Share

11|Sebuah Hubungan

PoV Risa (Sudut pandang Risa).

Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. 

Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. 

Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya.

Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang berada di panggilan lain. Aku ragu untuk mengangkat teleponnya, sampai-sampai aku berpikir cukup lama, dan hampir melewatkan panggilannya. Karena takut itu penting aku pun mengangkatnya. Di balik telepon aku bisa mendengar suaranya terengah-engah, seperti sedang kelelahan. Sesekali dia juga batuk-batuk. Aku memilih untuk tidak bicara, dan mencoba untuk mendengarkannya terlebih dahulu.

Ketika aku simak… sepertinya ada yang salah dengan ini. Dia tidak menyebut namaku sama sekali, dia malah menyebut nama teman dekatnya, yaitu Anton. Dia mengatakan jika dirinya sedang sakit, dan meminta tolong untuk menyampaikan itu pada guru. Dia juga meminta untuk di belikan obat demam. Secara spontan aku malah keceplosan berbicara.

“Eh? Alan sakit?” tanyaku.

“R-Risaaa…!? Maaf-maaf, aku tadinya mau nelpon Anton.” Alan sepertinya sangat terkejut ketika mendengar suaraku.

Ternyata hanya salah sambung ya… Aku sedikit kecewa mendengarnya.

“Baiklah, nanti akan aku sampaikan ke Anton. Lekas sembuh Alan…”

Setelah Alan menutup panggilannya, aku langsung berjalan menuju ke kelasnya, dan mencari Anton. Mungkin akan lebih mudah jika aku mengirimi Anton pesan, tapi sayangnya aku tidak mempunyai kontak, ataupun id line miliknya.

“Alan sakit? Duh kayaknya aku gak bisa kesana, pulang nanti ada urusan,” ucap Anton.

Tadinya aku berniat untuk ikut pergi menjenguknya bersama Anton nanti, tapi sepertinya ini malah menjadi lebih rumit.

Apa aku saja yang mampir ke rumahnya saja ya… 

Sepanjang jam pelajaran pikiranku tak lepas untuk memikirkan itu, apakah aku mampir atau tidak, tapi niatku untuk pergi menjenguknya lebih kuat, dan aku pun memutuskan untuk pergi ke rumahnya saja. Sebelumnya aku pernah pergi ke rumahnya, dan melihatnya tidur secara langsung. Ekspresinya saat tidur itu benar-benar lucu, haha aku masih ingat itu.

“Risa… kamu kenapa senyum-senyum sendiri…? Pasti Alan lagi.” tanya Clara sambil menatapku curiga.

“Sok tau kamu…”

Karenaku Alan jadi dipukul oleh Clara. Meskipun aku sudah meminta maaf pada Alan, aku masih tetap merasa bersalah padanya. Aku tidak menyangka Clara akan marah sampai seperti itu. Untung saja Anton bisa melerai keributan yang terjadi di parkiran, dan sejak kejadian itu Clara jadi ditakuti murid-murid sata sekolahan. Dia terlihat pendek, dan cebol. Tapi meskipun begitu tidak pernah ada yang berani mengejeknya, kecuali Anton mungkin. Padahal Clara itu cantik, dan imut. Tapi kepribadiannya sedikit…

“Sampai besok Risa,” ucap beberapa teman sekelasku yang mulai meninggalkan ruangan kelas.

“Ya… sampai besok.”

Jam pelajaran berakhir, aku langsung pergi menuju toko obat yang berada di dekat sekolah, dan membeli obat seperti yang Alan minta. Ini sudah sore, aku harap Alan baik-baik saja… Hmm sebaiknya aku membawakannya buah juga deh.

