Melihat betapa tulusnya pak Hadi dan putrinya untuk membantu Zaha dan keluarganya, Zaha ikut angkat suara. Utamanya, untuk membalasa kebaikan pada Hadi.
"Oh ya, Pak. Maaf kalau sebelumnya saya lancang." Ujar Zaha memberanikan diri, karena dari awal berjumpa dengan Sherlin dan Pak Hadi, seperti ada yang aneh dengan tatapan Sherlin pada ayahnya tersebut. Zaha yang semasa aktif di kesatuan, jelas sangat mengerti dengan ekspresi tersebut.
"Iya, ada apa Nak Zaha?"
Zaha menatap Sherlin sejenak, sebelum melanjutkan ucapannya pada Pak Hadi.
"Saya tidak tahu ada masalah apa antara pak Hadi dengan mbak Sherlin sebelumnya..." Ucap Zaha hati-hati. Dia sangat menjaga perasaan Sherlin ataupun pak Hadi yang telah bertanggung jawab pada Zaha, baik selama ia tidak sadarkan diri sampai telah bersedia mengantarkan dirinya dan ibunya pulang ke rumah. Jadi, Zaha memberanikan diri untuk berbicara untuk kebaikan Sherlin dan Ayahnya tersebut.
"Maksud, nak Zaha?" Tanya Pak Hadi mengerutkan keningnya sambil melirik pada Sherlin, karena merasa apa yang akan disampaikan oleh Zaha ada hubungannya dengan anak gadisnya tersebut, begitu melihat remaja tersebut sempat menatap anaknya.
"Saya sudah mengetahui detail kecelakaan yang menimpa saya melalui dokter Anna dan juga polisi yang menangani kejadian tersebut."
"Maksud, nak Zaha. Masih kurang kami memperlakukan, nak Zaha?" Tanya Pak Hadi dengan nada tidak senang. Mengira kalau Zaha masih akan mengajukan keberatan setelah semua yang mereka berikan selama ini.
"Nak?" Panggil bu Fitri sambil memegang lengan Zaha. Melihat ekspresi tidak senang pak Hadi, bu Fitri ikut merasa cemas kalau anaknya akan menyinggung mereka.
"Oh, bukan begitu maksud saya, pak Hadi. Mohon, bapak jangan salah paham dahulu. Mengetahui kecelakaan yang menimpa saya, itu murni kecelakaan yang kita semua tentunya tidak menginginkan hal itu terjadi dan tidak ada yang salah dengan perlakuan pak Hadi dan mbak Sherlin pada saya. Justru Saya sangat berterima kasih sekali, karena pak Hadi telah memperlakukan saya dan keluarga saya dengan sangat baik." Sanggah Zaha buru-buru meluruskan kesalah pahaman pak Hadi.
"Terus, maksud nak Zaha, apa?"
"Ini tentang, mbak Sherlin." Ujar Zaha sambil menatap ke arah Sherlin, putrinya pak Hadi.
"Saya?" Kata Sherlin terperanjat dan bingung. Tidak menduga, jika Zaha justru akan membawa-bawa namanya.
"Ya, mbak Sherlin." Ujar Zaha singkat.
"Kenapa dengan saya?" Tanya Sherlin dengan tatapan bingung.
"Beberapa kali saya perhatikan, saya dapat melihat tatapan yang berbeda ketika mbak Sherlin melihat Bapak. Ada sebuah beban yang tidak sanggup diceritakan oleh mbak Sherlin pada Bapak." Komentar Zaha melanjutkan sambil menatap penuh selidik pada Sherlin.
Sadar kemana arah pembicaraan Zaha, Sherlin tampak gelisah.
"Jangan sok tahu kamu!" Sela Sherlin dengan wajah memucat dan agak takut melihat kearah Ayahnya.
"Maksud kamu apa, nak Zaha?"
Kalimat Zaha serta respon anak gadisnya yang seperti orang panik, memantik rasa penasaran dari Pak Hadi.
"Bukan pada saya pak Hadi harusya bertanya. Seharusnya pertanyaan itu bapak tanyakan pada mbak Sherlin."
"Beban apa yang membuat mbak Sherlin sampai tidak berani mengungkapkan masalahnya, khususnya pada pak Hadi.
