Bianca meraih ponsel dari atas nakas, melihat waktu yang sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Matanya melirik pria yang masih tidur di sebelahnya. Lalu tanpa membuang waktu lebih lama dengan tubuh telanjang Bianca beranjak.
Masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Kemudian membungkus dirinya kembali dengan pakaian ketat yang semalam ia kenakan. Tangannya meraih cek yang terletak di sebelah ponsel lalu memasukkan keduanya ke dalam tas.
"Udah mau pergi?"
Suara serak dari pria yang masih terpejam itu membuat Bianca menoleh. Menjawab hanya dengan gumaman.
"Kapan-kapan lagi, ya?"
"Siapin aja uangnya," jawab Bianca sebelum membuka pintu hotel.
Wanita berparas cantik dengan tubuh sexy itu berjalan santai di lorong menuju lift. Suara sepatu hak yang dia pakai terdengar nyaring karena suasana yang sepi.
Bianca yang semula menunduk mengangkat wajah. Mata tajamnya langsung bertabrakan dengan seseorang yang berjalan dari arah berlawanan. Keduanya sama-sama berhenti di depan lift.
Pria itu yang menekan tombol lift, lalu tak lama pintu lift terbuka. Bianca berdiri di sudut dengan si pria yang berada di sudut berlawanan.
"Alone?"
Bianca melirik, menemukan tatapan pria itu yang memandangnya secara terang-terangan.
"Hm," jawabnya.
"Mau diantar?"
"No, thanks."
Jelas saja Bianca menolak. Mereka baru pertama kali bertemu. Ia memang sudah terbiasa pergi berdua dengan pria asing, namun, tidak pernah dengan pria yang tidak memberikan uang. Semuanya dalam hidup Bianca memang tentang uang.
Karena ia tidak ada waktu untuk memikirkan hal yang lain selain lembar kertas berharga itu.
Si pria yang awalnya berada di sudut itu mendekat, membuat Bianca menegakkan tubuh. Was-was.
"Ravindra," kata pria itu.
Bianca menaikkan sebelah alis. Menatap pria yang memperkenalkan diri itu dengan penuh tanya.
"What's your name?"
Orang bilang, sepertiga malam terakhir memang waktu yang magis. Mungkin karena itu kedua insan berbeda gender bisa mengobrol tanpa ragu. Meski sangat ketus tapi Bianca tetap menyebutkan nama.
"Bianca."
"Oke, Bianca." Ravindra menjilat bibir bawahnya. "Bye the way, partner sex mu liar juga."
Bianca tidak menunda untuk menoleh. Sedikit mendongak karena perbedaan tingginya dengan Ravindra.
Ravindra yang ditatap tajam seperti itu menunjuk leher dan pundak Bianca yang terekspos. "Itu merah semua."
Dan Bianca hanya memutar bola matanya. Ternyata hanya karena kissmark Ravindra tahu kalau dirinya telah bercinta. Tadinya wanita itu pikir, Ravindra tahu karena ada kamera yang dipasang dikamar tempatnya tadi.
Bukan tanpa alasan Bianca berpikir seperti itu karena dirinya pernah mendapat customer yang diam-diam menaruh kamera untuk merekam sesi bercinta mereka.
"Jeli juga penglihatan lo," balas Bianca sewot.
Setelah mengatakan itu, pintu lift terbuka. Bianca langsung keluar tanpa mengatakan apapun lagi. Tapi baru dua langkah, tangannya dicekal. Ia menoleh, melihat Ravindra yang juga menatapnya.
"Elo mau apa megang tangan gue?" tanya Bianca ketus.
Sikapnya memang tidak akan pernah ramah pada siapapun. Ia selalu menunjukkan cakar dan taringnya. Tidak peduli seberapa penting pria yang ia layani. Bahkan dengan Sarah, mami di club tempatnya bekerja saja Bianca tidak pernah sopan.
"Minta nomor," kata Ravindra. Pria itu menyerahkan ponsel. "Kali aja aku mau makek kamu."
Semua pria memang sama saja. Mendekati wanita sexy hanya untuk kepuasan nafsu.
"Gue mahal."
Ravindra mengangguk. Uang bukan masalah. Ia bisa memberikan berapa pun yang wanita itu minta.
