Terlalu panas untuk keluar siang ini, tapi Elian sepupu tampanku yang memuakkan benar-benar membuatku tidak berdaya dengan permintaannya. Berhasil mengajak kencan Rosey di akhir pekan membuat ia kehilangan akal, memaksa memakai mobilku selama dua hari sementara aku disuruhnya mengambil mobil Eli yang sedang diservis di bengkel.
Lebih menjengkelkan lagi ketika AC taksi yang kunaiki saat menuju bengkel mati. Aku mendesah kesal, menggelung rambut panjangku asal dan menjepitnya lalu membuka beberapa kancing pada bagian atas kemeja yang kukenakan. Benar-benar merasakan buliran-buliran keringat yang mengalir di leher. Ketika akhirnya taksi berhenti di depan bengkel, dengan segera aku turun, membayar dan berlalu tanpa mempedulikan sopir taksi yang menggumamkan kata-kata dalam bahasa asing.
Aku menghampiri seorang pekerja bengkel berkulit hitam dan menanyakan mobil Eli, pria itu menunjuk ke satu arah. Menoleh ke arah yang ditunjuk, aku melihat mobil yang kucari. Pandanganku tertumpu pada sepasang kaki yang terjulur di bawahnya. Aku mengucapkan terima kasih pada si pria berkulit hitam dan segera menghampiri sepasang kaki itu.
“Halo,” sapaku berteriak mengalahkan kebisingan suara mesin.
“Ya,” jawab pria di bawah mobil tanpa keluar.
“Apakah masih lama?”
“Tidak, sebentar lagi. Kau tunggulah dulu, Nona.” Sekarang aku melihat pria itu menarik badannya keluar. “Hanya beberapa menit lagi,” lanjutnya sambil berdiri tepat di depanku. Dia mengamatiku dengan matanya yang tajam, agak menelengkan kepala seolah tidak menduga akulah yang akan dia lihat, dan sebuah senyuman diikuti lesung pipi yang menawan muncul di wajahnya.
OMG, he’s so damn hot!
Sepertinya mulutku sudah terbuka tanpa kusadari, aku cepat-cepat menepiskan rasa terpesonaku dan berkata datar, “Oh, okay.” Lalu segera menyingkir dari hadapannya.
Aku memilih tempat yang tidak terlalu jauh darinya. Sambil berdiri bersandar pada dinding dan menyilangkan kedua tangan di depan dada, diam-diam aku memperhatikan dia.
Siapa nama pria itu? Dia ... tampan. Tentu saja. Dengan bentuk bibir terpahat sempurna dan hidung tinggi yang nyaris membuatku iri, serta cambang kasar yang memenuhi rahang dan dagunya, dia terlihat macho. Dan yang paling menyesatkan adalah mata biru terang bak langit cerah di musim panas yang dinaungi alis tebal nan memikat. Mata itu membuatku terpesona, perpaduan antara lembut dan tegas. Teduh namun menenggelamkan.
Pria itu mengenakan overal bengkel yang lengannya ia ikatkan di pinggang. Hingga bagian atas tubuhnya hanya tertutup kaos putih yang basah oleh keringat dan penuh dengan oli. Namun demi Tuhan … itu justru membuatnya terlihat sangat seksi. Aku mencuri pandang pada lengannya yang kecoklatan, keringat tampak mengalir di sana, tampak berkilau ketika tertimpa cahaya lampu. Mataku menyipit saat melihat sesuatu yang menyembul di bagian ujung lengan kaos yang ia gulung asal ke atas, dia memiliki tato di bisepnya, tapi meski aku mencoba, aku tidak bisa melihat dengan jelas bentuk tato tersebut.
Saat pandanganku naik lagi ke wajahnya, mata kelamnya sedang menatapku tajam. Pipiku memanas, dan jelas merona, menyadari dia pasti tahu sejak tadi jika aku memperhatikannya. Dia berjalan mendekat ke arahku sambil membersihkan tangannya dengan lap, bibirnya melengkung ke atas, lagi-lagi menghadirkan lesung pipi yang menawan itu. Oh, Tuhan … tolong selamatkan aku dari pesonanya!
