Share

3. Curhat

Seiring Zeino yang mendaratkan tubuhnya di belakang kemudi, Zefanya merogoh tas jinjingnya. Jemarinya meraih telepon genggam yang diselipkan di sela kantong. Sejurus kemudian, gadis itu terlihat sibuk mengutak-atik benda pipih yang sedang menyala. Tatapannya terlalu fokus pada layar hingga ia tak memerhatikan pemuda di sebelahnya sedang memandang ke arahnya.

Zefanya tersadar ketika mengalihkan pandangan ke depan dan mendapati jika mereka masih di parkiran kafe. Kendaraan roda empat yang mereka naiki belum bergerak. Gadis yang menoleh ke samping kanan sambil menaruh kembali telepon genggamnya ke dalam tas, mendapati tatapan Zeino yang tertuju padanya. Kedua tangan pemuda itu mencengkram setir, mesin mobil telah menyala.

“Ada apa?” tanya Zee.

Tak ada jawaban lisan dari pertanyaan singkat itu. Yang terjadi selanjutnya adalah tangan Zeino yang membuka sabuk pengaman yang telah terpasang di tubuhnya. Lalu dengan cepat ia mendekat ke arah kiri. Mereka sekarang hanya sebatas angin. Zefanya bisa mencium aroma coffee latte dari hembusan napas pemuda itu. Situasi itu membuatnya menahan napas. Meski mereka berstatus pacar, gadis itu masih merasa canggung.

Safety belt-nya dipake!” ujar Zeino sambil menjangkau sabuk pengaman yang berada di dekat pintu. Dengan cekatan ia menarik dan memasukan tuas sabuk pada tempatnya.

“Huh, kirain mau ngapain,” gumam Zefanya lega.

“Lupa. Biasanya bonceng motor. Tumben hari ini bawa mobil,” kilah gadis itu sambil memperbaiki posisi duduknya.

“Motornya lagi di-service,” jelas pemuda itu singkat.

Bibir Zefanya mengerucut membentuk huruf O sambil mengangguk pelan. Gadis itu sudah sangat memaklumi jika seorang Zeino Ardhana lebih suka menunggangi motor sport-nya ke mana-mana dari pada mengendarai mobil.

Begitu kendaraan roda empat itu dipacu menjelajahi jalan raya yang cukup ramai, tak ada saling sahut lagi di antara kedua muda-mudi itu. Hanya terdengar alunan suara penyanyi dari radio yang sengaja dihidupkan oleh si empunya mobil. Barangkali inilah yang disebut awkward moment. Baik Zefanya maupun Zeino tak berusaha memecahkan sunyi di antara mereka. Hingga mereka tiba di sebuah rumah besar bertingkat di sebuah komplek perumahan.

Tak perlu menunggu lama, seorang penjaga terlihat tergopoh-gopoh membuka pintu pagar besi yang menjulang. Tanpa hambatan, lalu mobil berkapasitas empat penumpang itu diparkirkan sejajar dengan dua kendaraan lain yang terlebih dahulu telah berada di sana.

Zefanya tak berniat menunggu Zeino membukakan pintu untuknya, ia memilih untuk turun terlebih dahulu. Gadis itu telah melihat bayangan pemilik rumah berdiri di teras rumah.

“Akhirnya orang sibuk sempet juga kemari!” lontar Lulu dari tepian teras.

“Ayo masuk! Yang lain udah nungguin. Kirain kalian ga bakalan datang,” ujarnya lagi ketika Zeino telah menyusul langkah gadis yang baru saja disindir.

“Maaf ya, telat.” Zefanya berusaha untuk terlihat normal dengan sedikit basa-basi sambil merangkul sahabatnya itu.

Lulu menggiring kedua temannya ke taman samping. Di sana terlihat anggota geng yang lain beserta pasangan masing-masing telah mengambil tempat yang menurut mereka nyaman. Zefanya pun menyapa satu per satu muda-mudi yang sedang berkumpul itu. Mereka memang masih terlihat akrab, meski akhir-akhir ini jarang bertemu.

Sebahagian besar dari teman-teman Zefanya itu masih disibukkan dengan kuliah. Hanya dirinya, Shandy dan Jeromy yang telah diwisuda. Sementara yang lain sedang menyusun skripsi dan menyelesaikan sisa SKS. Termasuk Zeino yang jika tak ada rintangan maka ia akan meraih gelar sarjana beberapa bulan lagi.

Tanpa ragu kemudian Zefanya mencomot sepotong pizza dari kotak yang telah terbuka. Ia tak menghiraukan lagi sekelilingnya. Bahkan ia melewatkan tatapan menyelidik Lulu ke arahnya dan Zeino yang juga duduk di sebelahnya.

“Laper?”

“Uhum. Tadi pulang kerja langsung ke sini.”

“Pantes. Eh, elo ganti baju aja dulu di kamar gue. Kita mau bakar-bakaran loh, ntar lo gerah. Baju elo masih ada yang ketinggalan ‘kan di sini.”