"Mahalnya seberapa? Mau ditransfer sekarang? Berapa? Seratus juta? Eh, kemahalan ya segitu?"
Bianca mendengus kasar. Sudah biasa diremehkan seperti ini. Ia tidak merasa harga dirinya diinjak-injak. Tapi hatinya tetap merasa kesal karena tubuhnya yang sudah lelah dan mau tidur secepatnya, harus terkendala oleh pria asing yang hanya mampu menyebutkan angka seratus juta untuk dirinya.
Harganya jauh lebih mahal dari itu asal tahu saja. Dia adalah wanita penghibur VVIP yang tidak pernah mengecewakan. Dirinya hanya melayani pria kaya dan juga tampan.
Oke. Ia akui Ravindra memang tampan. Tapi apa pria itu juga kaya? Bianca memindai penampilan si pria. Kemeja merah maroon dan juga celana bahan hitam yang dipakai memang dari brand ternama. Jam tangan seharga ratusan juta dan juga bau parfum yang sangat langka.
Bianca mengangguk. Pria didepannya memang kaya. Maka, wanita itu langsung menyahut benda pipih berwarna hitam. Mengetikkan nomor dan langsung menyimpannya di ponsel Ravindra.
"Seratus juta mah cuma buat jajan cilok." Bianca mengembalikan ponsel milik si kaya. "Buat elo harga gue sepuluh miliar. Boleh chat kalau ada uang, kalau gak ada skip."
Setelah mengatakan itu, Bianca langsung berjalan pergi. Tanpa pamit dan tanpa menoleh. Pria dibelakang memang sayang kalau diabaikan tapi dirinya sudah sangat lelah untuk melakukan flirting.
Ravindra yang memperhatikan Bianca dari belakang tersenyum tipis. Mencium bau ponselnya yang ada sisa parfum Bianca. Dia boleh dibilang gila karena bisa-bisanya dirinya tersenyum dengan hati berdebar karena seorang pelacur.
***
Pukul enam sore Bianca sudah selesai dengan make up dan tatanan rambutnya yang ponytail. Wanita berusia dua puluh delapan tahun itu berdiri dari kursi, mematut dirinya sekali lagi di depan cermin sebelum keluar dan mulai mencari pria kaya.
"Bi, ada yang nyari elo, tuh."
Bianca menoleh. Melihat Sarah yang berdiri di ambang pintu. "Siapa?"
"Katanya sih Ravindra."
Si cantik dengan rambut hitam itu mengernyit. Seperti pernah mendengar nama itu tapi lupa dimana. Bianca memang tidak memiliki ingatan yang bagus. Jadi, sebaiknya ia langsung menemui saja.
Siapa tahu pria yang bernama Ravindra itu kaya tujuh turuan dan sangat loyal.
"Dimana dia?"
"Di depan meja bartender."
Bianca langsung berjalan cantik melewati Sarah begitu saja. Tanpa ada ucapan terima kasih atau yang lainnya. Sarah biasa saja, hanya diam tanpa menegur lagi. Sudah hapal dengan sikap Bianca yang memang kurang ajar.
Malam itu Bianca memakai dress merah yang ketat tanpa lengan. Ia sengaja memamerkan lengan putih dan juga kaki sexy miliknya. Begitu keluar dari lorong gelap semua mata langsung memandangnya. Siulan nakal dan juga namanya yang dipanggil tidak membuat Bianca berhenti untuk menoleh atau tersenyum.
Dia memang sedingin itu. Tapi itulah daya tariknya.
Bianca langsung menuju meja bartender. Mata kucingnya yang tajam bisa melihat seorang pria duduk di kursi tinggi, membelakangi dirinya. Bianca benar-benar tidak ingat siapa pria itu meski rasanya pernah mendengar namanya.
"Ravindra?"
Pria yang dipanggil menoleh. Bianca membelalakkan mata, langsung ingat dengan wajah tampan di depannya.
"Gue kira siapa," kata Bianca lalu duduk di sebelah Ravindra.
"Kamu lupa sama aku?" tanya Ravindra tak percaya. "Baru dua hari lho ini."
