Satu minggu setelah Fabio dinyatakan pulih sepenuhnya, dia akhirnya bisa bergerak dengan normal. Luka-luka yang sebelumnya membuat tubuhnya tampak mustahil untuk pulih kini telah sembuh tanpa jejak, meninggalkan Fabio dengan pertanyaan yang belum terjawab tentang kekuatan misterius dalam dirinya. Namun, tidak ada waktu untuk merenung terlalu lama—pagi itu, seorang utusan kerajaan datang ke rumah sakit, menyampaikan pesan dari Putri Jinshi. Fabio dipanggil ke istana untuk sebuah audiensi penting.
Thalysa, yang sedang menemani Fabio saat itu, memutuskan untuk ikut bersamanya. Tidak lama setelahnya, Baizhu juga bergabung, tampak lebih serius dari biasanya, meskipun ekspresinya tetap sulit ditebak. -Istana Thalos: Ruang Singgasana- Istana kerajaan Thalos berdiri megah di tengah ibu kota, sebuah bangunan yang memancarkan wibawa sekaligus keindahan. Pilar-pilar besar dari batu granit hitam menopang atap berlapis emas, sementara dindingnya dihiasi ukiran kuno yang menceritakan sejarah panjang kerajaan. Saat Fabio, Thalysa, dan Baizhu memasuki ruang singgasana, keheningan yang mendalam menyambut mereka. Di ujung ruangan, Putri Jinshi duduk di atas singgasana, mengenakan gaun hitam dan biru gelap yang memancarkan kewibawaan. Meskipun Jinshi dikenal dengan sikap lembutnya, kali ini ada aura kekuatan yang lebih besar terpancar darinya—sebuah tanda bahwa dia kini memikul tanggung jawab besar sebagai Penguasa Tertinggi Sementara. Fabio menatapnya dengan rasa hormat yang baru ia sadari, sementara Thalysa dan Baizhu segera memberikan penghormatan resmi. Fabio, yang sedikit bingung dengan protokol kerajaan, mengikuti dengan kikuk. “Kalian bisa santai,” kata Jinshi dengan suara lembut namun tegas. “Tidak perlu formalitas berlebihan di sini. Terima kasih telah datang. Ada hal penting yang harus kita bicarakan.” Setelah mereka duduk di kursi yang disediakan, Jinshi menghela napas panjang, seolah mencoba mengumpulkan pikirannya sebelum berbicara. “Seperti yang mungkin sudah kalian dengar, aku saat ini memegang peran sebagai Penguasa Tertinggi sementara. Ayahku, Kaito Akio V, sedang berada dalam ekspedisi ke kerajaan Valtor untuk memperbaiki hubungan diplomatik antara kedua kerajaan kita.” Fabio memperhatikan ekspresi Jinshi yang serius, sementara Thalysa bertanya dengan nada hati-hati, “Apa yang terjadi dengan hubungan kita dengan Valtor, Jinshi-sama? Bukankah hubungan kita cukup stabil sebelumnya?” Jinshi menggeleng pelan. “Stabil bukan kata yang tepat. Hubungan kita dengan Valtor telah memburuk sejak masa pemerintahan kakekku, Kaito Akio IV.” Baizhu yang mendengar itu tampak sedikit tidak nyaman, tetapi ia tetap diam, membiarkan Jinshi melanjutkan. “Kalian mungkin tahu bahwa Thalos dan Valtor dulunya memiliki hubungan yang sangat erat,” lanjut Jinshi. “Valtor adalah salah satu kerajaan penghasil petarung fisik terbaik di seluruh benua tengah. Prajurit mereka tidak hanya menguasai seni berpedang dan memanah, tetapi juga memiliki disiplin dan strategi yang luar biasa. Sementara Thalos lebih unggul dalam sihir, kita selalu mengandalkan Valtor untuk menyediakan pasukan petarung fisik terbaik untuk mempertahankan wilayah kita.” Fabio mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba memahami kompleksitas hubungan kedua kerajaan ini. “Namun,” Jinshi melanjutkan, “ketika Kaito Akio IV memimpin Thalos, dia membuat keputusan yang sangat buruk. Dia