“Jadi kau sepupu Eli?” tanyanya memulai.
Aku mengangguk, menangkap pandangan matanya tertuju pada bawah leherku. Menyadari dua kancing teratas kemejaku terbuka sampai ke batas dada, aku segera mengancingkannya kembali. Berdiri berhadapan seperti ini membuatku harus mendongak saat bicara dengannya, meski dengan heels 2,75 inci yang kukenakan.
“Aku Tobias Lorran, dan kau?” Dia mengulurkan tangannya.
“Emmily Gale,” sahutku menyambutnya, dan dia menjabat tanganku hangat selama beberapa saat.
“Sepertinya kau kepanasan,” katanya sambil melepas genggaman tangannya, “ayo, aku tahu tempat yang asyik buat bicara.” Dia mengisyaratkan agar aku mengikutinya.
“Mr. Lorran—”
“Tobias. Panggil saja Tobias.” Dia kembali menatapku dan tersenyum.
“Okay. Mr. Tobias Lo—”
“Tobias saja,” potongnya lagi.
Aku mengangguk-angguk. “Kau mengenal Eli, Tobias?”
“Yeah. Dia pelanggan bengkel, tapi kami berteman,” sahutnya, Tobias menunjuk meja dengan sepasang kursi yang dinaungi atap fiber di luar bengkel. Dia menyuruhku duduk dan pergi lagi menuju kantin.
Eli tidak pernah bercerita tentang Tobias, selama ini aku hanya dijejali dengan cerita para gadisnya.
“Kau akan membawa mobil Eli?” tanya Tobias begitu dia kembali dari membeli soda, menyerahkan satu kaleng padaku.
“Yeah....”
“Ada sedikit masalah,” kata Tobias menarik kursi dan duduk, menatapku tajam.
Aku mengerjap untuk menghindari pesonanya. “Masalah?”
“Yeah, aku salah. Ternyata ada beberapa masalah pada mesin yang tidak bisa diselesaikan hari ini, kau harus menunggu setidaknya dua hari lagi.”
Aku mengerang. “Tidak bisakah kau bekerja lembur? Eli membawa mobilku selama dua hari.”
“Oh, sorry…,” ucapnya dengan nada menyesal, “tapi kita benar-benar membutuhkan waktu lebih lama untuk memperbaiki mobil Eli.”
Pundakku merosot lemas. “Huh, bagaimana aku bisa pergi ke Venice Beach besok?” keluhku. Naik kendaraan umum saat akhir pekan bukanlah pilihan yang tepat. Sedangkan meminjam mobil orangtuaku atau saudara-saudaraku yang lain pasti tidak mungkin, tidak ada mobil yang tidak dipakai saat akhir pekan. “Kau punya kenalan yang menyewakan mobil?” tanyaku pada Tobias.
“Kalau kau mau, aku bisa mengantarmu.” Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah menawarkan tumpangan.
Aku menatap Tobias. Pria itu terlihat santai saja saat mengusulkan bantuannya, sama sekali tidak terlihat memiliki maksud tertentu. “Sungguh?” tanyaku ragu.
“Tentu.”
Dia pasti merasa tidak enak karena tidak bisa memperbaiki mobil Eli tepat waktu. Kenapa tidak aku terima saja tawarannya?
“Kalau itu tidak merepotkanmu, aku akan sangat berterima kasih,” ujarku.
“Tentu saja tidak akan merepotkan,” sahutnya, kembali memamerkan senyumannya.
Aku mengalihkan pandanganku, meminum sodaku sebelum berdiri dan berpamitan padanya. “Baiklah, aku harus pergi sekarang.”
Tobias ikut berdiri. “Kau akan meneleponku nanti? Untuk memastikan kapan kita berangkat,” katanya cepat ketika melihatku hampir pergi.
