Bibirku terasa kelu mendengar kabar kecelakaan yang menimpa Marcell. Padahal baru beberapa hari lalu aku berbicara dengannya. "Kondisinya gimana, San?" tanyaku sambil berusaha menahan air mata, berharap Marcell baik-baik saja.
"Kak Marcell sudah dibawa ke rumah sakit. Lagi di ruang ICU," balas Sandy, semakin membuat hatiku hancur.
"Kamu sekarang di mana?" tanyaku lagi, dengan suara yang sedikit gemetar.
"Aku di rumah sakit sama Bi Ikah."
"Mama? Sudah kabarin Mama?"
"Sudah, Mama lagi mau pulang."
Sandy bercerita lebih lanjut tentang kecelakaan yang menimpa Marcell. Mobil yang dikendarainya menabrak pembatas jembatan saat dia pulang setelah menjaga Mama di rumah sakit. Kecelakaan itu membuat Marcell tidak sadarkan diri hingga detik ini. Kondisinya kritis dengan luka serius di kepala, dan dokter sedang berusaha menyelamatkannya.
Tak terasa, air mataku mulai jatuh, memikirkan adikku yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Beberapa orang memandangiku dengan tatapan heran. Bagaimana bisa di tengah suasana festival yang meriah ini, aku hanya duduk sendirian di lobi hotel dan menangis.
Ting! Sebuah pesan masuk. Kuseka air mata yang sedari tadi jatuh perlahan.
Aku menatap ponsel yang ada di genggaman.
[Kak]
Tulis Sandy.
[Ya]
Kuperhatikan tombol centang abu-abu berubah menjadi biru. Sandy sudah membacanya, tapi tidak ada balasan. Notifikasi "sedang mengetik" pun tak terlihat.
[San? Ada apa?]
Kukirim beberapa pesan untuk menanyakan keadaan di sana. Lagi-lagi hanya dibaca saja. Kesal, akhirnya aku meneleponnya. Telepon diangkat. "Halo, San?" tanyaku.
Terdengar suara isak tangis di balik telepon. "Kak Zara nelpon, Den," ujar Bi Ikah, terdengar sangat sedih.
"Halo? Bi?" tanyaku, semakin khawatir.
"Maaf, Non. Den Sandy lagi nggak mau ngomong."
"Ada apa sih, Bi?"
"Non yang sabar ya," ujar Bi Ikah dengan suara pelan.
Firasatku sudah tidak enak. "Den Marcell meninggal," imbuhnya.
Seketika tubuhku lemas, seperti kehilangan separuh nyawa. Ponsel pun terlepas dari genggaman, terjatuh ke lantai. Air mata mulai mengalir deras.
Tingkahku semakin menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di lobi hotel. Kuraih ponsel di lantai, lalu berlari menuju lift. Aku tak bisa menahan derasnya air mata, sampai beberapa orang di lift menanyakan apakah aku baik-baik saja.
"Tidak! Aku tidak sedang baik-baik saja," batinku, sambil berusaha mengurai senyum di hadapan mereka.
Keluar dari lift, tanpa sengaja aku bertemu dengan Rey. Dia nampak khawatir melihat kondisiku. Berusaha mengejarku yang langsung berlari ke kamar.
Tok! Tok! Beberapa ketukan cepat terdengar di pintu. Sudah pasti itu Rey. Dia terus menanyakan, ada apa? Apa kamu baik-baik saja? Sampai dia memaksa beberapa temanku yang lain untuk membujukku membukakan pintu. Namun aku bersikeras untuk tidak membukanya.
"Tolong, tinggalkan aku sendirian!" teriakku. Namun mereka tetap memaksa, kemudian mencoba menghubungi ponsel. Cepat-cepat kumatikan saja ponselnya, lalu berbaring di tempat tidur.
Aku ingin sekali tidur, berharap semua ini hanya mimpi. Namun, setiap kali mataku terpejam, bayangan Marcell selalu muncul. Kenangan dengannya terus terbayang, mulai dari momen saat pertama kali dia hadir di dunia hingga terakhir kali kami melakukan video call. Menangis terus-terusan, membuat tubuhku lelah, hingga akhirnya tertidur.
