Di sudut sebuah gerai kopi kekinian yang terletak tak jauh dari pinggiran bangunan hotel megah, duduk seorang pemuda yang terlihat memainkan pemantik api di tangannya. Segelas coffee latte yang dipesannya belum tersentuh sama sekali. Sebatang rokok yang sedari tadi terselip di bibirnya juga belum menyala. Acap kali ujung mata pemuda itu melirik ke arah pintu kafe ketika ada yang mendorong belahan kaca tempered yang menimbulkan bunyi gemerincing itu.
Zeino telah menunggu kehadiran Zee hampir satu jam lamanya. Pemuda itu mulai terlihat kehilangan kesabaran. Ia kemudian meraih telepon genggam yang tergeletak di meja di sebelah gelas minuman dingin berkafein yang belum dicicipi.
Menekan nama pertama di daftar panggilan keluar, raut wajahnya semakin kusut karena sambungan suaranya tak berbalas. Dalam beberapa kali helaan napas, gawai mahal itu kemudian kembali menjadi teman sebungkus rokok dan segelas coffee latte di meja.
Selang beberapa lama, gemerincing bunyi pintu kafe yang terbuka membawa masuk seorang gadis dalam tampilan celana panjang dan blazer serta rambut yang dicepol ala pramugari. Gadis itu terlihat terburu-buru dengan senyum yang menghias raut wajahnya serta deru napas hasil berjalan setengah berlari masih nampak nyata.
Tanpa basa – basi lalu gadis itu menghempaskan tubuhnya di depan pemuda yang memertahankan tatapan dingin, miskin eskpresi.
“Kak Zeino, maaf aku terlambat,” ujar gadis yang tak lain adalah Zefanya.
“Kalo kamu ga bisa datang, bilang dari awal. Aku ga perlu kayak kambing congek nunggu di sini!” Zeino bersungut.
“Iya, maaf ya, Kak. Penerbangan tamu VIP-nya ditunda, jadi…”
“Ah sudahlah, basi! Selalu saja itu jadi alasan. Semua karena tamu penting. Emang ga ada orang lain. Kayak kamu saja pegawai satu-satunya yang kerja di sana!” Zeino langsung memotong pembelaan diri yang disampaikan oleh Zee.
Tak mau berdebat, Zee memilih bungkam. Gadis itu menata ritme jantungnya sambil merapikan helaian poninya yang terasa telah lepas dari cepolan sambil menunduk. Ia tahu, saat ini percuma memberi alasan apa pun pada Zeino. Pemuda itu tak akan mengerti dan percaya bagaimana tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang Guest Relation Officer di sebuah industri jasa pelayanan yang beroperasional 7 hari seminggu 24 jam sehari. Sebuah industri yang tak pernah mengenal hari libur atau tanggal merah.
Pekerjaan sebagai Guest Relation Officer yang langsung terjun di operasional berbeda dengan bagian kantor dengan jadwal yang kerjanya lebih teratur. Seorang GRO mendapat jadwal shift, sedangkan back office selalu rutin dari jam delapan pagi hingga lima sore dan pasti libur di akhir pekan. Sedangkan bagian operasional termasuk GRO tidak selalu mendapat libur di hari Sabtu dan hari Minggu atau hari libur nasional.
Di bulan pertama Zee bekerja di hotel berbintang itu, Zeino telah menyatakan keberatan dengan jadwal kerjanya tersebut. Bahkan ia meminta kekasihnya itu untuk mengundurkan diri saja. Sebagai ganti, pemuda itu menawarkan Zee untuk bekerja di perusahaan milik orang tuanya.
Tentu saja permintaan Zeino ditolak secara halus oleh Zee. Saat itu gadis yang tengah menikmati atmosfer barunya beralasan jika ia ingin memulai karir dengan usaha sendiri. Mendapatkan pekerjaan itu tanpa tes sebagai imbas dari pencapaian akademisnya yang gemilang adalah sebuah kebanggaan baginya.
