Seiring Zeino yang mendaratkan tubuhnya di belakang kemudi, Zefanya merogoh tas jinjingnya. Jemarinya meraih telepon genggam yang diselipkan di sela kantong. Sejurus kemudian, gadis itu terlihat sibuk mengutak-atik benda pipih yang sedang menyala. Tatapannya terlalu fokus pada layar hingga ia tak memerhatikan pemuda di sebelahnya sedang memandang ke arahnya.
Zefanya tersadar ketika mengalihkan pandangan ke depan dan mendapati jika mereka masih di parkiran kafe. Kendaraan roda empat yang mereka naiki belum bergerak. Gadis yang menoleh ke samping kanan sambil menaruh kembali telepon genggamnya ke dalam tas, mendapati tatapan Zeino yang tertuju padanya. Kedua tangan pemuda itu mencengkram setir, mesin mobil telah menyala.
“Ada apa?” tanya Zee.
Tak ada jawaban lisan dari pertanyaan singkat itu. Yang terjadi selanjutnya adalah tangan Zeino yang membuka sabuk pengaman yang telah terpasang di tubuhnya. Lalu dengan cepat ia mendekat ke arah kiri. Mereka sekarang hanya sebatas angin. Zefanya bisa mencium aroma coffee latte dari hembusan napas pemuda itu. Situasi itu membuatnya menahan napas. Meski mereka berstatus pacar, gadis itu masih merasa canggung.
“Safety belt-nya dipake!” ujar Zeino sambil menjangkau sabuk pengaman yang berada di dekat pintu. Dengan cekatan ia menarik dan memasukan tuas sabuk pada tempatnya.
“Huh, kirain mau ngapain,” gumam Zefanya lega.
“Lupa. Biasanya bonceng motor. Tumben hari ini bawa mobil,” kilah gadis itu sambil memperbaiki posisi duduknya.
“Motornya lagi di-service,” jelas pemuda itu singkat.
Bibir Zefanya mengerucut membentuk huruf O sambil mengangguk pelan. Gadis itu sudah sangat memaklumi jika seorang Zeino Ardhana lebih suka menunggangi motor sport-nya ke mana-mana dari pada mengendarai mobil.
Begitu kendaraan roda empat itu dipacu menjelajahi jalan raya yang cukup ramai, tak ada saling sahut lagi di antara kedua muda-mudi itu. Hanya terdengar alunan suara penyanyi dari radio yang sengaja dihidupkan oleh si empunya mobil. Barangkali inilah yang disebut awkward moment. Baik Zefanya maupun Zeino tak berusaha memecahkan sunyi di antara mereka. Hingga mereka tiba di sebuah rumah besar bertingkat di sebuah komplek perumahan.
Tak perlu menunggu lama, seorang penjaga terlihat tergopoh-gopoh membuka pintu pagar besi yang menjulang. Tanpa hambatan, lalu mobil berkapasitas empat penumpang itu diparkirkan sejajar dengan dua kendaraan lain yang terlebih dahulu telah berada di sana.
Zefanya tak berniat menunggu Zeino membukakan pintu untuknya, ia memilih untuk turun terlebih dahulu. Gadis itu telah melihat bayangan pemilik rumah berdiri di teras rumah.
“Akhirnya orang sibuk sempet juga kemari!” lontar Lulu dari tepian teras.
“Ayo masuk! Yang lain udah nungguin. Kirain kalian ga bakalan datang,” ujarnya lagi ketika Zeino telah menyusul langkah gadis yang baru saja disindir.
“Maaf ya, telat.” Zefanya berusaha untuk terlihat normal dengan sedikit basa-basi sambil merangkul sahabatnya itu.
Lulu menggiring kedua temannya ke taman samping. Di sana terlihat anggota geng yang lain beserta pasangan masing-masing telah mengambil tempat yang menurut mereka nyaman. Zefanya pun menyapa satu per satu muda-mudi yang sedang berkumpul itu. Mereka memang masih terlihat akrab, meski akhir-akhir ini jarang bertemu.
Sebahagian besar dari teman-teman Zefanya itu masih disibukkan dengan kuliah. Hanya dirinya, Shandy dan Jeromy yang telah diwisuda. Sementara yang lain sedang menyusun skripsi dan menyelesaikan sisa SKS. Termasuk Zeino yang jika tak ada rintangan maka ia akan meraih gelar sarjana beberapa bulan lagi.
Tanpa ragu kemudian Zefanya mencomot sepotong pizza dari kotak yang telah terbuka. Ia tak menghiraukan lagi sekelilingnya. Bahkan ia melewatkan tatapan menyelidik Lulu ke arahnya dan Zeino yang juga duduk di sebelahnya.
