Masuk“Ya Tuhan, Gallen! Muka kamu kenapa lagi?! Habis tawuran ya kamu?!”
Rebeca, Mama Gallen tak bisa menyembunyikan kegeramannya usai melihat penampilan acak-acakkan sang putra. Perasaan ketika berangkat pagi tadi, anak itu masih dalam kondisi layak untuk dilihat. Kenapa pulangnya seperti maling yang ketahuan mencuri underwear ibu-ibu PERSIT.
“Calon mantu Mama tuh! Mata Gallen benjol sebelah jadinya!” Adu Gallen. Enak saja dituduh tawuran. Melihat gerombolan masa menghadang jalannya saja, ia putar balik untuk kembali masuk ke gerbang sekolah. Ia terlalu mencintai penampilan cetar membahananya, sampai-sampai tak rela turun tangan mempertahankan kedaulatan tempatnya mengenyam pendidikan.
“Nava?”
“Emang calon mantu Mama ada berapa? Ya dia doang. Gallen abis dilempar sepatu ya!”
Rebeca mendudukan dirinya. Tangannya menarik majalah yang sempat ia lempar ke atas meja. “Pasti kamu habis bikin gara-gara sama dia,” ucapnya kembali ke dalam mode tenang. Calon menantunya tak mungkin main tangan tanpa sebab mengingat anaknya memang selalu bertingkah menyebalkan.
“Kompres pake air es sana. Ntar lebam ngedrama lagi kamu.”
“Udah lebam, udah!!” Jerit Gallen frustasi. Kakinya menghentak-hentak lantai. “Anak ngadu itu dibela kek sekali-kali!” Gumamnya kesal sembari melangkahkan kaki menaiki anak tangga. Belum pernah ada sejarahnya ia menang meski mengadu seperti Tarzan si pemlik hutan. Selalu saja Navara yang menang. Para wanita benar-benar menyebalkan.
“Halah sekarang aja kamu marah-marah, ntar sore coba, lengket lagi kamu kayak perangko!”
Jleb!
Sungguh kalimat yang tepat sasaran. Ucapan Rebeca mengenai ulu hati Gallen. Seluruh organ di dalam tubuhnya bergoyang, menertawai tingkat kebucinannya pada Nava. Sehebat apa pun mereka bertengkar, tetap saja pada akhirnya ia mencari-cari keberadaan tunangannya itu.
Namanya juga cinta!! Tau nggak Cinta?!
Gallen membuka pintu kamarnya. Ia menekan saklar, menyalakan lampu yang setiap kali keluar selalu dimatikan. Maklumlah hemat itu pangkal kaya. Sebagai penerus kedua kekayaan papa-mamanya, ia tak boleh boros mengingat dirinya bukanlah sosok yang menggantikan papanya nanti. Abangnya yang saat ini berkuliah di Sydney pun tak begitu menyayangi dirinya. Jaga-Jaga saja kalau suatu hari dirinya didepak tanpa harta warisan setelah papanya meninggal. Setidaknya ia sudah belajar berhemat sejak muda.
“Kebas banget muka gue!” Gerutunya, masih merasakan efek kebarbaran Navara di wajahnya. Gadis itu memang sangatlah barbar ketika marah. Siapa saja tak akan bisa menghentikannya, kecuali dia sudah merasa puas dalam aksi mengamuknya.
“Kok bisa gue cinta sama yang modelan begitu sih?” Padahal banyak sekali gadis tergila-gila padanya. Namun tak ada satu pun diantara mereka yang mampu menggetarkan hatinya seperti Navara. Mereka hanya bisa membuat matanya sekedar berkedip karena kecantikan parasnya saja.
Gallen pun melemparkan tasnya sebelum menghempaskan diri ke atas ranjang. Ia membutuhkan istirahat yang cukup karena sore nanti ia harus memohon ampun kepada tunangannya.
Gadis itu sangat betah kalau sudah bertengkar. Dia tak akan mengibarkan bendera putih terlebih dahulu. Harus dirinya yang mengalah atau ia kesulitan sendiri pada akhirnya.
Sebenarnya dari mana mulanya ia menyukai anak tetangganya itu ya?
