Home / Horor / mungkin esok aku mati / Bab 3. Penyakit Misterius

Share

Bab 3. Penyakit Misterius

Author: erlee story
last update Last Updated: 2025-01-13 19:25:12

Di tengah kecemasan akan kondisi Mama, tiba-tiba ponselku berbunyi. "Papa?" batinku saat melihat nama yang tertera di layar ponsel. Segera aku mengangkat panggilan telepon itu.

"Hal..."

Belum sempat Papa menyapa, aku sudah memotongnya terlebih dahulu. "Papa lagi ngapain sih? Gak tahu apa di rumah lagi gawat!" ucapku kesal.

"Gawat?" Papa terdengar terkejut.

"Iya, Mama sakit, sekarang lagi dibawa ke rumah sakit," balasku dengan suara tegang. "Mending sekarang Papa buru-buru pulang, kasihan Mama. Marcell sama Sandy juga gak mungkin bisa urus Mama di rumah sakit!" lanjutku.

"Iya, besok pagi Papa pulang," jawab Papa singkat.

"Papa juga gak jujur kalau usaha mebelnya lagi ada masalah! Kenapa gak jujur aja sih, Papa?" aku tidak bisa menahan emosi yang sudah terpendam.

"Mama cerita?" tanya Papa.

"Iya, kan emang udah seharusnya Zara tahu." jawabku, semakin kesal.

"Bukan gitu, Zara. Papa takut nanti kuliahmu keganggu. Pokoknya sekarang kamu gak usah khawatir, Papa sudah dapat solusinya."

"Tapi, janji. Kalau ada masalah lagi, Papa harus cerita," tekanku, berharap Papa mendengarkan.

"Iya, sayang. Udah ya, Papa mau siap-siap, biar besok bisa langsung pulang."

"Oke."

Telepon ditutup. Aku merasa sedikit lega setelah berbicara dengan Papa, meskipun rasa khawatirku tetap menggelayuti.

Selang beberapa menit, sebuah pesan masuk.

[Kak, ini udah sampai rumah sakit] tulis Sandy.

[Kabarin kakak terus ya, Cell] balasku.

[Iya, Kak]

Sandy terus memberiku kabar terbaru tentang kondisi Mama. Katanya, Mama langsung dimasukkan ke ruang ICU karena kondisinya memburuk selama perjalanan ke rumah sakit. Mama juga sempat teriak-teriak karena tak kuat menahan rasa sakitnya. Beberapa kali kejang-kejang hingga akhirnya tak sadarkan diri. Dokter masih terus melakukan tindakan intensif.

Sepanjang malam, Sandy, Marcell, dan Bi Ikah berjaga di rumah sakit, karena khawatir kalau kondisi Mama tiba-tiba semakin buruk. Begitu pula aku yang tetap terjaga, meski berada jauh dari rumah. Sampai akhirnya aku tertidur...

Entah berapa lama aku tertidur. Saat bangun, aku merasa basah kuyup di bantal. Kulihat jam, waktu menunjukan pukul 7 pagi. "Ya ampun, Mama!" ucapku panik sambil mencari ponsel yang terjatuh ke lantai.

[10 pesan dari Sandy belum dibaca]

Aku buru-buru membuka pesan-pesan itu, sambil berharap tidak ada kabar buruk yang masuk di pagi hari ini. Aku membaca pesan Sandy dengan hati-hati. Ternyata, dia hanya ingin memberitahu bahwa kondisi Mama sudah stabil. Papa juga sudah datang ke rumah sakit dan langsung menyuruh Sandy, Marcell, dan Bi Ikah untuk istirahat di rumah.

Setiap hari aku terus memantau kondisi Mama di rumah sakit. Entah berapa banyak air mata yang kutumpahkan, setiap kali melihat foto Mama yang terbaring tak berdaya. Rasanya ingin sekali pulang ke Indonesia, tapi Papa selalu melarangku.

Sampai detik ini, dokter masih belum bisa memberikan gambaran tentang penyakit Mama. Beberapa kali didiagnosis penyakit A, B, dan C, namun semuanya terbantahkan setelah hasil tes medisnya menunjukkan kondisi yang normal. Lantas apa penyebabnya Mama tak sadarkan diri sampai sekarang? Aku benar-benar bingung.