tidak hanya memutuskan untuk mengurangi kompensasi bagi Valtor atas pasukan yang mereka kirimkan, tetapi juga menuduh mereka menyalahgunakan sihir Thalos yang kita pinjamkan untuk melatih pasukan mereka. Tuduhan itu tidak berdasar, dan hal itu membuat Valtor tersinggung. Akibatnya, hubungan antara kedua kerajaan memburuk, dan kerjasama militer kita pun terputus.” Fabio mengerutkan kening. “Jadi, Thalos kehilangan akses ke petarung fisik dari Valtor?” Jinshi mengangguk. “Ya. Tanpa pasukan mereka, Thalos harus mengandalkan pasukan fisik kita sendiri, yang tidak sekuat atau seberpengalaman petarung dari Valtor. Kita memang memiliki penyihir yang hebat, tetapi sihir saja tidak cukup untuk melindungi kerajaan. Kita membutuhkan keseimbangan antara kekuatan fisik dan sihir, dan keseimbangan itu hilang ketika hubungan kita dengan Valtor runtuh.” Fabio mencoba mencerna informasi itu. “Apa yang membuat pasukan Valtor begitu istimewa?” Jinshi tersenyum kecil, seolah menghargai pertanyaannya. “Pasukan Valtor dilatih dengan metode yang sangat ketat. Setiap prajurit diajarkan untuk menguasai berbagai senjata, mulai dari pedang, tombak, hingga panah. Mereka juga diajarkan seni bertarung tangan kosong dan strategi militer yang kompleks. Namun, yang membuat mereka benar-benar luar biasa adalah filosofi mereka: ‘Kesempurnaan dalam kekuatan fisik adalah jalan menuju harmoni jiwa.’ Dengan kata lain, mereka tidak hanya melatih tubuh, tetapi juga pikiran dan jiwa mereka.” Fabio menatap Jinshi dengan rasa kagum. “Mereka kedengaran seperti prajurit yang luar biasa.” Thalysa menambahkan, “Aku pernah mendengar bahwa pasukan Valtor mampu bertarung bahkan dalam kondisi yang paling buruk—tanpa senjata, tanpa makanan, dan di tengah medan yang tak bersahabat. Mereka benar-benar tangguh.” Jinshi mengangguk setuju. “Itulah mengapa hubungan kita dengan Valtor sangat penting. Namun, memperbaiki hubungan ini tidak akan mudah. Luka yang ditinggalkan oleh masa pemerintahan Kaito Akio IV masih membekas. Ayahku, Kaito Akio V, sedang mencoba memperbaiki hubungan itu, tetapi prosesnya akan memakan waktu.” Baizhu akhirnya angkat bicara, meskipun suaranya terdengar lebih tegas daripada biasanya. “Apa kau yakin mereka akan menerima kita kembali? Valtor terkenal sangat menghormati harga diri mereka. Jika kita gagal mendapatkan kembali kepercayaan mereka, itu akan menjadi bencana bagi Thalos.” Jinshi menghela napas, mengakui kebenaran kata-kata Baizhu. “Itulah risikonya, Baizhu. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Tanpa bantuan Valtor, Thalos tidak akan mampu bertahan lama menghadapi ancaman dari luar, terutama dengan meningkatnya serangan Nyxaroth di wilayah ini.” Fabio, yang telah mendengar banyak tentang Nyxaroth, akhirnya menyadari betapa gentingnya situasi ini. Dia tidak hanya berurusan dengan pertanyaan tentang identitas dirinya sendiri, tetapi juga berada di tengah konflik politik yang rumit. “Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu?” tanyanya, meskipun dia merasa bahwa perannya dalam situasi ini masih belum jelas. Jinshi menatap Fabio dengan pandangan yang penuh penghargaan. “Untuk saat ini, kita hanya bisa menunggu kabar dari ayahku. Tapi aku memanggil kalian ke sini karena aku ingin kalian tahu situasi sebenarnya. Kalian semua telah menunjukkan keberanian yang luar biasa dalam pertempuran melawan Nyxaroth Primus, dan aku percaya