Bianca tidak tahan untuk tidak memutar bola matanya. Entah kenapa jadi merasa sebal diingatkan dengan perkataannya sendiri. Padahal dia hanya bercanda waktu itu. Lagi pula pria gila mana yang akan memberikan harga setinggi itu untuk wanita yang sudah tidak perawan sepertinya. But, once again. Prioritas utama Bianca adalah uang, jadi, mari diiyakan saja.
"Boleh kalau situ mampu," balasnya cuek.
Bianca membalikkan tubuh, tidak lagi menatap bartender yang sedang menyiapkan pesanan. Dara cantik berusia dua puluh delapan tahun itu mengedarkan pandangan, mencari mangsa tentunya. Tapi di jam segini tidak banyak orang yang datang. Masih butuh beberapa jam lagi bagi Bianca untuk bisa meraih kantong pria kaya.
Ravindra mengikuti Bianca menatap dance floor.
"Sepuluh miliar dapat apa aja selain nomor kamu?"
Bianca melirik sekilas. Pembahasan sepuluh miliar masih berlanjut ternyata. Sebenarnya Ravindra ini banyak bertanya seperti itu untuk apa? Kalau cuma sekedar basa-basi Bianca bisa kesal nanti. Tapi kalau memang serius mau memberi sepuluh miliar, maka, Bianca rela melakukan apapun juga.
Masih ingat bukan kalau uang adalah segalanya bagi seorang Bianca Amaira.
"You can fuck with me."
Untuk seorang slut sepertinya, memangnya Bianca bisa memberikan imbalan apalagi selain having sex?
Ravindra baru pertama kali ini menemukan seorang wanita yang blak-blakan. Berbicara ceplas-ceplos tanpa khawatir akan dipandang seperti apa. Lagi-lagi Ravindra dibuat takjub dengan kepribadian Bianca.
Kakaknya bilang, sebagai keluarga dari Adiwijaya, Ravindra bisa melakukan apapun. Karena kekayaan keluarganya bahkan dirinya bisa membeli harga diri seseorang. Ravindra memang tahu kalau uang memiliki kuasa sebesar itu tapi dia tidak pernah menggunakannya semena-mena seperti sang kakak.
Meski kaya tapi Ravindra selalu penuh perhitungan dalam menggunakan hartanya.
Lalu kali ini, kenapa Ravindra malah seperti rela memberikan apapun setelah mendapat jawaban Bianca? Kenapa dirinya tidak masalah untuk kehilangan berapa pun uang asalkan Bianca bisa menjadi miliknya?
"Are you sure?" balas Ravindra dengan tatapan menggodanya.
Bianca mengumpat ketika senyum smirk si pria itu mengantarkan getaran pada jantungnya.
"Sure," jawab wanita itu menantang.
"Then be my slut."
Bianca menoleh, terkejut dengan kalimat sinting yang dilontarkan Ravindra. Oke, dia memang seorang slut. Jadi, tidak perlu bereaksi berlebihan.
Wanita itu berdehem, memainkan ujung rambut panjangnya.
"Gue emang slut kalau elo lupa," jawab si cantik. "Tapi khusus untuk elo, kalau mau bayar sepuluh miliar bisa lah tiga malam."
Ravindra menaikkan alis. Sepuluh miliar untuk sebuah nomor dan juga sex tiga malam? Bianca boleh juga kalau sedang memeras. Padahal, Ravindra yakin kalau harga Bianca tidak akan semahal itu. Bahkan meski dia adalah wanita penghibur VVIP. Dan juga kenapa Bianca menetapkan harga khusus untuknya?
"Deal."
Bianca menaikkan kedua alisnya. Deal? Semudah itu? Enaknya jadi orang kaya.
"Yakin? Sepuluh miliar lho?"
Ravindra tergelak. Kenapa jadi Bianca yang ragu seperti ini?
Pria itu mengeluarkan ponsel, mengulurkan pada Bianca yang masih bengong dengan wajah cantiknya. "Tulis nomor kamu dan juga nomor rekening. Aku akan transfer sekarang juga."
