Aku masih tidur saat samar-samar mendengar suara pintu diketuk. Rasanya seperti dari dalam mimpi, dan aku hanya menarik selimut kemudian tertidur lagi. Entah berapa lama kemudian aku mendengar ketukan yang semakin keras, dan terdengar sangat dekat. Dekat? Ya, dekat sekali. Aku membuka mataku, seketika melompat bangun dan menjerit saat melihat wajah seseorang menempel pada pintu kaca balkon kamarku.
“Hei, hei, ini aku!” teriak orang dari balkon itu.
Aku melotot sebal begitu menyadari orang itu adalah Tobias. Bagaimana dia bisa sampai sana?
Dia menjawab pertanyaan tidak terucapku ketika aku membukakan pintu untuknya.
“Aku lihat balkon antara apartemen yang satu dengan apartemen lain di bangunan ini berdekatan, jadi aku mengetuk pintu tetanggamu dan meminta izin melompati balkonnya.”
Aku mengenal penghuni apartemen sebelah, Ayudia, seorang gadis manis dan baik hati dari Indonesia. Sepertinya Tobias berhasil meyakinkan Ayudia sehingga dia diizinkan masuk.
“Brilian,” ucapku sarkastis.
Seringaian lebar muncul di wajah tampan Tobias. “Kau marah rupanya.”
“Jam berapa sekarang?” tanyaku mengabaikan ucapannya, berjalan mendekati meja dan meraih ponselku, lalu menyalakannya. “Astaga,” ujarku memutar bola mata saat menemukan ada dua puluh panggilan tak terjawab dan tiga puluh lima pesan masuk. “Kau mau menerorku ya?” protesku sambil berbalik menghadapnya, dan memergoki matanya yang terarah ke bagian bawah tubuhku.
Rona panas menjalar di pipiku saat tersadar kalau aku hanya mengenakan celana dalam dan kemeja katun pendek yang bahkan tidak bisa menutupi celana dalamku.
“Jaga matamu, Sir!”
Dan pria yang kutegur hanya menggaruk-garuk belakang kepalanya dengan tersipu.
Sambil meliriknya tajam aku berlalu ke kamar mandi.
“Kau keluarlah dari kamarku, di depan sini ada ruang tengah, sebelah kanannya dapur, ambillah sesuatu yang bisa kau makan. Aku yakin kau belum sarapan sepagi ini. Apa yang membuatmu menjemputku pagi-pagi sekali, aku bilang pukul delapan, bukannya pukul enam,” celotehku panjang lebar. Dia menjawab sesuatu tapi aku tidak bisa mendengarnya karena pintu kamar mandi sudah tertutup.
Air hangat yang menimpa kepalaku terasa menyenangkan, aku berlama-lama di bawahnya, menikmati sentuhan lembut dari percikan air yang membuatku segar. Begitu selesai mandi dan memakai baju, aku keluar kamar. Tidak kutemukan Tobias di ruang tengah, aku langsung menuju pantry sambil mengeringkan rambut basahku dengan handuk.
Oh, Gezz!
Apa aku tidak salah lihat? Pria yang kucari sedang membelakangiku, mengiris-iris entah apa di meja pantry, dan dia mengenakan apron merah muda milikku yang … dengan hiasan renda-renda di bagian bawahnya serta gambar karakter Blossom Powerpuff Girl? Yeah … yang terlihat sangat feminim.
Aku berdeham sambil menahan geli. Seketika dia menoleh, memasang cengiran lebar di wajahnya.
“Kau tidak keberatan aku memakai dapurmu, kan?”
“Juga apronku?” celetukku tersenyum geli.
Dia mengangkat kedua bahunya. “Yeah …,” ujarnya pasrah, “aku tidak menemukan apron lain yang tidak terlalu feminim.”
“Tentu saja,” sahutku sambil melangkah mendekati meja makan yang juga berfungsi sebagai pembatas dapur dengan ruang makan, lalu duduk di kursinya. “Tidak ada laki-laki yang pernah masak di dapurku, bahkan Elian juga tidak pernah. Apa yang kau masak?”
