Kaki Liam terayun pelan di sepanjang koridor lantai dua rumah Kate. Rumah bergaya modern dan didominasi warna putih itu lumayan besar. Luasnya jelas lebih besar dari rumah mungilnya dulu di pinggirian kota. Ya, Liam memang tidak seberuntung Kate yang terlahir dari keluarga kaya. Dia hanya tinggal berdua dengan sang ibu dalam kehidupan yang sederhana.
“I like this one,” ujarnya, mengomentari sebuah lukisan yang terpajang di salah satu sudut rumah Kate. Sebuah pemandangan hamparan padang rumput dengan angin yang meniup dedaunannya. Dia pun seolah-olah ikut merasakan kesejukan dan ketenangannya. Dan nostalgia merangsek masuk ke dalam otaknya.
Masa kecilnya terbilang bahagia. Dia memiliki teman-teman yang baik, tidak bermasalah di sekolah, dan kehidupannya di rumah juga harmonis. Hubungannya dengan ibunya sangat dekat. Wajar, karena mereka cuma punya satu sama lain untuk saling mengasihi.
Namun, bukan itu yang ingin dia ceritakan. Ini tentang sa
Kate menatap tidak percaya pantulan dirinya di cermin di hadapannya. Sesosok wanita dengan gaun kebesarannya tengah memandang balik dengan kerutan di kening. Benarkah itu dirinya?Bukan. Bukan karena figur itu terlihat amat berbeda dari Kate yang biasanya—nyatanya memang berbeda—atau fakta bahwa dirinya sedang mencoba gaun pengantin—dia sudah cukup sering melakukannya. Namun kenyataan bahwa dia akan mengenakan gaun pengantinlah yang membuat kewarasannya sedikit terganggu. Kate akan mengadakan pesta pernikahan dengan dia yang menjadi bintang utama. Sungguh sulit dipercaya.“Ini bukan seleramu, Kate.” Joanna berkomentar usai membantu Kate mengepaskan baju yang sedang dicoba wanita itu ke tubuh semampainya. Sesekali dia memiringkan kepalanya karena merasa gaun tersebut sangat-sangat tidak cocok untuk Kate.“Aku cuma mencoba. Siapa tahu ini merupakan selera Liam?” jawab Kate sekenanya.“Lalu, kalau Liam suka, ka
Bernegosiasi dengan sang ayah, Kate bukannya tidak mencoba. Segala cara sudah dia lakukan untuk merayu Howard agar memikirkan kembali keputusannya, serta memuluskan permintaannya; tidak ada pesta pernikahan. Hasilnya? Nihil. Ayahnya cukup pandai untuk segera menyela dan menghentikannya bahkan sebelum apa yang akan dikatakannya terlontar dari bibirnya. Yah, tidah heran mengingat sifat itu pun dimiliki olehnya. Keras kepala dan teguh.Dia bisa saja marah. Semua rencana yang telah tersusun apik terpaksa buyar. Tidak seluruhnya, memang. Namun, tetap saja pesta pernikahan akan memberi perbedaan pada kehidupannya kelak. Dia ingin semuanya tenang dan tersembunyi. Tapi, agaknya, Howard tidak sependapat dengannya. Pesta pernikahannya harus terlaksana. Titik.Maka, dengan berat hati dia menuruti keinginan sang Ayah. Dan dengan rasa yang sama pula dia mendatangi butik yang tempo hari Howard beritahukan lewat pesan. Bersama Liam, tentu saja. Siapa lagi?&l