“Ah, ya. Aku lupa.” Aku mengeluarkan ponsel dari tas. “Berapa nomormu?” tanyaku, menyentuh layar ponsel dengan cepat ketika Tobias menyebutkan beberapa angka. “Done,” gumamku, melakukan panggilan pada nomor itu. “Kau menyimpan nomorku sekarang,” kataku pada Tobias, yang dibalasnya dengan senyuman.
Oh, shit! Dia benar-benar tampan.
“Sampai jumpa, Tobias,” ucapku sambil melambaikan tangan, lalu dengan langkah terburu-buru meninggalkannya.
Sebuah taksi melintas tepat saat aku sampai di tepi jalan, dengan segera kulambaikan tangan untuk menghentikannya. Saat taksi yang kunaiki melaju, aku masih melihat Tobias berdiri memperhatikanku.
******
Aku mempunyai kebiasaan yang susah dihilangkan. Insomnia. Jika malam tiba, bukannya merasa lelah, energi di tubuhku malah seolah meningkat. Biasanya, untuk mengisi waktu aku mengerjakan semua hal yang bisa kukerjakan dan baru tertidur saat menjelang pukul 04.00 pagi. Tapi malam ini entah kenapa aku merasa malas berbuat apa pun. Jadi meski mataku sama sekali tidak bisa terpejam, aku hanya berbaring saja sambil melakukan gerakan yoga viparita karani. Gerakan mengangkat kedua kaki dan meletakkannya pada dinding.
Mataku nyalang menatap langit-langit kamar, sementara pikiranku melanglang melewati masa-masa yang pernah aku lalui dalam hidupku.
Usiaku hampir dua puluh sembilan tahun. Usia yang matang untuk menjalin sebuah hubungan serius. Sayangnya sudah tujuh tahun ini aku sama sekali tidak berkencan. Pekerjaan membuatku terlalu sibuk hingga lupa bagaimana rasanya memiliki kekasih, meski sebenarnya bukan hal itu yang menjadi alasan utamanya.
Aku masih bisa mengingat dengan jelas saat terakhir kali mencoba menjalin hubungan serius, dan malah hanya mendapatkan kekecewaan. Seraut wajah yang sudah lama kulupakan kembali muncul dalam ingatanku, mendadak aku merasa mual. Aku melompat bangun dari tempat tidurku, berlari ke toilet dan memuntahkan isi perutku di sana. Tanganku gemetar saat meraih tisu untuk mengelap sisa-sisa muntahan pada sudut bibirku.
Pengkhianatan itu membuatku sakit selama bertahun-tahun!
Saat kembali ke ranjangku, ponsel yang kuletakkan begitu saja di kasur bergetar. Keningku berkerut ketika menemukan pesan masuk dari Tobias.
Tobias Lorran : Hai!
Emmily Gale : [Emotikon melambai]
Tobias Lorran : Sedang apa?
Emmily Gale : Berbaring. Kau?
Tobias Lorran : Chatting denganmu.
Emmily Gale : [Emotikon memutar bola mata]
Tobias Lorran : [Emotikon tertawa sampai menangis]
Bukannya aku memang sedang chatting denganmu?
Emmily Gale : Okaaay….
Tobias Lorran : [Emotikon tertawa sampai menangis]
Emmily Gale : Berhenti mengirimiku emotikon menyebalkan itu! [Emotikon kesal, emotikon orang dengan gestur facepalm]
Tobias Lorran : Sorry. [Emotikon pria menunduk, emotikon tertawa sampai terguling]
Aku tersenyum sendiri melihat kekonyolan Tobias. Yang kulakukan kemudian adalah mengirimkan emotikon tertawa sampai terguling.
Emmily Gale : Ada apa? Kau mau membatalkan tawaranmu mengantarku besok?
Tobias Lorran : Geez … tidak mungkin!
Emmily Gale : Tidak mungkin?
Tobias Lorran : Maksudku aku bukan tipe orang yang suka membatalkan janji begitu saja.
