“Guru, kita kan belum bicara dengan Livilla,” kata Mengde yang berbisik pada gurunya supaya tidak terdengar Xing Lian, “Apakah kira-kira mereka setuju soal tempat tinggal mereka berikutnya? Warga Romawi tinggal di sarang kumuh bandit?”Yudhistira tersenyum dan balas berbisik pula, “Kalau menurutku, lebih banyak setuju daripada tidak setuju. Karena letaknya lebih condong ke utara, minimal sudah layak ditinggali manusia, jauh dari pemukiman penduduk dan terkenal banyak serigala di sini. Organisasi mereka juga dilatih untuk siap menghadapi banyak kondisi. Yah, kalau memang mereka tidak berminat, bisa kita carikan tempat lain. Yang penting mereka pindah dulu.”Para pendekar dan Xing Lian sudah hampir sampai di kaki bukit Lang Xue. Di depan, Yuanrang bisa melihat keindahan perbukitan Lang Xue. Bukit Lang Xue menjulang di atas dataran sekitarnya. Mungkin, dari atas, Yuanrang bisa melihat pemandangan daerah sekitarnya yang sangat indah. Bukit Lang Xue ditutupi tanaman hijau subur. Ada d
“Tidak. Aku tidak sependapat denganmu, Guru,” kata Mengde.“Kenapa?” Tanya Yudhistira.“Tidak efektif jika kita semua harus bergerak bersama-sama ke Bukit Lang Xue. Lebih baik kita menyebar. Dua orang ke Bukit Lang Xue. Dua orang mengabari Livilla.”“Ide yang baik, Mengde. Tapi, bukankah kalian tidak bisa Bahasa Romawi?”Pertanyaan balik Yudhistira mendiamkan tiga pendekar. Memang bagian itulah yang dilupakan tiga pendekar. Di sini hanya Yudhistira yang mampu Bahasa Romawi.“Bagaimana jika guru saja yang menemui Livilla? Kami bertiga akan pergi ke Lang Xue,” tanya Yuanrang.“Jangan tolol, Yuanrang,” kata Yudhistira, “Dua alasan. Pertama, Kita semua tidak tahu seperti itu 'bajingan tua' yang diceritakan oleh Qiong Qi ini. Kalau 'bajingan tua' itu mampu menebas sayap Qiong Qi dan bahkan mampu memanfaatkan Qiong Qi untuk melakukan agendanya, berarti dia sangat kuat. Kupertegas lagi. Meski yang kita hadapi barusan jenis Qiong Qi terlemah, pada dasarnya, Qiong Qi adalah monster yang cukup
Yuanrang berpamitan dengan Xing Lian dan rombongan. Setelah kepala ular beres. Sekarang dia harus mengabari misi rahasia yang tidak boleh diketahui oleh siapapun. Yaitu menyampaikan surat ke Livilla.“Kalau bertemu monster yang aneh-aneh lagi, pergilah,” kata Xing Lian, “Aku tidak yakin kau bisa menghadapi ini semua.”“Ah, kau meremehkanku,” kata Yuanrang.“Bukan meremehkan. Kita belum mengungkap misteri kenapa para monster berdatangan dari utara. Jangan mati dululah.Yuanrang pun tertawa, “Iya. Iya. Aku mengerti.”Mereka berdua pun berpisah. Xing Lian memacu kudanya ke selatan. Yuanrang masuk ke hutan. Bukan hal yang sulit bagi Yuanrang untuk menemukan gua. Dia sudah ke sana tiga kali.Sesampainya di gua, Yuanrang masuk ke permukaan. Tak ada siapapun di sana. Juga tak ada cahaya. Yang ada keheningan. Dia juga tak berani masuk terlalu dalam. Di samping karena tak ada cahaya, Yuanrang belum menguasai gua sepenuhnya. Jadi dia hanya memanggil-manggil nama Livilla saja.“Livilla!! Livilla
“Kira-kira dimana lipan raksasa itu bersembunyi, Tuan?” tanya Yuanrang ke salah satu penduduk desa.Penduduk desa yang sibuk berkemas itu menjawab dengan panik, “Di hutan utara. Sekitar tiga li dari sini. Di sana ada gua yang cukup besar. Diapit banyak formasi pohon bambu.”“Anda yakin, Tuan?”Pria berumur empat puluh tahunan itu menunduk sejenak lalu menatap mata Yuanrang lagi,“Sejujurnya aku tidak tahu. Aku hanya pengrajin, Nak. Bukan pencari kayu atau pemburu. Tapi tetanggaku yang penebang hutan menceritakan itu padaku. Lima hari lalu, tetanggaku melacak makhluk itu ketika kembali ke sarangnya. Lipan raksasa itu masuk ke gua. Tentu saja tetanggaku tidak berani mengikutinya sedalam itu. Dia langsung pulang, menceritakan dan mengingatkan kami semua.”“Baik, terima kasih atas informasinya, Tuan. Sebagai gantinya, izinkan kami membantu Anda berkemas. Mana yang harus kami kemas.”“Ah … ya … terima kasih,” kata pengrajin yang sedikit bingung.Pria pengrajin menatap penampilan dua anak r
