Share

2. Be My Slut

Bianca tidak tahan untuk tidak memutar bola matanya. Entah kenapa jadi merasa sebal diingatkan dengan perkataannya sendiri. Padahal dia hanya bercanda waktu itu. Lagi pula pria gila mana yang akan memberikan harga setinggi itu untuk wanita yang sudah tidak perawan sepertinya. But, once again. Prioritas utama Bianca adalah uang, jadi, mari diiyakan saja.

"Boleh kalau situ mampu," balasnya cuek. 

Bianca membalikkan tubuh, tidak lagi menatap bartender yang sedang menyiapkan pesanan. Dara cantik berusia dua puluh delapan tahun itu mengedarkan pandangan, mencari mangsa tentunya. Tapi di jam segini tidak banyak orang yang datang. Masih butuh beberapa jam lagi bagi Bianca untuk bisa meraih kantong pria kaya. 

Ravindra mengikuti Bianca menatap dance floor. 

"Sepuluh miliar dapat apa aja selain nomor kamu?" 

Bianca melirik sekilas. Pembahasan sepuluh miliar masih berlanjut ternyata. Sebenarnya Ravindra ini banyak bertanya seperti itu untuk apa? Kalau cuma sekedar basa-basi Bianca bisa kesal nanti. Tapi kalau memang serius mau memberi sepuluh miliar, maka, Bianca rela melakukan apapun juga. 

Masih ingat bukan kalau uang adalah segalanya bagi seorang Bianca Amaira. 

"You can fuck with me." 

Untuk seorang slut sepertinya, memangnya Bianca bisa memberikan imbalan apalagi selain having sex? 

Ravindra baru pertama kali ini menemukan seorang wanita yang blak-blakan. Berbicara ceplas-ceplos tanpa khawatir akan dipandang seperti apa. Lagi-lagi Ravindra dibuat takjub dengan kepribadian Bianca. 

Kakaknya bilang, sebagai keluarga dari Adiwijaya, Ravindra bisa melakukan apapun. Karena kekayaan keluarganya bahkan dirinya bisa membeli harga diri seseorang. Ravindra memang tahu kalau uang memiliki kuasa sebesar itu tapi dia tidak pernah menggunakannya semena-mena seperti sang kakak. 

Meski kaya tapi Ravindra selalu penuh perhitungan dalam menggunakan hartanya. 

Lalu kali ini, kenapa Ravindra malah seperti rela memberikan apapun setelah mendapat jawaban Bianca? Kenapa dirinya tidak masalah untuk kehilangan berapa pun uang asalkan Bianca bisa menjadi miliknya? 

"Are you sure?" balas Ravindra dengan tatapan menggodanya. 

Bianca mengumpat ketika senyum smirk si pria itu mengantarkan getaran pada jantungnya. 

"Sure," jawab wanita itu menantang.

"Then be my slut." 

Bianca menoleh, terkejut dengan kalimat sinting yang dilontarkan Ravindra. Oke, dia memang seorang slut. Jadi, tidak perlu bereaksi berlebihan.

Wanita itu berdehem, memainkan ujung rambut panjangnya.

"Gue emang slut kalau elo lupa," jawab si cantik. "Tapi khusus untuk elo, kalau mau bayar sepuluh miliar bisa lah tiga malam."

Ravindra menaikkan alis. Sepuluh miliar untuk sebuah nomor dan juga sex tiga malam? Bianca boleh juga kalau sedang memeras. Padahal, Ravindra yakin kalau harga Bianca tidak akan semahal itu. Bahkan meski dia adalah wanita penghibur VVIP. Dan juga kenapa Bianca menetapkan harga khusus untuknya?

"Deal."

Bianca menaikkan kedua alisnya. Deal? Semudah itu? Enaknya jadi orang kaya.

"Yakin? Sepuluh miliar lho?"

Ravindra tergelak. Kenapa jadi Bianca yang ragu seperti ini?

