Yuanrang Pendekar Pemburu Monster

Yuanrang Pendekar Pemburu Monster

By:  Henry Hafidz  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
Not enough ratings
19Chapters
263views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Di masa Dinasti Han, satu perkampungan dilanda kepanikan karena serangan lipan raksasa. Penguasa setempat yang panik, meminta tolong pada seorang pertapa bernama Yudhistira. Yudhistira pun mengutus murid-muridnya untuk menangani masalah ini. Tiga murid Yudhistira bernama Yuanrang (Xiahou Dun), Miaocai (Xiahou Yuan) dan Mengde (Cao Cao). Mereka adalah remaja yang berasal dari daerah Qiao. Dari Yudhistira, mereka mempelajari banyak ilmu. Pertarungan, seni perang, filsafat, politik dan pengendalian elemen alam. Tiga remaja ini menjalankan perintah dari gurunya untuk membunuh lipan raksasa yang tinggal di hutan. Seiring mereka menjalani misi, mereka mendapatkan banyak misteri yang harus diungkap untuk menghentikan kedatangan monster dari utara. Sanggupkah mereka? Kisah ini terinspirasi dari game berjudul Wo Long: Fallen Dynasty. Kisah ini adalah bagian dari Manipulator Universe yang menceritakan masa lalu dari tokoh bernama Xiahou Dun

View More
Yuanrang Pendekar Pemburu Monster Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
No Comments
19 Chapters
1. Yuanrang, Miaocai dan Mengde
“Kira-kira dimana lipan raksasa itu bersembunyi, Tuan?” tanya Yuanrang ke salah satu penduduk desa.Penduduk desa yang sibuk berkemas itu menjawab dengan panik, “Di hutan utara. Sekitar tiga li dari sini. Di sana ada gua yang cukup besar. Diapit banyak formasi pohon bambu.”“Anda yakin, Tuan?”Pria berumur empat puluh tahunan itu menunduk sejenak lalu menatap mata Yuanrang lagi,“Sejujurnya aku tidak tahu. Aku hanya pengrajin, Nak. Bukan pencari kayu atau pemburu. Tapi tetanggaku yang penebang hutan menceritakan itu padaku. Lima hari lalu, tetanggaku melacak makhluk itu ketika kembali ke sarangnya. Lipan raksasa itu masuk ke gua. Tentu saja tetanggaku tidak berani mengikutinya sedalam itu. Dia langsung pulang, menceritakan dan mengingatkan kami semua.”“Baik, terima kasih atas informasinya, Tuan. Sebagai gantinya, izinkan kami membantu Anda berkemas. Mana yang harus kami kemas.”“Ah … ya … terima kasih,” kata pengrajin yang sedikit bingung.Pria pengrajin menatap penampilan dua anak r
Read more
2. Gua
Miaocai membidik dan melepaskan anak panah ke target yang dituju Yuanrang. Anak panah berdesing. Terdengar suara desisan pendek lalu menghilang. Para pendekar remaja ini segera berlari menghampiri target. Sudah mereka duga sebelumnya. Ternyata hanya ular biasa. “Jika kita membakar …” kata Miaocai yang mencabut panah dan memasukkan kembali ke tempat. “Astaga, jangan lagi, Miaocai,” kata Mengde. “Sekarang bagaimana cara kita menemukan gua yang menjadi sarang lipan? Pohon bambu kata bapak pengrajin. Masalahnya kita hidup di daerah dimana pohon bambu sangat endemik” kata Yuanrang. “Hei, jangan marah dulu,” kata Mengde, “Kita urai dulu apa yang kita ketahui tentang lipan. Misalnya …” Belum selesai berpikir, insting Yuanrang menjerit lagi. Dia memberi kode lagi dan menunjuk ke arah utara. Miaocai memanah lagi dan mengenai sesuatu. Terdengar suara erangan hewan buas dari semak-semak. Erangan itu lumayan membuat hati tiga remaja ini
Read more
3. Lipan Raksasa