Bianca mengedikkan bahu. Jangankan dengan pria dua hari yang lalu, dengan siapa dirinya kemarin bercinta saja Bianca tidak ingat.
"Engga harus kan ya gue inget sama wajah tengil kayak elo," balas Bianca cuek. "Jadi, mau apa nyari gue?"
Ravindra melengos. "Nomor yang kamu kasih itu salah. Makanya aku nyari kesini."
Bianca bergumam, nomor yang ia berikan waktu itu hanya asal. Dia memang tidak pernah memberikan nomor hape pada pria secara langsung. Semua lelaki yang menginginkan dirinya harus melewati Sarah lebih dulu.
"Kok tau gue ada disini?" tanya Bianca heran. "Elo pelanggan club sini?"
Ravindra menggeleng. "Bukan."
Bianca berharap ada kalimat lanjutan dari Ravindra sebagai penjelasan. Karena sekarang Bianca sangat ingin tahu. Tapi sepertinya si pria tidak berniat menjawab lebih banyak. Maka, ya sudah. Bianca bisa apa memangnya?
Ia terlalu malas untuk sekedar memaksa Ravindra menjawab lebih banyak.
"Jadi kesini mau minta nomor asli?"
Ravindra mengangguk. Tujuannya memang itu. Percaya atau tidak, Ravindra merasa stress sejak mencoba menghubungi Bianca tapi nomornya malah tertuju pada abang-abang tukang bakso.
"Engga bakalan gue kasih."
Ravindra mengernyit. Menopang kepalanya dengan tangan di atas meja.
"Kalau dikasih sepuluh miliar masih engga mau ngasih?"
Ravindra menggeram kesal sekaligus gemas. Merasakan tangan lembut Bianca meremas miliknya di bawah sana membut darah Ravindra berdesir. Sebagai pria normal jelas dia ingin melakukannya. Jika ingin mengikuti nafsu Ravindra pasti sekarang sudah menyeret Bianca dan membuatnya tak bisa menjauh dari tempat tidur. Hanya saja, jika Ravindra melakukan itu maka dia sama saja dengan pria berengsek lain yang memperlakukan Bianca sebagai wanita pemuas nafsu. "Jangan keterlaluan, Bi," peringat Ravindra dengan suara dalam. Namun, Bianca bukanlah tipe wanita penakut yang akan menuruti Ravindra begitu saja. Dia sudah terlanjur kesal dan malu. "Lo yang jangan keterlaluan," balas Bianca kesal. Lalu mendorong tubuh Ravindra menjauh sebelum akhirnya masuk ke dalam bar. Meninggalkan Ravindra yang menatap kepergiannya dengan wajah mengeras. "Bapak ada di sini?" Ketika mendengar suara tanya dalam Bahasa, Ravindra menoleh ke belakang. Menemukan Ilham, sekretarisnya, yang sedang berjalan ke arahnya. Ali
"Bi?" Bianca pura-pura tak dengar, dia lebih sibuk scroll beranda sosial medianya dengan tak minat. Masih kesal dengan Ravindra yang menghancurkan suasana begitu saja dengan kalimatnya yang ajaib. Ingin tapi tak bisa? Hah, dasar gila! Belum pernah Bianca menemui pria yang menolak melakukan hubungan sex padahal sudah turn on. Terlebih si wanita juga menginginkan hal yang sama. Bianca berdecak dan sedikit menjauh ketika tangan hangat Ravindra menyentuh pundaknya. Rasa kesal Bianca membuat kamar presiden suite ini terasa seperti kamar kos yang kecil. Sangat memuakkan. "Bi, jangan marah. Aku cuma nggak mau ngelakuin hal itu tanpa cinta," kata Ravindra menjelaskan. Lelaki dengan rambut hitam dan hidung bangir itu meringis. Tahu kalau jawabannya mungkin tidak masuk akal. Namun, sungguh. Dia benar-benar tidak mau menyatukan tubuh mereka sebelum ada cinta di hati Bianca. Karena Ravindra tidak mau hubungan mereka ke depannya hanya berbalut nafsu. "Bullshit! Kalau gitu kenapa nyari pelac
