MasukMalam pun tiba, rumah terasa sepi setelah makan malam. Tante Sarah langsung menuju kamarnya, meninggalkan Luki yang masih duduk di meja makan. Sebelum masuk, ia sempat menoleh dan memberi peringatan singkat.
“Jangan begadang main game lagi, Luk,” ucap Tante Sarah tegas. “Iya, Tan… cuma sebentar kok,” jawab Luki asal. “Hm, jangan lupa besok pagi bantu belanja ya,” tambahnya lalu menutup pintu kamar. Luki menghela napas panjang, lalu naik ke kamarnya sendiri. Ia menyalakan lampu kamar seadanya dan langsung merebahkan diri di kasur. Ponselnya segera ia buka, game favoritnya tampil di layar. “Ah, mending di kamar aja,” gumam Luki sambil menekan layar. “Kalau di bawah, pasti udah disuruh matiin lampu,” batinnya. “Kalau tau aku masih main, bisa marah lagi tuh,” ia nyengir sendiri. Suara klik dan musik game memenuhi kamar. Sesekali Luki mengumpat kecil saat kalah. Jempolnya bergerak cepat, mencoba menutupi rasa bosan yang menyeruak. “Aduh, kalah mulu lawan bocah beginian,” umpatnya pelan. “Gas lah,” ia mendesis. “Anjir, hampir aja… tinggal dikit lagi padahal,” katanya sambil menendang kasur. Namun di sela-sela permainan itu, pikirannya melayang. Ingatan tentang kejadian siang tadi muncul begitu saja. Saat ia membantu Tante Sarah memijat bahu, momen itu sulit ia lupakan. “Gila… kenapa gue masih kepikiran itu,” gumam Luki sambil berhenti sejenak. “Bahu tante lembut banget, rasanya beda,” pikirnya. “Eh, jangan mikir aneh-aneh, ntar malah kebawa lagi,” ia menggeleng pelan. Wajah Tante Sarah saat memejamkan mata kembali terbayang. Gerakan napasnya, desahan kecil yang terdengar, semua terasa nyata di kepala Luki. Sekuat apapun ia coba mengabaikan, ingatan itu selalu menyeruak. “Ya ampun, kenapa harus keinget sekarang,” Luki menghela napas. “Gara-gara mijit tadi nih,” ia menutupi wajah dengan tangan. “Tapi kok rasanya kayak ada sesuatu yang beda…” batinnya bergetar. Game di tangannya hampir terabaikan. Fokusnya bercampur antara layar ponsel dan bayangan siang tadi. Luki berguling ke samping, menatap layar dengan tatapan kosong. “Udahlah, main aja biar lupa,” gumamnya. “Tapi makin di cuekin, makin suges njir,” pikirnya frustrasi. “Duh… gimana kalau besok dia minta pijit lagi,” ia menghela napas berat. *** Malam itu rumah sudah sunyi. Jam dinding menunjukkan pukul setengah sebelas, tapi Luki masih bermain game. Rasa haus membuatnya beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air. Saat melewati lorong, matanya menangkap sesuatu yang janggal. Dari kamar Tante Sarah, terlihat cahaya tipis keluar melalui celah pintu yang tidak tertutup rapat. Tumben… biasanya jam segini Tante udah tidur, batinnya. Luki melangkah pelan, mendekati pintu itu. Degup jantungnya semakin kencang, bukan karena takut, tapi penasaran. Ia menunduk sedikit, mencoba mengintip lewat celah sempit. Saat itu juga, matanya membelalak. Ia melihat siluet tubuh Tante Sarah di ranjang, dasternya tersingkap sebagian. Bahunya bergerak pelan, kepalanya terangkat sedikit dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Suara samar terdengar, lirih tapi cukup jelas bagi Luki yang berdiri dekat pintu. Napas tercekat di tenggorokannya, membuat tubuhnya