“Well, aku menemukan pasta dan daging di lemari esmu, kupikir spaghetti pasti enak. Bagaimana menurutmu?”
“Yeah, pasti. Kau butuh bantuan?”
“Tidak usah. Kau duduk diam saja di situ, aku akan menyiapkan sarapanmu,” ucapnya cepat. Dan dia kembali bekerja.
Selama Tobias memasak, aku memperhatikannya dari belakang. Gerak-geriknya terlihat natural, sama sekali tidak canggung. Dan aku menikmati pemandangan yang tersaji di hadapanku.
Punggung lebar yang kokoh, bahu tegap, bagian belakang lehernya yang terlihat jelas di bawah garis rambut cepaknya. Juga bokongnya yang seksi. Aku menghela napas. Mendadak aku merasa pening, ini terlalu sempurna untukku. Kapan lagi kau bisa menemukan cowok tampan bak Dewa Yunani berada di dapurmu? Mengenakan apron merah jambu dan memasak untukmu. Andai ini kencan….
Oh, Tuhan … kembalikan akal sehatku.
Ditengah-tengah pikiran liarku, aku mencium aroma wangi bawang bombay yang ditumis, otomatis membuat perutku berbunyi.
“Kau membuatku kelaparan,” ucapku sambil menghampiri Tobias dan berdiri di sampingnya. Dia sedang memasukkan daging giling sekarang, dan mengaduknya dengan lihai. “Dari mana kau belajar memasak?” tanyaku penasaran, melirik padanya.
“Nenekku. Kau harus berkenalan dengannya kapan-kapan.”
“Kau tinggal dengan nenekmu?”
“Yup.” Sementara dia mengatakan itu, tangannya memasukkan pure tomat dan cincangan tomat kalengan.
“Orangtuamu?”
“Ibuku sudah meninggal, ayahku sudah bahagia bersama istri dan anak barunya.”
“Oh, sorry,” ucapku menyesal.
“Tidak masalah, itu sudah lama sekali, aku bahkan tidak pernah merasa sedih jika menceritakannya.” Tobias menoleh dan tersenyum padaku.
Saat itulah aku merasakan sesuatu yang aneh di dalam dadaku, sesuatu yang lama terpendam terasa menggeliat, menunjukkan eksistensinya. Hanya sebentar, tapi terasa begitu mendominasi.
“Tolong isi panci ini dengan air.”
Aku mematuhi permintaannya.
“Letakkan di situ saja, yup, bagus. Terima kasih,” ucapnya kembali tersenyum, lalu tangannya dengan cekatan menyalakan kompor di bawah panci yang baru saja kuletakkan.
“Kau benar-benar mahir,” pujiku tulus.
Dia hanya terkekeh. “Lebih baik kau siap-siap, jadi begitu selesai makan kita bisa langsung berangkat,” usulnya.
“Ide bagus.” Aku pergi meninggalkannya menuju kamarku.
Di dalam kamar, aku mengganti pakaianku dengan tanktop model thick strap warna biru dongker, kupadukan bersama celana denim pendek dengan warna biru yang satu tingkat lebih muda. Aku memutuskan untuk menggerai saja rambutku setelah menimbang-nimbang selama beberapa saat. Dan kemudian menyapukan make up tipis-tipis pada wajahku.
Aku tidak bermaksud menginap di Venice Beach, jadi barang yang kubawa tidak terlalu banyak. Benda-benda yang kumasukkan ke dalam ransel kecilku hanya dompet, ponsel, jepit rambut yang mungkin nanti akan kubutuhkan, dan pouch kosmetik berisi; suncreen, lipbalm, dan bedak tabur. Terakhir, aku mengenakan sepatu Converse abu-abu.
Beres.
Aku kembali ke ruang makan sambil menenteng ransel dan kameraku. Di sana, Tobias sudah menata spaghetti masakannya di atas meja makan.
“Wah, sering-sering saja kau ke sini,” gurauku dengan cengiran lebar.