Saat membuka mata, kulihat beberapa temanku sudah duduk di ujung tempat tidur. Termasuk Rey yang duduk di kursi di pojok kamar. Wajah mereka tersenyum, beberapa saat kemudian kami pun berpelukan. Awalnya aku tidak mau menceritakan semua permasalahanku ini, namun akhirnya aku pun menyerah dan mulai menceritakan semuanya. Mulai dari Mama yang terbaring sakit hingga Marcell yang baru saja meninggal dunia.
"Sebaiknya kamu segera pulang ke Indonesia," saran Rey.
Benar... aku harus pulang ke Indonesia.
Kuambil ponsel di atas tempat tidur. Masih dalam keadaan mati. Saat kuhidupkan, ternyata banyak notifikasi panggilan tak terjawab. Salah satunya dari Papa. Dengan gegas kulakukan panggilan telepon kepadanya. Cukup lama, sampai dia mengangkat teleponnya.
"Halo, Papa," sapaku saat telepon tersambung.
"Zara, dari pagi Papa telepon. Kamu ke mana? Kok handphonenya dimatiin?"
Aku pun menangis.
"Udah jangan nangis, kamu harus sabar," Papa berusaha menguatkanku.
"Papa."
"Ya."
"Aku mau pulang ke Indonesia," ucapku dengan suara parau.
"Kamu gak usah pulang. Sebentar lagi juga Marcell mau dimakamkan. Doakan aja Marcell dari sana. Jangan sedih. Jangan nangis. Jaga kesehatan."
"Tapi Papa... aku mau nemenin Sandy. Kasian dia sendirian."
"Ada Bi Ikah yang nemenin. Kamu jangan khawatir."
"Papa...."
"Sudah ya, Sayang. Papa lagi ngurus pemakaman."
Telepon ditutup. Aku yang kesal sampai melempar ponsel menjauh. "Gak boleh, Ya?" tanya Danila, teman kampusku yang berasal dari Indonesia. Kuanggukan kepala.
"Ya udah, sekarang kalau ada apa-apa, lu harus cerita. Semalem kita sampe panik banget loh," sambungnya.
"Apalagi Rey, dia sampe minta kunci cadangan ke resepsionis hotel. Saking khawatirnya sama lu," sambungnya lagi.
"Maaf," ucapku sambil menatap ke arah Rey yang sedang membawa dua potong roti dan segelas susu.
"Oke," balasnya sambil tersenyum.
"Lu makan dulu, pasti capek semaleman nangis terus," ucap Danila.
"Makasih," ucapku, ketika Rey meletakan sarapan untukku di atas nakas.
Danila dan Rey pun meninggalkanku sendirian di kamar. Mereka berdua sangat mengerti kalau aku masih butuh waktu untuk sendiri. Saat sedang menyantap sepotong roti, aku baru teringat dengan Sandy. Bagaimana kondisinya sekarang?
Kuambil ponsel. Ternyata ada dua pesan dari Sandy yang belum kubaca.
[Kak, kapan pulang?]
[Sandy takut, di rumah sendirian]
Cepat-cepat kubalas pesan itu.
[Bentar lagi kakak pulang. Kamu jangan takut, jangan nangis dan harus kuat.] Balasku. Walaupun kondisiku sama-sama sedang sedih dan terpuruk, tapi aku harus terlihat kuat di hadapannya.
Ternyata Sandy membaca pesanku, dia pun membalas.
[Kapan, Kak?]
[Nanti ya, Kakak masih ada ujian semester.]
[Jangan lama-lama, Kak. Sandy takut.]
(Kamu harus berani.)
[Doain secepetnya ya, San.]
[Udah dua bulan jawabannya begitu terus.] Balas Sandy.
[Ya, Kakak juga lagi usaha biar kuliahnya cepet selesai.] Dia tidak tahu, kalau aku masih mengumpulkan uang untuk biaya pulang ke Indonesia.
[Ya udah, deh.]
Pesan itu adalah pesan terakhir yang Sandy kirim. Sudah sebulan, dia tidak pernah membalas pesanku. Kata Bi Ikah, Sandy sedang marah padaku.
Bulan Februari, saat teman-temanku mulai sibuk merencanakan liburan musim dingin, aku malah mengemasi barang-barang untuk pulang ke Indonesia. Tidak satupun orang rumah tahu kalau aku akan pulang. Ini akan menjadi kejutan untuk Sandy.