pada kemampuan kalian. Jika situasi memaksa, aku mungkin akan membutuhkan bantuan kalian untuk mendukung misi ayahku.” Fabio mengangguk perlahan, merasa beban tanggung jawab itu mulai mengarah padanya. Thalysa di sebelahnya menatap Jinshi dengan penuh tekad. “Kau bisa mengandalkan kami, Jinshi-sama. Apa pun yang kau butuhkan, kami akan melakukannya.” Baizhu, meskipun tidak berkata apa-apa, memberikan anggukan kecil yang menunjukkan persetujuannya. Jinshi tersenyum tipis, meskipun ada kekhawatiran yang masih tampak di wajahnya. “Terima kasih. Untuk saat ini, aku hanya butuh kalian untuk tetap waspada. Dunia ini sedang berubah, dan aku merasa bahwa perubahan besar sedang mendekat.” Fabio hanya bisa diam, tetapi dalam hatinya, dia tahu bahwa perjalanannya di dunia ini baru saja dimulai.Langit Abyysal tak pernah benar-benar gelap, tapi juga tak pernah membawa cahaya. Ia membusuk, seperti luka terbuka yang tidak pernah sembuh. Asap kelabu menggantung tanpa arah, dan bumi di bawah kaki Fabio terasa tidak nyata—seolah setiap langkah hanya membawanya lebih dalam ke dalam kehampaan, bukan ke permukaan.Namun kali ini, ia tidak mencoba masuk lebih dalam. Ia mencoba keluar.Di belakangnya, masih terdengar napas panik Thalysa dan suara serak K yang mencoba menahan luka barunya. Mereka hanya selangkah lagi dari mulut Abyysal, satu loncatan dari kebebasan, dari dunia nyata, dari cahaya yang meski semu, tetap lebih hangat daripada kekosongan ini.Lalu udara berhenti.Tidak, bukan hanya udara—waktu berhenti. Suara berhenti. Gerak berhenti. Bahkan detakan jantung Fabio pun terasa tercekik, digenggam oleh sesuatu yang tak kasatmata.Lalu terdengar suara itu."Lambat sekali, adikku."Langkah-langkah lembut seperti serpihan pasir yang berguguran. Fabio berbalik, dan di ambang kabut
Matahari tidak benar-benar bersinar di atas Benua Iblis—yang menggantung di langit hanyalah semburat merah darah yang tersaring debu dan ampas waktu. Langit tampak seperti luka yang belum sembuh. Di bawahnya, tiga sosok berjalan menuruni lereng berbatu menuju sebuah lembah tersembunyi, dibatasi oleh tebing-tebing tinggi yang menjulang seperti gigi raksasa. Di sanalah, Desa Karowai berdiri—jika tempat ini bisa disebut ‘berdiri’.Fabio dan Thalysa diam membisu. Sejak perjalanan dimulai, K tidak banyak bicara, dan mereka pun tak mendesaknya. Gurun yang mereka lewati seperti menelan suara, dan setiap langkah hanya disertai oleh desir angin yang membawa bisikan. Seperti tangisan yang sudah lama mati, namun belum benar-benar menghilang.Desa Karowai bukanlah desa dalam pengertian manusia. Tidak ada bangunan rapi, tidak ada rumah berbentuk. Yang ada hanyalah struktur batu besar yang menyembul dari tanah seperti tulang-tulang purba, tempat Nyxaroth dari berbagai bentuk bersandar, bermeditasi,
Langit Benua Iblis masih menggantung kelabu ketika mereka meninggalkan tempat perkemahan sementara. Pasir kasar bergesekan di bawah sepatu mereka, dan angin dingin dari utara sesekali membawa bau tanah terbakar yang tidak bisa dijelaskan asalnya. “Dari sini, kita akan berjalan ke arah utara selama setidaknya empat jam,” ucap K dengan nada pasti, matanya menatap lurus ke depan. "Barulah kita sampai di desaku." Langkah mereka perlahan, namun mantap, membelah jalur sunyi yang hanya ditandai jejak-jejak makhluk yang telah lama berlalu. Tidak ada rambu, tidak ada jalan. Hanya reruntuhan dan patahan batu yang menjadi penanda bahwa peradaban pernah mencoba tinggal di tanah yang tak kenal ampun ini.Perjalanan mereka tidak benar-benar tenang. Beberapa kali, mereka harus menghadapi mutan Nyxaroth yang mengendap dari balik pasir atau merayap dari celah tanah. Tidak ada bentuk yang konsisten—beberapa memiliki kulit sekeras baja, yang lain lidah bercabang dan penglihatan yang menusuk jiwa. Salah