Tiga pendekar remaja kita berlari menjauh. Di belakang mereka, kematian begitu mengancam. Lipan raksasa memang bergerak begitu cepat. Tapi lebih dari itu. Makhluk itu mampu menembakkan cairan bening yang mencurigakan. Baunya cukup aneh dan susah dilukiskan dengan kata-kata. Intinya cukup untuk membuat perut mereka mual dan jangan sampai cairan aneh ini mengenai kulit. Cukup mengganggu konsentrasi juga. Meski begitu, mereka terus berlari tanpa henti. Mereka semua baru tahu ada lipan yang mampu menembakkan cairan misterius. “Seberapa jauh jarak kita, Miaocai?” kata Mengde, “Uh, aku tidak tahan baunya.” “Masih setengah jalan lagi,” kata Miaocai. Tiga pendekar ini berlari sambil menutup hidung. Bernafas melalui mulut. Sesekali membuka hidung juga untuk mengambil udara karena mau bagaimanapun mereka sedang berlari. Lalu menutup hidung lagi. Supaya lebih mudah membayangkan, bayangkan saja bau kecoa. Tapi sekarang lebih buruk dari bau kecoa. Sesekali Miaocai menoleh ke belakang. Dia menga
Read more
4. Lipan Betina (1)
Lipan sudah tak bisa kembali ke posisi semula. Setiap dia berusaha kembali, tombak Miaocai yang panjang dan kuat itu membentur tanah. Berguling ke kanan tertahan tanah. Berguling ke kiri juga tertahan tanah. Sudah tidak ada yang bisa dilakukan oleh lipan raksasa selain menunggu kematian. Tombak sudah menusuk terlalu dalam bahkan sampai menembus.“Akan kuselesaikan,” kata Yuanrang.Yuanrang menghunuskan pedang. Pedang itu melayang di udara bebas dengan pengendalian logamnya. Lalu terhenti tepat setinggi dua kaki dari luka lipan yang terbuka. Yuanrang mengkonsentrasikan pengendalian logam dan menusuk bagian yang terbuka lebar itu dengan kecepatan dan tekanan tinggi.“Menangislah, lipan menjijikkan!” teriak Yuanrang. “Kau pintar juga,” kata Mengde. “Ya jelas. Mungkin kalian lebih pintar dariku dalam taktik tempur,” kata Yuanrang, “Tapi aku mempelajari cara kalian berpikir dan cara kalian menyikapi suatu momen dalam bertempuran. Aku juga harus berkembang. Aku tak b
Read more
5. Lipan Betina (2)
“Siapa juga yang mau mengejar?” kata Yuanrang. “Kau kan biasanya seperti itu,” kata Mengde. “Memangnya aku selalu begitu? Tidak. Kali ini sedikit berbeda. Aku merasa, kalau aku masuk lebih jauh, maka aku sudah tak bisa yakin dengan nasibku sendiri,” kata Yuanrang. “Instingmu menolak untuk maju,” tanya Miaocai. “Bisa dibilang begitu,” kata Yuanrang.“Hmmm … kalau insting Yuanrang menolak, berarti ada sesuatu yang menyeramkan di sana,” kata Miaocai.Di situasi mengancam seperti barusan, seharusnya reflek Miaocai bergerak mengambil anak panah dan menembak. Namun, apa yang dia lihat barusan membuat tangan dan otak Miaocai seolah membeku. Tak mampu bergerak dan tak mampu berkata-kata. Terlalu mengejutkan. Untung dua manusia aneh barusan tidak menyerang. Semua syaraf baru bisa bekerja secara normal setelah dua manusia aneh menghilang di kedalaman gua.“Mana ada manusia yang tinggal bersama lipan raksasa?” kata Yuanrang. Otaknya bekerja keras m
Read more
6. Lipan Betina (2)
Meski sadar diri kalau akurasinya tidak sebaik Miaocai, Yuanrang masih belum menyerah, Yuanrang masih terus menyerang lipan betina. Dari puncak batu, dia menggunakan pengendalian logam. Bagai digerakkan oleh hantu, pedang Yuanrang pun berkali-kali menusuk tubuh lipan. Kadang terkena punggung dan kadang terkena bagian bawah. Tidak semuanya kena. Yuanrang terus menyerang bagian leher dekat mulut. Target utama tentu merusak kalenjar yang memproduksi cairan aneh itu.Mengde keluar dari persembunyiannya. Dia bersembunyi di batu yang sama dengan Miaocai. Mata bocah cerdas itu terus mengamati tingkah lipan betina yang kesakitan. Sambil memikirkan cara bagaimana mengalahkan lipan betina menjijikkan ini. Setelah beberapa detik, lipan mulai pulih kembali. Berjalan lagi merayap batu untuk menyerang Yuanrang. Menurut analisis Mengde, lipan betina ini mengidentifikasi hanya ada satu objek yang mengancam nyawa. Yaitu Yuanrang. Tidak bisa mengidentifikasi dua ancaman lain. Meski ukurannya besar, na
Read more
7. Xing Lian
