Share

7. Xing Lian

Kita bantai jugalah,” kata Yuanrang.

“Iya. Itu sudah jelas. Tapi kalau soal bayi-bayi lipan ini, kita harus masuk ke gua. Ketika masuk ke gua, kita tidak punya siapapun yang menjaga mulut gua. Selain bayi lipan, di dalam gua juga ada dua manusia pucat aneh dan bertaring? Bagaimana jika hewan misterius itu masuk ke gua dan mengintai punggung kita? Kita berisiko bertarung melawan tiga objek sekaligus. Kita tadi sudah beruntung lho tidak diserang oleh tiga objek sekaligus ketika masuk gua.”

“Ah, benar juga. Tidak baik jika kita selalu mengandalkan keberuntungan,” kata Yuanrang.

Termenung menghadapi beberapa potensi masalah ini, Mengde terdiam dan berpikir. Analisis risiko menurut Miaocai memang masuk akal. Tidak mungkin juga jika harus bertarung melawan dua objek misterius dan kumpulan bayi lipan dalam waktu yang sama dan di dalam area yang tidak mereka kenali. Belum lagi mereka bertiga masih belum mengetahui informasi apapun tentang dua objek misterius yang tinggal di dalam hutan. Bayi lipan mungkin tidak seganas dua induknya. Meski begitu, jumlah mereka cukup banyak. Dengan kata lain, bayi lipan sudah menang secara jumlah. Mereka tadi hanya membunuh tiga bayi lipan. Mengde yakin kalau tiga bayi lipan hanya beberapa persennya saja dari keseluruhan. Bayangkan, satu siklus beranak saja bisa menghasilkan sepuluh hingga lima puluh lipan baru.

“Omonganmu benar juga, Miaocai,” kata Yuanrang, “Rencana awal kita tadi berkemah di dekat mulut hutan kan? Bagaimana jika dua objek misterius itu bekerja sama dan menyerang kita ketika sedang tidur. Lebih baik kita urungkan lagi. Kita tidur saja di perkampungan yang kita lewati tadi. Kampung tadi sudah ditinggalkan oleh semua pemiliknya kan?”

“Ya untuk sementara. Kalau masalah lipan ini selesai juga mereka akan balik lagi,” kata Miaocai.

“Ya benar seperti itu. Tapi kan intinya mereka baru akan kembali setelah kita membawa dua kepala induk lipan kan? Selama kita belum membawa kepala, kita bisa bebas tidur di sana,” kata Yuanrang.

“Kita tidur di perkampungan saja,” tegas Mengde.

“Baiklah. Kita amati saja dulu sekarang kondisi hutan ini. Jangan masuk ke gua dulu,” kata Miaocai.

“Tidak. Jangan, Miaocai! Hutannya besok saja! Kita lebih baik kembali dulu ke perkampungan!” kata Mengde.

Tentu kalimat Mengde ini membuat Yuanrang dan Miaocai keheranan. Padahal kondisi masih siang. Masih belum masuk sore. Mereka punya banyak waktu untuk mengenali hutan hingga matahari tenggelam. Kondisi fisik juga masih belum sepenuhnya lelah. Mungkin cukup beberapa air untuk menghilangkan rasa lelah. Sesuai prinsip yang diajarkan Yudhistira. Kalau perang harus mengenali kondisi geografis suatu wilayah terlebih dahulu.

“Kenapa?” tanya Yuanrang.

“Kita buat semua kemungkinan risiko dan masalah yang berpotensi menyerang kita. Lalu kita buat langkah strategi dan alternatif sesuai dengan kemungkinan risiko,” kata Mengde.

“Ah, tinggal pancing saja para lipan dengan cara yang sama,” kata Miaocai, “Lalu kita bantai para bayi lipan setelah mereka keluar.”

“Benar juga. Lumayan untuk mencicil pekerjaan. Kalau hari ini tidak selesai, kita lanjutkan besok,” dukung Yuanrang, “Cukup kita bawa saja bangkai lipan betina ini lalu kita asapi mereka. Tidak perlu mencari bahan bakar lain. Tubuh lipan ini cukup besar. Kita potong-potong menjadi beberapa bagian supaya lebih mudah.”

“Kita lakukan semua besok saja, teman-teman,” kata Mengde, “Ada yang mengganggu pikiranku.”

“Apakah itu?” tanya Yuanrang.

Mengde berdiri dan menghunuskan pedang, “Akan kujelaskan nanti di kampung. Kita potong saja dulu kepala lipan ini dan kita segera balik ke kampung.”

Para pendekar pun menjalankan rencana Mengde. Di perjalanan kembali ke kampung, mereka bertiga tidak banyak bicara. Miaocai kelelahan karena membekukan bangkai berukuran besar dengan lapisan es tebal membutuhkan energi yang tidak sedikit. Yuanrang mencoba bermeditasi. Tapi pikiran tidak mampu tenang karena masih penasaran. Sedangkan Mengde memikirkan berbagai potensi masalah, risiko serta strategi untuk menangani semua potensi masalah.