Apakah berawal dari Nava yang membantunya naik setelah secara tak sengaja ia tercebur comberan? atau-kah saat gadis cantik itu berani pasang badan saat kakak-kakak kelas TK B mereka mengganggunya sampai ia menangis?
Gallen tak mengetahui persisnya. Namun tak jauh dari kedua kejadian tersebut, ia selalu menempel pada Nava. Ia yang anak manja begitu terbantu dengan kemandirian Nava sejak kecil. Banyak hal dirinya pelajari termasuk tidak menangis ketika mamanya harus ikut sang papa ke luar kota.
Secara garis besar, ia sangat bergantung pada Navara. Gadis itu merupakan sosok yang dirinya idolakan. Mereka tumbuh bersama. Saling membantu walau lebih sering dirinyalah yang dibantu oleh sang kekasih. Ia yang tak pernah akur dengan abangnya, Sergio, selalu memilih berdiam di rumah Navara sampai kedua orang tuanya datang menjemput.
Siapa sangka jika keduanya ternyata dijodohkan. Ia tak perlu susah-susah menaklukan Navara yang mengerti seluruh aibnya— karena mau tidak mau, rela tidak rela, gadis itu akan berakhir didalam pelukannya.
Lambat laun sepasang mata Gallen memberat. Kantuk mulau menyerangnya. Pemuda itu menutup kesadarannya meski samar-samar mendengar knop pintu yang diputar dari luar.
“Ck! Kebiasaan nggak pernah ganti baju pas pulang sekolah.”
Gadis yang Gallen lamunkan masuk membawa sebuah baskom berisikan air dingin. Kebiasaannya setelah menyakiti Gallen adalah mengobati luka yang ia timbulkan. Ia memang barbar, tapi Navara tak pernah lupa apa itu yang namanya tanggung jawab.
“Benjol beneran,” kikik-nya sembari menatap hasil karyanya. “Makanya punya mulut tuh dijaga! Sembarangan aja kalau cerita ke mereka,” omel Navara meski ia tahu Gallen tak mungkin mendengarnya. Tangannya begitu cekatan mengompres lebam di mata Gallen.
“Sssttt.. Sakit ya?! Nggak ada kapoknya sih kamu/” Tangannya yang lain mengusap rambut Gallen agar pemuda itu kembali terlelap.
Satu hal mengenai Gallen yang sangat Navara ketahui. Pria itu selalu sulit dibangunkan ketika tidur. Gempa bumi sekalipun tak akan bisa membuat Gallen terbangun kecuali memang sudah waktunya. Hanya kekerasan yang mampu membuat Gallen terjaga. Contohnya saja digulingkan dari atas ranjang. Cara itu sangat ampuh karena setiap hari ia selalu menggunakannya.
“Met bobok Gallen. Maaf ya. Habisnya kamu nakal banget pake cerita tali BH aku putus. Kan akunya malu.” Ucap Navara lembut lalu meninggalkan kecupan di dahi Gallen. Sudut bibirnya mengembang tatkala melihat Gallen tersenyum dalam tidurnya.
“Dasar!” Ujarnya sebelum bangkit.
“Kok sebentar banget tumben? Nggak ditahan Gallen, Sayang?” tanya Rebeca saat Navara melewati wanita itu di ruang keluarga.
“Gallennya tidur, Mah. Kecapekan kayaknya. Tadi dia habis dihukum sama guru BK.”
“His anak itu! Mentang-Mentang Opanya yang punya yayasan!”
Navara tertawa kecil menanggapi gerutuan calon mama mertuanya.
“Oh iya Sayang. Mama tadi pagi dapet laporan dari Pak RT. Katanya pas kapan itu dia liat Gallen lompat ke balkon kamar kamu tengah malem. Dia masih suka pindah bobok ke sana?” Selidik Rebeca mencari tahu kebenaran laporan ketua rukun tetangga di kompleknya.
“Em, itu Mah.”
“Di usir aja, Sayang. Mama takutnya kalian kena grebek. Belum waktunya nikah loh. Ujian kan sebentar lagi. Ditahan-tahan dulu lah!”
Wajah Navara memerah layaknya kepiting rebus. Kenapa jadi dirinya yang seolah-olah ketahuan berbuat mesum. Padahal ia kan tak melakukan apa-apa bersama pria itu.
“Gallen-nya, Mah. Dia katanya nggak bisa tidur sendirian.”