Zeino menyeruput coffee latte-nya ketika seorang pelayan mengantarkan pesanan minuman dingin yang lain untuk Zee. Melihat gadis di depannya belum tergerak untuk menyentuh minuman di atas meja, Zeino lalu meraih kaleng soft drink itu. Ia lalu menarik pin untuk membuka kaleng dan menuangkan cairan berwarna cokelat ke gelas transparan di dekatnya. Tak lupa ia menyobek kertas pembungkus sedotan sebelum menaruhnya di dalam gelas.
Tanpa suara Zeino menyodorkan gelas yang terlihat masih berbuih itu ke arah Zee. Gadis itu mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk. Jemarinya lalu meraih segelas minuman bersoda dari tangan pemuda yang diakuinya sebagai pacar itu.
“Mau makan di sini dulu atau langsung ke rumah Lulu?”
Tak terdengar lagi kekesalan dalam irama suara Zeino yang mulai terdengar lembut. Ia menatap Zee yang masih menyeruput minumannya pelan-pelan. Tanya pemuda itu berbalas dengan sepasang bola mata yang mengernyit disertai garis – garis lengkung tipis di dahi gadis yang masih mengulum sedotan di kedua belah bibirnya.
“Lupa? Lulu ngajak kita semua ngumpul di rumahnya malam ini,” jelas Zeino.
“Malam ini?” Terdengar ragu dari suara yang meluncur dari sepasang bibir Zee yang berbalut gincu merah muda.
“Kenapa? Lupa atau belum baca pesan di group?” cecar Zeino lagi.
“Ehmm, ga lupa. Udah baca kok,” jawab Zee sambil mengulum bibirnya.
“Terus, kenapa? Ga bisa?” Tak sabar pemuda itu menunggu jawaban.
Helaan napas panjang membuat bahu Zee bergerak seiring rongga dadanya meraup semua oksigen di sekitarnya. Gadis itu tak langsung memberi jawaban. Otaknya sedang berpikir keras bagaimana cara membuat Zeino mengerti keadaannya. Pertukaran jadwal kerja yang mendadak untuk esok hari, membuatnya harus bekerja di shift pertama pukul 7 pagi. Rekan satu timnya mengalami keadaan darurat yang membuatnya harus menggantikan jadwal kerja tersebut.
“Bisa kok. Cuma ga lama "kan, ya? Hmm besok aku jadwal pagi. Jam 9 malam kita pulang, ya?” Zee berusaha menyampaikan kondisinya dengan sebuah senyum untuk meluluhkan raut wajah Zeino yang mulai kaku.
“Belum pergi sudah minta pulang!” jawab Zeino sambil melengos.
“Hmm aku….,” Zee berusaha mengeluarkan suaranya. Namun kalimatnya belum tersusun ketika Zeino menyempurnakannya.
“….aku harus menggantikan teman yang sedang sakit!” sela Zeino dengan nada ketus. Pemuda itu kembali menatap lurus tanpa berkedip pada sepasang netra bulat hitam di depannya.
Kejadian ini memang bukan sekali dua kali terjadi terutama sejak Zee bekerja di hotel. Zeino sudah hafal. Sedangkan situasi ini selalu membuat Zee tertekan. Untung saja tak banyak tamu di café itu. Entah di mana ia harus menyembunyikan muka. Orang-orang pasti menggunjingkan mereka. Dan yang jelas, kejadian seperti ini sering menerpa sejak Zee memulai pekerjaan barunya.
“Itu ‘kan alasannya?” cetus Zeino lagi.
“Ya udah, kita berangkat. Ntar kalo kemalaman, aku nginap di rumah Lulu aja.”
Telapak tangan gadis itu kembali merapikan helaian rambut yang tergerai di wajahnya untuk meredam rasa yang berkecamuk di dadanya. Isyarat tubuh sebagai pengalihan yang kerap dilakukannya ketika berdebat dengan pacarnya itu.
