “Teriak-teriak nggak jelas,” omel Mommy.            Aku merengut, tapi mengangguk juga. Siapa yang berani melawan Mommy? Acara TVRI baru akan mulai setengah lima nanti, aku hanya ingin hiburan.“Kam
Baca selengkapnya
Part 1: Rosa Putri Azra-Asa Yang Tak Pernah Padam
Tahun 1993Selopeng-Madura             Hari ini pipisku berwarna merah, seperti darah yang pernah kulihat saat Eppa’[1] membuat  ayam peliharaanku menjadi ayam goreng.Ebo’ yang melihatku di kamar mandi. Aku sudah lama berdiri seakan kakiku terpasak ke bumi, menunduk memandangi lantai yang tergenang cairan kemerahan. Dalam hati ketar-ketir, apakah di dalam perutku ada penyembelihan sesuatu yang membuatku seperti ayam itu? Tapi aku tidak merasakan sakit, mungkin ayamnya yang kesakitan. Iya, pasti itu.“Rosa, ada apa?” Itu ibuku, nada suaranya seperti keheranan. Dia menatapku dari pintu kamar mandi yang tidak aku tutup saat melaksanakan hajat kecilku tadi. Aku  merasa, hanya Ebo’ yang bisa menjelaskannya padaku.“Pipis Oca merah…” jawabku pelan. Sepelan angi
Baca selengkapnya
Part 2: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam
Aku tidak tahu harus bagaimana, akhirnya masuk kamarku sendiri, mengambil baju kemudian ke kamar mandi.Tak ada suara apa-apa saat aku keluar dari kamar mandi. Aku kembali masuk ke kamar, menyisir pelan rambut panjangku yang terasa gimbal—lengket satu sama lain—karena ulah angin tadi.Kutatap wajahku di cermin kecil berbingkai Hello Kitty, hadiah dari teman-temanku. Ulang tahunku lagi, tapi yang kesebelas.Suara azan magrib terdengar sayup-sayup. Dari cermin aku melihat bayangan Ebo’. Ia menghampiri, bertanya apakah aku mengganti pembalutku dengan yang baru dan membuang yang lama ke tempat sampah setelah aku mencuci bersih dan membungkusnya rapi dengan kertas bekas. Aku mengangguk dan Ebo’ tersenyum puas. Matanya terlihat merah, aneh bagiku, matanya menangis, tapi tersenyum padaku.“Ayo makan, jangan sholat dulu, kamu sedang halangan.”            &l
Baca selengkapnya
Part 3: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam
Ucapan Desman terdengar begitu jelas. Tak salah lagi. Perutku memang kenyang, setelah menghabiskan sepiring nasi goreng merah dan segelas fanta hijau, tapi oksigen masih cukup memenuhi otakku untuk mencerna ucapannya. Aku menunduk. Aku benar-benar tidak siap menghadapi ini semua. Aku memang dekat padanya, tapi—“Ca?”“Aku … Desman….” Lidahku kelu. Pikiranku buntu, oksigennya sudah berebut memenuhi lambung. Aku hanya menganggap Desman sebagai teman. Pernyataan cintanya sungguh di luar dugaan dan harapan. Harapan? Iya, tak pernah aku berharap ada cinta di antara kami. Selama ini cukup sudah dengan status “teman”.Ia berusaha menggenggam tanganku namun kutarik pelan. Tak ada yang namanya “kesetrum”, “meleleh” atau apa pun istilah yang digunakan oleh novel-novel remaja yang sering Soca pinjamkan kepadaku. Yang ada hanya perasaan asing, kosong, bahkan yang katanya cewek akan terbuai oleh
Baca selengkapnya
Part 4: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam
Sepulang dari pasar, Eppa’ memanggilku, tanpa berganti baju hanya meletakkan keranjang bambu di samping rumah. Eppa’ bau amis laut, bau hampir semua laki-laki di daerah ini.Begitu Eppa’ duduk di bale-bale dan mengipasi dirinya dengan caping, Ebo’ sudah datang mendekat dengan secangkir kopi hitam kental di tangan.“Pa’, sudah nelpon Enning?” tanyaku tak sabar.Eppa’ mengangguk.“Marfu’a tak keberatan kamu ikut ke Jakarta. Tapi katanya kamu harus siap mental. Tak gampang hidup di Jakarta. Marfu’a tak masalah kamu mau bantu dia di pasar atau kamu mau cari kerjaan sendiri di sana.”Aku tersenyum lebar. Aku tahu Enning Marfu’a memiliki pemikiran luas seperti Eppa’.Ebo’ melirik Eppa’, kali ini tanpa kerutan lagi di antara alisnya. Mafhum.Aku merasa tidak sabar menunggu hari keberangkatan, ijazah lulus dari SMA  Ambunten kupandang
Baca selengkapnya
Part 5: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam
“Rosa!” Aku mencari asal suara, dari jarak beberapa meter aku melihat Enning setengah berlari menghampiri. Laki-laki tambun usil itu tiba-tiba saja menjauh lalu menghilang di antara kerumunan orang banyak. Aku bernapas lega. “Enning!” Aku tersenyum lebar padanya. Enning Marfu’a adalah tante favoritku sejak dulu. Orangnya baik, periang, suka ceplas-ceplos. Di belakang Enning, Enceng[1] Ibrahim, suaminya. Laki-laki yang berasal dari Surabaya, mereka bertemu di Perak dan menikahi Enning sebulan kemudian. “Rosa, sampai juga kamu, Nak!” seru Enning dengan senyum lebar. Aku meraih tangan mereka berdua, menempelkannya di keningku dengan hormat. Enceng Ibrahim mengambil tas besar dan kedua dus, lalu menentengnya dengan langkah tergesa. Aku dan Enning mengekor di belakangnya. Enning pun berjalan seperti ada yang mengejar. Kulihat sekelilingku, semuanya seperti terburu-buru. Aku menyamakan langkah dengan Enning. Apa semua orang Jakarta seperti ini?