seolah membeku. Ia sadar betul apa yang sedang dilakukan tante jandanya itu. “Ahh…” desahan tipis itu membuat Luki buru-buru menutup mulutnya sendiri. Wajahnya memanas, darah mengalir deras ke seluruh tubuhnya. Astaga… aku nggak boleh lihat ini. Tapi… matanya enggan beralih. Tangannya bergetar, keringat dingin muncul di pelipis. Fantasi-fantasi yang tadi siang muncul kini kembali menyerbu kepalanya. Namun kali ini jauh lebih nyata, karena yang dilihatnya bukan imajinasi. Luki buru-buru menelan ludah. Wajahnya panas, napasnya terasa sesak. Ia tahu seharusnya tidak boleh mengintip, tapi kakinya seperti tertancap di lantai. Hanya ketika suara lirih itu terdengar semakin jelas, barulah ia mundur perlahan dengan jantung berdebar. Luki menempelkan tubuhnya ke dinding, matanya tak lepas dari celah pintu kamar. Tante Sarah tampak berbaring dengan napas tersengal. Jemarinya bergerak cepat, membuat desahannya semakin keras. Tubuhnya sedikit meliuk, sesekali pinggulnya terangkat mengikuti irama. Rambutnya berantakan, menempel di wajah yang basah keringat. Luki menelan ludah, dadanya berdegup kencang. Suara seprai diremas terdengar samar, membuat Luki makin sulit menahan diri. Tangannya mencengkeram kusen pintu, hampir gemetar. Pandangannya seperti terkunci pada setiap gerakan Tante Sarah. "Aahh… ya Tuhan…" desah Tante Sarah pelan. "Hhh… lebih dalam…" suaranya terputus-putus. "Ohh Shit… ahh…" bibirnya bergetar. Luki memejamkan mata sejenak, mencoba menguasai diri. Namun suara itu terus memanggilnya, membuat tubuhnya semakin panas. Ia kembali membuka mata, menatap tanpa bisa berpaling. Tubuh Tante Sarah menegang, kakinya sedikit terangkat. Gerakan tangannya makin cepat, hampir tak terkendali. Luki merasa napasnya ikut berpacu dengan ritme itu. "Yaahh… bentar lagi… ahhh…" erangannya makin keras. "Ya… yaa… Eehhmm…" suaranya meninggi. "Hhh… Keluar... Ahh…" ia hampir berteriak. Luki masih menempel di dinding, menatap celah pintu dengan dada berdegup kencang. Nafasnya terasa berat, seiring tubuh Tante Sarah yang terus bergerak. Hasratnya bangkit, membuat pikirannya tak karuan. Bayangan itu menelanjangi sisi dirinya yang selama ini terpendam. Tante Sarah, janda yang selalu terlihat anggun, ternyata masih menyimpan hasrat yang nyata. Setiap lenguhannya membuat Luki kian terperangkap. Peluh di tubuh Tante Sarah memantulkan cahaya redup kamar. Rambutnya berantakan, bibirnya terbuka menahan nikmat. Luki menggigit bibir, tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. “Astaga… Tante Sarah?” batin Luki gemetar. “Aku… nggak boleh ketahuan,” ia menahan napas. “Tapi… kenapa susah banget berhenti ngeliatin…” pikirnya lagi. Gerakan Tante Sarah semakin cepat, pinggulnya ikut terangkat. Suara seprai yang diremas terdengar jelas, membuat Luki makin tegang. Setiap detail terasa seperti memanggilnya lebih dekat. Jantung Luki berdebar tak terkendali, tangannya mencengkeram kusen pintu. Ia tahu ini salah, tapi tubuhnya seperti menolak untuk berpaling. Dirinya terjebak dalam godaan yang sulit dilepaskan. “Hhh… lebih cepat…” rintih Tante Sarah. “Ya Tuhan… ini nyata banget,” Luki menelan ludah. “Kalau dia tahu aku di sini… habis