Keringat dingin mulai berjatuhan. Mendengar Nyak Marni menelfon membuat jantungku terpacu cepat. Kira-kira kenapa, ya? Jangan-jangan Bang Arif ngomong macem-macem lagi sampai Enyak nelfon nyuruh pulang. Oh, ya ampun. Pikiran macam apa ini? Sungguh bodoh. Bang Arif sudah bilang jika dia hanya bercanda, tetapi aku merasa takut luar biasa. Bagaimana andai dia tahu yang sebenarnya? “Ck.” “Iya, Nyak. Iya, iya.” Vivi mematikan panggilan ketika aku belum sempat nguping. Dari tadi habiskan waktu untuk melamunkan hal-hal konyol. “Bang,” panggil Vivi menatapku lekat. Deg-degan. Itu yang kurasa sekarang menanti apa yang hendak dia sampaikan. “Ya, kenapa, Vi? Enyak bilang apa?” Demi apa pun, perasaan ingin tahu ini sudah menggunung bertingkat-tingkat. “Abang kenapa, sih? Orang Enyak suruh bawain nasi bungkus kalau pulang,” jawabnya diiringi senyum. Aku tahu. Dia pasti mengira diri ini gila karena terlalu banyak memikirkan problema hidup. Salah satunya ya ini, soal hubungan kami yang tak k
Sungguh, kali ini aku sudah tak tahan lagi ingin memukul wajah lelaki di depanku ini. Tanganku bahkan sudah mengepal kuat.“Apa maksudnya, tolong jangan mencari masalah. Saya lagi capek. Selama ini kita tidak pernah saling bertegur sapa, bahkan sampai mengobrol hingga sedekat ini.”Tahukah sebesar apa amarah ini? Rasanya sudah bergemuruh bagai lava yang akan segera dimuntahkan oleh gunung merapi.Bang Arif yang bertampang menyebalkan ini akhirnya memudarkan senyumnya. Lantas mendekat, membisik pelan.“Kalian pacaran. Kalau ibunya tahu, matilah kamu. Saya tahu ibu kos ini sangat mempercayakan anaknya pada kamu, lantas kenapa berani sekali mengkhianatinya?”Deg!Benar kecurigaanku. Dia ternyata tahu kalau aku dan Vivi memiliki hubungan spesial. Refleks aku menarik kerah bajunya. Wajahku mengeras. Napasku memburu hebat. Gawat, ini sudah tak bisa lagi ditahan. Aku sungguh kewalahan menahan agar tak lepas kendali.“Kenapa? Takut?” tanyanya terdengar seperti sebuah tantangan. Dia mengempa
Pagi-pagi sekali aku sudah antre di rumah sakit. Kebetulan hari ini jadwal kontrol tiba. Bisa berada di sini di jam kerja adalah sebuah keberuntungan. Beruntung memiliki bos yang baik hati selalu mengizinkan.Namun, jangan salah. Dibalik itu semua, terkadang ucapan tak enak kudengar dari para karyawan yang memang mungkin iri atas perlakuan istimewa yang Pak Wahyu berikan untukku.“Kalau gue yang cuti beberapa hari, kayaknya bakal ditendang!”Itu yang paling jelas kudengar. Mereka ternyata diam-diam membicarakanku di toilet ketika jam istirahat tiba. Wajah-wajah yang kerap kali tersenyum ramah mereka tak lain hanyalah topeng belaka.Aku hanya menghela napas berat mengingat kembali kata-kata tajam itu. Akan tetapi, aku yakin suatu hari akan berlalu dan hal itu kulupa. Ya, sudahlah. Terserah.Selesai dengan urusan pemeriksaan kesehatan, dan aku dinyatakan sudah lebih baik dari sebelumnya, aku pun segera bergegas pergi untuk kembali ke kantor.Namun, di lobi malah melihat Bang Arif sedang
Waktu telah berganti. Sore yang kunanti telah tiba. Embusan angin menggoyang dedaunan yang pohonnya berdiri kokoh di tepi jalan.Aku mengambil kunci mobil Fadlan dan bergegas pergi ke bandara.Fadlan sempat meminta nomor telepon milikku yang aktif sebelum dia naik pesawat, katanya agar mudah untuk berkomunikasi ketika dia turun di bandara.Sekarang sudah hampir jam lima, tapi dia belum juga memberiku kabar barang sekali. “Apa-apaan manusia satu itu. Suruh jemput tapi tidak bilang jam berapa dengan jelas. Hanya bilang sore jemput.” Aku bergumam selama perjalanan.Entah niat iseng atau apa, yang jelas ini membuatku sedikit jengkel.Ponselku berbunyi, kupikir itu Fadlan, tetapi ternyata Vivi. Karena tanggung sedang nyetir dan lupa tak bawa headset, akhirnya panggilan itu hanya menganggur. Dan dringnya terdengar lebih panjang ketika sengaja aku menunggu panggilan mati.Ada yang aku lupa. Vivi tak kuberitahu soal kepulangan si hidung ingusan. Enyak juga. Oh, ya. Semua juga tak kuberitahu.