Miaocai membidik dan melepaskan anak panah ke target yang dituju Yuanrang. Anak panah berdesing. Terdengar suara desisan pendek lalu menghilang. Para pendekar remaja ini segera berlari menghampiri target. Sudah mereka duga sebelumnya. Ternyata hanya ular biasa. “Jika kita membakar …” kata Miaocai yang mencabut panah dan memasukkan kembali ke tempat. “Astaga, jangan lagi, Miaocai,” kata Mengde. “Sekarang bagaimana cara kita menemukan gua yang menjadi sarang lipan? Pohon bambu kata bapak pengrajin. Masalahnya kita hidup di daerah dimana pohon bambu sangat endemik” kata Yuanrang. “Hei, jangan marah dulu,” kata Mengde, “Kita urai dulu apa yang kita ketahui tentang lipan. Misalnya …” Belum selesai berpikir, insting Yuanrang menjerit lagi. Dia memberi kode lagi dan menunjuk ke arah utara. Miaocai memanah lagi dan mengenai sesuatu. Terdengar suara erangan hewan buas dari semak-semak. Erangan itu lumayan membuat hati tiga remaja ini
Tiga pendekar remaja kita berlari menjauh. Di belakang mereka, kematian begitu mengancam. Lipan raksasa memang bergerak begitu cepat. Tapi lebih dari itu. Makhluk itu mampu menembakkan cairan bening yang mencurigakan. Baunya cukup aneh dan susah dilukiskan dengan kata-kata. Intinya cukup untuk membuat perut mereka mual dan jangan sampai cairan aneh ini mengenai kulit. Cukup mengganggu konsentrasi juga. Meski begitu, mereka terus berlari tanpa henti. Mereka semua baru tahu ada lipan yang mampu menembakkan cairan misterius. “Seberapa jauh jarak kita, Miaocai?” kata Mengde, “Uh, aku tidak tahan baunya.” “Masih setengah jalan lagi,” kata Miaocai. Tiga pendekar ini berlari sambil menutup hidung. Bernafas melalui mulut. Sesekali membuka hidung juga untuk mengambil udara karena mau bagaimanapun mereka sedang berlari. Lalu menutup hidung lagi. Supaya lebih mudah membayangkan, bayangkan saja bau kecoa. Tapi sekarang lebih buruk dari bau kecoa. Sesekali Miaocai menoleh ke belakang. Dia menga
Lipan sudah tak bisa kembali ke posisi semula. Setiap dia berusaha kembali, tombak Miaocai yang panjang dan kuat itu membentur tanah. Berguling ke kanan tertahan tanah. Berguling ke kiri juga tertahan tanah. Sudah tidak ada yang bisa dilakukan oleh lipan raksasa selain menunggu kematian. Tombak sudah menusuk terlalu dalam bahkan sampai menembus.“Akan kuselesaikan,” kata Yuanrang.Yuanrang menghunuskan pedang. Pedang itu melayang di udara bebas dengan pengendalian logamnya. Lalu terhenti tepat setinggi dua kaki dari luka lipan yang terbuka. Yuanrang mengkonsentrasikan pengendalian logam dan menusuk bagian yang terbuka lebar itu dengan kecepatan dan tekanan tinggi.“Menangislah, lipan menjijikkan!” teriak Yuanrang. “Kau pintar juga,” kata Mengde. “Ya jelas. Mungkin kalian lebih pintar dariku dalam taktik tempur,” kata Yuanrang, “Tapi aku mempelajari cara kalian berpikir dan cara kalian menyikapi suatu momen dalam bertempuran. Aku juga harus berkembang. Aku tak b
“Siapa juga yang mau mengejar?” kata Yuanrang. “Kau kan biasanya seperti itu,” kata Mengde. “Memangnya aku selalu begitu? Tidak. Kali ini sedikit berbeda. Aku merasa, kalau aku masuk lebih jauh, maka aku sudah tak bisa yakin dengan nasibku sendiri,” kata Yuanrang. “Instingmu menolak untuk maju,” tanya Miaocai. “Bisa dibilang begitu,” kata Yuanrang.“Hmmm … kalau insting Yuanrang menolak, berarti ada sesuatu yang menyeramkan di sana,” kata Miaocai.Di situasi mengancam seperti barusan, seharusnya reflek Miaocai bergerak mengambil anak panah dan menembak. Namun, apa yang dia lihat barusan membuat tangan dan otak Miaocai seolah membeku. Tak mampu bergerak dan tak mampu berkata-kata. Terlalu mengejutkan. Untung dua manusia aneh barusan tidak menyerang. Semua syaraf baru bisa bekerja secara normal setelah dua manusia aneh menghilang di kedalaman gua.“Mana ada manusia yang tinggal bersama lipan raksasa?” kata Yuanrang. Otaknya bekerja keras m