Sudah siap-siap dengan merangkai kalimat bujukan dalam otak, Vivi malah memalingkan muka sambil menunjuk tukang penjual permen kapas tadi.“Mau itu juga!” rajuknya. Antara gemas dan merasa lucu, aku mencoba bertahan untuk tidak tertawa.“Iya, dibeliin. Tapi jangan cemberut, ya, jelek.” Kuacak rambutnya sekali, ia langsung menepis kasar. Ya, sudah aku tak masalah. “Mau ikut ke sana atau nunggu di sini?” tanyaku kemudian.“Tunggu di sini aja. Di sana pasti gerah, keliatan sesak gitu,” jawab Vivi masih dengan nada jutek. Ya, ampun. Setelah jadi pacar, dia mudah sekali marah. Dasar si perasa manja.“Abang masih suka dia, kan?”Langkahku terhenti ketika Vivi bertanya demikian. Bersamaan dengan itu ponselku berbunyi, tanda notifikasi pesan masuk.“Jangan ngadi-ngadi. Enggak, lah,” sangkalku jujur. Memang kenyataannya begitu, ya meski sedikit ada rasa senang sekaligus sedih kalau bertemu seperti tadi.Aku berucap sambil membuka pesan.Clara. Dahiku mengerut melihat namanya terpampang di laya
Jika dikatakan bodoh karena terbutakan cinta, aku mungkinlah lelaki yang paling bodoh. Sudah disakiti dengan nyata, masih saja mencoba memaklum dan mengkhawatirkannya.Sungguh budak cinta! Lagi-lagi aku terperangkap dalam kalimat tersebut.Setengah gila aku mengebut di jalanan. Membelah hujan yang semakin deras menerpa tubuh. Dalam hati aku berdoa, semoga Vivi baik-baik saja di sana.Sial! Kenapa juga tadi harus baper karena dibandingkan dengan orang lain. Padahal, kenyataannya dia hanya mencoba membalas rasa cemburu yang menguasainya.“Kalau sampai Nyak Marni tahu anaknya ditinggalkan di jalanan di bawah hujan geledek petir begini, habislah aku kena gampar,” gumamku cemas sekali.Bersamaan dengan itu, ponselku berdering berkali-kali. Siapa pun itu, tak niat aku melihatnya. Namun, terpikir jika mungkin Vivi, walau susah aku berusaha meraih ponsel dalam kantong celana.“Nyak Marni?” gumamku fokus melihat ponsel. Pasti mau ngomel dan nanyain Vivi ke mana.Dirasa bukan telefon yang darur
“Agaaam!”Keluargaku menghambur masuk ke dalam kamar tempat aku dirawat.Saat ini aku sudah dipindah ke kamar pasien biasa. Sebelumnya karena kritis, aku sempat dibawa ke ruang ICU.Kulihat wajah ibu tampak lelah. Ada bapak dan kakak perempuanku. Mereka menangis melihatku terbaring lemah di sini.Kabar baiknya, alhamdulillah aku tak mengalami patah tulang. Ya, walau luka dalam di kepala terdengar lebih menyeramkan.Kata dokter, aku akan berangsur pulih perlahan dengan rutin minum obat serta latihan pergerakan otot. Dengan catatan aku harus menyimpan banyak stok sabar di sini, sebab membutuhkan banyak waktu menuju proses penyembuhan dan pemulihan.“Ya Allah anak ibu ... alhamdulillah masih dikasih kesempatan hidup,” ucap ibu seraya mengelus lembut wajahku. Tangannya lalu turun menggenggam tangan ini.Terasa hangat dan nyaman.Bapak masih diam, tetapi aku lihat ia lebih cemas dibanding siapa pun. Kakak tak bisa berhenti menitikkan air mata, sampai aku terharu begini. Ternyata mereka beg
“Baang!”Inginnya kutangkap tubuh mungil itu masuk ke dalam pelukan, tetapi sayang tak bisa terhalang luka yang menyakitkan. Yang bisa kulakukan hanyalah memandangnya berlari ke arahku dengan mata berkaca.“Vivi,” gumamku kembali memanggil namanya.Mataku mendadak panas. Segumpal cairan bening mulai terbendung di pelupuknya, dan aku masih berusaha menahan agar tak jatuh.Jika tak ingat ada mbak-ku, sudah luruh air mata ini.“Abang, masyaallah akhirnya abang sadarkan diri. Maafin Vivi, semua gara-gara Vivi,” sesalnya meraih jemariku. Dia menggenggam cukup erat. Dia menangis di sampingku tanpa peduli dengan keberadaan kakakku. Dasar.“Bukan salah siapa-siapa. Jangan menyalahkan diri sendiri, semua sudah takdir. Allah yang telah mengatur semua,” Aku berusaha meyakinkannya agar dia tak lagi menyalahkan diri lagi.Coba lihat saja betapa kasihan pacarku ini. Matanya sembab, wajahnya kusam. Pasti dia telah melewati tiga malam dengan tangisan. Pasti kurang istirahat karena aku. Dia pasti mend