Butuh waktu 24 jam untuk sampai ke kotaku. Terakhir kali pulang kira-kira satu setengah tahun lalu. Saat itu Mama lah yang menjemputku.
Jantung ini berdegup kencang, ketika mobil taksi yang kutumpangi sudah dekat dengan rumah. Aku tak sabar ingin berjumpa dengan Sandy dan memeluknya. Lalu, melihat wajah cantik Mama yang sudah tertidur selama 5 bulan terakhir ini.
Taksi pun tiba di belokan terakhir menuju rumah. Dari belokan, kulihat kondisi jalan agak ramai. Terlihat sebuah mobil ambulans terparkir di depan rumah.
Bergegas aku turun dari taksi. Hanya bisa berdiri mematung, saat melihat sebuah keranda jenazah keluar dari rumah. Tidak lama kemudian, terlihat Papa berjalan di belakangnya.
Tanpa sengaja pandangan kami pun beradu. Tampak sekali Papa terkejut dengan kedatanganku. Dia pun berjalan perlahan mendekatiku.
Papa sambil berjalan semakin dekat. Sementara aku masih menatap ambulans yang mulai menjauh, keranda jenazah itu seakan semakin menjauhkan aku dari kenyataan.
"Jenazah siapa yang ada di dalam?" batinku, namun kata-kata itu tidak bisa keluar dari mulutku. Pandanganku berkabut, jantungku berdegup kencang, seakan-akan aku tidak bisa bernapas.
Papa berhenti tepat di hadapanku. Tatapan kami bertemu, dan aku bisa melihat kejutan dan kesedihan yang terbayang di wajahnya. "Zara?" panggilnya lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut.
BERSAMBUNG
Sejam berlalu dengan hening, kami hanya duduk diam di dalam kamar, memproses segala yang baru saja terjadi. Keheningan ini hanya dipecahkan oleh suara pintu yang tiba-tiba terbuka."Kriet!" Pintu bergerak, dan seorang perawat masuk untuk memeriksa kondisi Mama. Kami segera menoleh ke arah pintu.“Zara, kamu tidak mau keluar cari sarapan?” tanya Mama, sambil melirikku saat perawat sedang memeriksanya.“Iya, Bun. Sebentar,” jawabku sambil melirik ke arah Andre, yang masih tenggelam dalam pandangannya pada ponsel."Udah aman," bisik Tante Vira, memberi isyarat bahwa situasi sudah terkendali.Aku kemudian bangkit, menarik tangan Andre yang masih terbuai dengan layar ponselnya. Dengan langkah ragu, aku melangkah keluar kamar.Kami memilih untuk membeli sarapan di sekitar rumah sakit, tidak ingin pergi terlalu jauh. Tubuhku memang sangat lelah, dan kurang tidur membuat langkahku semakin berat.Setelah sarapan, kami m
Aku berdiri di dekat pintu kamar rumah sakit, menatap ke arah tempat tidur tempat Mama berbaring. Mataku penuh haru, seolah tak percaya bahwa Mama akhirnya sadar setelah sekian lama koma. Aku merasa gugup, hatiku dipenuhi banyak perasaan yang sulit dijelaskan."Mama!" Aku memanggilnya pelan, sedikit gemetar. Langkahku menuju ranjang Mama semakin mendekat."Zara..." Suara Mama terdengar lembut, namun penuh kesedihan. Matanya yang sembab menunjukkan betapa lelah dan terlukanya hati seorang ibu."Apa yang terjadi, Bun? Kenapa Mama bisa begini?" Tanyaku, mencoba untuk mencari jawaban atas semua yang sudah terjadi. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku."Kenapa kamu enggak bilang kalau Marcell dan Sandy sudah meninggal?" Mama akhirnya bertanya, suaranya terputus-putus. Ia tampak begitu terpukul dengan kenyataan yang harus diterimanya."Maafkan Zara, Mama," jawabku dengan suara yang hampir pecah. Aku menggenggam tangan Mama, merasakan