Bianca ingat dengan jelas kalau dirinya tidak pernah berbuat kebaikan sejak sepuluh tahun yang lalu. Ia yang dulu lugu dan polos berubah jadi bad girl yang liar di atas ranjang. Sikapnya juga tidak baik. Tapi, kenapa Tuhan memberikan dia kemudahan dalam mendapatkan sepuluh miliar seperti ini?
"Ayo cepat, aku harus pergi setelah ini," ujar Ravindra lagi.
Bianca mengerjap. Ini bukan mimpi, jadi, tanpa menunggu waktu lebih lama tangan putihnya meraih ponsel si lelaki. Mengetikkan real nomor ponselnya lalu mengetikkan juga nomor rekening miliknya.
Ravindra tidak bisa menahan untuk tidak tersenyum. Ia mengambil ponsel yang dikembalikan Bianca.
"Ini beneran nomor kamu, 'kan? Nomor rekeningnya udah yakin bener? Nanti kalau salah uangnya gak akan sampek."
Mungkin memang daya tarik seorang Bianca sangat kuat sampai membuat Ravindra banyak bicara seperti ini. Padahal pria itu aslinya adalah orang yang irit bicara meskipun memiliki image ramah.
"Itu beneran. Sepuluh miliar mana mungkin gue lewatin gitu aja," balas Bianca sewot.
Ravindra mengangguk-anggukan kepala. Ia lalu sibuk pada layar ponselnya, mengabaikan Bianca sejenak. Tak berselang lama, pria itu memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
"Sudah ditransfer, buktinya udah dikirim ke nomor kamu." Ravindra tersenyum manis, menunjukkan giginya yang rapi.
Menurut Bianca, Ravindra sangat imut dan kelihatan polos jika tersenyum selucu itu. Tidak akan ada yang menyangka kalau Ravindra baru saja menjadikan dirinya slut untuk kepuasan pria itu.
"Gila, sih." Bianca menggeleng-gelengkan kepala. "Jadi penasaran elo sekaya apa."
Ravindra bergumam. "Kalau penasaran coba search keluarga Adiwijaya deh di internet."
Bianca pernah mendengar nama Adiwijaya sebelumnya. Ia yakin, sangat yakin kalau memang beberapa teman-temannya di club pernah membicarakan nama keluarga itu. Tapi, Bianca lupa.
Duh, kalau begini jadi kerasa tidak enaknya jadi orang pelupa.
"Nanti deh gue cari kalau masih penasaran," balas Bianca. Karena sebenarnya dia juga tidak terlalu peduli. Yang penting uang sampek ke rekeningnya.
"Jadi, malam pertama mau kapan?"
"Nanti kalau aku mau bakalan aku chat," balas Ravindra santai. Pria itu melihat jam di pergelangan tangan. "Aku harus pergi sekarang."
Bianca mengernyit tidak suka. "Tarik ulurnya lumayan juga," kata si wanita.
Ravindra terkekeh, tangannya mengusap kepala Bianca beberapa kali sebelum beranjak. Lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun.
Bianca menatap kepergian Ravindra dengan pandangan kesal. Tidak pernah sebelumnya ia mendapatkan pria seaneh Ravindra. Selama ini jika para pria sudah membayar, maka, Bianca harus segera melayani waktu itu juga.
Pria kaya yang baru saja meninggalkannya memang aneh. Dia bersikap seolah memberikan uang sepuluh miliar bukanlah sesuatu yang sulit atau sayang. Bianca ingat, dia harus melihat ponselnya untuk membuktikan apakah Ravindra benar mengiriminya uang atau tidak.
Jangan sampai dia dipermainkan oleh pria lucu tapi juga sexy itu.
"Mau kemana?" tanya Sarah yang berpapasan di lorong. Bianca tidak menjawab, mengabaikan pertanyaan itu.
Sekali lagi, Sarah sudah biasa. Jadi ia hanya lanjut berjalan tanpa merasa tersinggung sama sekali.
Bianca membuka loker, meraih tas, lalu mengambil ponsel. Melihat notifikasi dari nomor tak dikenal. Ia mengerjapkan mata beberapa kali dan melakukan zoom pada layar ponselnya.
"Shit!" Bianca melempar kembali ponselnya ke dalam laci. "Sialan, gue ketipu."