“Nah, kita sudah sampai,” kata Yuanrang ketika kuda baru memasuki sisi utara desa, “Sekarang katakan apa yang mengganggu pikiranmu, Mengde.”

Sadar Yuanrang sudah menahan rasa penasaran, Mengde menjelaskan juga, “Seperti yang kalian tahu, hewan buas berbulu hitam itu mengawasi kita. Aku juga punya rencana untuk nanti malam. Tapi kujelaskan dulu apa saja yang mengganggu pemikiranku.

“Pertama, entah apa tujuan hewan buas itu mengintai kita? Kalau memang dia hewan buas, begitu melihat mangsa, pasti akan menyerang. Yang aneh, ketika kita berhasil membunuh lipan betina sampai kita berangkat ke sini, hewan buas itu tetap tidak menyerang? Kita perhitungkan juga dia menunggu kita menyelesaikan lipan betina, baru dia menyerang kita ketika kelelahan. Lalu yang aku heran, meski kita sudah menyelesaikan lipan betina, kenapa hewan buas itu malah menghilang dan pergi?”

Yuanrang mulai menangkap kebingungan Mengde, “Maksudmu … hewan itu bukan …”

“Kau mulai paham,” potong Mengde, “Pertanyaanku, apakah hewan berbulu hitam itu benar-benar hewan? Kalian yakin itu hewan? Bukan sesuatu yang lain? Sesuatu dari tanah Bangsa Hun yang tidak kita ketahui? Dunia ini luas, teman-teman. Lalu apakah hewan buas itu sendirian? Bagaimana jika ada beberapa dari mereka di sini?”

“Oke. Kami paham kecemasanmu. Lalu yang kedua?” tanya Yuanrang.

“Yang kedua, dua manusia bertaring dan bertubuh pucat. Bagaimana mungkin mereka tinggal satu rumah dengan para lipan yang buas seperti itu? Kegilaan macam apa? Mereka bertingkah seolah para lipan peliharaannya? Aku curiga, jangan-jangan merekalah yang membawa para lipan kemari. Jika memang kemungkinan itu benar, maka kita berhadapan dengan musuh yang lebih merepotkan dan jauh lebih berakal dari lipan,” kata Mengde,

“Apakah ada yang ketiga?” tanya Miaocai.

“Yang ketiga, hubungan antara semua faktor masalah yang kita ketahui barusan. Apakah hewan buas berkulit hitam tadi berhubungan dengan dua manusia bertaring? Kalau mereka memang ternyata berkoordinasi, wah … bisa gawat!”

Belum sempat menyelesaikan argumen, mereka bertiga dikejutkan oleh suara orang bersin. Suara barusan dari dalam rumah. Tentu para pendekar langsung menghunuskan setiap senjata. Berjaga-jaga jika ada perampok, penjarah atau bandit yang memanfaatkan kesempatan untuk mencuri barang-barang milik penduduk desa.”

“Siapapun kalian, keluarlah!!!” bentak Mengde.

“Kau yang keluar …” kata Yuanrang dengan nada tinggi, “Atau pedang dan panah kami yang masuk?”

“Maaf, maaf,” terdengar suara seorang gadis dari dalam rumah, “Aku tidak bermaksud mendengarkan pembicaraan kalian.”

Gadis yang baru muncul ini kira-kira dua tahun lebih tua daripada tiga pendekar. Dia memakai pakaian sederhana seperti petani pada umumnya. Warna rambutnya kombinasi antara hitam dan coklat. Mungkin karena sering terjemur matahari. Di pinggang sebelah kiri ada sarung pedang. Tangan kirinya menggenggam sabit yang masih tajam. Dia juga membawa busur dan anak panah yang lengkap. Seperti orang yang siap berperang. Berbadan kurus. Tidak terlihat seperti perampok atau bandit.

“Jawab pertanyaanku. Siapa namamu dan kenapa kau masih di sini?” tanya Yuanrang.

“Namauku Xing Lian. Aku masih di sini karena masih harus mencari barangku yang hilang,” kata gadis itu.

“Jangan bodoh. Di sini berbahaya!” kata Yuanrang, “Pergilah dari sini!”

“Lipan itu biasanya menyerang setiap malam. Jadi selama siang begini aku akan aman. Aku berniat ke pengungsian begitu matahari mulai terbenam. Sore hari. Di siang hari begini, aku malah khawatir ada perampok atau penjarah yang tahu desa ini sudah ditinggalkan.”

“Sepasang lipan sudah kami bunuh,” kata Miaocai, “Tinggal bayi-bayi lipan saja.”

Xing Lian mengernyit, “Masa? Bocah seperti kalian? Aku tidak percaya.”

“Kami punya bukti,” jawab Mengde.

“Mana? Bisa tolong tunjukkan padaku?”