Sambil menghela napas Zeino mengangkat tubuhnya dari kursi. Pemuda itu beranjak menuju kasir. Ia terlihat merogoh dompet di saku celana jeans bagian belakang yang ia pakai. Setelah selesai membayar minuman yang mereka pesan, ia lalu mengalihkan tatapannya pada meja tempat Zee menunggu.
Tanpa perlu dijemput dan aba-aba, Zeepun berdiri lalu mengayunkan langkah mendekati Zeino yang sengaja menghentikan gerak kakinya. Gadis itu melepaskan cengkraman tangan kirinya dari tas jinjing yang dibawanya. Ia lalu meraih pergelangan tangan Zeino. Merekapun melangkah bergandengan.
Zeino tak melepaskan tangan kanannya yang mencengkram jemari Zee ketika membuka pintu kafe untuk keluar. Tangan kirinya yang kemudian mengambil alih tugas itu. Tautan kesepuluh jari mereka baru lepas ketika keduanya sampai di samping mobil Zeino yang terparkir di depan kafe. Pemuda itu menekan remote, lalu menarik daun pintu mobil dan memersilakan Zee untuk duduk terlebih dahulu.
Zee menghempaskan tubuhnya di jok. Kedua netra hitamnya melirik sosok Zeino yang sedang melintas di depan mobil dari kaca. Ia sekilas menggelengkan kepala dan tersenyum miris. Gadis itu tak habis pikir bagaimana hubungannya dengan pemuda yang sekarang sering membuatnya kesal dan tertekan, dilain waktu bisa bersikap manis seperti itu, terjalin sudah hampir dua tahun sejak perjodohan antar geng yang diprakarsai oleh Lulu.
Kok kita bisa pacaran, sih?
Untuk apa menunggu, jika yang kau mau telah ada di hadapanmu. Untuk apa menunda jika hanya bersamanya kau merasa bahagia. Untuk apa meragu jika hanya dia yang ada di hatimu. Untuk apa bersama jika tak ada ikatan yang sah dan nyata. Kali kedua sepasang anak manusia itu membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Sesaat setelah pembukaan showroom berbulan-bulan yang lalu, mereka sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memenuhi komitmen pekerjaan dan meresmikan ikatan cinta setelahnya. Sekarang ketika menjalani hubungan jarak jauh, keduanya berusaha mempersingkat jarak. Dan upaya itu bersyarat, harus berlabel sah jika tetap memaksa. Memang lebih cepat dari apa yang mereka rencanakan. Tentu belum semua sempurna seperti angan. Namun apa tolak ukur sempurna itu perlu ketika ada rasa terpenuhi dengan apa yang ada di tangan? Keraguan karena ketakutan akan terulang sejarah pahit dari orang-orang terdekat, tak seharusnya menjadi pemata
Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Zeino, Zee tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Bukan karena grogi, ia sudah sering berkunjung ke sana, tapi kali ini Zee tak bisa menghalau kecemasannya. Kepergok oleh orangtua Zeino saat mereka sedang berpelukan, membuat Zee gundah dan malu. Zeino berusaha menenangkan Zee. Genggaman jemarinya tak lepas meski sebelah tangannya harus memegang kemudi. Zeino sendiri tak bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh papanya, hingga meminta mereka menyusul ke rumah. Sesampai di kediamannya, Zeino melangkah pasti dengan tak membiarkan Zee menarik genggaman jemarinya. Keduanya memasuki ruang tamu namun tak menemukan Handoko di sana. Seorang pelayan yang datang menghampiri memberitahu jika mereka diminta menunggu di ruang kerja. Pilihan ruang kerja sebagai tempat bertemu tentu memberi kesan berbeda. Zee merasakan ada hal serius yang akan dibicarakan. Dan tentu akan ada hubungannya dengan kejadian di kan
