Rasa dingin menyelimuti tubuh Fabio, membangunkannya dari kegelapan yang tampak abadi. Namun, ini bukan kebangkitan seperti biasa. Tidak ada tanah di bawah kakinya, tidak ada langit di atasnya—hanya kehampaan yang tak terhingga, sebuah dunia yang tidak bisa dijelaskan dengan logika atau imajinasi. Segalanya terasa tidak nyata, namun begitu jelas di depan matanya.
Di tengah kehampaan itu, berdiri sosok yang pernah dilihatnya sebelumnya, namun kali ini dengan penampilan yang berbeda. Tubuh sosok itu hitam pekat seperti malam tanpa bintang, tetapi dihiasi pola galaksi yang berpendar lembut, menciptakan kontras antara kegelapan dan keindahan yang tidak bisa dijelaskan. Pola itu bergerak perlahan, seperti nebula yang melayang di angkasa, memberi kesan kehidupan yang tak terbatas sekaligus kesunyian yang mendalam. Matanya bersinar seperti supernova—cahaya putih yang menusuk, seolah menembus segala hal. Rambut panjangnya melayang perlahan, seperti berada dalam gravitasi nol, berganti warna dengan spektrum nebula yang terus berubah-ubah, memancarkan kemegahan yang tidak manusiawi. Setiap gerakannya terasa tidak alami, seperti patahan waktu yang melawan alur realitas. Sosok itu berdiri tanpa suara, tetapi kehadirannya memenuhi seluruh ruang, menciptakan perasaan kecil dan rapuh dalam diri Fabio. Sosok itu akhirnya membuka mulutnya, suaranya dalam dan bergema, seolah berasal dari segala arah sekaligus. “Begitu kecil, begitu rapuh. Itukah bagaimana kau memandang dunia ini sekarang?” Fabio menatap sosok itu dengan mata penuh kebingungan dan kewaspadaan. Dia tidak tahu harus berkata apa, tetapi dia merasakan tekanan luar biasa dari kehadiran makhluk itu. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berkata, “Siapa kau sebenarnya? Kau tampak… seperti bayangan, tapi tidak seperti iblis atau makhluk dunia ini.” Sosok itu tersenyum samar, ekspresinya sulit dibaca. “Aku?” katanya, nadanya penuh dengan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, antara kemegahan dan kehampaan. “Aku adalah apa yang ada sebelum cahaya pertama menyala, dan apa yang akan tersisa setelah bintang terakhir memudar. Aku adalah kehampaan yang mengintai di balik segala keberadaan.” Fabio mengerutkan kening, semakin bingung dengan jawaban yang lebih terdengar seperti teka-teki. “Itu tidak menjelaskan apa-apa! Kau berbicara seperti teka-teki. Mengapa kau ada di sini? Mengapa aku di sini?” Sosok itu melangkah maju, namun setiap langkahnya tidak meninggalkan suara, seolah-olah dia melayang di atas permukaan yang tidak ada. “Kehadiranku adalah keniscayaan,” jawabnya, suaranya tetap tenang namun penuh makna. “Aku adalah penyeimbang, saksi dari setiap awal dan akhir. Kau di sini karena rantai takdir membawamu ke hadapanku, seperti yang terjadi berulang kali… di dunia yang berbeda, di waktu yang berbeda.” Mendengar kata-kata itu, Fabio merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya—sebuah perasaan bahwa ini bukan pertama kalinya dia bertemu dengan sosok ini. Namun, perasaan itu hanya muncul sekilas sebelum hilang, meninggalkan kebingungan yang semakin mendalam. Dia mengepalkan tangannya, rasa frustrasi mulai membakar dalam dirinya. “Itu hanya kata-kata