Share

5|Ponsel

Karena terlalu sering menelpon keluar negeri, tagihan telepon rumahku jadi membengkak. Rasanya aku juga sedikit merasa bersalah soal itu. Aku mulai mengurangi waktuku untuk berbicara dengan Mitsuki. Tapi, aku bersyukur itu tidak bertahan lama. Ayahku memberiku solusi lain agar aku bisa terus berkomunikasi dengannya, yaitu dengan membelikanku sebuah ponsel.

Tentunya aku langsung mengabari Mitsuki soal ini. Beberapa waktu yang lalu Mitsuki pernah bercerita jika dia dibelikan sebuah ponsel oleh ibunya, jadi aku pikir ini akan menjadi berita bagus. Aku dan Mitsuki mulai saling berbagi nomor telepon dan alamat email masing-masing. Hampir semalaman aku memainkan ponsel, padahal yang aku lakukan hanya membuka tutup isi pesan yang pernah Mitsuki kirimkan.

Esok harinya, saat di kelas aku dimintai nomor telepon oleh Anton, dan juga teman-temanku yang lainnya. Aku merasa menjadi lebih dekat dengan yang lainnya, satu persatu dari mereka mulai mengirimi pesan sapaan padaku. Ketua kelas juga memasukkan nomor ponselku ke grup chatting kelas, kami asik mengirimkan sebuah pesan sticker, hingga akhirnya dibubarkan oleh kehadiran pak guru yang mulai memasuki kelas.

“Hayooo, ngapain nih rame-rame? Bapak ikutan juga dong…” ucap pak Mamat. Seorang guru bahasa Sunda dengan rambut botak plontos, dan kacamata hitam di sakunya yang terlihat khas. Dia guru yang cukup humoris, meskipun aku tidak terlalu mengerti pelajaran bahasa Sunda ini, setiap katanya benar-benar sulit untuk aku ucapkan.

Aku baru sadar jika hari ini kak Risa tidak lewat ke depan kelasku lagi hari ini, bahkan sampai jam istirahat tiba aku masih belum melihatnya. 

Tak lama setelah berpikir seperti itu, dia tiba-tiba saja datang menghampiriku yang sedang duduk di kursi kantin bersama Anton. Dia memperhatikanku yang sedang menulis pesan dari belakang.

“Waahh, kamu punya ponsel? Minta nomer teleponnya dong… hehe,” ucap kak Risa.

“Boleh, nomernya…“

Dia mengambil sebuah pulpen dari sakunya, dan kemudian menuliskan nomer telpon yang aku sebutkan satu persatu di atas telapak tangannya sendiri. Setelah itu dia menarik lenganku, dan menuliskan sesuatu di atas telapak tanganku, rasanya sedikit geli… Saat aku lihat, ternyata dia menuliskan sesuatu di telapak tanganku.

“Itu nomor telponku ya… Sampai jumpa di bis nanti…”

Aku benar-benar tidak mengerti kenapa dia melakukan itu. Tapi, bekas tangannya itu entah kenapa terasa sedikit wangi.

Bel masuk langsung berbunyi setelah kak Risa pergi, aku langsung bergegas berlari menuju kelas bersama Anton.

Jam pelajaran kali ini adalah sejarah. Bu guru memberikan kami sebuah tugas yang harus dikerjakan secara kelompok yang berisi 4 orang, di kelompokku ada Toni, Rani, Ridwan, dan aku sendiri. Aku dengan mereka tidak terlalu sering mengobrol, tapi meskipun kami ber empat baru saja mengobrol tadi pagi saat bertukar nomor ponsel, suasananya terasa canggung. Hingga Ridwan menguap lebar, dan memecah suasana canggung yang terjadi. Seketika seisi kelas tertawa lepas.

Tak lama setelah itu Rani mulai berbicara terlebih dahulu, dan membimbingku untuk ikut menulis tugasnya. Untungnya tugas ini tidak benar-benar sulit, tapi jumlah kata yang harus kami tulis cukup menumpuk, dan membuat jari-jariku sedikit pegal. Ditambah lagi aku masih belum terbiasa menulis huruf alphabet.

Disaat kami bertiga sibuk menulis, Toni malah sibuk melamuni sesuatu. Entah apa yang sedang dia pikirkan, tapi sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu yang berat.

“Bagaimana ini… aku masih belum menyelesaikan tugas dari bu Anita… dia pasti akan membunuhku…” gumam Toni sambil menatap kosong kearah lantai.

Setelah tahu apa yang sedang dipikirkannya, aku jadi sedikit kasihan pada Toni. Dari rumor yang aku dengar bu Anita itu seorang guru yang cukup galak, dan sensitif terhadap tugas. Pantas saja dia jadi terlihat terbebani.

“Dari kemarin ngapain aja sih. Males banget, bukannya dikerjain…,” sindir Rani.

Tatapan Toni semakin tidak karuan, karena merasa tidak enak akhirnya aku mencoba untuk membantunya, dengan mengeluarkan buku tugas milikku dari tas.

“Ini Toni, salin saja punyaku,” ucapku sambil menyerahkan sebuah buku bersampul hijau tua.

“Apa boleh?” tanya Toni, dengan mata yang seolah melihat harapan.

Aku pun mengangguk dan memberikannya buku. Rani mencoba untuk mencegahku, tapi aku sudah terlanjur memberikan buku itu pada Toni.

Toni langsung berlari ke mejanya, dan terlihat bersemangat untuk menyalin tugasku. Tapi, semangat itu ternyata tidak bertahan lama. Dia kembali terlihat putus asa setelah membuka buku tugas buku milikku.