“Kamu pasti tahu, untuk membuka cabang showroom di daerah utara, penjualan harus setengah break even point dulu. Kalau tidak, harus ada sumber dana lain.” “Pa, modal kita yang terpakai hanya setengah. Karena yang di sini ada kerjasama dengan Pak Sony. Zei, mau ijin Papa untuk pakai dana yang tesisa untuk memulai buka cabang di wilayah utara.” “Belum cukup Zei. Harga tanah dan bangunan di wilayah utara cukup tinggi. Apa mau kerjasama lagi dengan Pak Sony.” “Kali ini cukup kita saja, Pa.” “Lalu kamu mau dapat tambahan modal dari mana?” “Waktu kunjugan ke kantor lisensi, ada pihak bank yang menawarkan kredit usaha. Beberapa hari ini Zei pelajari, bunganya cukup rendah. Zei akan coba ini, Pa.” Handoko tak langsung menanggapi. Pria paruh baya itu meraih cangkir berisi kopi hitam di atas meja. Menyeruput perlahan lalu menaruh kembali cangkir porselen itu ke tempat semula. “Coba kamu buat proposalnya. Papa mau pelajari
Memenuhi janjinya, Zee menerima kunjungan Batara Bramantyo di restoran hotel sambil sarapan. Gadis itu tak sendiri, tentu Zeino ada di sampingnya. Keduanya menempati sebuah meja yang berkapasitas empat orang. Dua buah kursi masih belum ditempati. Tak lama berselang sejak kedatangan mereka, seorang pria datang mendekat. Pria itu dibalut stelan baju kerja formal lengkap dengan jas dan dasi yang senada. Terlihat ia mengedarkan pandangan ke suluruh penjuru restoran. Ia mengukir senyum begitu menemukan sosok yang dicarinya. Pria yang tak lain adalah Batara Bramantyo itu disambut dengan baik oleh sepasang muda-mudi yang terlihat berdiri sambil menyapa dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak Batara.” Zee menyapa terlebih dahulu. Lalu menyusul Zeino mengakat tubuhnya dari kursi. Mereka saling berjabat tangan. “Pagi. Apa kabar kalian?” Percakapan basa-basi sekedar pembuka bicara itu berlangsung singkat. Mereka sepakat untuk melanjutkan bincang santai sambi
Kecenderungan anak laki-laki akan lebih dekat pada ibu daripada ayah, sepertinya berlaku pada Zeino. Pemuda yang sangat irit bicara apalagi mengungkapkan isi hati pada orang lain itu, perlahan memang lebih terbuka pada Utari, sang ibu. Tentu sikapnya itu tak lepas karena tanggapan Utari yang bisa disebut sangat menerima kehadiran Zee sebagai orang terdekatnya. Malam ini sebelum berangkat menenuhi undangan perusahaan lisensi, Zeino berbincang dengan Utari di sudut taman rumah. Hanya ada mereka berdua. Handoko masih ada kegiatan di luar bersama rekan bisnisnya. “Jadi karena alasan Talita akhirnya kamu membawa Zee ikut serta?” tanya Utari yang kemudian mendengar tentang Talita yang mengadu pada mamanya tentang Zeino yang tak berangkat bersama. Tentu saja Silvia langsung menghubungi Utari untuk merubah semua rencana Zeino. “Salah satunya karena itu, Ma. Ini juga sekalian mau meyakinkan Zee tentang pilihan tempat kerjanya yang baru nantinya.” “Zee jadi pin