“Ah, modus aja itu. Dikunci aja ya pintu balkonnya mulai malem ini!” Saran Rebeca. Akan sangat memalukan jika keduanya dinikahkan karena suatu kesalahpahaman. Pernikahan mereka kan tinggal menghitung bulan. Tepat setelah kelulusan nanti keduanya juga akan tinggal satu atap.
“Iy-iya, Mah.”
Di kamarnya Gallen tersedak air liurnya sendiri. Pria itu bermimpi buruk tentang Navara yang tak mengizinkannya masuk ke dalam kamar gadis itu.
“Cuman mimpi!” Lirihnya lalu mengumpat. “Fuck! Tapi kenapa kayak nyata banget, Anjing!!” Gallen lantas mengusap-ngusap perutnya, “amit-amit jabang bayi. Nggak mau bobok sendiri! Serem!” Ia tidak tahu saja jika apa yang dimimpikannya akan benar-benar terjadi malam nanti.
“Gallen.. Main, yuk!!”Gallen membuka matanya cepat. Ia mengubah posisinya menjadi terlentang, lalu mendudukan dirinya.“Main?”“Iya,” jawab Navara.“Yuk!!”Tangan Gallen melepas kaos yang dirinya kenakan.Kapan lagi Navara meminta duluan. Biasanya harus dibujuk-bujuk dulu, barulah dia mendapatkan jatahnya.“Kamu ngapain buka baju?”“Loh, lepas celananya aja?” tanya Gallen dengan tampang yang sulit untuk dijelaskan.“Hah? Makin nggak bener kamu deh!”“Mau main kan?”Gallen bingung. Ia tak mengerti dengan jalan pikiran istrinya. Bukan kah wanita itu mengajaknya bermain?! Bagaimana bisa mereka ‘main,’ kalau tidak melepaskan pakaian. Gallen belum pernah menemukan ada keajaiban seperti itu selama menonton film dewasa.“Gini aja, Gallen! Aku pengen main basket di depan.”“Ba-Basket?!” Beo Gallen, terperangah.Jadi istrinya ingin main bola basket?Bukan main yang menghasilkan keringat dan desahan di atas ranjang?“Aaahh! Ngantuk Nav! Capek banget aku!”Gallen kembali merebahkan tubuhnya. Se
“Ay, kamu beneran nggak capek?”Di kabin depan, Gallen memutar tubuhnya, menghadap ke belakang. Navara tampak kuyu— mungkin efek kelelahan karena belum sempat beristirahat.Wanita bernama Kristina itu menolak niat baik mereka. Orang kepercayaan sang kakek memberikan kabar usai menempuh cara terakhir— yakni membongkar identitas mereka sebagai keluarga Melvin.Hal ini tentu saja membuat Navara bersedih. Ada banyak kesulitan yang menimpa wanita itu. Sebagai sesame perempuan yang mengandung keturunan Dipraja, Navara ingin membantu Kristina untuk mendapatkan hak-haknya. Setidaknya hak tersebut harus didapatkan oleh anak yang Kristina lahirkan nanti.“I’m okay, tenang aja. Masih jauh ya ini?”“Sebentar lagi kita akan sampai, Non.” Jawab supir papa Gallen. Mereka kini sedang berada dalam perjalanan menuju titik lokasi yang tangan kanan kakek Gallen kirimkan.“Mantu Mama yang sabar ya.. Nanti kita bujuk Mbak itu sama-sama.” Ucap mama Gallen, menggenggam jari-jari Navara.“Kalau dia tetep ngga
Kristina Agista— Perempuan yang sebentar lagi menginjak usia 24 tahunnya itu mengusap peluh dahinya. Ulasan senyum dibibirnya tak dapat menyembunyikan beratnya derita yang hidupnya jalani. Wajah pucatnya menampakkan segalanya tanpa perlu orang lain dengar kisah tentangnya.Ana— begitu dirinya dipanggil di lingkungan barunya tinggal. Ia hamil tanpa seorang laki-laki yang mau mempertanggung jawabkan perbuatannya.Pria itu berusia jauh lebih muda dibandingkan dirinya. Dia merupakan salah satu anak didik yang menyewa jasa bimbelnya. Sudah dua tahun lamanya ia mengajar anak itu.Dia adalah anak orang kaya dengan ambisi yang kuat. Dia cerdas. Memiliki kemampuan cepat dalam menyerap pelajaran. Mengajar anak itu bisa dikatakan sebagai keberuntungan. Uang yang dirinya terima bisa digunakan untuk membayar uang kuliah dan membantu kedua orang tuanya.Awalnya semua baik-baik saja sampai hari naas itu menghampirinya. Seperti biasa di hari dan jam yang sama, ia datang ke apartemen si pemuda. Tapi d