Malam di gurun Benua Iblis tak pernah ramah. Udara dingin menggigit kulit, dan pasir yang tertiup angin menggores wajah seperti jarum halus. Di kejauhan, langit hitam yang tak berbintang menggantung diam—seolah-olah langit sendiri menahan napas, menunggu sesuatu untuk pecah. Fabio dan Thalysa menyalakan api kecil, cukup untuk memberi cahaya dan sedikit kehangatan, namun tidak cukup besar untuk menarik perhatian. Atau begitulah mereka kira. Hanya dalam sekejap mata, kesunyian itu terkoyak. Bayangan tak bernama melintas di sekitar mereka, samar dan cepat. Thalysa sudah berdiri dengan sihir di ujung jarinya, sementara Fabio mencabut pedangnya, tubuhnya kaku seperti batu, matanya menyapu gurun yang hening. Ia melihatnya—cahaya samar dari kristal merah yang bersinar dari dalam pasir, bergerak seirama napas makhluk yang tidak pernah seharusnya ada. “Bunglon?” Thalysa berbisik, kaget melihat kulit makhluk itu berubah-ubah, menyatu dengan gurun. “Nyxaroth,” jawab Fabio datar. “Tapi… berb
Benua Tengah, yang sering dijuluki sebagai "Etherian" atau "Tanah Para Dewa", merupakan wilayah yang sangat luas dan kaya akan keragaman geografis, budaya, serta spiritualitas. Dalam sejarah panjang Aetherian, Benua Tengah telah lama dianggap sebagai pusat peradaban tertua dan tempat kelahiran para kerajaan besar yang mengukir dunia dengan sihir, teknologi kuno, dan pemikiran tinggi. Julukan “Tanah Para Dewa” tidak sekadar simbolik; melainkan mencerminkan keyakinan kuno bahwa para makhluk agung pertama—baik dari langit maupun dari dalam Aether itu sendiri—pernah menjejakkan kaki di tanah ini, membentuk jejak kekuasaan yang masih terasa hingga hari ini.Secara geografis, Benua Tengah terbagi menjadi berbagai zona ekologis dan struktural yang memberikan tantangan sekaligus kekayaan tersendiri bagi para penghuninya. Di bagian utara terdapat pegunungan tinggi seperti Krinci dan Deretan Pegunungan Thalon, yang membentang dari barat hingga timur, membentuk tulang punggung benua dan menjadi
Angin panas berhembus perlahan melewati jendela kayu penginapan yang menghadap ke arah selatan kota Ebonhold. Saat matahari tergelincir pelan di atas cakrawala berwarna tembaga, Fabio duduk di kursi tua, membuka lembar demi lembar gulungan peta dan dokumen yang mereka temukan selama perjalanan. Thalysa, duduk tak jauh darinya, menyandarkan dagu di atas tangannya, matanya menyusuri garis-garis lengkung pada peta yang menggambarkan benua yang sedang mereka tapaki—Benua Iblis, tanah yang telah lama hanya disebut-sebut dalam cerita buruk dan bisikan tak berani. Malam itu tidak diisi dengan pembicaraan tentang bahaya atau kematian, melainkan percakapan pelan yang penuh dengan rasa ingin tahu. Mereka tidak sedang bersiap untuk perang atau ritual, tetapi mencoba memahami tanah tempat mereka kini berdiri.Dengan luas mencapai 9,2 juta kilometer persegi, Benua Iblis hampir menyamai ukuran Benua Utama, rumah bagi Thalos, Valtor, dan berbagai peradaban besar lainnya yang telah berdiri sejak zaman