Memang benar kalau Ravindra mengiriminya uang. Tapi tidak sepuluh miliar. Melainkan hanya seratus ribu.
Bianca memejamkan mata, menekan rasa kesalnya. Tak kunjung reda, ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuangnya dengan perlahan. Tensi darahnya tidak boleh naik hanya karena pria gila yang baru ia temui itu.
"Gue sumpahin hidup lu gak berjalan lancar sebelum minta maaf ke gue," gerutu Bianca kesal.
Kok enak dia bisa mendapatkan nomor Bianca hanya dengan seratus ribu saja.
***
Ravindra melihat pesannya yang sudah dibaca oleh Bianca. Ia tersenyum tipis, membayangkan wajah kesal dan juga umpatan yang keluar dari bibir sexy Bianca. Ravindra belum pernah merasakan bibir menggoda milik wanita itu, tapi, ia sudah bisa tahu bagaimana memuaskannya bibir wanita cantik itu hanya dengan melihatnya.
Sepertinya memang Ravindra tidak boleh senang berlama-lama. Karena profil yang tadinya ada foto Bianca sekarang kosong. Ravindra menegakkan tubuh. Mencoba menghubungi nomor Bianca dengan panggilan telfon. Sialnya, panggilannya tidak masuk.
"Gue diblok."
Yang Ravindra bayangkan setelah mentransfer seratus ribu adalah pesan spam yang penuh makian dari Bianca. Bukan diblok seperti ini. Kalau begini kan Ravindra jadi panik sendiri.
"Sama siapa?"
Pria itu menggigit bibir, mengabaikan orang yang sedang bertanya padanya. Lalu tanpa berpamitan, ia beranjak. Meninggalkan seseorang yang terus meneriaki namanya sendirian di restoran.
Ravindra membawa mobilnya kembali ke club dimana Bianca berada. Ia masuk dengan terburu-buru ke dalam ruangan bising yang penuh orang mabuk itu. Bola mata cokelatnya mengedar, berusaha menemukan Bianca.
"Bianca mana?" tanya Ravindra pada wanita dengan pakaian hitam. Ravindra mengumpat dalam hati ketika si wanita bukannya menjawab tapi malah berusaha menggodanya.
"Gue tanya Bianca mana?" tanyanya menjadi tidak sabar. Ia menepis kasar tangan wanita itu yang berusaha meraih bagian privasinya.
"Ada di kamar VVIP lantai tujuh."
Ravindra berbalik. Ada wanita yang tidak kalah sexy menjawab pertanyaannya. Ia ingat, wanita itu adalah orang yang memanggil Bianca untuknya tadi. Tanpa mengatakan apapun, Ravindra langsung berlari menuju lift. Tujuannya adalah lantai tujuh, tempat dimana Bianca berada.
Padahal dirinya tidak perlu seperti ini. Tidak perlu mendobrak beberapa pintu hanya untuk mencari di kamar mana Bianca berada. Seharusnya Ravindra menunggu di bawah dengan tenang. Atau datang lagi keesokan harinya. Tapi seperti kerasukan setan, pria itu membuka dengan kasar satu-satunya pintu yang belum ia buka.
Napasnya tercekat ketika melihat Bianca yang hanya memakai dalaman sedang berciuman dengan seorang pria.
"Bianca!"
