Share

Godaan Awal

Author: NomNom69
last update Last Updated: 2025-09-02 11:32:11

Aroma nasi goreng tercium memenuhi dapur kecil itu. Luki duduk di kursi, masih agak mengantuk, sementara Tante Sarah sibuk menuang teh hangat ke gelas. Pagi itu ia hanya mengenakan daster pendek yang agak ketat, membuat suasana jadi berbeda.

“Bangun jam segini aja udah untung. Kalau masih tinggal sama mamamu, bisa dimarahin habis-habisan,” kata Sarah sambil duduk di seberang meja.

“Hehe... iya Tan, aku lagi adaptasi. Soalnya di sini lebih nyantai,” jawab Luki, mencoba tenang.

Ia menyuap nasi goreng, tapi pikirannya ke mana-mana. Matanya tak sengaja melirik ke arah Tante Sarah, lalu buru-buru kembali menunduk. Namun, rasa penasaran membuatnya melirik lagi beberapa detik kemudian.

“Enak nggak masakanku?” tanya Sarah sambil menatapnya.

“Enak kok, Tan... enak,” jawabnya cepat, padahal lidahnya tak begitu fokus merasakan.

“Lho, kok jawabnya kayak orang bohong gitu?” ujarnya sambil tersenyum kecil.

Luki mencoba mengalihkan dengan meminum tehnya. Tapi sekali lagi, matanya terpaku pada lekuk tubuh Tante Sarah yang terlihat jelas di balik daster ketat itu. 

Ia menelan ludah, berharap Sarah tidak sadar.

Selesai sarapan, Luki bersandar di sofa ruang tamu sambil menikmati kopi hangat. Pagi terasa tenang, sampai suara Tante Sarah memanggilnya dari arah dapur.

“Luk, tolongin Tante sebentar. Ada barang yang mau dipindahin ke gudang.”

“Sekarang, Tan?” sahutnya.

“Iya, mumpung kamu belum ngapa-ngapain.”

Dengan malas ia berdiri, lalu mengikuti Sarah ke gudang kecil di belakang rumah. 

Ruangannya sempit, penuh kardus dan perabot lama. Bau debu bercampur dengan aroma 

sabun dari tubuh Sarah yang masih terasa segar.

“Taruh sini aja, Luk,” ujar Sarah sambil jongkok menyingkirkan beberapa kotak.

“Oke, Tan.” Luki ikut jongkok, tapi ruangnya terlalu sempit hingga bahunya hampir bersentuhan dengan tubuh Sarah.

Ketika mereka sama-sama berbalik, tangan mereka bersentuhan tanpa sengaja. Luki refleks menarik tangannya, wajahnya memanas. Sarah hanya tersenyum samar, seolah sengaja membiarkan momen itu terjadi.

“Luk, kamu gak kepikiran nyari kerja? Masa hari hari cuma mau bantuin Tante angkat kardus aja,” ucap Sarah sambil menatapnya.

Luki terdiam, merasa malu. “Iya, Tan… aku lagi coba cari-cari. Tapi ya, agak susah. Apalagi nama keluarga kita udah jelek gara-gara kasus Papa.”

Sarah tersenyum samar, tapi matanya penuh arti. “Santai aja, sambil nunggu kerjaan, kamu bisa bantu Tante di rumah. Bayarannya... nanti kita pikirin.” 

“Ternyata udah dewasa juga kamu, ya,” lanjutnya, nada suaranya setengah menggoda. “Tante pikir kamu cuma mau main game aja.”

Luki menunduk, pura-pura sibuk menggeser kardus. “Hehe... iya Tan, masa aku mau kecil terus.”

“Tapi tetap aja Tante agak kaget,” Sarah terkekeh pelan, lalu sengaja berdiri begitu dekat hingga jarak mereka hanya sejengkal.

Gudang yang sempit membuat Luki merasa terhimpit. Jantungnya berdegup kencang, pikirannya kacau, sementara tatapan Tante Sarah seolah menelanjangi perasaannya. Bagi Luki, detik itu terasa seperti ujian berat—antara menahan diri atau terbawa suasana.