Baiklah, semuanya sudah siap. Obat sudah, buah tangan juga sudah. Setelah keluar dari minimarket, aku langsung berjalan menuju halte bis. Untungnya ketika aku baru saja keluar dari minimarket, bis baru sudah datang di halte, jadi aku tidak perlu menunggu lama lagi. Saat dalam perjalanan entah kenapa aku menjadi ragu-ragu kembali untuk pergi menjenguknya. Aku masih berusaha meyakinkan diri untuk pergi ke rumahnya, sejujurnya aku masih sedikit ragu. Tapi, karena sudah terlanjur pergi mungkin akan aku hadapi saja, aku harap ibunya ada di rumah nanti…

Setelah turun di halte bis, aku pun berjalan kaki menuju rumahnya. Sesampainya disana aku langsung menekan bel rumahnya, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Melihat pintu pagarnya yang sedikit terbuka aku pun memutuskan untuk masuk. Sepertinya aku sedikit terlihat mencurigakan, jika ada orang yang melihatku… mungkin bisa jadi salah paham.

Aku berjalan menuju pintu rumahnya secara perlahan, sambil memperhatikan sekitar, apakah ada orang atau tidak.

“Permisi… Punteun… Permisi…” Aku berulang kali mengucapkan itu sambil mengetuk pintu secara perlahan. Tadinya aku ingin berteriak, tapi takutnya akan mengganggu Alan.

Saat aku baru saja ingin mencoba mendorong pintunya, tiba-tiba saja pintunya sudah terbuka sendiri. Setelah pintu sepenuhnya terbuka, aku melihat Alan yang masih mengantuk dengan rambut yang berantakan.

“Anton, kamu lama banget sih…,” Alan menatap ke arahku, dia terkejut. Saking terkejutnya dia sampai ternganga saat melihatku berdiri di depan pintu rumahnya, “Risa? kenapa kamu…” Suara Alan terdengar sedikit serak, dia juga mulai batuk-batuk setelah itu.

“Apa kamu gak apa-apa? Maaf ya, Anton bilang dia ada urusan lain, jadi aku saja yang kesini…,” secara spontan aku memegang dahi Alan, dan mencoba untuk memeriksa suhu tubuhnya, “masih panas ternyata. Ini obatnya…”

“T-terima kasih…”

“Ngomong-ngomong kamu udah makan?” tanyaku.

“Belum…”

“kalau begitu… aku masuk ya. Permisi…” Tanpa berpikir panjang, aku langsung berjalan masuk begitu saja. 

“T-tunggu, kamu mau kemana?” Anton terlihat panik ketika aku masuk begitu saja.

“Boleh aku pinjam dapurmu?”

“Boleh, memangnya kamu mau ngapain?”

“Sudah-sudah, kamu istirahat aja di kamar…”

“O-oh, terima kasih…” Alan langsung berjalan lemas menaiki tangga menuju kamarnya.

Maafkan aku jika tidak sopan Alan… Aku berniat untuk memasakkan sesuatu untuknya. Sebagai teman… ya sebagai teman aku mencoba untuk membantunya yang sedang sakit. Apa Alan akan keberatan jika beberapa bahan masakan di dapurnya aku pakai ya…? aku harap tidak. 

Aku mengintip isi kulkas, dan isi lemari dapurnya. Disini ternyata banyak bahan masakan. Makanan yang cocok untuk orang sakit apa ya…?

Baiklah. Aku masak sup ayam saja, mungkin akan sedikit lama… tapi ini lebih baik untuk orang demam. Ya… aku membacanya di internet beberapa hari yang lalu. Sepertinya terlalu banyak barang yang aku pinjam di rumah ini, tanpa izin aku malah menggunakan celemek hitam yang terlihat tergeletak di atas meja.

Setelah cukup lama akhirnya selesai. Aku mencoba untuk memanggil Alan, dan mengintip dari balik pintu kamarnya. Aku lihat Alan tertidur nyenyak disana, aku jadi tidak enak untuk mengganggunya. Sebaiknya aku letakkan saja sup, dan teh hangatnya ini di atas meja kamarnya. Aku mulai merasa tidak nyaman berlama-lama disini, hatiku semakin tidak karuan, mataku tidak bisa berhenti menatap Alan yang sedang tertidur.

Sebaiknya aku pergi pulang saja. Sup nya juga masih sedikit panas, jadi aku yakin Alan akan terbangun sebentar lagi… 

Tapi, aku mendengar ponselnya berdering. Aku pikir itu adalah alarm, tapi ternyata saat aku lihat ada seseorang menelponnya. Aku mengambil ponselnya itu, dan mencoba untuk mengintip namanya… Tapi, aku tidak bisa membaca hurufnya. Sepertinya ini huruf Jepang.