“Aku akan mengingat ucapanmu,” balasnya sambil menarikkan kursi untukku.
Aku mengunyah suapan pertamaku, terkejut ketika mendapati fakta masakan Tobias sungguh enak. Setelah menelannya, aku menatap pria di depanku kagum dan berkata, “Kau benar-benar jago masak.”
Dan kemudian aku merasa geli melihatnya agak tersipu. Dia menunduk sambil menyuap makanannya, menyembunyikan senyum malu-malunya. “Aku senang kau menyukai masakanku.”
“Menyukai? Aku bisa ketagihan, kau tahu?” balasku antusias, yang membuat Tobias tergelak.
“Aku baru tau kau pintar memuji,” katanya geli.
“Tentu saja, kau baru mengenalku.”
Tobias tidak menjawab, dia hanya memandangku sambil tersenyum, tapi entah kenapa aku merasa dia menyimpan sesuatu di balik senyumannya itu.
“Ayo cepat, nanti kau kesiangan,” ujarnya sambil buru-buru menghabiskan spaghettinya. Aku melakukan hal yang sama.
Selesai makan, aku membawa piringku ke tempat cuci piring, Tobias mengikutiku. Dia membantu mengelap piring dan gelas yang sudah kucuci. Kemudian kami memastikan sekali lagi tidak ada yang tertinggal sebelum keluar dari apartemen.
Gedung apartemenku berbatasan langsung dengan jalan. Tidak ada pagar atau halaman yang memisahkannya, jadi begitu kami keluar gedung, yang pertama kali kulihat adalah deretan mobil yang terparkir di tepi jalan. Tobias menunjuk truk merah, aku mengenalinya sebagai Chevy C/K.
“Kau tidak keberatan?” seringainya padaku.
“Wow!” seruku, berlari menghampiri mobil itu. “Si merah yang menawan,” ucapku sambil menepuk-nepuk bagian depannya.
Sepertinya responku membuat Tobias agak terkejut, dia menatapku dengan pandnagan tak percaya. “Kau serius menyukai mobilku?” tanyanya.
“Aku tidak terlalu mengerti mobil, tapi sudah lama aku ingin mengendarai truk. Boleh aku yang menyetir?” cengirku.
Pria itu terkekeh. “Kau tidak akan bisa. Ini mobil tua, keluaran tahun 1995, kubeli seharga 1500 dolar,” dia kembali menyeringai.
“Paling tidak, izinkan aku mencobanya,” ujarku memohon.
Tobias mengangkat bahu, lalu berkata, “Yeah, kalau kau ingin sekali, silakan saja.
Aku bersorak kegirangan, langsung meminta kuncinya dari Tobias, sementara pria itu hanya tersenyum-senyum saja melihat tingkahku, dia buru-buru mengeluarkan kunci mobil dari saku yang langsung kusambar begitu saja.
Suara si merah meraung begitu aku berhasil menstarternya, dan setelah diawali gerakan batuk sekali, akhirnya benda ini berhasil membawa kami meluncur di jalan raya. Tobias berteriak menyemangatiku sementara aku tersenyum bangga.
Jendela mobil terbuka lebar, anak-anak rambutku yang tidak terjalin beterbangan tertiup angin musim panas, menampar-nampar wajahku. Sementara aku fokus dengan kemudi, Tobias menirukan gaya rap Eminem yang terlantun dari stereo mobil. Lagu yang populer di masanya, Love the Way You Lie, berkolaborasi dengan Rihanna.
Aku mencuri pandang padanya sekilas, selain berwajah tampan dia juga memiliki suara yang enak didengar, yang membuatku ikut terhanyut, hingga tanpa sadar aku menyambung nyanyiannya begitu giliran Rihanna yang bersuara.