kosong!” teriak Fabio dengan nada marah. “Beri aku jawaban! Apa tujuanmu?!” Sosok itu berhenti, menunduk seolah-olah sedang merenung. Setelah beberapa saat, dia mengangkat kepalanya, dan mata supernova itu bersinar lebih terang. “Tujuan?” ulangnya, seolah-olah kata itu adalah sesuatu yang lucu. “Lucu kau menyebutkan itu. Aku tidak memiliki tujuan. Aku adalah yang tanpa kehendak, terlahir dari kekosongan. Namun, setiap langkahku selalu membawa dampak—seperti riak pada kolam yang tenang. Mungkin, itulah sebabnya mereka memanggilku Zero. Awal sekaligus akhir.” Fabio terdiam, kata-kata itu menggema dalam pikirannya. “Aku? Adalah? Kau?” bisiknya, matanya penuh keraguan. “Siapa sebenarnya aku? Siapa sebenarnya kau?” Sosok itu tidak langsung menjawab. Dia hanya mengamati Fabio dengan mata yang seperti bisa melihat inti dari dirinya, seolah-olah sedang menilai sesuatu yang tidak Fabio pahami. Akhirnya, dia berkata, “Mungkin. Mungkin aku lebih, mungkin aku kurang. Namun, satu hal yang pasti: aku adalah kau. Saat ini aku hanya pengamat... hingga tiba waktuku untuk bertindak.” Fabio merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya, bukan karena takut, tetapi karena rasa ketidakpastian yang semakin dalam. Kata-kata itu begitu asing baginya, tetapi entah bagaimana, mereka terasa akrab, seolah-olah dia pernah mendengarnya sebelumnya. “Pengamat?” Fabio bertanya lagi, suaranya sedikit gemetar. “Apa mak-” Sebelum Fabio bisa menyelesaikan pertanyaannya, dunia di sekelilingnya mulai bergetar. Lantai kehampaan di bawahnya mulai retak, dan dia merasakan dirinya jatuh ke dalam jurang tanpa dasar. Dia mencoba menggapai sesuatu, tetapi tidak ada apa pun di sekitarnya. Sosok itu tetap berdiri di sana, melihatnya jatuh tanpa bergerak sedikit pun. Suaranya terdengar sekali lagi, kali ini lebih lembut, namun tetap bergema di seluruh kehampaan. “Hingga tiba waktuku untuk bertindak…” Fabio terus jatuh, perasaan ringan namun mencekam menyelimuti tubuhnya. Cahaya dari sosok itu perlahan memudar, digantikan oleh kegelapan yang semakin pekat. Tidak ada suara, tidak ada apa pun. Hanya kehampaan. Fabio terbangun dengan nafas terengah-engah, tubuhnya penuh keringat. Dia mencoba duduk, menyadari bahwa dia kembali ke dunia nyata. Namun, pikirannya masih dipenuhi dengan gambaran sosok itu, dengan suara dan kata-katanya yang penuh misteri. “Zero…” Fabio berbisik, merasa bahwa pertemuan itu bukan sekadar mimpi, tetapi sesuatu yang lebih nyata dari apa yang dia bayangkan. “Siapa aku sebenarnya?” tanyanya pada dirinya sendiri, namun jawaban itu tetap tidak datang. Cahaya redup dari matahari pagi yang menyelinap melalui jendela kecil terasa menusuk mata Fabio. Perlahan, dia membuka matanya, kelopak yang berat seolah-olah telah tertutup selama berabad-abad. Pandangannya masih kabur, tetapi dia bisa melihat bayangan samar sebuah ruangan yang terasa asing. Bau antiseptik menyengat hidungnya, membuat kesadarannya perlahan kembali. Di sekitarnya, ada suara pelan kain pel yang digerakkan di lantai. Seorang petugas kebersihan sedang membersihkan ruangan itu, punggungnya membelakangi Fabio. Namun, Fabio tidak memperhatikan itu. Dia merasa linglung, tubuhnya berat, dan pikirannya