Share

Mungkinkah Liam?

“Kapan kamu akan mengenalkan seseorang pada Ayah?” tanya Howard di suatu makan siang bersama putrinya. Akhir pekan ini, dia sengaja mengajak Kate makan siang di luar bersama. Sudah lebih dari seminggu dirinya tak berada di rumah karena harus melakukan beberapa perjalanan bisnis. Dan selama itu pula dia tak bersua dengan putri semata wayangnya itu. Jadi, makan siang bersama di restoran keluarga favorit mereka merupakan pilihan yang tepat. Dan tentunya, dengan tujuan lain, yakni membahas kesepakatan mereka tempo hari.

“Sudah hampir satu bulan berlalu sejak kamu menyetujui persyaratan Ayah.” Howard melanjutkan, yang secara tidak langsung mengingatkan Kate akan tenggat waktu dalam perjanjian tak tertulis mereka. “Kalau kamu belum menemukan calon suami, Ayah bisa membantu,” imbuhnya, tak henti memberikan saran mengingat sifat putrinya yang antipati pada pria.

Mendengar perkataan sang Ayah, Kate ingin sekali memprotesnya. Lagi-lagi soal perjodohan. Kenapa ayahnya suka sekali mencarikan kandidat untuk calon suaminya? Apakah itu adalah hobi baru ayahnya?

Namun, semua protes itu tak dapat dia keluarkan. Tenggorokannya serasa tercekat oleh kenyataan bahwa hampir sebulan telah berlalu. Dan dia belum menemukan seseorang untuk yang tepat.

Kate bukannya tidak berusaha. Dia sudah menyeleksi pria-pria yang pernah dan yang ada di sekitarnya. Bahkan, dia juga sudah meminta teman-teman wanitanya untuk merekomendasikan seseorang yang dapat dijadikan pasangan. Tapi, nihil. Dia selalu bisa menemukan keburukan mereka. Satu cela yang tak sanggup ditoleransi olehnya.

Howard melihat kebimbangan di mata hazel Kate—warna serupa dengan milik istrinya. Seketika, rasa iba merambati hatinya. Sejujurnya, dia tak tega memaksa putrinya. Putri kecilnya—dia selalu menganggapnya demikian—terlalu berharga untuk mengikuti paksaan orang lain, termasuk dirinya.

Tetapi, Kate yang memutuskan untuk tidak menikah, memunculkan ketakutan Howard. Dia takut Kate akan sendirian kala dirinya tak ada lagi di sampingnya. Dan dia tahu betul betapa sepinya hidup sendiri.

Kematian istri yang sangat dicintainya telah membuatnya merasakan rasa itu. Dia berhasil bangkit berkat Kate di sisinya. Dia hidup demi putrinya. Baginya, kebahagiaan Kate juga adalah bahagianya. Tidak ada yang lebih penting dari hal tersebut.

Howard ingin Kate memiliki seseorang itu dalam hidupnya. Seseorang yang akan mendampinginya dan membahagiakan putrinya. Seseorang yang berharga bagi Kate sehingga dapat memotivasinya untuk terus hidup dalam kebahagian.

Lagi pula, ini adalah keinginan istrinya. Ibu Kate ingin sekali melihat Kate tumbuh dewasa, menikah, dan bahagia bersama keluarganya. Sayangnya, keinginan itu tak pernah terwujud karena istrinya lebih dulu pergi meninggalkan dunia ini saat Kate masih berusia empat belas tahun. Dan dia akan melakukannya demi memenuhi keinginan sang istri.

Oleh karena itu, dia merencanakan perjodohan untuk Kate. Tapi, memang dasar sifat Kate yang keras kepala ditambah dengan keteguhannya, putrinya itu menolak semua pria yang dikenalkan padanya. Ancaman itu merupakan pilihan terakhirnya kala dirinya tak kunjung melihat Kate berubah. Dia tahu putrinya akan tunduk karena Kate tak akan semudah itu menyerahkan kepemilikan perusahaan keluarga mereka kepada orang lain.

“Kalian nggak perlu buru-buru menikah. Kalian bisa menggunakan waktu satu atau dua bulan untuk lebih saling mengenal. Dan kalaupun tetap dirasa nggak cocok, Ayah masih punya banyak nama untuk menggantikannya.”

Kate sedikit melotot mendengar kalimat terakhir Howard, seolah-olah ayahnya sedang menawarkan baju padanya, bukan calon suami. Setelah dicoba dan dirasa cocok, dia bisa memutuskan untuk memiliki atau menolaknya. Sungguh kasihan sekali nasib mereka.

Tunggu, tunggu. Kenapa dia harus bersimpati pada mereka? Seharusnya dia-lah orang yang patut dikasihani karena mesti menerima mereka dalam hidupnya. Dia hanya jemu membayangkan berapa banyak lagi lelaki yang harus ditemuinya.

“Apa yang membuat Ayah berpikir mereka layak menjadi suamiku?” Kate terdengar menggerutu saat melontarkan pertanyaannya.