Hari-hari berikutnya, Luki mulai terbiasa dengan ritme hidup baru di rumah kecil itu. Sesekali ia membantu Tante Sarah mencuci piring di dapur, atau menyiram tanaman di halaman depan. Ada juga momen santai di mana mereka duduk berdua sambil ngopi atau sekadar nonton TV.

Meski begitu, ada hal yang selalu mengganggu pikirannya. Setiap kali bersama, entah sengaja atau tidak, Tante Sarah kerap membuatnya salah tingkah. Dari daster yang terlalu santai sampai tawa kecil yang terasa menggoda, semua menempel di kepala Luki.

Sore itu, mereka duduk di ruang tamu. TV menayangkan acara talkshow, tapi Luki tidak terlalu fokus. Pandangannya tertuju pada Tante Sarah yang duduk di sofa, wajahnya terlihat lelah, satu tangan memegangi bahu.

“Tante kenapa? Pegel-pegel ya?” tanya Luki, memperhatikan ekspresinya.

“Iya, kayaknya terlalu banyak kerjaan tadi pagi. Terus emang kurang olahraga juga, Jadi agak kaku bahunya,” jawab Sarah dengan suara datar.

“Mau aku pijitin nggak, Tan?” ucapnya spontan.

Sarah menoleh sebentar, lalu tersenyum kecil. “Boleh deh, kalau kamu nggak sibuk.”

“Santai kok, Tan,” jawab Luki sambil berdiri di belakang sofa.

Ia mulai memijat bahu Sarah dengan perlahan. Awalnya canggung, tapi lama-lama tangannya menemukan ritme. Sarah menutup mata, menikmati sentuhan ringan itu, sementara Luki mencoba menahan degup jantungnya yang makin kencang.

“Wah... ternyata kamu bisa juga mijit,” komentar Sarah dengan nada santai.

“Hehe, ya lumayan lah. Belajar otodidak,” jawab Luki, pura-pura tenang.

Dalam hati, Luki sadar—momen sederhana seperti ini justru lebih berbahaya baginya. Semakin sering dekat, semakin sulit baginya untuk mengendalikan pikirannya.

Suasana ruang tamu sore itu terasa tenang. TV masih menyala dengan volume kecil, tapi perhatian Luki sepenuhnya ada pada pijatan yang sedang ia lakukan. Tangannya bergerak pelan di bahu Tante Sarah, mencoba mengurangi rasa pegal yang tadi ia keluhkan.

Awalnya, pijatan itu sederhana. Namun, daster longgar yang dikenakan Sarah membuat mata Luki tak bisa fokus. Dari sudut pandangnya, sedikit terlihat belahan yang membuatnya salah tingkah. Ia berusaha menatap lurus ke depan, tapi sesekali matanya tetap melirik ke arah itu.

“Luk… bisa agak turun dikit nggak? Di sini masih pegel,” ujar Sarah lembut sambil menyentuh bagian atas dadanya, tepat di bawah bahu.

“Oh… iya, Tan,” jawab Luki cepat, suaranya sedikit bergetar.

Dengan ragu, tangannya bergeser ke arah yang dimaksud. Jemarinya menekan perlahan, bukan hanya memijat tapi seolah mengelus. Sarah memejamkan mata, wajahnya terlihat menikmati sekaligus menyimpan senyum samar.

“Hmm… iya, gitu enak. Ternyata kamu lumayan juga mijitnya,” ucap Sarah santai, tapi nadanya terdengar menggoda.

“Hehe… cuma belajar sendiri, Tan,” jawab Luki dengan canggung.

Pikiran Luki mulai tidak karuan. Ia tahu seharusnya ini hanya pijatan biasa, tapi ekspresi Sarah membuat suasana terasa berbeda. Apalagi jaraknya begitu dekat, aroma sabun dari tubuhnya masih tercium jelas.

Sarah lalu membuka mata, melirik ke belakang dengan senyum tipis. “Kenapa gak dari dulu aja ya, kamu tinggal sama Aku, Luk.”

Deg! Kalimat itu menusuk pikiran Luki. Tangannya seketika kaku, tapi Sarah hanya terkekeh pelan, seolah sengaja menambah ketegangan.