Kita bantai jugalah,” kata Yuanrang. “Iya. Itu sudah jelas. Tapi kalau soal bayi-bayi lipan ini, kita harus masuk ke gua. Ketika masuk ke gua, kita tidak punya siapapun yang menjaga mulut gua. Selain bayi lipan, di dalam gua juga ada dua manusia pucat aneh dan bertaring? Bagaimana jika hewan misterius itu masuk ke gua dan mengintai punggung kita? Kita berisiko bertarung melawan tiga objek sekaligus. Kita tadi sudah beruntung lho tidak diserang oleh tiga objek sekaligus ketika masuk gua.” “Ah, benar juga. Tidak baik jika kita selalu mengandalkan keberuntungan,” kata Yuanrang. Termenung menghadapi beberapa potensi masalah ini, Mengde terdiam dan berpikir. Analisis risiko menurut Miaocai memang masuk akal. Tidak mungkin juga jika harus bertarung melawan dua objek misterius dan kumpulan bayi lipan dalam waktu yang sama dan di dalam area yang tidak mereka kenali. Belum lagi mereka bertiga masih belum mengetahui informasi apapun tentang dua objek misterius yang tinggal di dalam hutan. Bay
Read more
8. Malam Hari
Para pendekar dan Xing Lian mencari alat tulis dan kertas. Mereka langsung mencari di rumah kepala desa karena tak mau berlama-lama. Namanya kepala desa, pasti punya banyak alat tulis dan kertas. Sudah menjadi kewajiban kepala desa untuk membuat laporan tertulis kepada penguasa wilayah setempat. Setelah semua lengkap, mereka mulai membagi tugas.“Miaocai, Yuanrang, tolong kalian congkel mata kiri tiap lipan dan bungkus dengan kain. Kita tunjukkan buktinya. Aku akan menulis surat pada Guru Yudhistira,” kata Mengde.Yang kami hormati, Guru Yudhistira dan Tuan Penguasa Wilayah.Saya yang menulis ini, Cao Mengde. Bersama dengan Yuanrang dan Miaocai.Bersamaan dengan surat ini, kami perlu menyampaikan beberapa hal:1. Kami berhasil membunuh lipan jantan dan lipan betina. Kami punya bukti berupa kepala dari masing-masing lipan. Dengan surat ini juga, kami kirimkan bukti berupa mata kiri dari setiap lipan.2. Kami belum membunuh bayi-bayi lipan yang tinggal di dalam gua. Karena kami
Read more
9. Tiga Pendekar Versus Hewan Buas
Ketidaknormalan pria misterius terlihat ketika dia membuka cadar. Memperlihatkan giginya yang penuh taring-taring tajam. Tidak mungkin manusia normal punya gigi seperti hewan buas pemakan daging. Beberapa bagian tubuh yang terlihat pun mulai menumbuhkan bulu-bulu hitam yang sangat tidak asing bagi tiga pendekar. Tulang mulut pun mulai bergerak abnormal. Membentuk moncong seperti anjing atau serigala. Mata yang di awal mirip manusia normal, kini berubah menguning dan pupil pun mempipih seperti hewan buas. Jari-jari yang tadi berwarna mirip manusia normal juga mulai menghitam, ditumbuhi bulu dan cakar yang tajam. Selama proses perubahan, pria misterius itu meraung-raung dan mengaduh kesakitan. Suara rintihan kesakitan yang awalnya sama dengan manusia biasa, berubah menjadi mirip raungan dan geraman khas hewan buas pemakan daging. Selama bertransformasi, pria misterius itu masih berdiri di tempat. Sepasang sepatu yang dia pakai juga rusak perlahan. Sepasang kaki yang membesar menghancurk
Read more
10. Tiga Pendekar Versus Hewan Buas (2)
“Kenapa kau tidak menghilang lagi?” tanya Mengde. “Kalian yang senang,” kata hewan buas, “Bukankah itu sama saja memberi kalian waktu untuk memasang jebakan?” “Kalau kau segitu takutnya dengan jebakan kami, kenapa tidak kabur saja daripada menghadapi kami?” kata Yuanrang. “Kau … sejak awal selalu mengejekku ya?” kata hewan buas. Hewan buas tidak berkata-kata lagi. Dia langsung melompat dengan tangan kanan terbentang ke atas. Yuanrang sudah bersiap dengan dua pedang. Hewan buas mengayunkan pedang tapi ditangkis oleh Yuanrang. Meski sudah sekuat mungkin memasang kuda-kuda, tetap saja Yuanrang bergeser dan sedikit kehilangan keseimbangan. Ketika Yuanrang masih memposisikan kaki lagi, kaki kanan hewan buas berputar dan menendang bahu kiri Yuanrang. Posisi kaki yang belum sempurna membuat Yuanrang terlempar, menghancurkan pintu rumah dan melesat sampai ke dalam rumah. “Apakah tendanganku enak?” kata hewan buas. “Sangat
Read more
DMCA.com Protection Status