Howard terdiam sejenak memikirkan jawaban pertanyaan itu. “Satu dan banyak hal. Tapi, Kate sayang, keputusan akhir tetap berada di tanganmu. Kamu sendirilah yang paling tahu siapa yang pantas untukmu.”

“Kalau keputusan akhir di tanganku, harusnya Ayah menerima keputusanku untuk hidup melajang dan tidak menikah,” kekeh Kate.

Howard menggelengkan kepalanya dramatis. “Itu dua hal yang berbeda, Sayang. Dan ingat, kamu sudah setuju. Jangan buat Ayah mempersingkat tenggat waktunya.” Ancaman itu terucap dalam ketenangan yang memuakkan.

Kate mengetatkan genggaman pada sendok dan garpu di masing-masing tangannya. Agaknya, memang, tak ada pilihan lain baginya selain mengikuti keinginan Howard. Pria paruh baya itu sangat tahu bagaimana mengalahkannya.

Helaan napas keluar dari bibirnya. “Kali ini, siapa yang ingin Ayah kenalkan padaku?” tanyanya, memilih untuk pasrah.

“Oh, akhirnya kamu setuju dengan ide Ayah?” Raut cerah menghiasi wajah Howard begitu melihat reaksi positif Kate.

Kate meletakkan alat makannya ke atas meja. Lalu, dia memundurkan tubuhnya hingga punggungnya menyentuh sandaran kursi. Kedua tangannya bersidekap, menunjukkan sisa-sisa dari sikap defensifnya. “Well, Ayah nggak memberikan pilihan lain untukku.” Nada suaranya terdengar skeptis.

Sorot mata Howard melunak menatap putrinya. “Ayah cuma ingin melihatmu bahagia,” balasnya lembut.

Ya, Kate amat tahu akan hal itu. Dia mengerti Howard menginginkan kebahagiaannya. Yah, meski kebahagiaan versinya dan sang ayah berbeda jauh. “I know.” Dia berujar lirih, hampir tanpa suara.

“Sekali lagi Ayah tegaskan, masih banyak nama lain yang siap menggantikan, kalau-kalau kamu menolak yang satu ini.” Howard mengingatkan.

Rasa-rasanya, Kate ingin tertawa mendengar ucapan Howard. Ayahnya itu terkadang lucu juga. Tidak ingin membuat Kate tertekan, namun di lain sisi tetap memaksanya mengikuti kehendaknya. “Iya, Dad. Siapa?” Dia mulai tak sabar.

Howard melirik arloji di tangannya, kemudian berkata, “Sebentar lagi dia sampai.”

Jawaban itu memunculkan kernyit di dahi Kate. Rupanya, Howard sudah merencanakan semuanya. Makan siang ini hanyalah kedok di balik tujuan sebenarnya sang ayah. Tapi, bagaimana jika Kate kekeh menolak gagasan Howard? Apa yang akan terjadi pada pertemuan terencana ini?

“Oh, itu dia!”

Spontan, Kate menoleh. Matanya menyipit tatkala medapati seseorang tak asing yang berdiri dalam arah pandang Howard. Dan saat itulah kesadaran menghantamnya.

Kate mengembalikan tatapannya pada Howard. Manik mata itu membesar seiring dengan asumsi konyol yang memasuki benaknya. “Ayah nggak serius, bukan?” Dia tak bisa menyembunyikan keterkejutan dan rasa tak percayanya dalam suaranya.

“Ayah serius, Sayang. Memang dialah orangnya.”

Dad!” seru Kate, tak lagi memperlihatkan ketenangannya. “Kenapa harus dia? Apa Ayah nggak punya nama lain?” tanyanya, nyaris frustasi dibuatnya.

“Ayah pikir dia kandidat yang tepat. Kalian sudah saling mengenal. Dan Ayah rasa hubungan kalian berdua cukup dekat.”

Kate sungguh ingin merutuki pemikiran ayahnya. Orang itu dan dirinya dekat? Jangan main-main! Tidak ada satu pun indikasi yang mengarah pada kesimpulan Howard, kecuali…

Ya, kecuali ciuman itu.

Dasar pria berengsek!

“Apa Ayah nggak tahu reputasi dia di kantor? Dia itu-“

“Ayah tahu,” potong Howard cepat. “Tapi di balik sifat buruknya itu, dia adalah lelaki yang sangat bertanggung jawab. Ingat, Sayang. Nggak ada manusia yang sempurna. Dan mungkin, dia membutuhkanmu untuk berubah.”

Kate mendengus pelan. Berubah? Perubahan seperti apa yang ayahnya harapkan?

“Kamu cuma perlu mencobanya,” bujuk Howard lagi.

Kate membuka mulutnya dan bersiap untuk membalas perkataan Howard, tepat ketika orang yang menjadi topik pembicaraan sampai di meja mereka.

“Selamat siang, Mr. dan Miss Whitelaw,” sapanya ramah dengan senyum tersungging di bibirnya.

Itu dia.

Liam Ortiz.

Siapa lagi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status