"Saya percaya, pak Hadi adalah seorang ayah yang bijaksana. Terbukti, dari bagaimana Bapak bertanggung jawab terhadap saya. Padahal jika itu orang lain, bisa saja tidak mau peduli sama sekali."
"Apalagi, saya yang hanya orang miskin seperti ini. Tapi, saya rasa beban yang tidak berani diungkapkan oleh mbak Sherlin, kalau tidak segera diselesaikan, bisa jadi penyakit yang bisa merusak psikologisnya."
"Ini masih untung, karena beban pikirannya itu, hanya saya yang jadi korban. Bisa dibayangkan, jika karena beban pikiran itu, malah akan membahayakan nyawa mbak Sherlin suatu saat."
"Tentunya Pak Hadi dan keluarga tidak menginginkan hal itu bukan?"
Penjelasan dan pertanyaan terakhir dari Zaha sukses membuat Pak Hadi tersadar akan 'sesuatu' yang dimaksudkan oleh Zaha. Dalam hati, Pak Hadi heran bagaimana seorang remaja di depannya itu bisa mengatahui permasalahan yang dia sendiri bahkan belum menyadarinya.
Pak Hadi melihat ke arah anak gadisnya dengan mata berkaca-kaca, rasa bersalah muncul dalam dirinya.
"Apa perjodohan itu, jadi beban bagimu, nak?" Tanya pak Hadi lembut sambil menatap Sherlin.
Ya, ini semua berawal dari perjodohan yang telah di atur oleh pak Hadi dan temannya. Sherlin sudah mengisyaratkan penolakannya, meski ia tidak berani bicara terus terang karena menghargai perasaan ayahnya. Hanya saja, Hadi yang sudah mengatur perjodohan itu dengan putra temannya, bersikeras memaksakan keinginannya.
Tanpa ia sadari, jika keputusan sepihaknya hampir mencelakakan anaknya.
Sherlin yang ditanya hanya terisak, tangisnya pun, pecah!
Seketika itu, sadarlah Hadi akan permasalahan yang disebut sebagai beban oleh Zaha barusan. Sontak membuat Pak Hadi merasa sebagai orangtua yang sangat berdosa, ia peluk anak gadisnya tersebut.
"Maafkan papa, nak! Papa gak tahu, kalau ternyata kamu menderita karena keputusan papa. Tapi, kenapa kamu tidak menolaknya? Papa tidak akan memaksa kalau memang Kamu tidak setuju dengan perjodohan itu. Papa tidak akan memaksamu, jika itu tidak membahagiakan Sherlin, maafkan papa yah, nak!" ujar Pak Hadi penuh sesal.
"Pa.. hikss hikss." Sherlin menangis dalam pelukan Papanya.
"Sudah, hapus air matamu, nak! Mulai sekarang, terbukalah sama papa. Apapun itu, jika Sherlin sudah ada pilihan sendiri, papa pasti akan mendukungnya. Siapapun itu, asal bisa membuat anak gadis papa satu-satunya ini bisa bahagia."
Yah, pada akhirnya, kebahagiaan anaknya jauh lebih penting. Hadi seketika sadar, ia tidak boleh memaksakan keinginannya pada sang anak.
"Beneran, pa?" Tanya Sherlin senang. Ia terlihat sangat lega, masalah yang selama ini tidak berani dibicarakan pada papanya, karena takut membuat papanya tidak senang dan marah, malah bisa terselesaikan dengan baik.
Itu semua berkat Zaha yang bisa membaca apa yang sebelumnya tidak berani untuk diungkapkannya.
"Nak, makasih banyak, yah! Untung kamu menyinggung masalah ini. kalau tidak, saya mungkin tidak akan pernah tahu keinginan anak saya. Dan... mungkin saya akan merasa menjadi ayah yang paling berdosa karena telah memaksa anak gadis saya untuk menikah dengan pria yang tidak dicintainya." Ucap Hadi dengan penuh rasa terimakasih pada Zaha.
"Eh, tapi bagaimana kamu bisa tahu, jika anak saya sedang ada masalah?" Tanya Pak Hadi penasaran.