Kedatangan Ravindra ke Korea Selatan sebenarnya karena ada urusan hotel yang harus dia selesaikan. Hanya saja, dia pikir untuk liburan setelah menyelesaikan pekerjaan bukan lah sesuatu yang buruk. Karena itu, Ravindra membawa Bianca juga untuk ikut dengannya. "Berapa lama kita di Korea nanti?" tanya Bianca setelah menyesap wine dari gelas dengan gagang tinggi yang cantik. Wanita dua puluh delapan tahun itu melihat ke jendela, tersenyum bahagia. Tak menyangka kalau dia bisa meniki pesawat dan bepergian ke luar negeri dalam hidupnya. Mana pakai pesawat pribadi keluarga Adiwijaya lagi. Ravindra menggulung lengan kaos putihnya yang panjang sampai siku. Kaca mata yang sejak tadi ia kenakan dilepas. Melihat Bianca dengan mata telanjang jauh lebih memuaskan. Lelaki itu merentangkan tangan ke belakang tubuh Bianca. Telapaknya mengusap lembut pundak Bianca yang terbuka. "Satu minggu, aku akan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat biar kita bisa jalan-jalan." Bianca menoleh, menatap lelaki
"Yang pink coba, Mel. Kayaknya cantik buat kamu." Melodi mengangguk, kembali masuk ke dalam ruang ganti. Mengganti pakaian yang sudah entah sudah keberapa kali, dia sendiri sudah pusing karena sudah hampir dua jam terus mencoba baju di butik langganan mamanya. Tapi, sebagai anak penurut yang tak pernah membantah tentu saja Melodi hanya bisa menyanggupi. Tak berani protes sama sekali. Melodi kembali muncul di depan mamanya dengan midi dress satin berwarna baby pink. Dia tidak terlalu menyukai warna pink yang menurut mamanya cantik ini. "Tuh, kan, cantik. Beli itu aja buat kencan sama Ravindra kapan-kapan." Meski sudah mengatakan cantik pada beberapa gaun, nampaknya mama Melodi tak berniat untuk berhenti melihat-lihat. Terbukti dari wanita paruh baya itu yang kembali melangkah menyusuri deretan baju. "Mama udah, hampir tiga jam kita di sini." Melodi berkata lembut, mencoba menghentikan mamanya. "Ravindra kayaknya bakalan bosen kalau kamu pakek yang sopan terus," balas wanita itu
Bianca membuka matanya perlahan, tangannya terangkat mengusap sudut mata yang terasa risih. Berniat segera bangun dan menemui Kuku, namun ia merasakan sesuatu yang berat di perutnya. Wanita itu menoleh dan langsung menemukan Ravindra yang tertidur pulas. Bianca mengerjap perlahan, kemudian menghela napas setelah mengingat alasan Ravindra tidur di sebelahnya. Lelaki itu tidak ingin tidur terpisah dengannya. Wajah pulas Ravindra yang imut membuat Bianca menyunggingkan senyum. Tangan lentiknya mengusap rambut si pria, dengan lembut. Merasa semakin tertarik untuk memperhatikan lebih, Bianca merubah posisinya miring menatap Ravindra. "Lucu banget, sih," ujarnya pelan lalu terkikik. Bianca gemas sendiri melihat wajah Ravindra yang polos. Tidak ada raut wajah berengsek atau pun dingin, yang ada hanya wajah bayi yang lucu dan seakan menarik Bianca untuk menciumnya. Wanita itu menggigit bibir bawah sembari tangannya menusuk dada si lelaki beberapa kali. Merasa kalau Ravindra tak akan bangu
Bianca termenung di sudut lift, memikirkan semua kalimat Mila. Tentang bagaimana jadinya hubungan dia dengan Ravindra. Bianca memang tidak berharap lebih, lelaki itu cukup memberikan dia hidup yang layak saja sudah cukup. Tapi, perasaan manusia bisa saja berubah, right? Lihatlah dirinya. Dulu begitu gigih menolak semua tawaran Ravindra. Dengan yakin mampu berdiri dibawah kakinya sendiri dan tidak membutuhkan bantuan siapapun. Tapi, sekarang Bianca menjilat ludahnya sendiri. Dia menjadi simpanan, selingkuhan atau apapun itu sebutannya bagi Ravindra. Dia juga tidak lagi bekerja, pengeluarannya ditanggung oleh bungsu Adiwijaya itu. Dentingan pintu lift membuat Bianca menegakkan tubuh, bersiap keluar. Langkahnya melambat menuju satu-satunya pintu di lantai tertinggi gedung apartemen ini. Masih belum menyangka kalau sekarang di sini lah tempat dia tinggal. Bianca menaruh sidik jarinya sebelum membuka pintu. "Udah pulang?"Ravindra langsung keluar dari dapur ketika mendengar pintu terb