seperti berenang dalam lautan kebingungan. "Di mana aku?" dia bergumam, suaranya serak dan hampir tidak terdengar. Suara kecil itu cukup untuk membuat petugas kebersihan terkejut. Wanita itu memutar tubuhnya dengan cepat, dan begitu melihat Fabio telah sadar, matanya melebar. "Dia bangun! Dia bangun!" serunya panik sebelum berlari ke luar ruangan tanpa menunggu respon Fabio. Fabio yang masih lemah mencoba bergerak, tetapi tubuhnya menolak bekerja sama. Rasa sakit yang tumpul menjalar di lengan dan kakinya, meskipun tidak seburuk yang dia duga. Sebelum dia bisa memahami situasi sepenuhnya, pintu ruangan terbuka lebar, dan seorang pria paruh baya dengan jas putih panjang masuk tergesa-gesa, diikuti oleh beberapa asisten. "Ah, kau akhirnya sadar," kata dokter itu sambil mendekat, matanya penuh perhatian. Dia membawa beberapa alat pemeriksaan, dan segera memulai pengecekan tubuh Fabio. Dokter itu tampak penuh konsentrasi, memeriksa denyut nadi, suhu tubuh, dan pupil mata Fabio. Setelah beberapa saat, dia menarik napas panjang, tampak lega. "Kau sudah pingsan selama lebih dari tiga minggu. Kami mulai khawatir kau tidak akan bangun." Fabio yang masih bingung hanya menatap pria itu. "Tiga minggu?" gumamnya, hampir tidak percaya. "Apa yang terjadi? Kenapa aku di sini?" Dokter melanjutkan pemeriksaannya dengan hati-hati. "Kau dibawa ke sini dalam keadaan yang sangat buruk," katanya sambil menatap Fabio dengan serius. "Aku perlu memeriksa ingatanmu dulu. Sebelum kau pingsan, apa kau ingat apa yang terjadi?" Fabio mencoba mengingat. Sosok Nyxaroth Primus, pertempuran sengit, dan... kehampaan yang dia alami di dalam mimpinya. Semua itu muncul di pikirannya. Dia mengangguk perlahan. "Aku ingat. Aku ingat pertempuran itu. Aku ingat Nyxaroth Primus. Dan... aku ingat sesuatu yang aneh setelahnya." Dokter mengamati ekspresi Fabio dengan cermat, memastikan dia tidak menunjukkan tanda-tanda kehilangan memori. "Bagus," katanya akhirnya. "Kau tidak kehilangan ingatanmu lagi. Itu kabar baik. Tapi aku masih harus menjelaskan sesuatu." Dokter mengambil kursi kecil di samping tempat tidur Fabio dan duduk dengan tenang. "Ketika kau pertama kali dibawa ke sini, keadaanmu sangat mengenaskan," dia memulai, nada suaranya berubah serius. "Tulang kaki kirimu patah di tiga tempat, dan tangan kananmu hampir remuk. Aku bahkan menyarankan kepada Putri Jinshi, Thalysa, dan Baizhu untuk mengamputasi kedua bagian itu. Tidak ada harapan lain pada saat itu." Fabio menelan ludah, mencoba mencerna informasi itu. "Tapi... aku masih punya kaki dan tangan..." Dokter mengangguk, tampak masih bingung dengan kejadian itu. "Ya. Itu karena mereka bertiga menolak dengan tegas. Mereka tidak mau menyerah. Aku tidak tahu bagaimana, tetapi tulang-tulangmu mulai sembuh sendiri dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Apa yang seharusnya membutuhkan waktu tiga bulan atau lebih, hanya butuh beberapa minggu. Dan tidak hanya itu—luka-luka lain di tubuhmu juga pulih dengan sangat cepat. Aku tidak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya." Fabio terdiam, matanya melayang ke tangannya sendiri, yang terasa normal meskipun ada sedikit nyeri saat dia mencoba menggerakkannya. "Bagaimana