"Iya, bagaimana kamu bisa tahu? Padahal, kita saja tidak pernah bicara sama sekali?" Sherlin juga ikut bertanya penasaran, setelah menghapus air mata haru yang telah berganti jadi air mata bahagia di pipi putihnya.
"Firasat." Jawab Zaha singkat yang dibalas dengan tatapan sangsi dari semua orang di ruangan itu.
Akhirnya semua permasalahan antara Ayah dan Anak itu bisa terselesaikan dengan baik pada hari itu.
Sherlin, walau tidak banyak mengucapkan kata-kata pada siang itu, namun dari tatapannya menyiratkan sebuah rasa tersendiri pada Zaha. Pada seorang remaja yang pernah ditabraknya itu.
Namun tanpa disangka, berkat Zaha permasalahan pelik yang sedang dihadapinya dan tidak berani diceritakan pada ayahnya, kini telah menemukan jalan keluarnya.
Ayahnya tidak lagi memaksakan keinginannya untuk menjodohkannya dengan pemuda pilihannya. Tidak lama, ayah dan anak tersebut permisi pulang untuk memberikan kesempatan bagi Zaha dan Ibunya untuk beristirahat dan berkumpul kembali.
Setahun kemudian.Seorang remaja yang baru saja beranjak dewasa, baru saja keluar dari sebuah gedung milik kepolisian. Posturnya tampak tegap, senada dengan ekspresinya yang terlihat cerah dengan dibalut seragam khas siswa akademi militer.Bagaimana tidak? Ia baru saja dinobatkan sebagai lulusan akademi militer terbaik dari sekian ribu siswa akademi dan masa depan cerah sudah menanrtinya.Tidak hanya masa depan, karena tepat di luar gedung juga ada beberapa orang yang sangat ia kenal, telah menantinya dengan senyum cerah dan tatapan penuh harap, yang membuat dirinya serasa dibanggakan oleh mereka.Di antara mereka, ada seorang wanita cantik dengan wajah ayu yang masih mengenakan almamater mahasiswa kedokteran dari sebuah universitas ternama.Begitu melihat sang pemuda yang telah lama dinantinya keluar, wanita tersebut sudah tidak sabar untuk untuk buru-buru menghampirinya."Anna, kenapa harus terburu-buru begitu? Sampai kamu langsung melupakan masih ada kami di sini!" Ujar sang ayah t
Tepat, di saat Angel berpikir jika Zaha sudah tewas dan berniat untuk menyusulnya, sebuah kenanehan yang tidak lazim terjadi. Midun yang saat itu sudah berhasil bangun, pijakannya tiba-tiba menjadi goyah. Dari dalam mulutnya, keluar darah berwarna kehitaman dalam jumlah yang sangat banyak. Tidak berhenti sampai di situ, pembuluh darahnya meledak dan membuat darahnya menyembur keluar dengan sangat deras. Saat itu, Angel baru menyadari, jika penampilan Midun sudah sangat berantakan. Sampai akhirnya, Midun dengan ekspresi tidak rela jatuh ambruk ke tanah dan selanjutnya tidak lagi bergerak. Apa Midun telah tewas? Angel sulit mempercayai apa yang sedang dilihatnya saat itu. Apa itu artinya, Zaha menang? Lalu, di mana Zaha saat ini? Begitu menyadari situasinya, Angel segera mengedarkan pandangannya dengan liar untuk mencari keberadaan Zaha. Secercah harapan muncul dalam dirinya. Selanjutnya, Angel dengan langkah panik segera menyusuri tempat pertarungan dan mencari keberadaan Zaha.