Di hari ke-6, tiba-tiba Marcell video call.

"Pagi, Kak," sapa Marcell. "Eh, di sana pagi apa siang sih, Kak?" sambungnya, mencoba bercanda.

"Subuh! Gak liat apa muka kakak baru bangun tidur gini," jawabku dengan suara lemas, mencoba mengusir rasa kantuk.

"Oh maaf," kata Marcell dengan suara canggung.

"Ada apa video call jam segini? Mama gak kenapa-kenapa, kan?" tanyaku dengan cemas.

"Mama masih belum sadar, tapi..."

"Tapi apa? Jangan bikin penasaran."

"Semalam Mama sempat bangun loh, Kak."

"Beneran?"

"Iya! Kata Bi Ikah, Mama sempat bangun."

"Terus, terus gimana?"

"Mama minta minum, terus bilang..."

"Bilang apa? Ngomong kok dipotong-potong!"

Kuperhatikan wajah Marcell yang tiba-tiba berubah muram. "Kata Mama, badannya panas dan sakit kaya ditusuk-tusuk ribuan jarum," ucapnya, sedikit terbata.

"Terus!"

"Sebelum gak sadar lagi, Mama kayak melotot ke langit-langit. Enggak tahu ngelihat apa, kayak ketakutan gitu."

"Hah? Aneh banget."

"Makanya, aneh banget. Aku pas diceritain Bi Ikah sampai merinding."

"Dokter udah periksa?"

"Udah, tapi sama aja. Mama masih belum sadar," jawab Marcell seraya menyorotkan kamera ke arah tempat tidur Mama.

"Sekarang, kamu jaga Mama baik-baik," kataku dengan suara penuh kekhawatiran.

"Iya, Kak."

"Dah, Kakak mau lanjut tidur."

"Oke, Kak."

Video call selesai, dan aku meletakkan ponsel di atas nakas sebelum kembali memejamkan mata. Tapi, tidurku tidak nyenyak. Pikiran tentang Mama terus menghantui.

Hari terus berlalu, dan aku mendapatkan kabar kalau Papa kembali pergi ke luar kota. Katanya, ada urusan bisnis yang harus diselesaikan. Beberapa hari lalu, Papa sempat cerita bahwa bisnisnya sudah mulai berjalan lagi. Hutang pun sudah dilunasi sebagian. Setidaknya itu menjadi kabar baik di tengah musibah yang menimpa keluargaku.

Siang ini, aku hanya menghabiskan waktu dengan duduk di balkon apartemen. Memandangi suasana kota Berry yang indah. Saat musim gugur seperti ini, biasanya ada banyak festival dan perayaan. Salah satunya adalah Oktoberfest yang sedang berlangsung di Munich, Jerman.

Rencananya sore ini, aku dan teman-teman kampus akan pergi ke sana. Setidaknya ini bisa menjadi hiburan bagiku, daripada terus mengurung diri di apartemen.

Sekitar pukul 4 sore, jemputanku sudah datang. Teman kampusku—Rey—yang berada di kursi kemudi, sedangkan aku duduk di sampingnya. Setelah menjemput beberapa teman lainnya, kami langsung meluncur menuju Munich. Jaraknya cukup jauh, membutuhkan waktu sekitar 5-6 jam untuk sampai di sana.

Melakukan perjalanan jauh bersama teman-teman seharusnya menyenangkan. Namun, entah kenapa perasaanku malah sebaliknya. Kubuka sedikit jendela mobil, merasakan hembusan angin dingin yang menerbangkan rambutku. Tak terasa, air mata pun jatuh. "Ada apa ini?" batinku sambil menyeka air mata dengan lengan sweater.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Rey sambil menepuk pundakku.

"Saya baik-baik saja," balasku dengan suara pelan, sambil menutup jendela. Sikapku itu membuat beberapa temanku heran. Bagaimanapun, mereka tidak tahu masalah yang sedang menimpaku.

Sesampainya di Munich, suasananya jauh berbeda. Jalanan sudah sangat ramai dengan pejalan kaki. Rey langsung memarkirkan mobil, lalu kami melanjutkan perjalanan ke tempat festival.