Dalam hati, Luki menahan napas. Ia sadar, pijatan sederhana ini berubah jadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • terjebak Gairah Liar Tante Sarah   Anissa

    Luki terperanjat begitu melihat sosok yang memanggilnya. Seorang wanita dengan senyum ramah berdiri tidak jauh dari mereka. “Anissa…?” gumam Luki pelan, hampir tidak percaya bisa bertemu di sini.“Eh, iya Luk! Lama banget nggak ketemu,” sapa Anissa sambil melangkah mendekat.“Iya, aku juga kaget ketemu kamu di sini,” jawab Luki, suaranya agak gugup.Sarah yang berdiri di sampingnya ikut melirik penuh rasa ingin tahu.“Luk, kenalin dong, ini siapa?” tanya Sarah dengan nada santai namun jelas.“Oh, ini… Anissa, temen aku,” jawab Luki cepat, matanya tak berani menatap lama ke arah Sarah.Anissa tersenyum sopan, lalu menatap wanita di samping Luki.Sarah langsung merespons dengan percaya diri, senyumnya tidak goyah sedikit pun. “Halo, aku Sarah. Mbaknya Luki.”“Ohh, mbaknya ya,” Anissa mengangguk sopan. “Salam kenal, Mbak Sarah.”Luki hanya terdiam, merasa dadanya semakin sesak karena jawaban itu.Dalam hati, Anissa sempat bingung. Bukannya mbak Luki itu Ajeng ya? pikirnya singkat. Namun

  • terjebak Gairah Liar Tante Sarah   Siapa Dia?

    Mobil berhenti di area parkir supermarket yang cukup ramai. Sarah mematikan mesin lalu melepas sabuk pengamannya dengan santai. Luki ikut turun, matanya sempat menyapu sekeliling.Beberapa pria yang lewat terlihat melirik ke arah Sarah. Dengan penampilan sederhana tapi tetap menonjol, aura dewasanya jelas menarik perhatian. Luki menelan ludah, merasa risih sekaligus bangga.“Tante kayaknya jadi pusat perhatian, deh,” gumam Luki sambil mendekat.“Biarin aja, yang penting aku sama kamu sekarang,” jawab Sarah sambil tersenyum.“Tante sengaja bikin aku deg-degan ya?” Luki membalas setengah bercanda.Sarah pura-pura tak menggubris, lalu melangkah menuju pintu masuk supermarket. Namun sebelum jauh, ia sengaja meraih tangan Luki dan menggenggamnya erat. Gerakan sederhana itu membuat kepala Luki berputar.“Tan…” Luki berbisik kaget.“Kenapa? Kita keliatan lebih cocok ya kalau begini, kan?” Sarah menatapnya dengan tatapan genit.“Tante gak takut orang mikir aneh?” Luki menelan ludah.Sarah ter

  • terjebak Gairah Liar Tante Sarah   Titik Awal Candu

    Pagi itu cahaya matahari mulai menembus tirai kamar. Tante Sarah sudah terjaga lebih dulu, duduk di tepi ranjang sambil menatap wajah Luki yang masih terlelap. Ada senyum hangat di bibirnya, seolah baru menemukan sesuatu yang selama ini hilang. Pelan-pelan ia mengusap pipi Luki dengan ujung jari. Luki menggeliat kecil, matanya mulai terbuka setengah sadar. Begitu melihat Sarah, jantungnya langsung berdegup kencang. “Pagi, Luki sayang,” ucap Sarah lembut. “Pagi, Tan…” Luki menjawab dengan suara serak bangun tidur. “Tante kira kamu masih mimpi, ternyata udah melek juga,” Sarah tersenyum manis. Luki merasa canggung sekaligus hangat dengan sapaan itu. Bukan sapaan biasa, melainkan seperti seorang kekasih yang penuh kasih. Sarah lalu berdiri, meraih dasternya yang tergeletak di kursi. Ia mengenakan dasternya kembali, menyamarkan sisa-sisa malam yang baru saja mereka lewati. Namun sebelum melangkah pergi, ia kembali menoleh pada Luki. Pandangannya lembut, tak ada penyesalan di sana.