aku,” pikirnya panik. Terlalu larut, Luki tak sadar kakinya bergerak. Jari kakinya membentur pintu, menimbulkan suara yang cukup keras. Seketika itu juga, Tante Sarah berhenti dan menoleh ke arah pintu. Mata mereka bertemu. Luki membeku, wajahnya memerah hebat, tak bisa lagi menghindar. Tante Sarah menatapnya dengan kaget, tubuhnya masih setengah terbuka, sementara Luki terperangkap dalam rasa malu dan hasrat yang tak terbantahkan.Siang itu, ruangan Gladys terasa cukup tenang. AC menyala pelan, sementara berkas-berkas kontrak tersusun rapi di meja. Luki memperhatikan satu kontrak yang sedang Gladys jelaskan.“Jadi yang ini tinggal kamu cek ulang pasal pembayarannya aja, Luk,” kata Gladys sambil menunjuk halaman terakhir.Luki mengangguk. “Oke, gampang. Nanti malam aku rapihin terus kirim revisinya.”Rapat kecil itu berjalan sekitar 20 menit. Setelah semuanya dirasa cukup, Gladys menutup map berkas dan bersandar.“Udahan dulu. Kita makan siang yuk?” ajaknya.“Gas,” jawab Luki sambil merapikan meja.Mereka berjalan menuju kantin kantor. Suasananya lumayan ramai, tapi masih dapat meja kosong. Saat makanan baru sampai, Luki mengambil ponselnya sebentar. Ada satu pesan WhatsApp baru.Dari Om Iksan.Luk, Papah kamu minta dijenguk minggu ini. Kalau bisa ajak Ajeng sekalian ya.Luki menarik napas pelan, kemudian membalas singkat.Iya Om, insyaallah Sabtu ya.Gladys melihatnya dari seberang meja. “Chat dari siapa? Mbak
Setelah itu, suasana kamar masih hangat dan sunyi. Tante Sarah berbaring menyandar di dada Luki, tubuhnya masih dibalut selimut yang sama, napasnya perlahan mulai stabil. Luki mengusap pelan kepala Tante Sarah, gerakannya lembut, seperti mencoba menenangkan sekaligus menormalkan kembali suasana. Tante Sarah menarik sedikit selimut naik ke bahunya, lalu berkata dengan suara lirih, “Aku sebenarnya mau ajak kamu sama Ajeng kerja di butik aku nanti…” Luki menoleh kecil, masih mengusap rambutnya. “Aku kan udah kerja, Tan,” jawabnya pelan. “Kalau mau ngajak, coba tawarin Mbak Ajeng aja.” Tante Sarah mengangkat wajahnya sedikit, menatap Luki dengan alis terangkat. “Ajeng? Kan dia juga kerja, Luk.” Luki menggeleng. “Mbak Ajeng udah nggak kerja, Tan.” Tante Sarah diam sebentar, kagetnya terlihat jelas. Ia bangkit sedikit, bersandar di lengan Luki sambil memegang selimut agar tetap menutup tubuhnya. “Serius?” tanyanya. “Kenapa udah nggak kerja?” Luki menarik napas pelan
Setelah memastikan mobil tamu tadi benar-benar menjauh, Luki akhirnya memajukan mobilnya perlahan. Ia berhenti tepat di depan pagar rumah Tante Sarah. Rumah itu terlihat tenang sekarang, hanya lampu teras yang menyala lembut. Luki turun dari mobil, menoleh kanan–kiri sejenak untuk memastikan situasi aman, lalu berjalan masuk melewati pagar yang sedikit terbuka. Pintu rumah ternyata masih terbuka lebar, seperti sedang menunggu seseorang. “Assalamualaikum…” suara Luki terdengar pelan tapi jelas. Dari dalam, muncul Tante Sarah sambil tersenyum kecil. “Waalaikumsalam. Masuk sini, Luk. Tante kira kamu nggak jadi datang.” Luki hanya membalas senyum itu. “Tadi nunggu tamunya pergi dulu, Tante.” “Oh begitu…” Tante Sarah mengangguk, belum menanggapi lebih jauh. “Ngopi dulu? Tante bikinin ya?” tawarnya sambil berjalan ke dapur kecil. “Boleh, Tan. Makasih.” Tidak butuh lama, Tante Sarah kembali membawa dua cangkir kopi panas. Dia meletakkan satu di depan Luki, lalu menutup pint