Emmily Gale : [Emotikon tertawa sampai menangis]
Tobias Lorran : Tapi apa pacarmu tidak marah?
Emmily Gale : [Emotikon tertawa sampai menangis]
Tobias Lorran : Berhenti mengirimiku emotikon menyebalkan itu! [Emotikon kesal, emotikon orang dengan gestur facepalm]
Emmily Gale : OMG! [Emotikon tertawa sampai terguling]
Tobias Lorran : Kau tidak menjawab pertanyaanku.
Emmily Gale : Pertanyaan apa?
Tobias Lorran : Apa pacarmu tidak marah kalau aku mengantarmu ke Venice beach besok?
Emmily Gale : Aku tidak punya pacar.
Tidak ada yang mau berkencan denganku. [Emotikon sedih]
Tobias Lorran : [Emotikon terkejut] Kau sedang membodohiku atau apa?
Tidak akan ada pria yang mau menghilangkan kesempatan untuk berkencan denganmu.
Emmily Gale : [Emotikon hati membesar]
Apa itu sebuah rayuan?
Tobias Lorran : Jika kau menganggap seperti itu, tidak masalah.
Aku tergelak dan meletakkan ponselku begitu saja tanpa ingin mebalas pesannya, tapi benda itu kembali bergetar.
Tobias Lorran : OMG! Kau tidak membalas? [Emotikon terkejut]
Emmily Gale : Memangnya aku harus menjawab apa?
Tobias Lorran : Menurutmu apa?
Kau sudah melempar bola.
Aku sudah menangkapnya, jadi?
Mataku melotot, tapi kemudian tersenyum geli. Dia benar-benar konyol. Kuketikkan balasan dengan cepat.
Emmily Gale : Apa kita sedang bermain bola volley?
Tobias Lorran : Tidak bisakah kita bermain tenis?
Itu terdengar pas dalam genggamanmu.
Astaga! Dia benar-benar gila. Tapi mengasyikkan juga. Well, sepertinya aku juga sudah gila.
Kecepatan jariku bertambah saat mengetikkan balasannya.
Emmily Gale : Bola apa yang sedang kau bicarakan? [Emotikon berpikir]
Tobias Lorran : Bolaku. [Emotikon menyeringai]
Aku punya dua. [Emotikon mencium dengan embusan hati]
Kembali, aku terbelalak. Rasa geli semakin menggerogotiku.
Emmily Gale : Asal kau tahu, aku tidak terbiasa berlaku lembut pada bola.
Tobias Lorran : Aww, itu terdengar seksi. [Emotikon wajah tersenyum dengan mata hati]
Okay, sepertinya aku harus menghentikan obrolan ini jika tidak ingin menjadi semakin gila. Untuk mengakhiri percakapan, aku mengirimkan emotikon terkejut, lalu segera mematikan ponsel.