Just gonna stand there and watch me burn
Well, that’s alright because I like the way it hurts
Just gonna stand there and hear me cry
Well, that’s alright because I love the way you lie
I love the way you lie
I love the way you lie
Selama aku bernyanyi, aku tahu Tobias memperhatikanku, tapi aku pura-pura tidak peduli, terus bernyanyi sambil melihat jalan, hanya sesekali melirik padanya dan melemparkan senyum. Begitu aku selesai, dia tidak melanjutkan lagi, membiarkan Eminem bernyanyi sendiri di radio, dia malah bertepuk tangan keras sekali.
“Bagus sekali, Em,” pujinya membuatku tersipu.
“Kau juga hebat,” balasku memasang cengiran lebar. “Kau harus ikut AGT tahun depan, Simon pasti akan terkesan dan mungkin kau bisa terkenal melebihi Eminem.”
“Tidak, terima kasih. Aku lebih suka pekerjaanku yang sekarang,” ujarnya memasang wajah angkuh, membuat tawaku meledak. Dan dia ikut tertawa.
“Sejak kapan kau bekerja di sana?”
“Waktu masih sekolah aku sering membantu di bengkel, begitu lulus mereka menerimaku menjadi montir.”
“Kau tidak melanjutkan kuliah?”
“Pernah, tapi hanya dua semester.” Dari sudut mataku aku bisa melihatnya tersenyum.
“Kenapa berhenti?”
Tobias mengangkat bahunya. “Keadaan,” katanya. Dia memalingkan wajah menghadap lurus ke depan. “Waktu itu nenekku sakit dan dia membutuhkanku untuk lebih sering bersamanya. Jika aku bekerja dan kuliah, aku tidak akan punya waktu untuknya.”
“Manis sekali,” ujarku tulus.
Dia hanya melirikku sekilas, melemparkan senyum mautnya. “Kau sendiri?” tanyanya.
“Apa?” Aku menoleh sebentar ke arahnya.
“Apa pekerjaanmu?”
“Aku reporter.”
“Ah, sekarang aku mengerti kenapa aku bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaanmu dengan senang hati, yang menanyaiku ternyata seorang reporter,” guraunya sambil terkekeh.
“Oh sungguh?” balasku tidak mau kalah. “Kupikir kau akan selalu dengan senang hati menjawab pertanyaan gadis-gadis,” seringaiku.
“Sama sekali tidak,” bantahnya. “Aku pemalu,” dia melanjutkan, wajahnya tampak serius. Tapi aku tidak percaya, karena aku melihat sorot jenaka di matanya.
“Ya, ya, ya, akan kucatat itu,” sahutku sambil tertawa.
Setelah menyetir sepanjang lima belas mil lebih, aku sampai di Santa Monica, kemudian berbelok ke kiri melewati Pico Boulevard. Sebentar lagi kami sampai Venice Beach. Aneh, perjalanan selama tiga puluh menit terasa sebentar sekali bagiku. Diam-diam aku melirik pria di sampingku. Apa karena aku bersama dia?
Desiran aneh melintasi jantungku, membuatnya berdegup sedikit lebih kencang. Sudah lama sekali aku tidak merasakan perasaan seperti ini. Aku merasa seperti sedang berkencan, tapi … apakah ini kencan?