Baca selengkapnya
Part 6: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam
Tertulis jelas disertai nomor telepon yang bisa dihubungi. Diam-diam aku menghafal deretan angka itu. Tak ada salahnya. Enning membayar minuman kami dan langsung melaju pulang ke rumah.Bulan berikutnya Enceng malah memberiku uang lebih banyak lagi, enam ratus ribu! Tak kepalang rasa bahagia di hati.Banyak hal yang sudah kupelajari dan kupetik selama ikut mereka berdua. Namun dalam hati masih mengganjal sesuatu. Ada merasa tidak puas. Aku merasa kepintaranku mungkin tak sepadan dengan uang-uang itu. Aku harus tetap mencari pekerjaan.Rasa galau ini melanda berhari-hari, ada desakan dalam diri agar aku mendapatkan yang lebih baik. Membantu Enning adalah baik, tetapi aku merasa ada yang lebih baik lagi di luar sana.Sudah dua bulan lebih aku bersama kedua orang yang luar biasa itu. Suatu sore, aku nekat mendekati Enning yang sedang santai di teras bersama anak bungsunya.“Ning…” panggilku lirih.Enning menoleh dan menyuruhk
Baca selengkapnya
Part 7: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam
Mardi keluar dengan sebuah kipas angin berukuran sedang di tangan kemudian ke pojok  ruangan, meletakkan kipas itu di atas meja kecil. Sedetik kemudian angin segar menerpa wajah dan badanku. Aku tersenyum, sebagian rambut panjangku bergerak, melayang, seolah ikut menikmati apa yang kurasakan. “Makasih, Bang,” ujarku sembari mengembalikan koran ke tempatnya. Bang Mardi hanya tersenyum lalu kembali duduk di kursinya semula. Lembaran dengan sejuta abjad kembali menjadi pusat perhatiannya. Aku hanya menikmati rasa nyaman karena udara yang bergerak dari kipas, menggerakkan leherku ke kiri, lalu ke kanan, agar bagian belakang leherku terkena embusannya. “Kamar kamu panas ya?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengangguk. “Besok tanggalan merah, aku pinjam kunci kamar kamu, mau suruh tukang untuk bikin jendela kecil di sana.” Aku menoleh dengan senyum lebar terkuak. “Benar, Bang?” Bang Mardi mengangguk. “Aku udah lama pingin ngomong, tapi tidak be
Baca selengkapnya
Part 8: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam
Bangun pagi dengan motivasi tertanam di otak membuatku lebih bersemangat. Aku punya misi hari ini, mengorek keterangan dari Ci Melan tentang apa pun yang mereka sebutkan kemarin, tentang uang dua ratus juta. Dua-ratus-juta! Aku sudah tahu akan kuapakan uang itu jika mendapatkannya.             Kata orang rejeki tak ke mana. Rejeki akan datang menghampiri, tetapi jika rejeki tak kunjung datang, aku yang harus menghampirinya. Betul, bukan? Aku datang ke Jakarta, untuk menghasilkan uang. Demi Ebo’, Eppa’, dan hidupku sendiri.             Bayangan tumpukan uang menyelinap indah ke dalam pikiran. Aku berdiri dengan penuh harapan. Semalam hawa terasa begitu panas, baju tidurku basah oleh keringat di bagian leher dan ketiak. Mungkin dengan uang itu aku bisa pindah kos. Pindah ke kosan baru yang punya pendingin ruangan? Angan-angan ini membuatku tersenyum se
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status