Pria itu mengeluarkan ponsel, mengulurkan pada Bianca yang masih bengong dengan wajah cantiknya. "Tulis nomor kamu dan juga nomor rekening. Aku akan transfer sekarang juga."

Bianca ingat dengan jelas kalau dirinya tidak pernah berbuat kebaikan sejak sepuluh tahun yang lalu. Ia yang dulu lugu dan polos berubah jadi bad girl yang liar di atas ranjang.  Sikapnya juga tidak baik. Tapi, kenapa Tuhan memberikan dia kemudahan dalam mendapatkan sepuluh miliar seperti ini?

"Ayo cepat, aku harus pergi setelah ini," ujar Ravindra lagi.

Bianca mengerjap. Ini bukan mimpi, jadi, tanpa menunggu waktu lebih lama tangan putihnya meraih ponsel si lelaki. Mengetikkan real nomor ponselnya lalu mengetikkan juga nomor rekening miliknya.

Ravindra tidak bisa menahan untuk tidak tersenyum. Ia mengambil ponsel yang dikembalikan Bianca.

"Ini beneran nomor kamu, 'kan? Nomor rekeningnya udah yakin bener? Nanti kalau salah uangnya gak akan sampek."

Mungkin memang daya tarik seorang Bianca sangat kuat sampai membuat Ravindra banyak bicara seperti ini. Padahal pria itu aslinya adalah orang yang irit bicara meskipun memiliki image ramah.

"Itu beneran. Sepuluh miliar mana mungkin gue lewatin gitu aja," balas Bianca sewot.

Ravindra mengangguk-anggukan kepala. Ia lalu sibuk pada layar ponselnya, mengabaikan Bianca sejenak. Tak berselang lama, pria itu memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

"Sudah ditransfer, buktinya udah dikirim ke nomor kamu." Ravindra tersenyum manis, menunjukkan giginya yang rapi.

Menurut Bianca, Ravindra sangat imut dan kelihatan polos jika tersenyum selucu itu. Tidak akan ada yang menyangka kalau Ravindra baru saja menjadikan dirinya slut untuk kepuasan pria itu.

"Gila, sih." Bianca menggeleng-gelengkan kepala. "Jadi penasaran elo sekaya apa."

Ravindra bergumam. "Kalau penasaran coba search keluarga Adiwijaya deh di internet."

Bianca pernah mendengar nama Adiwijaya sebelumnya. Ia yakin, sangat yakin kalau memang beberapa teman-temannya di club pernah membicarakan nama keluarga itu. Tapi, Bianca lupa.

Duh, kalau begini jadi kerasa tidak enaknya jadi orang pelupa.

"Nanti deh gue cari kalau masih penasaran," balas Bianca. Karena sebenarnya dia juga tidak terlalu peduli. Yang penting uang sampek ke rekeningnya.

"Jadi, malam pertama mau kapan?"

"Nanti kalau aku mau bakalan aku chat," balas Ravindra santai. Pria itu melihat jam di pergelangan tangan. "Aku harus pergi sekarang."

Bianca mengernyit tidak suka. "Tarik ulurnya lumayan juga," kata si wanita.

Ravindra terkekeh, tangannya mengusap kepala Bianca beberapa kali sebelum beranjak. Lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun.

Bianca menatap kepergian Ravindra dengan pandangan kesal. Tidak pernah sebelumnya ia mendapatkan pria seaneh Ravindra. Selama ini jika para pria sudah membayar, maka, Bianca harus segera melayani waktu itu juga.

Pria kaya yang baru saja meninggalkannya memang aneh. Dia bersikap seolah memberikan uang sepuluh miliar bukanlah sesuatu yang sulit atau sayang. Bianca ingat, dia harus melihat ponselnya untuk membuktikan apakah Ravindra benar mengiriminya uang atau tidak.

Jangan sampai dia dipermainkan oleh pria lucu tapi juga sexy itu.