Aku menyadari jika perbuatanku ini tidak sopan, dan aku pun berniat untuk meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. Tapi, karena aku baru saja mencuci tangan. Tanganku masih basah, dan licin. Aku hampir menjatuhkan ponselnya Alan. Tapi, untung saja berhasil aku tangkap.

Aku lega ponselnya berhasil terselamatkan. Tapi, sambungan teleponnya malah tersambung, dan yang lebih parahnya lagi… ini ternyata sambungan video call. Aku melihat ke arah layar ponsel Alan, dan melihat seorang gadis. Gadis itu terlihat sama dengan foto gadis yang ada di ponsel Alan, sepertinya dia memang gadis yang sama. Aku dengan iseng malah menyapanya begitu saja.

“Ha-halloo…?”

Dia jadi terlihat kebingungan. Tapi dia tidak berbicara sama sekali. Aku ingin membangunkan Alan, tapi dia terlihat nyenyak sekali tidurnya… Tak lama kemudian ekspresi gadis itu menjadi berubah, saat melihat Alan yang sedang tertidur di belakangku.

Kenapa dia berkaca-kaca…? Tunggu, aku tidak mengerti. Apa yang harus aku katakan. Di tengah kebingunganku ini… tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Sepertinya… baru saja terjadi kesalahpahaman disini. Tanpa mengatakan apapun dia langsung menutup sambungan teleponnya. Aku benar-benar merasa bersalah sekali… Andai saja aku tidak mengambil ponsel Alan tadi… mungkin ini tidak terjadi.

Bagaimana ini… Alan pasti akan membenciku.

“Kamu ngapain mondar-mandir disitu Risa? Maaf aku ketiduran…” Alan tiba-tiba saja bangun, dan kepanikanku semakin menjadi saat ini.

“O-oh Alan udah bangun ternyata… Ini supnya dimakan ya. Kalau begitu aku langsung pulang aja. Semoga cepat sembuh…”

“E-eh, tunggu! Aku belum ganti uang obatnya!”

“G-gak usah!”

Setelah keluar dari rumahnya, aku terus berlari sekencang mungkin sampai halte. Aku langsung memutuskan untuk pergi pulang saja. Ini sudah berakhir… aku malah melarikan diri. Diriku benar-benar menyedihkan… Aku sudah tidak punya muka lagi untuk bertemu dengannya. Maafkan aku… Alan. Sepertinya aku malah mengacaukan hubungan kalian berdua.

Tak lama kemudian bus pun tiba. Ketika aku masuk ke dalam bus, banyak kursi yang kosong, dan hanya ada dua atau tiga penumpang saja disini, termasuk aku. Aku memilih duduk di kursi yang berdekatan dengan kaca bis. Rasanya menyenangkan melihat ke arah luar bis di balik kaca. Di kaca itu pun aku bisa melihat bayangan diriku sendiri, yang kemudian menghilang karena tersilaukan oleh cahaya senja.

Saat sibuk memandangi ke arah luar bis, ponselku tiba-tiba saja berbunyi. Sepertinya ada pesan. Saat aku coba untuk memeriksanya, ternyata itu pesan dari Alan. Sebenarnya aku sedikit ragu untuk membacanya, tapi pada akhirnya aku malah membukanya karena penasaran.

“Supnya enak! Terima kasih. Lain kali aku akan mengganti uangnya ya! Ngomong-ngomong… kenapa kamu buru-buru sekali? Maaf ya jika aku ngerepotin.”

“Syukurlah jika itu sesuai seleramu. Soal tadi, apa aku boleh membicarakannya saat aku pulang nanti? Sebentar lagi aku sampai.”

“Okee, baiklah.”

Aku harus memberitahu Alan soal kesalahpahaman yang terjadi antara aku, dan gadis yang disukainya itu…

Setelah sampai rumah, aku langsung menelpon Alan. Tak lama kemudian Alan langsung mengangkatnya. Cepat sekali… aku sampai terkejut saat mendengar suaranya menyapa.