Selama membelah padatnya kota, Bianca tidak henti-hentinya mengembangkan senyum. Wajahnya yang cantik menjadi sangat cerah, dengan kepala bergerak menikmati kesenangan ini. Ia memang ingin memiliki mobil, tetapi, tidak menyangka kalau akan memilikinya secepat ini. Ditambah lagi ini adalah mini cooper. Mobil impian Bianca. Sepertinya Ravindra menyelidikinya dengan baik. Lelaki itu tahu mobil apa yang dia inginkan tanpa bertanya. "Na na na na na Ice on my wrist, yeah, I like it like this. Get the bag with the cream. If you know what i mean." Binca bernyanyi dengan riang sampai tanpa sadar sudah sampai di tempat yang ia tuju. "Ravindra memang yang terbaik," ucapnya dengan riang. Bianca memarkirkan mobilnya di halaman rumah Mila. "Ya ampun, ternyata lo, Bi. Gue kira siapa numpang parkir," seru Mila ketika Bianca sudah keluar dari mini cooper merahnya. Kedua wanita yang adalah sahabat itu berpelukan. Kemudian beriringan masuk ke dalam rumah Mila. "Mobil baru, cuy. Sugar daddy gue ya
Ravindra keluar dari mobil sport yang setiap hari ia gunakan. Lelaki dengan setelan rapi itu mendongak, menatap kamar Melodi yang jendela balkonnya baru saja ditutup saat mobilnya tiba. Sepertinya gadis dua puluh tiga tahun itu menunggu kehadirannya sejak tadi. Kaki panjang Ravindra melangkah memasuki halaman rumah mewah keluarga Rahadi. Ia langsung disambut dengan pemandangan Melodi yang berlari turun melewati tangga. Tubuh mungil gadis itu langsung menabrak Ravindra sampai membuatnya mundur satu langkah. "Kirain bukan Kakak yang jemput," ucap Melodi. "Aku nggak ada kerjaan yang penting hari ini." Ravindra melepaskan pelukan Melodi. "Mana Mama?" Melodi menggenggam kedua tangan tunangannya. Kepalanya mendongak untuk menatap wajah Ravindra yang sempurna tanpa kekurangan. "Sudah pergi, tadinya mau nunggu Kakak tapi aku bilang nggak usah. Mama bakalan tanya macam-macam nanti," balas Melodi. Meski berkata demikian, tapi Ravindra tahu kalau dia masih harus menjelaskan suara Bianca tad
Bianca membentuk huruf O dengan mulutnya ketika tahu Ravindra sedang menerima telepon. Wanita itu kemudian berlalu pergi dengan membiarkan pintu kamar Ravindra terbuka. "Nanti aku jemput jam sepuluh. Udah dulu, ya." Ravindra tidak tahu siapa yang mendengarkan suaranya di telepon, tapi rasanya dia ingin mengubur diri sendiri sekarang. Bisa panjang urusannya kalau sampai hal ini terdengar di telinga Mamanya. Ada beberapa notif pesan beruntun yang muncul ketika Ravindra sudah mematikan smbungan telepon. Mungkin itu adalah Melodi, tapi Ravindra enggan untuk langsung membalas. Maka, lelaki itu memilih turun ke bawah dan mengantarkan koper Bianca ke kamarnya. "Ini pakaiannya, semalam lupa mau ngangkat ke sini." Bianca yang sedang sibuk bermain ponsel mengangguk dan langsung menghampiri. Membuka koper dan memilih pakaian mana yang ingin dia kenakan. "Sorry untuk tadi, gue nggak tau kalau lo lagi telponan. Gue ketuk pintu nggak dibuka-buka, sih." Ravindra menatap arah walk in closet yang