Hiruk pikuk suara musik terus menemani kami sepanjang jalan. Sejenak, aku bisa melupakan masalah yang menimpa keluargaku. Aku mulai larut dalam suasana pesta yang meriah. Namun, tak sadar, saat sedang menikmati keramaian itu, ponselku tiba-tiba berdering. Sebuah panggilan telepon dari Sandy.

Aku segera keluar dari keramaian dan menuju lobi hotel untuk menjawab telepon. Suara Sandy terdengar cemas.

"Kak, ke mana aja sih!" hardiknya dengan suara cemas.

"Ada apa, Sandy?" tanyaku, suara tiba-tiba terasa serak.

"Gak tahu apa di sini lagi gawat?" jawabnya, sesak dengan isak tangis.

"Hah? Mama kenapa?" aku panik, jantungku berdetak lebih kencang.

"Bukan Mama!" jawab Sandy disertai isak tangis yang semakin keras.

"Cell? Kenapa nangis?" Aku semakin cemas.

"Kak Marcell..." suara Sandy terputus karena tangisannya.

"Kenapa Marcell?" Tiba-tiba seluruh tubuhku kaku. Jantungku seperti berhenti berdetak.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • mungkin esok aku mati   Bab 25. Tumbal Terakhir

    Sejam berlalu dengan hening, kami hanya duduk diam di dalam kamar, memproses segala yang baru saja terjadi. Keheningan ini hanya dipecahkan oleh suara pintu yang tiba-tiba terbuka."Kriet!" Pintu bergerak, dan seorang perawat masuk untuk memeriksa kondisi Mama. Kami segera menoleh ke arah pintu.“Zara, kamu tidak mau keluar cari sarapan?” tanya Mama, sambil melirikku saat perawat sedang memeriksanya.“Iya, Bun. Sebentar,” jawabku sambil melirik ke arah Andre, yang masih tenggelam dalam pandangannya pada ponsel."Udah aman," bisik Tante Vira, memberi isyarat bahwa situasi sudah terkendali.Aku kemudian bangkit, menarik tangan Andre yang masih terbuai dengan layar ponselnya. Dengan langkah ragu, aku melangkah keluar kamar.Kami memilih untuk membeli sarapan di sekitar rumah sakit, tidak ingin pergi terlalu jauh. Tubuhku memang sangat lelah, dan kurang tidur membuat langkahku semakin berat.Setelah sarapan, kami m

  • mungkin esok aku mati   Bab 24. Teror itu sudah datang

    Aku berdiri di dekat pintu kamar rumah sakit, menatap ke arah tempat tidur tempat Mama berbaring. Mataku penuh haru, seolah tak percaya bahwa Mama akhirnya sadar setelah sekian lama koma. Aku merasa gugup, hatiku dipenuhi banyak perasaan yang sulit dijelaskan."Mama!" Aku memanggilnya pelan, sedikit gemetar. Langkahku menuju ranjang Mama semakin mendekat."Zara..." Suara Mama terdengar lembut, namun penuh kesedihan. Matanya yang sembab menunjukkan betapa lelah dan terlukanya hati seorang ibu."Apa yang terjadi, Bun? Kenapa Mama bisa begini?" Tanyaku, mencoba untuk mencari jawaban atas semua yang sudah terjadi. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku."Kenapa kamu enggak bilang kalau Marcell dan Sandy sudah meninggal?" Mama akhirnya bertanya, suaranya terputus-putus. Ia tampak begitu terpukul dengan kenyataan yang harus diterimanya."Maafkan Zara, Mama," jawabku dengan suara yang hampir pecah. Aku menggenggam tangan Mama, merasakan

  • mungkin esok aku mati   Bab 23: Menemui Mbah Susno

    Mataku terasa berat, saat mendengar kabar tentang kepergian Papa. Meskipun dia telah melakukan hal-hal yang tak termaafkan, dia tetaplah orang tua kandungku. Tidak mudah untuk mengabaikan rasa itu begitu saja."Zara, kamu di mana sekarang?" suara Om Har terdengar penuh kecemasan dari ujung telepon."Zara udah pulang ke Jerman, Om," jawabku sambil berusaha menahan suara yang mulai serak."Jangan bohong, Zara," jawab Om Har dengan nada yang tegas. "Tadi pagi Papa telepon, dia tanya kamu ada di rumah Om. Berarti kamu masih ada di Indonesia, kan?"Aku terdiam. Menghadapi kenyataan ini begitu sulit. Tidak tahu apa yang harus aku katakan."Zara, kamu kenapa sih? Sebenernya kamu ada masalah apa sama Papa?" Om Har kembali bertanya, seolah merasa ada sesuatu yang tak beres."Enggak ada masalah apa-apa, Om," jawabku, meskipun dalam hatiku ada banyak hal yang ingin kuungkapkan.Om Har mendengus pelan. "Zara, bohong lagi. Om tahu ada yang kamu se