Bersambung
Pantai penuh dengan parade manusia sepanjang Venice Beach Boardwalk, seolah-olah semua penduduk Los Angeles tumpah di tempat ini. Tapi memang musim panas selalu menjadi alasan tepat untuk mengunjungi pantai, apalagi di akhir pekan seperti sekarang. Aku dan Tobias berada di tengah-tengah parade tersebut. Sepanjang jalan satu setengah mil yang di kedua sisinya dipenuhi berbagai kedai, toko, dan stan yang memajang suvenir serta pernak-pernik yang menarik itu, Tobias menggandengku. Tangannya menggenggam tanganku erat namun lembut. Tanpa pria itu menyadari perbuatannya membuat jantungku berdebar tidak karuan.Mendekati pantai, aku melepaskan gandengan tangannya tanpa memperhatikan pria itu, berpura-pura apa yang kulakukan hanyalah merupakan gerakan reflek untuk menyiapkan kameraku. Meski begitu, aku merasakan tatapannya dari balik bahuku.Melihat apa yang terpampang di depanku, aku melupakan gemuruh perasaan yang sempat menyerbuku akibat genggaman tangan Tobias tadi. Kawasa
Kami makan siang di Sidewalk Café, tempat yang populer di Venice Beach. Bangunannya terlihat menonjol dengan tenda merah putih memanjang di bagian depannya. Menjadi satu dengan Sidewalk Café, ada Small World Book, toko buku yang sudah ada sejak tahun 1969. Beberapa kali aku ke sana dan koleksinya sungguh lengkap. Tempat itu benar-benar surga bagi para pecinta buku.Ada bar yang luas di bagian dalam Sidewalk Café, sementara kursi-kursi untuk pengunjung yang hanya ingin makan berada di bawah tenda, mereka bisa menyantap hidangan sambil melihat-lihat pemandangan boardwalk melalui jendela kaca yang terpasang pada keseluruhan dinding yang menghadap ke jalan. Aku memilih tempat di sebelah jendela. Ketika pelayan datang dan menanyakan pesanan, aku memilih nachos yang ditambah steak dan salad santa fe yang berisi potongan alpukat, jagung manis panggang, irisan tomat, keju, kacang hitam, dan campuran sayuran yang disiram dengan
“Sorry, Em.” Suara Tobias terdengar menyesal. Aku mendesah, meski merasa sangat kesal aku tidak bisa menyalahkan pria ini. Tadi aku baru selesai memotret kembali para pemain skateboard dengan latar belakang sunset ketika menyadari waktu sudah menunjukkan pukul 20.16 pm. Lalu aku memutuskan untuk memotret anak-anak muda yang sedang bermain basket dan langsung pulang. Sebelum aku beranjak ke lapangan basket, aku meminta Tobias mengeluarkan mobilnya dari tempat parkir dan menungguku di persimpangan jalan. Namun ternyata, saat pria itu muncul di tempat yang sudah kita janjikan, dia tidak membawa kendarannya. “Mobilku mogok,” lapornya. Dan sekarang, di sinilah kami berada. Duduk di tepi pantai yang sudah mulai sunyi, memperhatikan matahari yang perlahan-lahan masuk ke peraduannya. “Mobil tua sialan!” umpat Tobias untuk yang kesekian kalinya. Aku meliriknya, melihat ekspresi wajahnya yang memendam perasaan tidak enak, aku merasa ib
Aku melirik diriku sendiri melalui kaca spion di atas dashboard. Lihat! Wajah kusut bangun tidur, rambut acak-acakan, dan bibir bengkak karena terlalu banyak dicium. Belum lagi stelan kaos super tipis yang aku kenakan. Sialan! Tidak bisakah Tobias membelikanku pakaian yang jauh lebih baik daripada ini? Kulirik sebal pria bertelanjang dada yang masih duduk di sampingku. Dan lihat, dia bahkan tidak membeli apa pun untuk menutupi tubuh bagian atasnya. Tobias menatapku dengan pandangan menyesal sekaligus geli. “Bagaimana lagi? Hanya itu yang aku temukan, toko lain belum ada yang buka,” katanya sambil mengangkat bahu, mengerti sekali apa yang aku pikirkan. “Lalu kenapa kau tidak membeli untuk dirimu sendiri?” Pria yang kutanya hanya mengangkat bahu. “Untuk apa? Tidak ada yang perlu ditutup pada tubuh bagian atasku,” ujarnya mengedipkan sebelah mata. Bibirku mengerucut, ada satu hal lagi yang menggangguku. Dengan hilangnya semua pakaian yan