Gallen membuka pintu rumah sang opa. Pemuda itu disambut oleh beberapa pelayan yang langsung membungkukkan tubuh mereka.“Mas Gallen.. Tuan Besar dan Mbak Navara sudah menunggu.” Mendengar ada nama sang istri disebut, kontan saja alis Gallen mengerut.“Nava disini?”“Betul Mas. Supir Tuan yang menjemput Mbak Navara dari rumah tadi.”Gallen mulai bertanya-tanya. Sebenarnya apa alasan yang membuat kakeknya mengundangnya pulang ke rumah utama keluarga Dipraja. Pria itu bahkan diam-diam memanggil Navara tanpa sepengetahuan dirinya.“Bikinin saya soda gembira ya..” Pinta Gallen, masih sempat untuk memberikan perintah kepada pelayan kakeknya.“Carikan soda untuk membuat minuman yang Mas Gallen mau.”Pemuda itu terkekeh. Di rumah kakeknya, dialah rajanya. Barang yang tidak ada, pasti akan tetap diada-adakan. Namanya juga cucu kesayangan. Berbeda dengan kediaman milik orang tuanya yang memperlakukan dirinya selayaknya anak tiri. Mumpung berada disini, maka sekalian saja dipuas-puaskan.“Nav..
“Calon bapak, perasaan komuknya suram amat?!” Boy menarik kursi dihadapan Gallen. Pemuda itu langsung meluncur ketika Gallen menghubunginya. Jadilah Gallen tak perlu menunggu terlalu lama. Mereka sama-sama bertolak, meninggalkan kediaman masing-masing dijam yang sama.“Nawhy, Bos?”“Navara ngidamnya nyiksa,” adu Gallen. Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk membagi beban hidup. Meskipun Navara melarang, kebiasaan tersebut begitu sulit untuk dihilangkan.“Minta daging onta? Apa tireks?” Kekeh Boy, menjahili sahabatnya. Tidak tahu saja Boy jika nyonya muda Dipraja itu, bahkan meminta sesuatu yang jauh lebih horor, dibandingkan dua daging yang dirinya sebutkan.“Dia tiap liat muka gue muntah, Boy. Ngidam nggak bisa deketan sama gue!!” Mengatakan kronologi yang menimpanya saja, Gallen sudah kesal setengah mati. Terlebih tadi ketika mengalaminya langsung. Rasanya ia ingin gantung diri di atas pohon cabe-cabean.Mata Boy membola. “Demi apa lo, Bos?!” Pekiknya seakan menolak untuk percaya. I
“Stop! Berhenti disana!” Teriak Navara membuat langkah kaki Gallen terhenti diambang pintu kamar mereka. Perempuan itu membekap mulutnya, merasakan mual setelah melihat wajah sang suami.“Ay, why?” tanya Gallen, tak mengerti.“Jangan deket-deket Gallen, muka kamu jelek. Bikin pengen muntah!”What the hell!!Katakan jika Navara sedang melakukan shooting reality show. Wanita kesayangannya itu pasti membual. Wajahnya adalah aset paling diminati oleh para perempuan di seluruh muka bumi. Hampir tak ada siswi di sekolah mereka, yang tidak menggilainya. Termasuk Navara! Istrinya! Catat!“Kamu kenapa sih?! Aku nggak operasi plastik. Masih seganteng Oppa-Oppa di drakor kesukaan kamu.”“Hoek!!”Benar saja, ketika Gallen berada beberapa sentimeter di hadapannya, desakan dari dalam perut Navara keluar mengotori ranjang. Perempuan hamil itu benar-benar muntah.“Hiks, udah aku bilang, kamu jelek. Keluar huhuhu.. Hoek!” lagi Navara muntah.“Aku bantu bersihin, Nav..”Navara mengulurkan tangannya, hen