Share

Ataukah Bukan Liam?

“Maaf sudah mengganggu akhir pekanmu.” Howard berujar usai mempersilakan Liam duduk dan bergabung bersama mereka—dirinya dan sang putri.

“Tenang saja, Howard. Aku sedang sibuk dengan buku bacaanku saat kamu meneleponku tadi,” balas Liam yang memilih duduk di kursi kosong di sebelah Howard. Sebuah jawaban yang nyaris membuat Kate tersedak oleh minumannya sendiri. 

“Kamu nggak apa-apa, Kate?” Liam menyelipkan nada khawatir dalam suaranya kala dilihatnya Kate mulai terbatuk-batuk sembari menutupi mulut dengan salah satu tangannya. Dia bahkan akan berdiri untuk membantu Kate yang langsung dicegah oleh wanita itu. 

I’m okay,” tolak Kate, masih terbatuk, meski dengan intensitas yang berkurang. Dan setelah tak ada yang menyumbat jalur pernapasannya, dia menghirup napas panjang dan mengambil oksigen sebanyak-banyaknya untuk menyuplai kebutuhannya yang sempat tersendat. 

Are you sure?” Liam kembali bertanya dengan intonasi yang sama. 

Yes, I am,” tandas Kate, sekali lagi menolak apa pun bentuk simpati dari Liam. Dia menegakkan punggungnya dan siap untuk kembali menghadapi Liam. Oh, mereka seperti sedang berperang saja. 

“Kamu yakin?” ulang Liam yang seketika mendapatkan tatapan tajam dari lawan bicaranya. Dia pun terdiam, kemudian memilih untuk mengalihkan strateginya. “Apa putrimu memang selalu seperti ini, Howard? Menolak perhatian orang lain.” Rupanya, dia mengadukan tingkah Kate pada ayahnya. 

Kate memutar bola matanya malas. Dunia sudah tahu bagaimana dirinya membenci pria. Catat itu. Pria. Bukan sekadar ‘orang lain’. Dan dia tak butuh Liam untuk membuka lebar mata Howard mengenai sifatnya tersebut. Lagi pula, perhatian pria itu sama sekali tidak terdengar tulus. 

Howard terkekeh mendengar penuturan Liam. Dia mengenal baik sifat mereka berdua. Liam dengan rayuannya dan Kate dengan sikap dinginnya. Perdebatan kecil mereka seakan menjadi tontonan yang menarik baginya. Setidaknya, Kate tidak terlihat apatis dan komunikasi di antara mereka masih ada, walaupun putrinya itu tidak pernah menyukai playboy seperti Liam. 

Sejujurnya, dia sendiri juga tak menyukai sifat perayu Liam. Namun, pengalaman mengajarkannya sesuatu. Sifat itu muncul bukan tanpa alasan. Dia bisa melihat bahwa Liam sebenarnya merupakan pemuda yang baik dan bertanggung jawab. Mungkin, masa lalu yang membuatnya berubah demikian. Bahkan terkadang, dia mendapati Liam terlalu memaksakan diri menjadi don juan. 

“Maafkan Kate, Liam. Sepertinya, aku terlalu memanjakannya sejak kecil sehingga membuatnya sulit menerima pria lain di hidupnya.” 

Kate menatap kedua orang di hadapannya dengan pandangan tak percaya. Sungguh luar biasa sekali mereka. Membicarakan seseorang tepat di ujung hidung yang bersangkutan. 

Liam tak mengindahkan reaksi Kate. Begitu pun dengan Howard. Mereka berdua melanjutkan obrolan mereka tetap dengan Kate sebagai pokok bahasannya. 

“Aku mengerti, Howard,” ucap Liam sambil manggut-manggut. Satu telunjuknya mengusap-usap bawah dagunya seolah dirinya tengah berpikir keras. “Tapi, bagaimana jika Kate benar-benar berakhir sendirian di sisa hidupnya karena sifatnya ini? Apa kamu nggak kasihan dengan masa depan putrimu?” 

Sebuah senyum tercetak di bibir Howard. Pertanyaan Liam persis seperti apa yang dipikirkannya selama ini. Itu artinya Liam peduli pada Kate. Benar, bukan? 

“Karena itulah aku memanggilmu kemari, Liam. Untuk membicarakan masa depan Kate.” 

Ekspresi Liam mendadak berubah. Raut wajah itu tak lagi menunjukkan akting payahnya dan berganti menjadi mode serius. Dan jangan lupakan kerutan yang tercetak di dahinya.

“Maksudmu, Howard?” Dia menyuarakan kebingungannya. 

“Aku ingin kamu menikah dengan putriku.” Howard menjawab pertanyaan Liam dengan lugas.