  • terjebak Gairah Liar Tante Sarah   Malam Berkeringat

    Ranjang Luki bergoyang pelan saat mereka duduk semakin rapat. Cahaya senter ponsel yang diarahkan ke atas membuat kamar remang, cukup untuk memperlihatkan wajah satu sama lain. Tatapan Tante Sarah tak lagi ragu, penuh keberanian.Tangannya terulur, menyentuh pipi Luki dengan lembut. Luki terdiam, tubuhnya menegang, tapi tidak menghindar. Sentuhan itu membuatnya justru semakin berani menatap balik.“Tan… apa tante yakin?" tanya Luki pelan.“Yakin. Kamu mau kan bantu Tante, Sayang?" jawab Sarah mantap.“Mmm.. Iya Tan,” balas Luki lirih.Sarah tersenyum, lalu jemarinya menelusuri rahang Luki. Tubuhnya mendekat, napasnya terasa hangat di wajah Luki. Jarak mereka kini tinggal setipis udara.“Kamu deg-degan banget,” ucap Sarah menggoda.“Siapa yang gak deg-degan kalau sedekat ini sama tante,” jawab Luki sambil menahan napas.“Hm… Kamu beneran bantu Tante?” tanyanya memastikan.Luki menatap mata tante, kali ini tanpa menunduk. “Iya Tan,” ucapnya jujur.Sarah tertawa kecil, puas dengan jawaba

  • terjebak Gairah Liar Tante Sarah   Hasrat yang semakin Berani

    Tiba-tiba listrik padam, seluruh rumah gelap gulita. Luki yang masih berdiri di depan pintu kamar Tante Sarah langsung terkejut. Tante Sarah juga kaget, lalu refleks memanggil.“Luki? Kamu di situ ya?” tanyanya pelan.“I-iya, Tan…,” jawab Luki gugup sambil menahan napas.“Jangan kemana-mana, tunggu di situ dulu,” ucap Tante Sarah sambil meraba meja mencari sesuatu.Ia menemukan ponselnya dan langsung menyalakan senter. Cahaya putih membuat wajahnya terlihat jelas dari celah pintu. Luki hanya berdiri kaku, tidak tahu harus bagaimana.“Hhh, syukurlah ketemu juga,” gumam Tante Sarah lega.“Gelap gini bikin jantung deg-degan,” tambahnya sambil menghela napas.“Luk, temenin tante ya… tante gak mau sendirian,” pintanya sambil tersenyum samar.Luki mengangguk cepat. Ia melangkah pelan ke arah pintu, seolah ingin masuk. Namun Tante Sarah buru-buru menghentikannya dengan nada menggoda.“Eh, jangan masuk kamar tante,” ucapnya tiba-tiba.“Kenapa, Tan? Aku nemenin aja kok,” Luki berusaha meyakink

  • terjebak Gairah Liar Tante Sarah   Malam Ketahuan

    Malam pun tiba, rumah terasa sepi setelah makan malam. Tante Sarah langsung menuju kamarnya, meninggalkan Luki yang masih duduk di meja makan. Sebelum masuk, ia sempat menoleh dan memberi peringatan singkat. “Jangan begadang main game lagi, Luk,” ucap Tante Sarah tegas. “Iya, Tan… cuma sebentar kok,” jawab Luki asal. “Hm, jangan lupa besok pagi bantu belanja ya,” tambahnya lalu menutup pintu kamar. Luki menghela napas panjang, lalu naik ke kamarnya sendiri. Ia menyalakan lampu kamar seadanya dan langsung merebahkan diri di kasur. Ponselnya segera ia buka, game favoritnya tampil di layar. “Ah, mending di kamar aja,” gumam Luki sambil menekan layar. “Kalau di bawah, pasti udah disuruh matiin lampu,” batinnya. “Kalau tau aku masih main, bisa marah lagi tuh,” ia nyengir sendiri. Suara klik dan musik game memenuhi kamar. Sesekali Luki mengumpat kecil saat kalah. Jempolnya bergerak cepat, mencoba menutupi rasa bosan yang menyeruak. “Aduh, kalah mulu lawan bocah beginian,”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status