Yuanrang membawa Xing Lian ke gerobak. Di sana ada dua tumpukan kain. Sebelum membuka, mereka sudah menutup hidung menahan bau bangkai yang jelas tidak enak. Yuanrang membuka setiap kain dan menunjukkan pada Xing Lian. Xing Lian terpana melihat dua kepala lipan raksasa itu. Gadis petani itu terdiam selama beberapa detik. Baru kemudian senyumpun mengembang. Lalu berbalik badan dan menunduk pada para pendekar.

“Maafkan aku. Aku tidak mempercayai kalian,” kata Xing Lian yang terus menunduk, “Paling tidak, bencana di desaku sudah berkurang dua.”

“Iya. Seperti yang kutegaskan tadi,” kata Miaocai lalu mengulang kalimatnya, “Masih ada bayi-bayi lipan dan tiga makhluk yang belum bisa kami identifikasi. Kami tak bisa menyimpulkan mereka monster atau manusia.”

“Makhluk hitam berbulu, kan?” kata Xing Lian, “Aku tadi tak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Aku sudah tahu hal itu. Namun tak ada yang percaya padaku.”

“Tak ada yang per … Tunggu, kau sudah menceritakan keberadaan makhluk selain lipan pada penduduk desa?” kata Mengde.

“Sudah. sudah menegaskan pada mereka kalau beberapa penduduk ada yang diculik oleh hewan berbulu hitam. Pergerakan si bulu hitam itu di bawah bayang-bayang lipan. Setiap lipan bergerak, makhluk itu juga bergerak. Jadi, tidak heran kalau penduduk desa hanya berfokus pada lipan. Selain itu juga mereka mengaku tidak pernah melihatnya. Agak susah juga meyakinkan para penduduk,” Xing Lian menghela nafas, “Aku beruntung menemui kalian yang benar-benar sudah melihat hewan berbulu hitam.”

“Lalu apa yang kau ketahui tentang manusia pucat dan bertaring?” tanya Yuanrang.

“Aku tak tahu apapun tentang itu,” kata Xing Lian, “Jadi masih ada yang lain, ya?”

“Ya itu saja yang kami ketahui. Hewan besar berbulu hitam, dua manusia bertaring dan lipan. Kami belum memperhitungkan kemungkinan monster lain yang masih bersembuyi di hutan.”

“Iya. Untuk dua lipan yang sudah kalian bunuh, kami sangat berterima kasih,” kata Xing Lian, “Kalian tidak kembali? Oh iya, harus membunuh bayi-bayi lipan ya?”

Yuanrang mengangguk, “Benar. Selain itu juga, kalau kami beruntung, mungkin kami bisa membunuh hewan buas berbulu hitam.”

“Itu yang menjadi kecemasan kami,” kata Mengde.

“Untuk menghadapi bahaya seperti itu, bukankah kita sebaiknya mengkontak dan berkonsultasi pada Guru Yudhistira? Kita berhadapan dengan potensi-potensi masalah yang tak terduga,” saran Miaocai.

“Pulang dulu lalu ke sini lagi? Bukankah itu merepotkan?” kata Yuanrang.

“Jangan bodoh, Yuanrang. Kita tulis surat saja,” kata Miaocai yang lalu menunjuk Xing Lian, “Lalu kita kirimkan ke gadis ini. Bukankah Guru Yudhistira sekarang berada di area pengungsian?”

“Xing Lian, Apa benar kau akan kembali ke pengungsian? Barangmu sudah ketemu?” tanya Mengde.

Xing Lian menggangguk, “Barangku sudah ketemu, aku akan kembali ke pengungsian dan siap menjadi kurir kalian.”

“Percuma, Mengde,” kata Yuanrang, “Dia tidak tahu wajah Guru Yudhistira.”

“Akan kutulis suratnya,” kata Mengde, “Suruh saja Xing Lian untuk menemui penguasa wilayah. Biarkan penguasa wilayah yang menyampaikan ke Guru Yudhistira. Penguasa wilayah kan mengenali Guru Yudhistira. Guru juga mengenali tulisan tangan kita kan?”

“Ah, kalau penguasa aku tahu wajahnya,” kata Xing Lian, “Baiklah. Akan kubantu kalian.”

“Sebelum kita mencari alat tulis, Xing Lian, ada yang ingin kukonfirmasi lagi padamu,” kata Mengde yang melihat Xing Lian dengan serius, “Untuk waktunya, apa benar hewan buas itu menyerang di malam hari.”

Xing Lian mengangguk, “Biasanya seperti itu. Kalau dua lipan sudah kalian bantai, aku tak tahu lagi apakah dia akan tetap bergerak atau tidak. Karena seperti yang kukatakan tadi, hewan buas itu bergerak memanfaatkan serangan lipan. Jadi semacam berkamuflase begitu. Singkat kata, memanfaatkan kepanikan penduduk.”

“Baiklah, terima kasih, Xing Lian,” kata Mengde, “Aku punya rencana yang sangat bagus untuk menyambutnya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status