Angel segera berlari ke arah Bulan dan mendekap tubuhnya. Jika saja ia lebih cepat menyadari tujuan Bulan yang sebenarnya, ia tidak mungkin mau melanjutkan pertarungan yang menyebabkan Bulan dapat kehilangan nyawanya."Gadis bodoh! Apa yang kamu lakukan? Apa yang coba kamu buktikan, hah?" Teriak Angel tidak terima. Kedua tangannya bergetar hebat ketika mendekap tubuh Bulan yang semakin lemah dan mulai terasa dingin. Perasaan Angel menjadi kacau. Dia tidak tahu, apa ini kemenangan yang harus dirayakannya? Kemenangan yang seharusnya membuat dia merasa lega, karena telah menyingkirkan satu orang musuh kekasihnya. Tapi, kenyataannya tidak begitu!Angel justru merasakan rasa sakit dan kehilangan yang sulit untuk dijelaskan. Bahkan, Angel sendiri tidak tahu bagamaina mendeskripsikan perasaannya saat ini."Bulan... katakan, kenapa?" Isak Angel dengan perasaan berantakan.Bulan terbatuk dan kembali memuntahkan darah yang sudah bercampur dengan organ dalam tubuhnya. Tatapannya sendiri sudah m
Di sudut lain yang tidak jauh dari tempat pertarungan antara Zaha dan Midun, terjadi pertarungan yang tidak kalah sengit antara Angel melawan Bulan. Meski pertarungan keduanya tidak seintens pertarungan Zaha dan Midun, karena mereka hanya mengandalkan kemampuan fisik serta kekuatan bathin mereka sendiri. Pertarungan keduanya tetap saja mempertaruhkan hidup dan mati.Sikap Angel yang serius dan tanpa ragu, membuat Bulan tidak bisa memanfaatkan keunggulannya dengan baik. Pertarungan yang semula di dominasi oleh Bulan, perlahan mulai diambil alih oleh Angel dan membuat Bulan kepayahan.Jika pertarungan ini tidak melibatkan Zaha, Angel mungkin tidak akan ragu untuk berpihak ke sisi Bulan dan keluarganya. Bagaimanapun, beberapa waktu yang mereka habiskan bersama, Bulan dan Angel sudah menjadi cukup dekat dan sudah terlihat seperti saudara. Bagi Angel, Bulan adalah parner berlatih yang telah membantunya untuk mengasah kemampuan tenaga dalamnya, serta meningkatkan kemampuannya secara keselu
Maran yang berada di dalam tubuh Midun mendengus dingin, 'Jika Mandigo sudah mengerahkan seluruh kekuatannya, itu artinya ia ingin bertarung habis-habisan dengan kita. Selama ini, kami selalu imbang. Sepertinya, ia berniat memanfaatkan kekuatan anak itu untuk mengalahkan kita.' 'Hehehe., sepertinya ia terlalu meremehkanku. Baiklah, jika ini yang kamu inginkan, aku akan memasang taruhan yang sama denganmu.' Maran tertawa dingin dan keinginan bertarungnya naik berkali-kali lipat. Tentu saja, Maran juga tidak ingin kalah dengan rival abadinya tersebut. Segera, Midun pun merasakan kekuatan penuh Maran mengalir ke dalam tubuhnya dan membuat kekuatannya meningkat secara signifikan. Sekarang, Midun tidak perlu lagi memikirkan kekuatan lawan. Ini adalah pertama kalinya Midun merasakan kekuatan penuh Maran mengalir di dalam tubuhnya. Perasaan itu begitu luar biasa! Selama ini, Maran bahkan tidak pernah menunjukkan kekuatan seperti ini padanya. Wajar saja, Midun menjadi semakin bersemanga
Boom, boom,Dhuaar!Dalam sekejap, Zaha dan Midun sudah bertarung puluhan jurus. Serangan dan kecepatan mereka, tidak bisa diukur dengan mata telanjang. Karena keduanya sudah jauh melampaui level yang bisa diraih oleh manusia biasa.Pertarungan mereka, juga tidak lagi mengedepankan teknik yang tertulis di atas lembaran kertas ilmu beladiri. Di sekitar tempat mereka bertarung, banyak menyisakan lobang yang cukup dalam dan tidak beraturan, yang menunjukkan betapa tinggi intensitas pertarungan keduanya.Saat seperti ini, jurus dan teknik bukan lagi menjadi sesuatu yang penting. Keduanya bergerak dengan kecepatan tinggi dan didominasi oleh naluri bertarung tingkat tinggi yang tidak bisa diukur oleh teknik beladiri manapun.Bagi keduanya, puncak dari ilmu beladiri bukan lagi terletak pada teknik. Tapi pada insting, mental dan kecepatan. Siapa yang memiliki ketiganya akan menjadi penentu akhir kemenangan. Tapi, kerena hasil pertarungan mereka masih berimbang, di mana tidak ada satu pihak