Bianca menoleh ketika namanya dipanggil dengan suara keras. Ingin tahu siapa bajingan yang sedang mengganggu dirinya bekerja. Alisnya langsung naik sebelah ketika menemukan Ravindra sedang menatap dirinya tajam.Mau apa lagi pria ini?"Antri dulu kalau mau juga," kata wanita itu ketus.Pria yang seharusnya dilayani oleh Bianca sepertinya juga merasa kesal karena kegiatan panasnya diganggu. Padahal dirinya sudah mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan kesenangan terbaik yang bisa ditawarkan club ini.Meski begitu, sepertinya si pria masih enggan untuk bangkit dari posisi terlentangnya di atas kasur."Berani banget, sih, elo ganggu?"Ravindra mengernyit, mengenal dengan baik suara siapa orang yang sedang kesal padanya itu. Tanpa ragu Ravindra berjalan mendekat."Mau apa?" ketus Bianca. Tangannya berusaha mendorong tubuh keras Ravindra, tapi, gagal."Bajingan gila lu," ujar Ravindra marah. Ia menendang kaki si pria yang sedang
Ravindra sialan. Bisa-bisanya pria itu malah memberikan sesuatu yang tidak mungkin Bianca tolak seperti ini. Membayarkan hutang dan memberikan sebuah black card? Shit, Bianca jelas tidak akan menolak kalau ada lelaki yang suka rela malakukan hal seperti itu padanya. Walau tidak bisa menolak, Bianca juga tidak bisa iya-iya aja. Lelaki didepannya ini menipu dirinya tadi, memberikan harapan palsu padanya tentang uang sepuluh miliar. Bodoh namanya kalau Bianca sekarang terima-terima saja dengan penawaran Ravindra. "Gue buktiin dulu ini beneran black card apa engga," kata Bianca dengan mata memicing. Ravindra terkekeh. Walau sebenarnya agak tidak terima juga dengan kalimat Bianca. "Itu black card asli," balas Ravindra sabar. "Ya dibuktiin dulu." Karena Bianca sangat keras kepala dan Ravindra juga tidak dalam kondisi bisa memaksa, maka, ia hanya bisa setuju saat wanita itu bilang akan membawa black card miliknya lebih dulu. Ravindra
Bianca malam hari dan siang hari memang memiliki tampilan yang jauh berbeda. Jika di malam ia akan berpakaian sexy dengan menonjolkan bentuk tubuhnya, maka, di siang hari wanita cantik itu justru terlihat cute dan manis. Bianca terlihat sangat santai hanya dengan memakai jeans dan juga kaos putih lengan panjang.Tidak peduli bagaimana gaya Bianca, wanita itu akan tetap cantik dan selalu mempesona dengan pakaian yang ia kenakan.Bianca yang mondar-mandir melayani pembeli di Cafe itu membuat Ravindra tersenyum tipis. Siapa sangka wanita ketus dan dingin seperti Bianca mau repot-repot melakukan pekerjaan melelahkan seperti menjadi pelayan. Padahal seharusnya pendapatannya di Club sudah cukup menghidupi Bianca.Pria dengan kaos berwarna kuning dan celana selutut itu memasuki Cafe. Membuat beberapa pelayan melihat ke arahnya karena lonceng yang berbunyi memang menarik perhatian. Tapi, wanita yang dari tadi jadi pusat perhatiannya sama sekali tidak melirik.Rav
Bianca mengenakan pakaian berwarna merah yang memamerkan perut ratanya malam itu. Bersama dengan make up tebal yang menggoda di wajah tipisnya. Aroma mawar yang menguar dari tubuhnya membuat beberapa pasang mata langsung melirik. Tak sedikit pula yang menatapnya memuja. Tidak hanya laki-laki. Perempuan pun juga ada yang memandangnya kagum. Kharisma Bianca memang sekuat itu sampai mampu membuat orang lain tetap fokus melihatnya. "Orang yang menyewa lo malam ini masih dalam perjalanan," ujar Sarah yang menghampiri Bianca. Perempuan cantik yang dibalut pakaian merah itu mengangguk. Kemudian dengan santai duduk di salah satu sofa yang menghadap langsung ke arah panggung. Tempat dimana biasanya penari telanjang beraksi. "Dia minta lo menunggu di luar lima menit lagi," kata Sarah lagi. Bianca menoleh. "Tidak di sini? Dia mau membawaku kemana?" Sarah mengedikkan bahu. "Engga ngerti. Bawa saja tasmu seperti biasanya," balasnya. "Mungkin mau langsung ke hotel." Tidak banyak pelanggan ya