itu mungkin?" dia bertanya, lebih kepada dirinya sendiri. Dokter mengangkat bahu, tidak punya jawaban. "Itu adalah misteri yang bahkan aku tidak bisa jelaskan. Tetapi satu hal yang pasti, kau memiliki tubuh yang tidak biasa. Mungkin mereka benar saat tidak menyerah padamu." Setelah keheningan sesaat, Fabio akhirnya bertanya, "Bagaimana dengan mereka? Jinshi, Thalysa, Baizhu... apa mereka baik-baik saja?" Dokter tersenyum kecil. "Mereka bertiga baik-baik saja. Faktanya, aku akan menyuruh seseorang untuk memanggil mereka sekarang." Namun, sebelum dokter bisa melanjutkan, pintu ruangan terbuka dengan keras. Thalysa dan Jinshi masuk dengan tergesa-gesa, wajah mereka menunjukkan campuran antara kekhawatiran dan kelegaan yang mendalam. Begitu melihat Fabio sudah bangun, mereka berhenti sejenak, menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. "Fabio!" seru Thalysa, langsung berlari dan memeluknya tanpa ragu. Jinshi yang mengikuti di belakangnya melakukan hal yang sama, memeluk Fabio dari sisi lain. Fabio membeku, tidak tahu bagaimana harus merespon. Tubuhnya terasa lemah, tetapi kehangatan yang ia rasakan dari pelukan mereka memberi semacam kenyamanan. Namun, dokter yang berada di ruangan itu tampak tidak senang. "Hei, hei!" seru dokter sambil bangkit dari kursinya. "Dia baru saja bangun! Tubuhnya masih lemah! Jangan memeluknya seperti itu!" Thalysa dan Jinshi langsung tersadar, mereka melepaskan pelukan mereka dengan tergesa-gesa, wajah mereka penuh penyesalan. "Maafkan kami, Dokter," kata Jinshi dengan nada lembut. "Kami hanya terlalu senang melihatnya bangun." Dokter menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. "Ya, aku mengerti, tetapi tolong, jangan lakukan itu lagi. Dia masih dalam masa pemulihan." Tepat ketika dokter selesai berbicara, pintu ruangan terbuka sekali lagi, kali ini lebih perlahan. Baizhu muncul, membawa keranjang buah-buahan segar. Wajahnya tetap serius seperti biasa, tetapi ada secercah kelegaan di matanya saat dia melihat Fabio sudah sadar. "Jadi kau akhirnya bangun," katanya singkat, menaruh keranjang buah di meja kecil di samping tempat tidur Fabio. Dokter yang merasa bahwa situasi kini terkendali menghela napas panjang. "Baiklah, aku akan meninggalkan kalian untuk berbicara. Jangan terlalu lama, dan jangan memaksanya berbicara terlalu banyak. Dia masih butuh istirahat." Setelah itu, dokter meninggalkan ruangan, meninggalkan Fabio bersama Jinshi, Thalysa, dan Baizhu. Fabio, yang merasa situasi sedikit lebih tenang, memandang mereka bertiga dengan rasa terima kasih. "Apa kalian bertiga baik-baik saja?" tanyanya, suaranya masih lemah. Thalysa tersenyum, meskipun matanya menunjukkan sedikit emosi. "Itu seharusnya pertanyaan kami," jawabnya lembut. "Kami baik-baik saja. Tapi kau..." Dia berhenti, menatap Fabio dengan tatapan lembut. "Kau membuat kami sangat khawatir, Fabio." Jinshi mengangguk setuju. "Ketika kami membawamu ke sini, keadaanmu sangat buruk. Kami benar-benar berpikir kau tidak akan selamat." Baizhu, meskipun tetap menjaga sikap dinginnya, akhirnya berkata, "Kau sangat beruntung, Fabio. Tapi jangan gunakan keberuntunganmu seperti ini lagi." Fabio hanya bisa tersenyum