  • mungkin esok aku mati   Bab 22. Kecelakaan

    Kereta yang aku tumpangi akhirnya sampai di Stasiun Yogyakarta tepat pukul lima sore. Dengan cepat, aku keluar dari gerbong dan langsung mencari transportasi yang bisa membawaku ke rumah Tante Vira. Berdasarkan alamat yang Mama berikan, rumah Tante Vira tak terlalu jauh dari stasiun.Tak lama setelah aku melangkah keluar stasiun, sebuah taksi melintas di depanku. Aku segera melambaikan tangan, menghentikan taksi tersebut. Setelah itu, aku memberitahu alamat yang hendak dituju. Sang sopir pun mengangguk dan segera menyalakan mesin taksi.Di dalam taksi, aku hanya duduk dengan tenang dan memandang pemandangan sekitar. Aku menikmati suasana Jogja yang mulai senja, udara yang terasa segar, dan kedamaian yang hadir setelah dua minggu penuh kecemasan dan ketegangan. Rasanya, sudah lama sekali aku tidak merasa seutuh ini—tenang dan bebas.Setelah beberapa menit berkendara, taksi mulai memasuki kawasan perumahan dengan rumah-rumah bergaya minimalis. Aku menatap se

  • mungkin esok aku mati   Bab 21: Tak Disangka

    Aku merasakan tubuhku dihantam keras ke tanah. Rasanya seperti terjatuh dari ketinggian yang luar biasa. Nafasku sesak, dadaku terasa panas dan berdetak keras, namun aku tetap bertahan. Perlahan aku membuka mata. Sesosok wajah yang aku kenal muncul di hadapanku, wajah yang selama ini menjadi simbol perlindunganku, yang seharusnya menjadi tempatku bersandar. Wajah itu adalah Papa."Zara, sayang," Papa memanggil dengan lembut, mencoba mendekatiku. Namun saat mataku menatapnya, amarahku kembali membara. Selama ini, dia lah yang menjadi sumber penderitaanku dan keluargaku. Dia yang menyebabkan kematian Marcell, Sandy, dan Mbok Ikah. Dia juga yang membuat Mama terbaring tak sadar."Papa!" aku berteriak, merasa sakit hati yang dalam. Rasanya aku ingin marah dan mengungkapkan semua kekesalanku, tapi kata-kata itu hanya keluar dalam isakan. "Papa jahat!" teriakku lagi, mendorong tubuhnya yang berdiri di dekatku. Aku tidak ingin ada yang menyentuhku, apalagi seorang pembunuh.

  • mungkin esok aku mati   Bab 20. Terungkap

    Aku berlari mendekati kamar Papa, jantungku berdebar kencang. Namun, langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar. Dari dalam kamar terdengar suara Papa sedang berbicara dengan seseorang, namun kata-katanya terdengar tegang, seperti ada ketegangan yang begitu kuat."Apa yang kamu mau di sini?" suara Papa terdengar keras, menahan amarah."Saya ingin tahu janjimu!" jawab suara seorang wanita dengan nada tinggi dan penuh desakan."Saya sudah bilang, sabar!" Papa membalas dengan nada suara yang semakin meninggi."Waktunya sudah semakin dekat. Kamu masih harus cari dua tumbal lagi!" wanita itu berbicara dengan nada yang semakin tinggi, hampir seperti mengancam."Atau saya akan ambil anak itu!" lanjut wanita itu, yang membuat seluruh tubuhku merasa dingin.Kakiku terasa lemas. Bagaimana bisa Papa terlibat dalam semua ini? Bagaimana dia bisa tega mengorbankan anak-anaknya? Bahkan, sekarang aku menjadi sasarannya. Tiba-tiba, semua terasa seperti mi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status