Share

12|Panggilan Terakhir

“Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan.

Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki.

Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain.

Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semangat!” Aku terkadang sesekali melihat pesan itu hanya untuk menghibur diri. Pesanku tidak pernah dia balas atau pun terbaca. Sambungan teleponku tak pernah terangkat, dan begitu juga dengan telepon rumahnya. Selalu saja gagal tersambung. 

Sebuah hubungan yang terjalin selama enam tahun itu… benar-benar melelahkan. Rasanya tak cukup jika hanya melihatnya dari balik layar.

Waktu terkadang terasa berjalan lambat, dan juga terkadang berjalan begitu cepat. Sudah delapan Tahun berlalu sejak aku pindah rumah, dan meninggalkan Mitsuki di Jepang. Dalam waktu itu… tidak pernah ada sebuah kesempatan bagiku untuk menemuinya. Kami berdua selalu berangan-angan tentang hal apa yang akan kami lakukan nanti saat bertemu kembali. Yang aku inginkan hanya duduk di sampingnya, dan membicarakan banyak hal bersamanya. Hanya sebuah keinginan sederhana, tapi benar-benar sulit untuk terlaksana.

Aku memang mempercayai Mitsuki, tapi… entah kenapa aku merasa sedikit tidak tenang, dan merasa cemas.

Ketika sedang terduduk untuk beristirahat sejenak, tiba-tiba saja ada yang menepuk pundakku dari belakang, dan membuatku sedikit terkejut. Aku terbangun dari renunganku, dan menoleh ke arah belakang.

“Cerialah Alan. Kamu terlalu memikirkan Mitsuki. Dia pasti baik-baik saja,” ucap Risa sambil tersenyum lebar padaku.

Entah kenapa Risa selalu tiba-tiba muncul begitu saja, dan menarik diriku yang tenggelam ke atas permukaan. Dia sekarang menjadi seorang penulis novel fiksi yang cukup populer. Cerita yang dia tulis selalu saja memiliki bau romantis yang menyengat. Meskipun begitu, menurutku Risa sama sekali tidak terlihat berubah. Mungkin hanya sedikit, rambut cokelatnya sekarang jadi terlihat lebih panjang, dan menurutku itu bagus.

“Kau benar… Mungkin aku hanya sedikit lelah.”

“Abis ini kamu mau langsung pindah ke rumah orang tuamu? Atau masih di kosan?”

“Di kosan, mungkin besok aja. Aku masih harus beres-beres, sedikit lagi selesai sih. Mungkin malam ini juga beres.”

“Jangan terlalu maksain, kalo capek istirahat aja. Nanti kabarin aku ya, kalau begitu…,” Risa mengulurkan tangan kanannya ke arahku, aku pun ikut mengulurkan tanganku, dan menjabat tangannya, “selamat ya! kita foto Yuk!” Risa menarikku ke tempat yang terbuka.

“Permisi tante, bisa tolong fotoin gak?” Risa menghampiri kerumunan ibu-ibu, dan meminta ibuku untuk memotret kami berdua.

“Boleh-boleh, sini…”

Aku, dan Risa berdiri bersebelahan. Menahan pose sampai hitungan mundur selesai, dan terdengar suara potretan dari sebuah ponsel. Entah kenapa ini rasanya sedikit nostalgia… Tak lama setelah itu, ponsel Risa berdering. Risa dengan sedikit terburu-buru mengangkatnya, dia terlihat fokus menyimak seseorang yang sedang berbicara dari balik telepon.

“Maaf, aku langsung pamit aja ya,” ucap Risa setelah menutup panggilan.

“Dari penerbit?” tanyaku iseng menebak.

“Iya, aku duluan ya…”

“Iya, h-hati-hati.”

Risa tersenyum padaku, dan kemudian berjalan pergi.

Setelah semuanya selesai aku pun di antar pulang ke kosan oleh ayah naik mobil, bersama ibu, dan juga Naomi. Baju wisuda, dan topi toga ini benar-benar membuatku gerah. Wajar saja ini sudah memasuki bulan agustus, waktunya musim panas.

Dari balik kaca mobil aku memandang keluar, dan melihat langit sore yang mulai semakin gelap. Udara mulai semakin terasa sejuk, melihat cuaca yang sepertinya akan hujan malah membuatku tenggelam ke dalam rasa kantuk. Baru saja beberapa saat menikmati tidur, tak lama kemudian aku terbangun kembali karena kondisi jalanan yang tidak mulus, dan membuat kepalaku terbentur kaca jendela mobil. 