“Jadi, elo tetep pindah kota?” Kedua bola mata Rayesa semakin membulat mendengar cerita Zee. “Kak Zeino ngijinin?” tanyanya lagi. Terlihat Zee menganggukan kepala. “Serius?” Kali ini terlihat raut tak percaya terpampang di wajah Lulu. “Bakal LDR-an 2 tahun?” Lampita ikut menimpali. “Iya.” Akhirnya Zee bersuara tak hanya sekedar menggoyang kepala turun naik. “Tujuh ratus tiga puluh hari loh, Zee. Ga bakal ketemuan, gitu?!” timpal Lampita setelah bermain hitung-hitungan dengan jemarinya. “Ya ga gitu juga kali ngitungnya. Emang jadi TKW ga pulang-pulang 2 tahun. Kan ada hari libur, cuti. Aku bisa pulang. Ato Kak Zeino yang nyamperin.” Zee dan teman-teman gengnya menyempatkan diri untuk bertemu di sela-sela kesibukan masing-masing. Lulu yang masih harus memutar otak untuk mendapat restu, Rayesa yang sudah mulai bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi dan Lampita yang menjalankan bisnis onlinenya. Mereka mengh
Senja telah menelan semesta. Lenyap kuasa cahaya sang surya berganti sinar rembulan yang belum bulat sempurna. Ditemani setitik sinar yang berpijar tanpa jeda, sang bintang kejora. Zee dan Zeino beranjak dari Panorama. Keduanya kembali berkendara meninggalkan sepenggal percakapan yang masih diakhiri tanda koma. “Sudah gelap, kita cari makan dulu, ya.” Sebuah restoran yang berada tak jauh dari Panorama menjadi pilihan Zeino. Restoran itu juga memiliki pemandangan lepas ke arah pusat kota karena terletak di dataran yang cukup tinggi. “Kita udah pacaran berapa tahun ya, Zee?” Zeino membuka percakapan lagi sambil menunggu pesanan mereka datang. “Berapa tahun, ya? Ngitungnya dari kapan? Bingung.” Zee menerawang. Kilas peristiwa pertemuan pertama mereka bermain di pelupuk mata. Mereka berdua sering bertemu ketika Lulu dan Dito saling mengunjugi fakultas masing-masing. Atau ketika mereka mengajak bertemu di luar kampus. Baik Zee maupun Zeino
Bagaimana pun untuk menghalau resah, perasaan tetaplah hal yang gampang diombang – ambing oleh kenyataan dan peristiwa. Hal itu yang sedang dirasakan Zee saat ikut menghadiri peresmian showroom. Dari sejak menginjak pelataran parkir, ia sudah tak asing dengan pemandangan yang ditemuinya. Pemandangan yang hampir sama, pernah dilihatnya melalui mimpi. Perlahan satu-satu per satu rekaman alam bawah sadarnya menyesuaikan di alam nyata. Tepat ketika momen yang membuat resah, Zee memutuskan untuk menjauh. Jujur, ia tak punya keberanian untuk mendengar langsung jika kalimat-kalimat yang meluncur dari keluarga Zeino dan Talita setelah keberhasilan mereka berdua membuka showroom akan benar-benar terucap. “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan? “Kalian sudah cocok, bisa buka bisnis bersama. Jadi berumahtangga juga akan bisa sama-sama.” Zee tak tahu apa benar akhirnya ada percakapan seperti itu di de
Zee mematut diri di depan kaca rias. Pagi ini ia tengah bersiap untuk hadir di acara peresmian showroom sepeda motor yang dipimpin Zeino. Proyek kerjasama, yang menurut Zee penuh drama itu, akhirnya berdiri juga. Tubuh semampainya telah berbalut seragam showroom yang khusus dipesan Zeino untuknya. Berbeda dengan tampilannya ketika menjadi GRO yang harus berblazer dan baju long dress dengan belahan di samping, kali ini Zee terlihat lebih casual. Ia mengikuti gaya pegawai showroom yang memang lebih santai dalam seragam lengan pendek warna hitam atau putih dengan bordiran logo di sana-sini. Seragam itu memang disukai Zeino dari pada padanan dasi dan jas yang terkesan kaku. Agar tak terlalu santai, rambut Zee yang biasa dicepol jika berkerja, sekarang dikuncir agak tinggi seperti gaya genie. Tak lupa riasan ringan untuk acara outdoor di pagi hari menghias wajahnya. Setelah merasa puas dengan tampilannya di kaca, Zee segera turun untuk menikmati sarapan bersama ib