Dua hari ke belakang aku sering merasa pusing sekali. Terkadang pandangan berputar layaknya seperti diri ini sedang naik wahana roaler coaster.Terkadang juga timbul rasa mual dibarengi dengan kilasan-kilasan kecelakaan malam itu amat menyiksa.Ketika aku mengadu kepada dokter, katanya wajar. Itu adalah bagian dari trauma yang kualami. Ya Allah, ada saja cobaan. Sudah pusing karena terus-terusan disuruh minum obat setiap hari, bahkan disuntik sesekali. Sekarang ditambah dengan trauma segala.Kuharap semua segera berlalu. Aku ingin kembali pada aktivitas biasaku. Menjalani hari-hari sibuk di kantor, lalu melewati waktu libur bersama Vivi.Dalam insiden itu, motor kesayanganku jadi korban. Dia harus berada di bengkel untuk beberapa waktu agar keadaannya kembali seperti semula.Jangan tanya aku rugi berapa, yang jelas tabunganku terkuras hampir habis untuk mengganti rugi pada pemilik minibus yang kendaraannya rusak gara-gara aku main pindah jalur sembarangan. Tak terbayang andai orang tu
Mentari mulai undur perlahan, tergantikan oleh pekatnya malam yang gersang.Aku duduk di teras depan sembari menikmati segelas susu putih. Kulihat bayangan diri dari cahaya lampu yang menyorot dari atas kepala. Sesekali memainkan kaki agar bayangan yang terlihat nampak lucu.Sudah hampir dua minggu aku terkungkung dalam sakit hasil kecelakaan. Hari ini keadaanku sudah terasa sangat baik, walau memar dan bekas luka goresan masih belum hilang, bahkan beberapa belum mengering.Keluargaku sudah pulang kembali ke kampung setelah benar-benar merepotkan Nyak Marni di sini. Aku merasa tidak enak, tetapi diri ini tak bisa berbuat apa.Ibu, bapak, serta mbak-ku merencanakan pulang kemarin malam dan pergi tadi pagi. Setelah memastikan aku baik-baik saja dan sudah bisa kembali pada aktivitas sehari-hariku, mereka pemitan.Tak ada yang bisa kuberi untuk mereka bawa pulang. Hanya doa setulus hati juga harapan agar keselamatan selalu menyertai.Malam ini aku kembali menghuni kamar kos sendiri. Rasan
Hampir tiga minggu diam di rumah membuat otot terasa dipaksa kerja keras ketika kembali aku memulai aktivitas seperti waktu-waktu yang telah berlalu.Pagi ini aku sudah siap kembali pada dunia sibuk kantor. Malu kalau lama-lama ambil cuti. Merepotkan orang lain saja. Beruntung bos-ku itu baik hati dan ekstra sabar.Selama aku tak bisa bekerja dahulu, ia memberi keringanan berupa cuti panjang. Bahkam diberi tunjangan kecelakaan. Padahal, itu murni kecelakaan di jalan, bukan di perusahaan. Pak Wahyu memang paling the best.Drrt! Drrt!Ponselku bergetar di meja. Saat kulihat pesan dari siapa, ternyata dari pujaan hati. Kuraih ponsel baru ini hati-hati, takut jatuh dan rusak. Kemarin malam setelah kejadian amuk-mengamuk Nyak Marni karena makanan, teman-teman kantor datang menjenguk untuk kedua kali. Tanpa kuduga mereka juga memberiku ponsel baru hasil patungan.Rasa haru malam itu tak dapat kubendung. Tanpa tahu malu menangis di hadapan mereka.Sela juga ikut. Aku menyarankannya untuk men
Dunia terasa berhenti berputar sekarang. Aku bagai terperangkap dalam keterkejutan tak bertepi.Fadlan akan pulang? Percaya tak percaya aku berani memikirkan pertanyaan itu.Ini tidak benar. Harusnya aku senang mendengar kabarnya akan pulang ke tanah air. Tapi apa yang kulakukan? Malah mematung sempurna di hadapan komputer seperti orang bodoh begini.Setelah sekian lama pergi dan kadang memberi kabar kadang tidak, kenapa mendadak ada kabar yang ... jujur saja aku tak ingin tahu.“Ini terlalu kejam, bukan? Aku baru saja memulai kisah cinta bersama Vivi.” Diri ini bergumam egois.Dari sekian hal yang dipikirkan, kenapa masalah hubunganku menjadi beban paling berat sekarang? Apa kaitannya dengan kepulangan Fadlan?Harusnya aku sudah siap ini akan terjadi. Namun, tak pernah sekali pun mengangka waktunya akan secepat ini.Ya Allah, apa yang harus kulakukan ketika dia sudah puang nanti? Apa yang harus kukatakan nanti andai dia menanyakan soal Vivi? Bagaimana caraku memberitahu kalau perempu