“Ini Alan tidak jadi, ternyata tugasnya banyak sekali… Aku akan menunggu eksekusi dari bu Anita saja,” ucap Toni lemas, sambil mengembalikan buku milikku.

Dia seperti kehilangan harapan… Sekarang sudah waktunya jam pelajaran berganti ke pelajaran bu Anita, yaitu pengetahuan alam. Toni yang duduk di belakangku terlihat semakin pasrah. Tapi, bu Anita masih belum datang juga. Sebagian siswa mulai berharap bu Anita tidak akan masuk kelas, ternyata banyak dari mereka yang belum mengerjakan tugas. Hingga akhirnya keheningan di kelasku pun hancur, berubah menjadi sebuah teriakan histeris saat mendengar pengumuman dari speaker sekolah.

“Karena akan ada rapat untuk para guru. Para siswa siswi SMP Negeri Hayalan Bandung, silahkan kalian berkemas saja, dan melanjutkan belajar di rumah. Besok kembali masuk seperti biasa ya, terima kasih.”

Seisi kelas langsung terburu-buru mengemas alat tulisnya kedalam tas masing-masing, begitu juga denganku. Aku memutuskan untuk buru-buru pulang sebelum kak Risa menemukanku. Tak lama setelah berjalan keluar meninggalkan ruangan kelas, ada seseorang yang menepuk punggungku. Ya aku bisa menebak siapa orangnya…

“Alan! ketemu… hehehe. Jangan tinggalin aku dong.”

Pada akhirnya aku dan kak Risa kembali pulang bersama. Noda pulpen bertuliskan nomor ponselku masih terlihat jelas di lengannya, dan begitu juga noda pulpen di lenganku… 

“Nanti aku akan menelpon ya, boleh?” tanya kak Risa.

“Boleh, tapi ingin memangnya akan membicarakan apa?”

“Bicara apa saja juga bisa,” kak Risa mendekat, dan kemudian berbisik padaku, “membicarakan masa depan kita misalnya… haha bercanda deh.”

Seketika hembusan hangat nafas kak Risa terasa jelas di daun telingaku.

“Ehh Alan kamu tersipu…? Pipi kamu merah loh.” ucap kak Risa, dia kembali menggodaku.

“T-tidak, hentikan itu kak.”

“Panggil aku Risa saja…”

“Baiklah… Risa.”

Saat aku coba panggil namanya dia malah memalingkan wajahnya dariku. 

“Karena pulang lebih cepat, mau pergi bermain ke suatu tempat?” tanya Risa, sambil masih memalingkan wajahnya dariku.

Tadinya aku berniat untuk menolak ajakannya itu, tapi… aku ingin melihat-lihat kota ini lebih jauh lagi. Jadinya aku tak bisa menolak tawarannya itu, dan sepertinya Risa juga tahu tempat-tempat bagus di kota ini. Aku bisa memotret beberapa tempat bagus untuk Mitsuki… 

“Baiklah, ayo. Kita mau kemana?”

Risa terlihat senang, dan bersemangat mendengar jawaban dariku.

Risa mengajakku untuk berjalan kaki saja. Ternyata tak jauh dari sekolah ada sebuah pasar, dan disini juga ada banyak pedagang kaki lima yang lainnya. Risa menarik tanganku dan membawaku berlari untuk pergi menyebrangi jalan.

“Perhatikan… langkahmu ya…!” 

Dia mengatakkan itu sambil terus menarik tanganku.

“Baiklah, kita sampai…”

Risa melepaskan tanganku, dan kemudian menatapku seolah penasaran dengan reaksiku. Dia membawaku ke sebuah tempat yang cukup ramai oleh orang. 

“Ini alun-alun kota Bandung," ucapnya.

Aku langsung mengeluarkan ponselku, dan mulai memotret sekitaran tempat ini. Sambil menikmati sebuah makanan yang bernama cuanki ini, kami berdua duduk lesehan di bawah pohon besar ini. Rasanya ketika duduk di bawah pohon seperti ini jadi membuatku teringat dengan Mitsuki.

“Terima kasih sudah mengajakku, ini menyenangkan.”

“Aku pikir Alan akan menolak ajakanku, hehe tidak terduga…” 

“Makanan yang bernama cuanki ini juga enak, aku baru pertama kali makan ini.” Timpalku.

“Benar kan…? Hehe aku tahu itu.”

Entah kenapa aku mulai berpikir jika semua yang terjadi hari ini terasa menyenangkan, aku mendapatkan banyak hal baru hari ini.

“Alan coba lihat kemari.”

Saat aku menatap ke arah Risa, aku melihat sebuah cahaya flash dari ponselnya. Sepertinya dia berusaha untuk memotretku lagi.

“Aduh flash nya kok nyala terus ya…?” ucap Risa keheranan.

“Berhenti memotretku…”

“Hehe kamu lucu, jadi rasanya aku ingin terus memotretmu.”

Kami berdua pulang dengan menaiki bis, menuju rumah masing-masing. Risa terlihat sangat senang saat turun dari bis.

“Makasih Alan, hari ini menyenangkan. Sampai jumpa besok!” 

Sesampainya di rumah aku langsung mengirimi foto-foto yang ku potret tadi pada Mitsuki. 

“Wah… Aku jadi ingin pergi kesana…”

Aku benar-benar suka ketika saling bertukar pesan dengannya, dan hanya membicarakan tentang kami berdua saja. Itu terasa menyenangkan, dan membuatku nyaman. Meskipun ini tidak pernah membuatku puas, setidaknya ini membuatku sedikit bahagia…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status