Hari sudah mulai terlihat gelap, lampu jalanan yang berjejer pun mulai menerangi jalan. Aku merasa jika bahuku sedikit terasa berat, dan saat menoleh ke arah samping aku melihat Naomi yang tertidur nyenyak. Aku merasa kasihan untuk membangunkannya, meskipun dia selalu menamparku saat tidur dulu. Setelah sampai di depan kosan, aku memindahkan kepala Naomi dengan perlahan, dan kemudian turun dari mobil.

“Besok kamu beneran pulang lagi ke rumah? Mau di jemput gak?” tanya ayah.

“Gak usah, aku sama temen aja nanti.”

“Ya udah, kalau begitu ibu sama ayah pulang ya. Awas, abis ini kamu istirahat ya…,” dari balik pintu mobil, ibu terlihat melotot padaku.

“Iya-iya… hati-hati di jalan.”

Mobil keluargaku pun perlahan melaju pergi dari depan kosan. Aku melambaikan tanganku sebelum mobil berwarna merah tua itu benar-benar pergi menjauh.

Setelah itu aku berjalan lemas menuju kamar kos. Ketika sedang asik berjalan tanpa memikirkan apapun, tiba-tiba saja ponselku berbunyi, dan sepertinya ada pesan masuk. Aku meraba-raba setiap saku di pakaianku, dan mencoba untuk mencari dimana ponselku berada. 

Kantuk yang aku rasakan langsung hilang ketika melihat siapa yang mengirimiku pesan. Dia adalah Mitsuki, aku langsung berlari menuju kamar kos, dan menutup pintu rapat-rapat. Aku terduduk di atas kasur, dan mulai membaca perlahan pesan terbaru yang Mitsuki kirimkan.

“Selamat malam Alan. Maaf karena sudah lama tidak mengabarimu, apa sekarang kamu sibuk? Aku ingin berbicara denganmu.” Sebuah pesan singkat dari Mitsuki itu benar-benar membuatku tegang, dan berdebar-debar.

“Iya boleh, silahkan. Ada apa?” balasku singkat lewat pesan.

Tak lama setelah itu Mitsuki pun menelponku.

“Halo? Mitsuki? Apa terjadi sesuatu? Kamu kemana aja? Aku mengkhawatirkanmu…” Begitu telepon tersambung, aku tidak bisa menahan kalimat-kalimat itu, dan tanpa sadar aku terus berbicara sampai kehabisan napas.

“Kita… udahan aja ya…?”

“Eh? maksudnya…?”

“… H-hubungan kita ini… kita akhiri saja. Maaf…”

Aku terdiam sesaat, bingung akan berkata apa. Apakah ini hanya sebuah mimpi?? Apa aku belum terbangun dari tidurku di mobil tadi…? Perlahan aku mulai sadar jika ini bukanlah sebuah mimpi, aku mendengar suara Mitsuki menangis. Sepertinya ini memang sebuah kenyataan pahit yang sedang terjadi.

“Maafkan aku Alan… Maafkan aku.”

“…”

“A-aku di jodohkan, dengan anak dari teman perusahaan ayahku.”

Suara tangisan itu… aku benar-benar tidak ingin mendengarnya.

“Jangan menangis Mitsuki…”

Selama aku mengenal Mitsuki aku tidak pernah melihat ayahnya sama sekali. Tapi, jika Mitsuki menerima perjodohan itu… Aku tidak keberatan, mungkin.

“Tapi, apa Mitsuki benar-benar ingin menerimanya begitu saja…?

“Aku tidak bisa menolaknya, ayahku benar-benar memaksaku… Jadi, aku…”

“Begitu ya… jika begitu mau bagaimana lagi. Terima kasih sudah memberitahuku soal ini… 

Dia pasti orang yang lebih baik untukmu.”

“Maaf Alan, maafkan aku… Aku mohon kamu lupakan saja diriku ini… Sampai ju-, mungkin kita tidak akan bertemu lagi ya… Maaf.”

Tak lama setelah itu dia langsung menutup panggilannya.

Melupakan dirinya? Jika bisa… mungkin aku menginginkannya. Tapi nyatanya itu mustahil.

Kamu meminta suatu hal yang berat Mitsuki, mungkin kali ini aku tidak bisa memenuhi permintaanmu ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status