“Jadi, ada apa… Risa?” tanya Alan dari balik telepon.

“Sebenarnya… tadi ada teman kamu yang nelpon lewat video call. Tadinya aku cuma mau ngintip aja siapa yang nelpon, tapi karena tanganku licin… ponsel kamu hampir jatuh, dan pas aku tangkap… panggilannya malah tersambung.”

“E-eh…? yang menelpon siapa tadi?” Alan terdengar panik.

“Aku gak bisa baca namanya, karena tulisannya belok-belok gitu. Tapi disana aku lihat temen kamu yang dari Jepang itu Alan…”

“Seriusan?! T-terus gimana?”

“Aku bener-bener minta maaf. Pas dia lihat aku ada di deket kamu yang lagi tidur… dia tiba-tiba kayak mau nangis gitu. Terus langsung tutup sambungannya… Kayaknya dia salah paham soal kita berdua…”

“Begitu ya… makasih udah mau ngasih tau aku.”

“Maaf…”

“Haha… tenang saja Risa, kamu tidak perlu sampai segitunya… Ngomong-ngomong aku sudah mengungkapkan perasaanku padanya. Tapi, dia langsung menutup teleponnya begitu saja. Hmm menurutmu dia kenapa ya…?”

“Haha, entah. Coba kamu tanyakan saja sendiri…”

“Baiklah, kalau begitu sampai jumpa besok… Risa”

Setelah itu Alan menutup panggilannya…

Tak apa… Aku mengerti. Seberapa sering aku berada di sampingmu… Aku tidak akan pernah bisa menggantikannya. Aku tidak akan pernah menang dengannya. Aku juga mengerti seberapa besar cintamu pada orang itu…

Kamu selalu baik padaku, tapi rasanya kamu selalu melihat sesuatu di belakangku. Sesuatu yang sepertinya sangat jauh. Kadang-kadang kebaikanmu membuatku ingin menangis. 

Aku terus menggeretakkan gigi agar tak menangis. Tapi, aku mulai bisa merasakan basahnya air mata mulai mengalir di pipiku. Sambil terus membayangkan dirinya, aku pun menangis. Lalu tertidur…

PoV Alan (Sudut Pandang Alan).

Rasanya hari ini terlalu banyak yang terjadi… Bahkan aku baru saja sadar jika beberapa saat yang lalu, aku berduaan dengan Risa di kamarku sendiri. 

Aku harap Mitsuki tidak berpikir terlalu jauh tentang kesalahpahaman yang baru saja terjadi. Risa mengatakan jika raut wajah Mitsuki seperti akan menangis, mendengar itu… aku benar-benar ingin segera menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi ini. Tak lama setelah aku menutup telepon dengan Risa, aku langsung menelpon Mitsuki.

Tadinya aku berniat untuk berbicara lebih dulu, dan meminta maaf. Tapi, sepertinya Mitsuki sudah berpikir terlalu berlebihan.

“… Alan, apa perempuan tadi… ah maaf ya, aku malah menggangu waktu kalian berdua…” Dari balik telepon, aku bisa mendengar Mitsuki berbicara dengan terbata-bata.

“B-bukan! Mitsuki, dia cuma temen sekolahku. Sebenarnya aku sedang tidak enak badan, dan dia menjengukku… Aku beneran gak ngelakuin hal kotor sama dia!” Selesai berbicara napasku sedikit terengah-engah, dan mulai batuk.

“H-hal kotor?! N-ngomong apa sih kamu… A-aku gak mikir kesana tau…”

“Oh… begitu ya. Tapi, yang seharusnya minta maaf itu aku. Maaf jika aku membuatmu salah paham.”

“Ya… aku pikir tadi dia pacar kamu… Tapi, dia cantik ya.”

Mitsuki masih belum tau itu Risa ya… Risa memang cantik, dan kadang-kadang siswa laki-laki di sekolah juga suka iseng menggodanya.

“Pacar? Kalo aku udah punya pacar, kemarin aku gak bakal bilang suka sama kamu Mitsuki.”