kecil, merasa bahwa, meskipun tubuhnya masih lemah, dia dikelilingi oleh orang-orang yang peduli padanya. Kehangatan dari perhatian mereka, meskipun kadang ditutupi oleh sikap keras, membuatnya merasa sedikit lebih kuat. Namun, di balik rasa syukurnya, pertanyaan yang lebih besar tetap menghantui pikirannya. Siapa dirinya sebenarnya? Dan bagaimana tubuhnya bisa pulih dengan cara yang begitu luar biasa?Langit Abyysal tak pernah benar-benar gelap, tapi juga tak pernah membawa cahaya. Ia membusuk, seperti luka terbuka yang tidak pernah sembuh. Asap kelabu menggantung tanpa arah, dan bumi di bawah kaki Fabio terasa tidak nyata—seolah setiap langkah hanya membawanya lebih dalam ke dalam kehampaan, bukan ke permukaan.Namun kali ini, ia tidak mencoba masuk lebih dalam. Ia mencoba keluar.Di belakangnya, masih terdengar napas panik Thalysa dan suara serak K yang mencoba menahan luka barunya. Mereka hanya selangkah lagi dari mulut Abyysal, satu loncatan dari kebebasan, dari dunia nyata, dari cahaya yang meski semu, tetap lebih hangat daripada kekosongan ini.Lalu udara berhenti.Tidak, bukan hanya udara—waktu berhenti. Suara berhenti. Gerak berhenti. Bahkan detakan jantung Fabio pun terasa tercekik, digenggam oleh sesuatu yang tak kasatmata.Lalu terdengar suara itu."Lambat sekali, adikku."Langkah-langkah lembut seperti serpihan pasir yang berguguran. Fabio berbalik, dan di ambang kabut
Matahari tidak benar-benar bersinar di atas Benua Iblis—yang menggantung di langit hanyalah semburat merah darah yang tersaring debu dan ampas waktu. Langit tampak seperti luka yang belum sembuh. Di bawahnya, tiga sosok berjalan menuruni lereng berbatu menuju sebuah lembah tersembunyi, dibatasi oleh tebing-tebing tinggi yang menjulang seperti gigi raksasa. Di sanalah, Desa Karowai berdiri—jika tempat ini bisa disebut ‘berdiri’.Fabio dan Thalysa diam membisu. Sejak perjalanan dimulai, K tidak banyak bicara, dan mereka pun tak mendesaknya. Gurun yang mereka lewati seperti menelan suara, dan setiap langkah hanya disertai oleh desir angin yang membawa bisikan. Seperti tangisan yang sudah lama mati, namun belum benar-benar menghilang.Desa Karowai bukanlah desa dalam pengertian manusia. Tidak ada bangunan rapi, tidak ada rumah berbentuk. Yang ada hanyalah struktur batu besar yang menyembul dari tanah seperti tulang-tulang purba, tempat Nyxaroth dari berbagai bentuk bersandar, bermeditasi,
Langit Benua Iblis masih menggantung kelabu ketika mereka meninggalkan tempat perkemahan sementara. Pasir kasar bergesekan di bawah sepatu mereka, dan angin dingin dari utara sesekali membawa bau tanah terbakar yang tidak bisa dijelaskan asalnya. “Dari sini, kita akan berjalan ke arah utara selama setidaknya empat jam,” ucap K dengan nada pasti, matanya menatap lurus ke depan. "Barulah kita sampai di desaku." Langkah mereka perlahan, namun mantap, membelah jalur sunyi yang hanya ditandai jejak-jejak makhluk yang telah lama berlalu. Tidak ada rambu, tidak ada jalan. Hanya reruntuhan dan patahan batu yang menjadi penanda bahwa peradaban pernah mencoba tinggal di tanah yang tak kenal ampun ini.Perjalanan mereka tidak benar-benar tenang. Beberapa kali, mereka harus menghadapi mutan Nyxaroth yang mengendap dari balik pasir atau merayap dari celah tanah. Tidak ada bentuk yang konsisten—beberapa memiliki kulit sekeras baja, yang lain lidah bercabang dan penglihatan yang menusuk jiwa. Salah