“Laper?”
“Uhum. Tadi pulang kerja langsung ke sini.”
“Pantes. Eh, elo ganti baju aja dulu di kamar gue. Kita mau bakar-bakaran loh, ntar lo gerah. Baju elo masih ada yang ketinggalan ‘kan di sini.”
Kepala Zefanya mengangguk. Di antara teman-temannya hanya dia yang terlihat formal memakai blazer. Kontras sekali dengan yang lain. Mereka bahkan ada yang memakai celana pendek dan baju kaus saja. Gadis itu lalu mengikuti langkah Lulu memasuki rumah. Tak biasanya Lulu menemani seperti ini. Anggota gengnya itu sangat bebas berkeliaran di rumahnya. Termasuk membiarkan Zefanya yang memang sudah tahu seluk beluk rumah besar itu untuk memasuki kamarnya yang terletak di lantai dua.
Rumah dengan konsep kekinian itu terihat sepi. Tak ada kehadiran keluarga yang lain. Zefanya tak bertanya, ia menduga jika orang tua Lulu pasti sedang berada di luar kota. Pekerjaan papa Lulu yang seorang pengusaha dan juga anggota partai sering membuatnya meninggalkan rumah untuk waktu lama. Termasuk mamanya yang bergerak di bidang yang sama. Hanya terlihat beberapa orang pelayan yang wara-wiri dari arah dapur sambil membawa perlengkapan barbeque.
“Elo lagi bertengkar, ya?” Kalimat tanya itu meluncur dari bibir Lulu tanpa menghentikan langkahnya terlebih dahulu. Mereka masih beriringan menapaki anak tangga menuju lantai dua.
Melihat Zefanya yang menghela napas panjang, Lulu kembali bertanya,” ada apa lagi sih kalian?”
“Tau tuh, dia lagi PMS kali. Sensi banget.”
Menghempaskan tubuhnya di tepi ranjang setiba di kamar Lulu, Zefanya berkeluh kesah. Semua sikap Zeino yang mulai cepat marah, suka melarang dan membuatnya tertekan terucap pada sesi curahan hati dadakan itu.
“Dia itu ga ngerti keadaan gue sekarang. Gue baru kerja, lagi masa probation, percobaan 3 bulan. Ga bisa seenaknya. Dia kayak ga ngedukung gitu. Belum lagi sekarang suka cemburuan, ngelarang ini itu. Tau ga lo, dia udah kayak laki posesif aja!”
Lulu menatap bibir Zefanya yang terus komat-kamit. Ia seperti petasan yang baru saja disulut. Terlihat sangat jelas raut wajah sahabatnya itu menyimpan beban pikiran.
“Emang harus banget ya, lo kerja di hotel itu? Ga ada kerjaan lain apa? Ya yang lebih fleksibel dengan waktu. Ga kayak sekarang. Pasti banyaklah perusahaan lain yang bakal terima lo, yang cerdas begini.”
“Kak Zeino ngomong ke elo buat ngebujuk gue pindah ke perusahaan papanya, ya?”
Sebuah gelengan berulang-ulang melengkapi kalimat sanggahan yang disampaikan Lulu. “Engga. Gue cuma pengen kalian berdua aku-akur. Toh semua masalah 'kan ada solusinya. Gue perhatiin masalah kalian itu di waktu aja. Kalian jarang ketemu, bener 'kan?”
Sebuah guling harus merasakan cubitan-cubitan kecil dari jari Zefanya yang tengah memeluk benda bulat panjang itu di dada. Lalu kembali suara gadis itu memenuhi kamar temannya itu dengan curahan hati.
“Entahlah, Lu. Gue juga ga yakin apa cuma itu masalahnya. Makin ke sini tu, gue ngerasa ga satu pemikiran sama dia. Gue ga pernah loh ngelarang dia mau jalan sama siapa aja. Gue kasih dia kepercayaan, gue selalu dukung dia untuk selesaian kuliah. Ga pernah gue ngerepotin dia harus ini itu untuk gue. Supaya apa? Supaya dia tetap bisa bergaul dengan yang lain dan konsentrasi kuliah.”
Zefanya menarik napas sebelum akhirnya berkata,” perkerjaan ini penting buat gue sebagai batu loncatan. Lagian di sana ga hanya dapat gaji doang, ada bonus uang pelayan. Disediain makan dalam jam kerja, belum lagi tips dari tamu yang royal. Dan yang paling penting ada jenjang karirnya.”
Hanya helaan napas yang terdengar dari gadis pemilik rumah mendengar isi hati tamunya itu. Lulu sangat kenal bagaimana sifat Zefanya. Dia adalah gadis yang tidak hanya cerdas, tapi juga mandiri dan berprinsip. Di balik kemauannya yang keras, sebenarnya Zee memiliki sifat yang penyayang dan selalu menjaga perasaan orang-orang di sekitarnya.