Belum pernah kurasakan kenyamanan seperti ini selama tujuh tahun terakhir, bahkan aku hampir lupa rasanya. Begitu menenangkan dan menyenangkan. Dalam situasiku yang saat ini berada di antara kondisi terjaga dan tertidur, semua indraku terasa semakin sensitif. Aku merasa selimut yang menutupiku menjadi lebih lembut dan lebih wangi. Juga tempat tidurnya yang lebih hangat. Selama beberapa saat aku menikmati keadaan tersebut, lalu kesadaran mulai menghampiriku perlahan-lahan.Hal yang pertama kali kurasakan saat sudah sepenuhnya terjaga adalah tangan besar yang melingkari pinggangku, kemudian dagu bercambang yang menempel pada pipiku. Aku tersenyum, mengingat kejadian-kejadian yang terjadi selama 24 jam terakhir. Pelan-pelan aku berbalik menghadap Tobias, wajah kami saling berhadapan. Dia begitu tampan, ekspresinya tenang seperti malaikat yang sedang tertidur.Pandangan mataku jatuh ke dada Tobias, baru menyadari jika dia memiliki tato yang tersambung ke lengannya. Tato be
“Jadi sekarang kau dekat dengan Tobias?” tanya Eli sambil membuka microwave dan mengeluarkan sewadah popcorn dari dalamnya, membawa ke sofa ruang tengah. Aku mengikutinya. “Menurutmu?” tanyaku tak acuh, duduk di samping Elian yang sedang memindah-mindah channel televisi melalui remote. “Yeah … memergoki apa yang kalian lakukan tadi, aku yakin kalian sudah menghabiskan malam yang menyenangkan.” Aku memukul kepala Elian dengan bantal kursi. “Awas kalau kau berani menceritakan hal itu pada yang lain. Yang kumaksud “yang lain” di sini adalah para sepupuku selain Elian. “Sebenarnya aku justru sedikit lega,” ucap Elian tanpa memedulikan ancamanku. Dia mengunyah popcorn-nya dengan santai. “Dan … apa yang membuatmu merasa lega?” “Aku sempat khawatir kau tidak akan bisa move on dari Adrian.” “Oh, please … aku bahkan sudah move on darinya sejak memergoki dia berselin
Beberapa hari ini aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Sebenarnya, berusaha mengingkari jika aku sudah mengencani pria yang usianya sembilan tahun lebih muda dariku. Kuabaikan panggilan dan pesan-pesan yang dikirim Tobias. Aku ingin menjauh darinya, melupakan dia kalau bisa. Karena aku yakin hubungan kami tidak akan berhasil. Bahkan saat di apartemen pun aku tidak ingin berhenti, sedetik saja aku tidak beraktivitas, bayangan Tobias selalu menghampiri. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.21, seperti biasa mataku belum ingin terpejam, tapi semua pekerjaanku sudah beres. Baiklah, aku akan menghabiskan malam dengan membaca atau menonton film horor, hal tersebut selalu berhasil mengalihkan pikiranku. Aku mematikan laptop dan pergi ke kamar mandi untuk menyikat gigi. Selesai menyikat gigi aku menatap cermin, melihat seorang wanita dewasa dengan rambut blonde yang tergelung asal, mengenakan kaos kebesaran dan celana pendek. Sorot matanya memancarkan rasa sepi. Yah ... aku
Lima belas hari ini aku benar-benar merasa seperti mayat hidup, menjalani aktivitas tanpa hati. Satu bulan yang lalu aku baik-baik saja, tapi sekarang semuanya terasa kacau. Aku tidak percaya, pria muda itu sudah begitu memengaruhiku, meski dengan benteng yang sudah kubangun selama tujuh tahun. “Em, dipanggil Bos!” seru Andrew salah satu rekan kerjaku. Aku mengerang lelah. “Ada apa lagi?” desahku. Sudah kelima kali ini dia memanggilku. “Kulihat dia sangat ingin memakanmu,” cengir Andrew. Aku membungkam Andrew dengan lirikan yang mematikan, berdiri dari kursiku sambil meraih sebuah map dan segera menuju ruang kerja atasanku. Baxter tua yang biasanya memiliki wajah ramah kini tampak masam saat aku melongokkan kepala di pintu ruang kerjanya yang terbuka. Aku mengetuk pintunya pelan meski dia sudah melihatku. “Kau memanggilku, Bos?” tanyaku santai. “Masuklah, Emily!” serunya pelan. Aku melangkah mendekatinya. “Duduk