Malam di gurun Benua Iblis tak pernah ramah. Udara dingin menggigit kulit, dan pasir yang tertiup angin menggores wajah seperti jarum halus. Di kejauhan, langit hitam yang tak berbintang menggantung diam—seolah-olah langit sendiri menahan napas, menunggu sesuatu untuk pecah. Fabio dan Thalysa menyalakan api kecil, cukup untuk memberi cahaya dan sedikit kehangatan, namun tidak cukup besar untuk menarik perhatian. Atau begitulah mereka kira. Hanya dalam sekejap mata, kesunyian itu terkoyak. Bayangan tak bernama melintas di sekitar mereka, samar dan cepat. Thalysa sudah berdiri dengan sihir di ujung jarinya, sementara Fabio mencabut pedangnya, tubuhnya kaku seperti batu, matanya menyapu gurun yang hening. Ia melihatnya—cahaya samar dari kristal merah yang bersinar dari dalam pasir, bergerak seirama napas makhluk yang tidak pernah seharusnya ada. “Bunglon?” Thalysa berbisik, kaget melihat kulit makhluk itu berubah-ubah, menyatu dengan gurun. “Nyxaroth,” jawab Fabio datar. “Tapi… berb
Benua Tengah, yang sering dijuluki sebagai "Etherian" atau "Tanah Para Dewa", merupakan wilayah yang sangat luas dan kaya akan keragaman geografis, budaya, serta spiritualitas. Dalam sejarah panjang Aetherian, Benua Tengah telah lama dianggap sebagai pusat peradaban tertua dan tempat kelahiran para kerajaan besar yang mengukir dunia dengan sihir, teknologi kuno, dan pemikiran tinggi. Julukan “Tanah Para Dewa” tidak sekadar simbolik; melainkan mencerminkan keyakinan kuno bahwa para makhluk agung pertama—baik dari langit maupun dari dalam Aether itu sendiri—pernah menjejakkan kaki di tanah ini, membentuk jejak kekuasaan yang masih terasa hingga hari ini.Secara geografis, Benua Tengah terbagi menjadi berbagai zona ekologis dan struktural yang memberikan tantangan sekaligus kekayaan tersendiri bagi para penghuninya. Di bagian utara terdapat pegunungan tinggi seperti Krinci dan Deretan Pegunungan Thalon, yang membentang dari barat hingga timur, membentuk tulang punggung benua dan menjadi
Angin panas berhembus perlahan melewati jendela kayu penginapan yang menghadap ke arah selatan kota Ebonhold. Saat matahari tergelincir pelan di atas cakrawala berwarna tembaga, Fabio duduk di kursi tua, membuka lembar demi lembar gulungan peta dan dokumen yang mereka temukan selama perjalanan. Thalysa, duduk tak jauh darinya, menyandarkan dagu di atas tangannya, matanya menyusuri garis-garis lengkung pada peta yang menggambarkan benua yang sedang mereka tapaki—Benua Iblis, tanah yang telah lama hanya disebut-sebut dalam cerita buruk dan bisikan tak berani. Malam itu tidak diisi dengan pembicaraan tentang bahaya atau kematian, melainkan percakapan pelan yang penuh dengan rasa ingin tahu. Mereka tidak sedang bersiap untuk perang atau ritual, tetapi mencoba memahami tanah tempat mereka kini berdiri.Dengan luas mencapai 9,2 juta kilometer persegi, Benua Iblis hampir menyamai ukuran Benua Utama, rumah bagi Thalos, Valtor, dan berbagai peradaban besar lainnya yang telah berdiri sejak zaman