Kepala Zefanya mengangguk. Di antara teman-temannya hanya dia yang terlihat formal memakai blazer. Kontras sekali dengan yang lain. Mereka bahkan ada yang memakai celana pendek dan baju kaus saja. Gadis itu lalu mengikuti langkah Lulu memasuki rumah. Tak biasanya Lulu menemani seperti ini. Anggota gengnya itu sangat bebas berkeliaran di rumahnya. Termasuk membiarkan Zefanya yang memang sudah tahu seluk beluk rumah besar itu untuk memasuki kamarnya yang terletak di lantai dua.

Rumah dengan konsep kekinian itu terihat sepi. Tak ada kehadiran keluarga yang lain. Zefanya tak bertanya, ia menduga jika orang tua Lulu pasti sedang berada di luar kota. Pekerjaan papa Lulu yang seorang pengusaha dan juga anggota partai sering membuatnya meninggalkan rumah untuk waktu lama. Termasuk mamanya yang bergerak di bidang yang sama. Hanya terlihat beberapa orang pelayan yang wara-wiri dari arah dapur sambil membawa perlengkapan barbeque.

“Elo lagi bertengkar, ya?” Kalimat tanya itu meluncur dari bibir Lulu tanpa menghentikan langkahnya terlebih dahulu. Mereka masih beriringan menapaki anak tangga menuju lantai dua.

Melihat Zefanya yang menghela napas panjang, Lulu kembali bertanya,” ada apa lagi sih kalian?”

“Tau tuh, dia lagi PMS kali. Sensi banget.”

Menghempaskan tubuhnya di tepi ranjang setiba di kamar Lulu, Zefanya berkeluh kesah. Semua sikap Zeino yang mulai cepat marah, suka melarang dan membuatnya tertekan terucap pada sesi curahan hati dadakan itu.

“Dia itu ga ngerti keadaan gue sekarang. Gue baru kerja, lagi masa probation, percobaan 3 bulan. Ga bisa seenaknya. Dia kayak ga ngedukung gitu. Belum lagi sekarang suka cemburuan, ngelarang ini itu. Tau ga lo, dia udah kayak laki posesif aja!”

Lulu menatap bibir Zefanya yang terus komat-kamit. Ia seperti petasan yang baru saja disulut. Terlihat sangat jelas raut wajah sahabatnya itu menyimpan beban pikiran.

“Emang harus banget ya, lo kerja di hotel itu? Ga ada kerjaan lain apa? Ya yang lebih fleksibel dengan waktu. Ga kayak sekarang. Pasti banyaklah perusahaan lain yang bakal terima lo, yang cerdas begini.”

“Kak Zeino ngomong ke elo buat ngebujuk gue pindah ke perusahaan papanya, ya?”

Sebuah gelengan berulang-ulang melengkapi kalimat sanggahan yang disampaikan Lulu. “Engga. Gue cuma pengen kalian berdua aku-akur. Toh semua masalah 'kan ada solusinya. Gue perhatiin masalah kalian itu di waktu aja. Kalian jarang ketemu, bener 'kan?”

Sebuah guling harus merasakan cubitan-cubitan kecil dari jari Zefanya yang tengah memeluk benda bulat panjang itu di dada. Lalu kembali suara gadis itu memenuhi kamar temannya itu dengan curahan hati.

“Entahlah, Lu. Gue juga ga yakin apa cuma itu masalahnya. Makin ke sini tu, gue ngerasa ga satu pemikiran sama dia. Gue ga pernah loh ngelarang dia mau jalan sama siapa aja. Gue kasih dia kepercayaan, gue selalu dukung dia untuk selesaian kuliah. Ga pernah gue ngerepotin dia harus ini itu untuk gue. Supaya apa? Supaya dia tetap bisa bergaul dengan yang lain dan konsentrasi kuliah.”

Zefanya menarik napas sebelum akhirnya berkata,” perkerjaan ini penting buat gue sebagai batu loncatan. Lagian di sana ga hanya dapat gaji doang, ada bonus uang pelayan. Disediain makan dalam jam kerja, belum lagi tips dari tamu yang royal. Dan yang paling penting ada jenjang karirnya.”

Hanya helaan napas yang terdengar dari gadis pemilik rumah mendengar isi hati tamunya itu. Lulu sangat kenal bagaimana sifat Zefanya. Dia adalah gadis yang tidak hanya cerdas, tapi juga mandiri dan berprinsip. Di balik kemauannya yang keras, sebenarnya Zee memiliki sifat yang penyayang dan selalu menjaga perasaan orang-orang di sekitarnya.

Dibandingkan dengan anggota geng cewek lain yang diketuainya, secara ekonomi memang Zee tidak terlalu menonjol. Tetapi Zee tidak pernah mau menerima saja jika mereka meminta gadis itu untuk tidak mengeluarkan uang pada saat mereka membuat acara liburan bersama. Zee selalu membiayai keperluannya sendiri. Bahkan ia juga tak memanfaat Zeino yang notabene termasuk anak orang kaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status