Aku menyetir tak terlalu konsentrasi. Sedikit-sedikit lirik kiri, mendengarkan ocehan Fadlan gugup. Sudah pakai jurus diam seribu bahasa begini saja masih membuat aku gugup, bagaimana kalau menyahuti setiap cerita yang dia sampaikan?Sumpah, aku sangat takut keceplosan soal hubungan rahasiaku bersama Vivi. Maka dari itu, dari tadi lebih memilih bungkam.Kalau dia bicara ini dan itu, aku hanya menanggapi sewajarnya. Iya dan iya saja. Terkadang aku ikut tertawa, tapi tak tahu apa yang sebenarnya ditertawakan.“Gam, dari tadi kamu diam terus. Enggak kangen, apa?”“Hah?” Kaget, refleks aku menoleh dan tak sengaja menginjak pedal lebih dalam.“Heh, Gam! Hati-hati!” tegur Fadlan berpegangan. Mungkin dia takut dibawa celaka.“Maaf, maaf. Efek fokus ke jalanan,” sahutku singkat. Mata ini kembali fokus lurus menatap jalanan yang tampaknya akan segera macet. “Bisa nggak ceritanya nanti saja di kosan. Biar aku puas jadiin kamu bulan-bulanan. Sudah lama sekali enggak ada kekerasan dalam ranah p
Aku duduk memandang ketiga orang itu saling melepas rindu. Kedatangan Fadlan sungguh jadi kejutan yang lebih dari aku bayangkan.Lihatlah sekarang, betapa bahagianya mereka kembali bertatap muka, sampai aku seolah tak nampak di mata mereka. Aku tersisih, sendiri menatap agak kesal.“Ya Allah, Fadlan. Elu cakep banget pulang dari Cina. Lu operasi plastik, ya?” celetuk Nyak Marni sembarangan. Kedua tangannya meraba-raba wajah Fadlan, terkadang mencubit gemas.“Iya, ih. Bang Fadlan tambah putih kayak personil boyband.”Hah? Bahkan Vivi juga memuji? Asem bener, dia sama sekali tak memandangku di sini. Menyebalkan.“Ha ha ha. Bisa aja. Ya, enggaklah Nyak. Mana berani operasi segala. Ini, nih udah ganteng dari sananya.”Aih, kuyakin hidung si Fadlan melayang sekarang. Lihat saja betapa dia salah tingkah. Pakai acara menunduk malu-malu gajah. Garuk-garuk tengkuk.Jika boleh jujur, aku memang terbakar api cemburu. Terlebih Vivi bersentuhan fisik secara langsung. Haduh, inginnya menarik tangan
Angin sepoi mendesir mengitari tengkuk leher sehingga hampir semua bulu kuduk berdiri. Separah inilah efek dari pengakuan cemburuku itu. Sungguh menggelikan.Aku menunduk malu. Namun, rasa takut kepergok Fadlan lebih besar sekarang. “Gemes banget, sih ... jadi pengen makan Abang. Jangan cemburu,” ujarnya konyol. Vivi mencubit kedua pipi, aku segera menyingkirkan tangan itu walau akhirnya dia agak tak terima.“Ih, pelit.” Desisan itu sangat sering kudengar akhir-akhir ini. Sampai aku hafal.“Belum sah.” Lagi-lagi ini menjadi alasan. Namun, sedikit banyak gadis muda di hadapanku paham. “Udah mau azan, Sayang. Balik, gih,” sambungku dengan suara paling pelan. Tentunya dengan debaran jantung yang amat hebat. Takut ada yang dengar.Bahkan mata ini masih memindai jalan satu-satunya menuju ke mari. Takut andai Fadlan datang dadakan, nanti kalau tak ketahuan, alamat gawat!“Kalau gitu, ayo jadiin Vivi istri sah. Biar apa-apa boleh. Ya, Sayang,” rengeknya manja.Duh, dia malah salah tanggap.
Pacar kamu. Pacar kamu. Pacar kamu.Kata itu terngiang di telinga. Makanan yang menggantung sejajar dengan perut hampir terjatuh tatkala tangan yang memegangi plastiknya melemas.Sungguh, aku sangat kesulitan bernapas. Jangankan untuk berlari merebut ponsel, rasanya kakiku bagai sedang dirantai. Sulit digerakan.Apa-apaan ini? Bukannya tadi dia tidur? Kenapa sekarang malah ....“Gam!”Seruan itu mengaburkan seluruh pikiran gelisahku. Sedikit tersadar, ternyata Fadlan kini telah berdiri tepat di depan mata.Kupindai tangannya teliti. Itu dia. Memang ponselku.“Tegang banget,” ucap Fadlan sembari menepuk bahuku. Ponselnya! Barikan ponselnya!“Aku tidak seberengsek itu, yang main buka-buka chat orang. Ini, cuma tadi lihat kelip-kelip di meja, jadi aku lihat. Eh, malah nemu nama ‘Pacar’ di notifikasi layar.”Fadlan tertawa kencang. Sementara aku masih loading. Maksudnya? Jadi, dia belum tahu soal hubunganku dengan Vivi?“Ya, ampun. Seorang Agam punya pacar. Ha ha ha. Kukira akan menjomlo