Agaknya, kalimat tersebut berhasil memberikan efek kejut pada Liam. Lihatlah bagaimana pria itu memperlihatkan tampang cengonya. “Tunggu, tunggu.” Dia berkata lebih kepada dirinya sendiri yang membutuhkan waktu untuk mengurai keruwetan isi otaknya. “Kamu ingin aku menikah dengan Kate?” tanyanya, memastikan informasi yang baru saja diperolehnya. 

“Iya, Liam. Putriku cuma Kate. Nggak ada yang lain.” 

Liam terlihat menelan ludahnya dengan susah payah. Dia sungguh tak menyangka pertemuan mereka akan membahas masalah ini. Terlebih, dialah sang kandidat calon suami Kate. Benar-benar mengejutkan. 

Mata Liam melirik Kate yang entah sejak kapan memalingkan wajahnya memandang keluar jendela. Wanita itu tampak tak peduli pada percakapan antara dirinya dan Howard, padahal dia tahu pasti pernikahan merupakan topik sensitif bagi Kate. 

“Apa kamu nggak salah memilih orang, Howard? Kamu tahu sendiri seberapa benci Kate padaku.” Liam mengemukakan alasan yang secara tidak langsung menyatakan keberatannya. “Dan pasti, banyak pria di luar sana yang lebih baik dariku,” imbuhnya. 

“Ya. Tapi, nggak ada yang kukenal baik, selain dirimu. Dan aku tahu kamu nggak seburuk itu.” Howard menimpali dengan pernyataan yang memukul telak Liam. 

Liam membisu. Bibirnya terkatup, serasa terkunci oleh kalimat demi kalimat yang memasuki indra pendengarannya. Terlalu mendadak. Terlalu mengejutkan. Dan terlalu sulit untuk dipercaya. 

Sementara Liam berkutat dengan pikirannya, Kate memandang Howard dengan tatapan ingin tahunya. Perkataan terakhir sang ayah jelas telah membangkitkan rasa tersebut. Apa yang ayahnya ketahui tentang Liam? Mengapa ayahnya bisa seyakin itu? 

Namun, sama seperti Liam, Kate memilih diam. Entahlah. Tiba-tiba saja dia tak ingin bergabung dalam obrolan dua pria dewasa itu. Ya, dia sedang menggunakan kediamannya untuk mengendalikan emosinya. Rasa-rasanya, dia tak akan sanggup berhenti bila sekali saja mendebat mereka. 

“Lalu, bagaimana dengan Kate? Apakah dia setuju dengan rencana ini?” Liam kembali melihat ke arah Kate. Entah apa yang dicarinya dengan melakukan hal itu. Persetujuan, penolakan, atau justru kebimbangan? 

Tetapi, wanita itu hanya balas menatapnya dengan tanpa memberikan respons apa pun di sana. Terlalu tenang. Ini seperti bukan Kate yang dikenalnya. Mata cantik itu biasanya jauh lebih jujur dan berapi-api.

“Kate nggak menolak.” Bukan Kate yang menjawab, melainkan Howard. 

Liam berpaling sejenak pada Howard sebelum mengembalikan tatapannya pada wanita yang sejak tadi diam itu. Aneh sekali. Kenapa Kate bisa setenang itu mendengarkan pembicaraan mereka? Apa cuma dirinya saja yang kebingungan menerima informasi tersebut? 

“Kamu yakin baik-baik saja, Kate?” Liam mempertanyakan kewarasan Kate, atau mungkin justru kewarasannya sendiri. 

“Hmm.” Gumaman pelan Kate berikan sebagai jawaban. 

“Kamu yakin?” 

Kate ganti menganggukkan kepalanya untuk menanggapi pertanyaan Liam yang masih sama. 

“Benar-benar yakin?” 

“Iya.” Kali ini, dia berujar dengan tetap menjaga level ketenangannya. 

“Kita akan menikah, Kate. Kamu sungguh nggak apa-apa?” Untuk kesekian kali, Liam mengajukan pertanyaan serupa. 

Yes, Liam. I’m okay,” ucap Kate, berusaha semaksimal mungkin meredam emosinya yang nyaris meledak. Apa lelaki itu tidak tahu seberapa keras usahanya untuk tetap tenang? 

“Kita akan tinggal dalam satu atap yang sama dan tidur di ranjang yang sama. Apa kamu sudah siap menerima diriku, termasuk sex kita?” 

Dan itulah pemicunya. Amarah Kate sudah tak tertahankan lagi. Liam memang hebat. Lelaki itu selalu tahu bagaimana menyulut emosinya. 

Dad, aku menyerah. Aku dan Liam nggak akan pernah cocok. Jadi, ganti dengan yang lain saja.” Akhirnya, protes itu keluar dari bibir Kate. 

Liam pun tertawa cukup keras melihat reaksi yang sudah dinanti-nantikannya itu. Ternyata, Kate tetaplah Kate. Wanita berapi-api yang emosional di mana pun dia berada. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status