Bersambung
Aku masih tidur saat samar-samar mendengar suara pintu diketuk. Rasanya seperti dari dalam mimpi, dan aku hanya menarik selimut kemudian tertidur lagi. Entah berapa lama kemudian aku mendengar ketukan yang semakin keras, dan terdengar sangat dekat. Dekat? Ya, dekat sekali. Aku membuka mataku, seketika melompat bangun dan menjerit saat melihat wajah seseorang menempel pada pintu kaca balkon kamarku.“Hei, hei, ini aku!” teriak orang dari balkon itu.Aku melotot sebal begitu menyadari orang itu adalah Tobias. Bagaimana dia bisa sampai sana?Dia menjawab pertanyaan tidak terucapku ketika aku membukakan pintu untuknya.“Aku lihat balkon antara apartemen yang satu dengan apartemen lain di bangunan ini berdekatan, jadi aku mengetuk pintu tetanggamu dan meminta izin melompati balkonnya.”Aku mengenal penghuni apartemen sebelah, Ayudia, seorang gadis manis dan baik hati dari Indonesia. Sepertinya Tobias berhasil meyakinkan Ayudia se
Pantai penuh dengan parade manusia sepanjang Venice Beach Boardwalk, seolah-olah semua penduduk Los Angeles tumpah di tempat ini. Tapi memang musim panas selalu menjadi alasan tepat untuk mengunjungi pantai, apalagi di akhir pekan seperti sekarang. Aku dan Tobias berada di tengah-tengah parade tersebut. Sepanjang jalan satu setengah mil yang di kedua sisinya dipenuhi berbagai kedai, toko, dan stan yang memajang suvenir serta pernak-pernik yang menarik itu, Tobias menggandengku. Tangannya menggenggam tanganku erat namun lembut. Tanpa pria itu menyadari perbuatannya membuat jantungku berdebar tidak karuan.Mendekati pantai, aku melepaskan gandengan tangannya tanpa memperhatikan pria itu, berpura-pura apa yang kulakukan hanyalah merupakan gerakan reflek untuk menyiapkan kameraku. Meski begitu, aku merasakan tatapannya dari balik bahuku.Melihat apa yang terpampang di depanku, aku melupakan gemuruh perasaan yang sempat menyerbuku akibat genggaman tangan Tobias tadi. Kawasa
Kami makan siang di Sidewalk Café, tempat yang populer di Venice Beach. Bangunannya terlihat menonjol dengan tenda merah putih memanjang di bagian depannya. Menjadi satu dengan Sidewalk Café, ada Small World Book, toko buku yang sudah ada sejak tahun 1969. Beberapa kali aku ke sana dan koleksinya sungguh lengkap. Tempat itu benar-benar surga bagi para pecinta buku.Ada bar yang luas di bagian dalam Sidewalk Café, sementara kursi-kursi untuk pengunjung yang hanya ingin makan berada di bawah tenda, mereka bisa menyantap hidangan sambil melihat-lihat pemandangan boardwalk melalui jendela kaca yang terpasang pada keseluruhan dinding yang menghadap ke jalan. Aku memilih tempat di sebelah jendela. Ketika pelayan datang dan menanyakan pesanan, aku memilih nachos yang ditambah steak dan salad santa fe yang berisi potongan alpukat, jagung manis panggang, irisan tomat, keju, kacang hitam, dan campuran sayuran yang disiram dengan
“Sorry, Em.” Suara Tobias terdengar menyesal. Aku mendesah, meski merasa sangat kesal aku tidak bisa menyalahkan pria ini. Tadi aku baru selesai memotret kembali para pemain skateboard dengan latar belakang sunset ketika menyadari waktu sudah menunjukkan pukul 20.16 pm. Lalu aku memutuskan untuk memotret anak-anak muda yang sedang bermain basket dan langsung pulang. Sebelum aku beranjak ke lapangan basket, aku meminta Tobias mengeluarkan mobilnya dari tempat parkir dan menungguku di persimpangan jalan. Namun ternyata, saat pria itu muncul di tempat yang sudah kita janjikan, dia tidak membawa kendarannya. “Mobilku mogok,” lapornya. Dan sekarang, di sinilah kami berada. Duduk di tepi pantai yang sudah mulai sunyi, memperhatikan matahari yang perlahan-lahan masuk ke peraduannya. “Mobil tua sialan!” umpat Tobias untuk yang kesekian kalinya. Aku meliriknya, melihat ekspresi wajahnya yang memendam perasaan tidak enak, aku merasa ib