“…”

“Apa kamu masih ingat musim panas waktu itu? Saat kamu mengulurkan tangan kepadaku, dan mengajakku pergi bermain bersama. Mungkin sedikit aneh ya jika tiba-tiba saja menyukai seseorang yang baru saja kita temui. Tapi, itu yang aku rasakan saat bertemu denganmu, aku menyukaimu Mitsuki. Apa kamu mau berpacaran denganku?”

Mitsuki terdiam setelah aku mengatakan kalimat yang memalukan tadi. Saking heningnya, aku hanya bisa mendengar suara detak jantungku sendiri. Aku harap Mitsuki tidak akan menutup teleponnya secara tiba-tiba…

“A-aku juga menyukaimu Alan. Jika kamu tidak keberatan bersama gadis sepertiku ini… ”

Seriusan… yang benar saja Mitsuki. Sepertinya aku akan terkena demam lagi… Rasanya aku ingin memeluknya saja saat ini. Tapi sayangnya aku tidak bisa mewujudkan keinginanku ini.

“Terima kasih Mitsuki… aku senang mendengarnya.”

Sudah satu minggu berlalu sejak hari itu. Aku menjalani keseharianku seperti biasanya. Tapi, rasanya sulit sekali untuk melakukan video call dengan Mitsuki. Setiap kali aku menelponnya selalu saja tidak terjawab.

Malam ini aku ingin mencobanya kembali. Aku baru saja mengirim pesan pada Mitsuki, jika adikku Naomi ingin melakukan video call dengannya, dan aku berbohong. Tak lama setelah itu Mitsuki langsung menghubungiku lebih dulu.

Aku langsung mengangkatnya, tapi tidak menunjukkan wajahku di depan kamera begitu saja. Saat panggilannya berlangsung ponselku masih tergeletak di atas meja, dan kameranya menghadap ke arah langit-langit kamarku. Sambil terduduk di atas kursi aku bisa melihat Mitsuki dengan baju tidurnya yang berwarna biru. Sejujurnya ini pertama kalinya aku melihat Mitsuki menggunakan baju tidur…

“Naomi-Chan nya mana…? Umm, hallo?” Dia terlihat kebingungan.

“Y-yo…! Mitsuki. Lama tidak bertemu… Maaf aku berbohong, sebenarnya Naomi sudah tertidur.” Sepertinya senyum yang aku tunjukkan kepada Mitsuki ini… sedikit aneh.

Ketika aku melihat ke arah ponsel dengan lebih jelas, mata kami berdua saling bertatapan. Rasanya seperti ada sesuatu yang menusuk ke dalam dadaku. Melihatku yang tiba-tiba saja muncul ke dalam layar, Mitsuki terkejut, dan membuang pandangannya ke arah bawah sambil tersenyum. Rasanya sudah lama sekali aku tidak melihat senyumannya itu.

“Apa ini Alan…? kamu terlihat tidak berubah ya. Tapi, entah kenapa hanya matamu saja yang terlihat berbeda.”

“Ahaha… benarkah?”

“Umm…,” Mitsuki mengangguk sambil tersenyum kembali.

Kami berdua sudah saling tatap sambil senyam-senyum selama sepuluh menitan lebih, tanpa membicarakan apapun. Hening sekali! Saking gugupnya aku bingung ingin membicarakan apa dengannya. 

“Oh iya Mitsuki, s-sekarang kita itu p-pacaran ya…?”

“Umm…,” Mitsuki kembali mengangguk. Pipinya terlihat merah saat aku menanyakan itu, yang aku pikirkan saat ini hanyalah satu hal.

“I-imutnya…” Gawat, aku malah secara tidak sengaja mengatakan itu. Mitsuki mendengar itu tidak ya…

Ketika aku melihat ke arah layar, Mitsuki malah menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Saat aku bertanya kenapa? Dia malah menggelengkan kepalanya dengan cepat, sampai-sampai rambut hitam panjangnya itu ikut bergoyang.

Lagian… orang pacaran itu ngapain aja ya…? Sial aku benar-benar tidak punya pengalaman!

Rama Sipit

Nantikan kelanjutannya ya^^ secepat mungkin akan ada update;)

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status