Dibandingkan dengan anggota geng cewek lain yang diketuainya, secara ekonomi memang Zee tidak terlalu menonjol. Tetapi Zee tidak pernah mau menerima saja jika mereka meminta gadis itu untuk tidak mengeluarkan uang pada saat mereka membuat acara liburan bersama. Zee selalu membiayai keperluannya sendiri. Bahkan ia juga tak memanfaat Zeino yang notabene termasuk anak orang kaya.
Ayun langkah Lulu menuruni anak tangga berselisih dengan hentakan tungkai panjang milik Zeino yang setengah tergesa menaiki tangga. Tatapan mereka bertemu. Sambil mendongakan kepala pemuda yang sedang menggenggam sebuah gawai di tangannya itu menyampaikan tanya pada pemilik rumah. “Zee ada di mana, Lu?” tanya Zeino pada gadis yang berpapasan dengannya itu. “Masih di kamar. Lagi mandi,” jawab Lulu sambil menolehkan leher menunjuk arah kamarnya. “Ini, dia dicariin Bunda,” jelas Zeino sambil menunjukan telepon genggam Zee yang ada di tangannya. “Oh, ya udah sana aja, Kak. Kali aja udah selesai.” Perkataan Lulu seperti ijin untuk Zeino meneruskan niatnya. Keduanya lalu melanjutkan langkah masing-masing. Mereka sama-sama bergegas menuju arah yang berbeda. Zeino langsung mengetuk pintu sesampai di depan kamar Lulu. “Iya, ini gue udah kelar!” ujar Zefanya dari dalam kamar. Alunan suara yang dibarengi sembulan kepala dari daun pintu ya
Zefanya, gadis yang telah berganti tampilan itu kembali menjadi penumpang. Ia duduk tenang di sebelah Zeino yang sedang mengendarai mobilnya. Perjalanan sunyi tanpa kata memaksa lantunan suara merdu penyanyi dari playlist yang diputar merajai ruang itu. Kesal di dada yang memaksa Zeino untuk memilih memulangkan Zefanya lebih awal dari waktu yang diperkirakan.Candaan Dito yang mengungkit kebersamaannya dengan seorang mahasiswa baru beberapa waktu yang lalu membangkitkan emosi Zeino. Dia seakan dijadikan terdakwa atas tuduhan mendua. Padahal Zefanya sendiri mengetahui dan tidak pernah membesarkan masalah itu. Pacarnya itu cukup mengerti dengan penjelasan singkat yang ia sampaikan. Jika dia dan Talita, juniornya di kampus, hanya kebetulan bertemu. Lagi pula gadis yang baru memulai perkuliahan itu adalah anak dari kolega orang tuanya. Sehingga tak heran jika mereka sudah terlihat akrab.“Ayo habiskan. Setelah itu kita pulang.&rdq
Lampu penerangan di sepanjang jalan yang menjadi jalur lintas Zefanya menuju tempat kerjanya masih menyala. Jam digital di pergelangan tangan kirinya menunjukan angka lima menit sebelum jam enam pagi, ketika gadis dalam balutan jaket berbahan jeans itu berpamitan pada ibundanya untuk berangkat kerja. Temaram suasana kota menjelang kehadiran sang surya di ufuk timur. Semringah raut wajah gadis yang dipenuhi semangat untuk menunaikan kewajibannya.Suatu hal tak pernah disesali oleh Zefanya dalam dua bulan belakangan ini, keputusannya menerima perkerjaan yang membuat pola hidupnya berubah. Seperti saat ini, ketika hari Minggu kebanyakan penduduk bumi bermalasan untuk membuka mata, ia sudah berada di atas motor matic-nya untuk mengais rejeki. Ketika sekelompok remaja melintas sambil berlari bersama di hari libur, Zee akan menjadikan tugasnya sebagai GRO yang akan mondar-mandir di lobby hotel sebagai sarana olah raganya. Gadis itu tak akan menaruh c
Tubuh Zefanya masih terpaku di depan kanopi kafe. Kebingungan atas kehadiran Zeino di depannya membuatnya salah tingkah. Apa lagi tatapan pemuda itu terlihat sangat tidak bersahabat memandang ke arah Sammy yang sedari tadi berada di dekatnya.Belum hilang keterkejutannya, seorang pemuda lain yang baru keluar dari arah kafe semakin membuat Zefanya terpana.“Kak Jeromy!” sapa Zee yang hampir tak percaya melihat pacar Lampita itu.“Eh, Zee. Kebelet tadi, numpang ke toilet.” Dengan wajah cengengesan pemuda berkaca mata itu berkata sambil menggaruk rambutnya.“Hmm, Bang Sammy duluan aja, ya. Aku mau ketemu temen dulu,” ujar Zee pada Sammy.Tentu saja gadis itu tak ingin berlama dengan pria yang pasti akan dipertanyakan oleh Zeino.“Oh, ya udah. Bye, Zee!” pamit Sammy yang bernama asli Samuel.Tak