Ravindra pasti sudah gila dengan mengeluarkan kalimat seperti itu. Ia tak ada bedanya dengan para bajingan yang hanya suka menggunakam wanita demi kepuasan nafsu. Lelaki itu mengusap wajahnya, berusaha menghilangkan keinginan untuk menerjang Bianca sekarang juga."Sorry, aku tidak bermaksud."Binca mengangkat sebelah alisnya. "Tidak bermaksud apanya? Hal yang wajar kok seorang berengsek tanya harga pelacur sepertiku," balas Bianca sarkas. Dirinya juga masih kesal karena pria itu berani menciumnya cuma-cuma.Ravindra spontan menoleh dengan tatapan dingin. Keberatan dengan Bianca yang menyebut dirinya sendiri pelacur. Meskipun itu kebenaran tapi Ravindra tidak menyukainya."Kamu menyukai pekerjaanmu ini?" tanya lelaki itu dengan nada lebih kalem dari sebelumnya.Si cantik berbaju merah itu tampaknya juga lebih tenang dari sebelumnya. Terbukti dari cara Bianca menyamankan dirinya duduk di kursi mobil mewah Ravindra."Sangat. Karena cuma ini yan
"Padahal bisa gue jemput sendiri," kata Bianca begitu Mila memasuki rumahnya. Ada seekor anjing berbulu hitam di gendongan temannya itu."Kan gue yang bawa dia, ya gue yang balikin dong." Mila menaruh anjing milik Bianca itu di lantai. Membiarkannya berlarian senang karena mungkin sudah rindu dengan rumah Bianca."Kuku kangen sama Mommy, ya?" tanya Bianca dengan suaranya yang dibuat lucu. Kedua tangannya direntangkan menyambut Kuku yang berlari ke arahnya.Sudah satu minggu dua makhluk itu tidak saling bertemu. Mila meminjam Kuku untuk dijadikan teman di rumahnya selama suaminya pergi dinas ke luar kota. Dan sebagai teman yang baik, Bianca mengizinkan meski dirinya yang merasa kesepian."Tumbenan lo belum berangkat ke Cafe?"Bianca membawa Kuku duduk di atas pangkuannya. "Libur gue hari ini," balas wanita itu."Capek?"Bianca mengangguk."Ngangkang berapa jam lo semalam?"Bianca berdecak, sikutnya mendorong lengan Mila p
Bianca berdecih mendengar kalimat yang dilontarkan Ravindra. Wanita itu kemudian duduk di sebelah si pria, bukan di atas paha sesuai yang diminta. Membuat Ravindra jadi berdecak sebal. "Kalau aku bilang duduk di sini harusnya kamu nurut," kata Ravindra kesal. "Kenapa?" Ravindra memasang wajah masam. "Tentu saja karena aku sudah membayar cukup mahal." Saat Sarah mengatakan ada tamu untuknya yang membayar mahal, Bianca tidak pernah berpikir kalau orang itu adalah Ravindra. Mengingat bagaimana dirinya selalu menolak dan Ravindra juga tidak lagi menemuinya. Bianca kira Ravindra tidak akan lagi muncul di hadapannya, ternyata ia salah besar. Ravindra masih sangat percaya diri untuk muncul di hadapannya. "Aneh rasanya mendengar seorang Adiwijaya berkata mahal," ujar Bianca sinis. "Usia lo berapa?" "Kenapa tiba-tiba tanya usia?" Ravindra memang sepertinya tidak diberi kesempatan untuk kesal dengan Bianca berlam
Ravindra mencengkram erat pinggang Bianca, tangannya mengusap liar paha yang dibiarkan terbuka seksi itu. Mereka merubah sudut kepala dan semakin memperdalam ciuman. Bianca bahkan tanpa sadar sudah merengkuh tengkuk Ravindra. Menekannya agar semakin memperdalam lagi ciuman berhasrat mereka. Ravindra memutus tautan bibir itu dengan enggan, ia menjauhkan kepalanya dan menatap mata wanitanya yang sayu. Sebagai pria normal yang sudah dewasa, Ravindra jelas tahu apa yang diinginkan wanita itu. Namun, dirinya sekuat tenaga menahan diri. Ia tidak ingin menyentuh Bianca untuk saat ini. Tidak jika Bianca mau dijamah olehnya hanya karena uang. Karena bagi Ravindra, perasaanlah yang terpenting. Ia ingin wanita itu mendekat karena cinta, bukan karena uang. "Tugasmu sudah selesai," bisik Ravindra di depan bibir Bianca yang terbuka. Suaranya yang tiba-tiba serak membuat bulu kuduk Bianca berdiri. Wanita itu meremang dan semakin menginginkan sentuhan dari