Luki keluar dari kamar dengan kepala masih penuh pikiran. Tadi di dapur, saat ia meminta izin, Mbak Ajeng hanya menjawab singkat tanpa menoleh lama— “Mandi dulu aja, terus makan malam. Nanti kita ngobrol.” Tidak ada jawaban boleh atau tidak. Tidak ada ekspresi marah, tapi juga tidak ada tanda kelegaan. Seolah Mbak Ajeng sengaja menunda. Luki pun cuma bisa mengangguk dan menurut. Ia kembali ke kamarnya, mengambil handuk, lalu masuk ke kamar mandi. Air dingin yang mengguyur tubuhnya tidak cukup menenangkan pikirannya. Malah bikin semuanya makin nyesek. Aduh, kenapa juga tadi ngomong jujur. Bisa tadi alasan keluar ketemu Gladys sebentar. Gak bakal serumit ini, keluhnya dalam hati. Setelah selesai, Luki turun ke meja makan. Meja sudah tertata rapi, dua piring sudah terisi, dan aroma lauk yang baru dimasak Mbak Ajeng terasa menghangatkan ruangan. Mbak Ajeng sudah duduk, tangannya menopang dagu sambil menatap Luki yang baru mendekat. “Nih, makan dulu,” katanya pelan. Luki duduk tan
Tiba di kantin belakang kantor, suasananya ramai tapi tidak terlalu bising. Beberapa pegawai dari gedung sekitar juga sedang makan siang, dan aroma masakan berkuah memenuhi udara. Luki dan Maurel memilih duduk di salah satu tenda yang cukup teduh. Mereka memesan tiga porsi soto betawi—dua buat mereka, satu untuk dibawa pulang ke kantor untuk Gladys. Setelah pelayan mencatat pesanan, suasana di meja mereka sempat hening. Luki akhirnya menatap Maurel dengan bingung sejak tadi. Ia menyandarkan tangan di meja dan bertanya, “Rel… kamu kenapa tiba-tiba ngajak gue makan siang? Ada apa?” Maurel hanya tersenyum kecil. Senyuman yang jelas bukan senyuman iseng… lebih seperti senyuman seseorang yang sengaja menyembunyikan sesuatu. “Ada yang mau aku tanyain,” jawab Maurel pelan. Luki makin bingung. “Apa?” Maurel menghela napas, lalu menatap Luki serius. “Emang beneran kalo… Mbak Ajeng resign?” Luki langsung terkejut, tubuhnya sedikit maju ke depan. “Hah? Kok kamu tau??”
Di dalam mobil, perjalanan menuju kantor berlangsung seperti biasa, tapi suasananya tidak. Ada sesuatu yang berbeda dari Luki pagi itu. Dari cara ia menyetir, dari tatapan matanya, bahkan dari senyum yang sesekali muncul tanpa alasan. Gladys yang sejak tadi sibuk memainkan ponselnya akhirnya menyadari perubahan itu. Ia melirik ke arah Luki sambil mengangkat alis. “Kamu hari ini kayaknya lagi happy yaa, Luk?” tanyanya sambil menutup aplikasi di hapenya. Luki menoleh sebentar, senyum lebarnya sulit disembunyikan. “Hehe… keliatan yaa, Dys?” Gladys langsung mematikan layar ponsel, lalu memutar sedikit tubuhnya ke arah Luki. Ia menaruh siku di sandaran tangan mobil, ekspresinya berubah penasaran penuh antusias. “Kenapa sih, Luk? Cerita dong, cerita…” Luki menarik napas pendek, mencoba menyusun kata-kata sambil tetap fokus ke jalan. “Aku seneng, Dys. Akhirnya Mbak Ajeng mau resign dari kerjaannya. Terus mau stay di rumah.” Gladys refleks mengangguk kecil. “Ohh gitu… emangn