Sebuah motor sport berwarna hitam legam meluncur membelah jalan aspal yang menuju area salah satu kampus universitas swasta terkenal di kota. Begitu kuda besi itu berhenti di pelataran parkir, kedua pengendara yang masih mengenakan helm turun bergantian dari sadel. Begitu penutup kepala itu terbuka, terlihat pasangan muda-mudi yang berinisial sama ‘ZA’ itu segera merapikan rambut dan tampilan mereka sebelum melanjutkan langkah ke tujuan.Menepati janjinya, hari Senin ini Zefanya yang sedang libur bekerja menemani Zeino untuk melakukan bimbingan skripsi. Gadis itu memang sengaja mempersembahkan hari libur yang seharusnya untuk beristirahat dari lelah bekerja untuk memperbaiki hubungannya yang sedang kurang harmonis dengan Zeino.Walaupun sebenarnya ia sendri belum mengerti standar harmonis yang seharusnya seperti apa. Karena jika dirunut sejak mereka dijodohkan, hubungan mereka seperti air yang mengalir mengikuti alur yang mereka
Melengkung senyum di wajah Zeino yang telah ditutupi helm ketika sepasang tangan gadis di boncengan merengkuh pinggangnya. Ada rasa yang ingin meledak di hatinya ketika teringat bagaimana reaksi Zefanya ketika melihat Talita berada di dekatnya. Berbeda dengan saat ia dan adik kelasnya itu tak sengaja kedapatan sedang berada di café oleh pacarnya itu, kali ini Zee menampakan rasa memilikinya. Gadis itu tanpa malu-malu bergelayut manja di lengannya dengan tatapan lurus pada perempuan yang menghampiri.“Ternyata kamu bisa cemburu juga ya, Zee,” gumam Zeino.Kuda besi hitam legam itu terus melaju meninggalkan sorak – sorai anggota geng lainnya yang sengaja menjadikan pasangan ZA itu sebagai objek candaan. Kedatangan Zefanya ke kampus yang baru ditinggalkannya beberapa bulan, tentu saja masih mendapat sambutan yang hangat dari teman-temannya yang sedang berusaha merampungkan studinya. Termasuk dari para dosen yan
Kembali Zefanya tak bisa menyimpulkan apa yang sedang terjadi dengan hubungan pertemanannya dengan Zeino. Satu hari yang mereka lewati kemarin tak secara otomatis menjelaskan semuanya. Gadis itu menganggap kebersamaan mereka adalah quality time tanpa meributkan rutinitas keduanya yang sering bertolak – belakang.“Ga ada ngomong serius, Bun. Habis dari kampus, kita pergi ke pantai, makan doang.”Begitu Zefanya menjawab pertanyaan dari ibundanya ketika pagi hari di meja makan. Seperti kebiasaan ibu dan anak itu memulai hari.“Tadinya Zee mau bicara, Bun. Tapi ga jadi, lagi males. Ntar malah bertengkar lagi.” Zefanya bersungut mengakhiri kalimatnya.Ibu Kartika, wanita yang telah menjadi orang tua tunggal bagi kedua anak gadisnya sejak Zefanya anak bungsunya berusia dua bulan itu, hanya melempar senyum. Wanita paruh baya itu memang sangat terbuka dengan kedua anak
Tatapan mata Zefanya dan Zeino bertemu tatkala daun pintu yang memisahkan mereka terkuak. Keduanya menarik garis senyum di wajah mereka.“Kak Zeino duduk dulu ya, aku mau ambil tas.”Seiring anggukan, pemuda itu menghempaskan tubuhnya di kursi yang berada di teras rumah. Sementara Zee melangkah masuk untuk meneruskan niatnya. Selang berapa lama kemudian, gadis pemilik rumah yang tampak berpenampilan santai dengan rambut tergerai, menghampiri dengan membawa segelas air minum.“Diminum dulu, Kak.”“Kamu yakin bisa datang ke pestanya itu, Zee?” tanya Zeino setelah menyeruput setengah air di dalam gelas.“Hmm apa maksudnya bertanya seperti itu?” gumam Zee yang mengira ada niat lain dari pertanyaan itu.“Kebetulan hari itu, aku jadwal pagi. Acaranya malam 'kan, ya?”Zei