Mataku terasa berat, saat mendengar kabar tentang kepergian Papa. Meskipun dia telah melakukan hal-hal yang tak termaafkan, dia tetaplah orang tua kandungku. Tidak mudah untuk mengabaikan rasa itu begitu saja."Zara, kamu di mana sekarang?" suara Om Har terdengar penuh kecemasan dari ujung telepon."Zara udah pulang ke Jerman, Om," jawabku sambil berusaha menahan suara yang mulai serak."Jangan bohong, Zara," jawab Om Har dengan nada yang tegas. "Tadi pagi Papa telepon, dia tanya kamu ada di rumah Om. Berarti kamu masih ada di Indonesia, kan?"Aku terdiam. Menghadapi kenyataan ini begitu sulit. Tidak tahu apa yang harus aku katakan."Zara, kamu kenapa sih? Sebenernya kamu ada masalah apa sama Papa?" Om Har kembali bertanya, seolah merasa ada sesuatu yang tak beres."Enggak ada masalah apa-apa, Om," jawabku, meskipun dalam hatiku ada banyak hal yang ingin kuungkapkan.Om Har mendengus pelan. "Zara, bohong lagi. Om tahu ada yang kamu se
Kereta yang aku tumpangi akhirnya sampai di Stasiun Yogyakarta tepat pukul lima sore. Dengan cepat, aku keluar dari gerbong dan langsung mencari transportasi yang bisa membawaku ke rumah Tante Vira. Berdasarkan alamat yang Mama berikan, rumah Tante Vira tak terlalu jauh dari stasiun.Tak lama setelah aku melangkah keluar stasiun, sebuah taksi melintas di depanku. Aku segera melambaikan tangan, menghentikan taksi tersebut. Setelah itu, aku memberitahu alamat yang hendak dituju. Sang sopir pun mengangguk dan segera menyalakan mesin taksi.Di dalam taksi, aku hanya duduk dengan tenang dan memandang pemandangan sekitar. Aku menikmati suasana Jogja yang mulai senja, udara yang terasa segar, dan kedamaian yang hadir setelah dua minggu penuh kecemasan dan ketegangan. Rasanya, sudah lama sekali aku tidak merasa seutuh ini—tenang dan bebas.Setelah beberapa menit berkendara, taksi mulai memasuki kawasan perumahan dengan rumah-rumah bergaya minimalis. Aku menatap se
Aku merasakan tubuhku dihantam keras ke tanah. Rasanya seperti terjatuh dari ketinggian yang luar biasa. Nafasku sesak, dadaku terasa panas dan berdetak keras, namun aku tetap bertahan. Perlahan aku membuka mata. Sesosok wajah yang aku kenal muncul di hadapanku, wajah yang selama ini menjadi simbol perlindunganku, yang seharusnya menjadi tempatku bersandar. Wajah itu adalah Papa."Zara, sayang," Papa memanggil dengan lembut, mencoba mendekatiku. Namun saat mataku menatapnya, amarahku kembali membara. Selama ini, dia lah yang menjadi sumber penderitaanku dan keluargaku. Dia yang menyebabkan kematian Marcell, Sandy, dan Mbok Ikah. Dia juga yang membuat Mama terbaring tak sadar."Papa!" aku berteriak, merasa sakit hati yang dalam. Rasanya aku ingin marah dan mengungkapkan semua kekesalanku, tapi kata-kata itu hanya keluar dalam isakan. "Papa jahat!" teriakku lagi, mendorong tubuhnya yang berdiri di dekatku. Aku tidak ingin ada yang menyentuhku, apalagi seorang pembunuh.
Aku berlari mendekati kamar Papa, jantungku berdebar kencang. Namun, langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar. Dari dalam kamar terdengar suara Papa sedang berbicara dengan seseorang, namun kata-katanya terdengar tegang, seperti ada ketegangan yang begitu kuat."Apa yang kamu mau di sini?" suara Papa terdengar keras, menahan amarah."Saya ingin tahu janjimu!" jawab suara seorang wanita dengan nada tinggi dan penuh desakan."Saya sudah bilang, sabar!" Papa membalas dengan nada suara yang semakin meninggi."Waktunya sudah semakin dekat. Kamu masih harus cari dua tumbal lagi!" wanita itu berbicara dengan nada yang semakin tinggi, hampir seperti mengancam."Atau saya akan ambil anak itu!" lanjut wanita itu, yang membuat seluruh tubuhku merasa dingin.Kakiku terasa lemas. Bagaimana bisa Papa terlibat dalam semua ini? Bagaimana dia bisa tega mengorbankan anak-anaknya? Bahkan, sekarang aku menjadi sasarannya. Tiba-tiba, semua terasa seperti mi