Aku melirik diriku sendiri melalui kaca spion di atas dashboard. Lihat! Wajah kusut bangun tidur, rambut acak-acakan, dan bibir bengkak karena terlalu banyak dicium. Belum lagi stelan kaos super tipis yang aku kenakan. Sialan! Tidak bisakah Tobias membelikanku pakaian yang jauh lebih baik daripada ini? Kulirik sebal pria bertelanjang dada yang masih duduk di sampingku. Dan lihat, dia bahkan tidak membeli apa pun untuk menutupi tubuh bagian atasnya. Tobias menatapku dengan pandangan menyesal sekaligus geli. “Bagaimana lagi? Hanya itu yang aku temukan, toko lain belum ada yang buka,” katanya sambil mengangkat bahu, mengerti sekali apa yang aku pikirkan. “Lalu kenapa kau tidak membeli untuk dirimu sendiri?” Pria yang kutanya hanya mengangkat bahu. “Untuk apa? Tidak ada yang perlu ditutup pada tubuh bagian atasku,” ujarnya mengedipkan sebelah mata. Bibirku mengerucut, ada satu hal lagi yang menggangguku. Dengan hilangnya semua pakaian yan
Belum pernah kurasakan kenyamanan seperti ini selama tujuh tahun terakhir, bahkan aku hampir lupa rasanya. Begitu menenangkan dan menyenangkan. Dalam situasiku yang saat ini berada di antara kondisi terjaga dan tertidur, semua indraku terasa semakin sensitif. Aku merasa selimut yang menutupiku menjadi lebih lembut dan lebih wangi. Juga tempat tidurnya yang lebih hangat. Selama beberapa saat aku menikmati keadaan tersebut, lalu kesadaran mulai menghampiriku perlahan-lahan.Hal yang pertama kali kurasakan saat sudah sepenuhnya terjaga adalah tangan besar yang melingkari pinggangku, kemudian dagu bercambang yang menempel pada pipiku. Aku tersenyum, mengingat kejadian-kejadian yang terjadi selama 24 jam terakhir. Pelan-pelan aku berbalik menghadap Tobias, wajah kami saling berhadapan. Dia begitu tampan, ekspresinya tenang seperti malaikat yang sedang tertidur.Pandangan mataku jatuh ke dada Tobias, baru menyadari jika dia memiliki tato yang tersambung ke lengannya. Tato be
“Jadi sekarang kau dekat dengan Tobias?” tanya Eli sambil membuka microwave dan mengeluarkan sewadah popcorn dari dalamnya, membawa ke sofa ruang tengah. Aku mengikutinya. “Menurutmu?” tanyaku tak acuh, duduk di samping Elian yang sedang memindah-mindah channel televisi melalui remote. “Yeah … memergoki apa yang kalian lakukan tadi, aku yakin kalian sudah menghabiskan malam yang menyenangkan.” Aku memukul kepala Elian dengan bantal kursi. “Awas kalau kau berani menceritakan hal itu pada yang lain. Yang kumaksud “yang lain” di sini adalah para sepupuku selain Elian. “Sebenarnya aku justru sedikit lega,” ucap Elian tanpa memedulikan ancamanku. Dia mengunyah popcorn-nya dengan santai. “Dan … apa yang membuatmu merasa lega?” “Aku sempat khawatir kau tidak akan bisa move on dari Adrian.” “Oh, please … aku bahkan sudah move on darinya sejak memergoki dia berselin
Beberapa hari ini aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Sebenarnya, berusaha mengingkari jika aku sudah mengencani pria yang usianya sembilan tahun lebih muda dariku. Kuabaikan panggilan dan pesan-pesan yang dikirim Tobias. Aku ingin menjauh darinya, melupakan dia kalau bisa. Karena aku yakin hubungan kami tidak akan berhasil. Bahkan saat di apartemen pun aku tidak ingin berhenti, sedetik saja aku tidak beraktivitas, bayangan Tobias selalu menghampiri. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.21, seperti biasa mataku belum ingin terpejam, tapi semua pekerjaanku sudah beres. Baiklah, aku akan menghabiskan malam dengan membaca atau menonton film horor, hal tersebut selalu berhasil mengalihkan pikiranku. Aku mematikan laptop dan pergi ke kamar mandi untuk menyikat gigi. Selesai menyikat gigi aku menatap cermin, melihat seorang wanita dewasa dengan rambut blonde yang tergelung asal, mengenakan kaos kebesaran dan celana pendek. Sorot matanya memancarkan rasa sepi. Yah ... aku