"Mau kemana?" tanya Sarah yang berpapasan di lorong. Bianca tidak menjawab, mengabaikan pertanyaan itu.

Sekali lagi, Sarah sudah biasa. Jadi ia hanya lanjut berjalan tanpa merasa tersinggung sama sekali.

Bianca membuka loker, meraih tas, lalu mengambil ponsel. Melihat notifikasi dari nomor tak dikenal. Ia mengerjapkan mata beberapa kali dan melakukan zoom pada layar ponselnya.

"Shit!" Bianca melempar kembali ponselnya ke dalam laci. "Sialan, gue ketipu."

Memang benar kalau Ravindra mengiriminya uang. Tapi tidak sepuluh miliar. Melainkan hanya seratus ribu.

Bianca memejamkan mata, menekan rasa kesalnya. Tak kunjung reda, ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuangnya dengan perlahan. Tensi darahnya tidak boleh naik hanya karena pria gila yang baru ia temui itu.

"Gue sumpahin hidup lu gak berjalan lancar sebelum minta maaf ke gue," gerutu Bianca kesal.

Kok enak dia bisa mendapatkan nomor Bianca hanya dengan seratus ribu saja.

***

Ravindra melihat pesannya yang sudah dibaca oleh Bianca. Ia tersenyum tipis, membayangkan wajah kesal dan juga umpatan yang keluar dari bibir sexy Bianca. Ravindra belum pernah merasakan bibir menggoda milik wanita itu, tapi, ia sudah bisa tahu bagaimana memuaskannya bibir wanita cantik itu hanya dengan melihatnya. 

Sepertinya memang Ravindra tidak boleh senang berlama-lama. Karena profil yang tadinya ada foto Bianca sekarang kosong. Ravindra menegakkan tubuh. Mencoba menghubungi nomor Bianca dengan panggilan telfon. Sialnya, panggilannya tidak masuk.

"Gue diblok."

Yang Ravindra bayangkan setelah mentransfer seratus ribu adalah pesan spam yang penuh makian dari Bianca. Bukan diblok seperti ini. Kalau begini kan Ravindra jadi panik sendiri.

"Sama siapa?"

Pria itu menggigit bibir, mengabaikan orang yang sedang bertanya padanya. Lalu tanpa berpamitan, ia beranjak. Meninggalkan seseorang yang terus meneriaki namanya sendirian di restoran. 

Ravindra membawa mobilnya kembali ke club dimana Bianca berada. Ia masuk dengan terburu-buru ke dalam ruangan bising yang penuh orang mabuk itu. Bola mata cokelatnya mengedar, berusaha menemukan Bianca. 

"Bianca mana?" tanya Ravindra pada wanita dengan pakaian hitam. Ravindra mengumpat dalam hati ketika si wanita bukannya menjawab tapi malah berusaha menggodanya.

"Gue tanya Bianca mana?" tanyanya menjadi tidak sabar. Ia menepis kasar tangan wanita itu yang berusaha meraih bagian privasinya.

"Ada di kamar VVIP lantai tujuh."

Ravindra berbalik. Ada wanita yang tidak kalah sexy menjawab pertanyaannya. Ia ingat, wanita itu adalah orang yang memanggil Bianca untuknya tadi. Tanpa mengatakan apapun, Ravindra langsung berlari menuju lift. Tujuannya adalah lantai tujuh, tempat dimana Bianca berada.

Padahal dirinya tidak perlu seperti ini. Tidak perlu mendobrak beberapa pintu hanya untuk mencari di kamar mana Bianca berada. Seharusnya Ravindra menunggu di bawah dengan tenang. Atau datang lagi keesokan harinya. Tapi seperti kerasukan setan, pria itu membuka dengan kasar satu-satunya pintu yang belum ia buka.

Napasnya tercekat ketika melihat Bianca yang hanya memakai dalaman sedang berciuman dengan seorang pria.

"Bianca!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status