“Jadi, kenapa kita harus makan siang bersama?” Kate bertanya sembari mengaduk pelan makanan di piringnya. Seafood fried noodles ala masakan China menjadi menu yang dia pilih untuk mengganjal perutnya di jam makan siang ini.Terdengar aneh? Biasanya, wanita seperti Kate—cantik, bertubuh langsing dengan tinggi semampai, dan peduli pada penampilan—akan menjaga pola makannya sebaik mungkin, seperti rutin mengonsumsi salad dalam menu sarapan, makan siang, dan makan malam. Basically, salad selalu ada dalam menu makan mereka. Atau justru, salad-lah menu makan mereka. Dan makanan dalam piring Kate menjadi salah satu yang mereka hindari karena bisa merusak kebiasaan baik tersebut.Yah, sebenarnya, Kate merupakan bagian dari wanita-wanita itu. Terkadang, dia merasa cukup dengan hanya mengisi perutnya dengan salad berisi aneka sayuran dan segelas smoothie hijaunya. Namun, seringnya, dia memerlukan asupan kalori lebih kar
Malamnya, Kate tidak bisa tidur.Bukan. Bukan karena permintaan sang Ayah yang membuatnya tetap terjaga, melainkan ucapan Liam-lah yang menyebabkan matanya enggan menutup di kala lewat tengah malam.“Kalau begitu, menikahlah denganku selamanya, Kathleen Jean Whitelaw.”Ya, satu kalimat singkat yang telah menyita seluruh fokus pikirannya.Kate mengubah posisi tidurnya yang awalnya telentang menjadi miring ke kanan. Dia menyelipkan satu tangannya ke bawah bantal. Untuk kesekian kalinya, dia mencoba memejamkan mata dan berharap kantuk segera menderanya. Namun, nihil. Matanya kembali terbuka. Lagi-lagi, Liam menguasai otaknya.Dia menghembuskan napas, sedikit kesal kenapa lelaki itu tidak mau lepas dari benaknya. Tetapi, benarkah Liam yang menjadi beban pikirannya saat ini? Atau justru ketakutannya-lah yang melahirkan rasa tak nyaman itu? Entahlah.Kate kembali menelentangkan tubuhnya. Mat
Kaki Liam terayun pelan di sepanjang koridor lantai dua rumah Kate. Rumah bergaya modern dan didominasi warna putih itu lumayan besar. Luasnya jelas lebih besar dari rumah mungilnya dulu di pinggirian kota. Ya, Liam memang tidak seberuntung Kate yang terlahir dari keluarga kaya. Dia hanya tinggal berdua dengan sang ibu dalam kehidupan yang sederhana.“I like this one,” ujarnya, mengomentari sebuah lukisan yang terpajang di salah satu sudut rumah Kate. Sebuah pemandangan hamparan padang rumput dengan angin yang meniup dedaunannya. Dia pun seolah-olah ikut merasakan kesejukan dan ketenangannya. Dan nostalgia merangsek masuk ke dalam otaknya.Masa kecilnya terbilang bahagia. Dia memiliki teman-teman yang baik, tidak bermasalah di sekolah, dan kehidupannya di rumah juga harmonis. Hubungannya dengan ibunya sangat dekat. Wajar, karena mereka cuma punya satu sama lain untuk saling mengasihi.Namun, bukan itu yang ingin dia ceritakan. Ini tentang sa
“Apa yang kamu lakukan di sini?”Langkah kaki Kate terhenti di tengah kegiatannya menuruni tangga tatkala mata tajamnya menangkap sosok tak asing namun asing di dalam rumahnya, sedang bersenda gurau dengan sang Ayah. Siapa lagi kalau bukan Liam?“Oh, Kate. Selamat malam,” sapa Liam, tersenyum cerah melihat Kate muncul dalam jarak pandangnya. “Senang melihatmu malam ini,” lanjutnya, mulai melancarkan rayuannya. Ya, ya. Dia tahu Kate kebal akan semua godaannya. Tetapi, itu adalah perilaku yang sudah dibiasakannya selama sepuluh tahun terakhir ini. Jadi, wanita itu harus terbiasa karena dia tak berniat untuk membuangnya, dan justru akan menggunakannya untuk menggoda Kate. Membayangkannya saja sudah menimbulkan rasa geli. Kate yang mengomel, cemberut, atau marah ketika dia merayunya… Itu akan menjadi hiburan lucu baginya selama mereka menikah dan tinggal bersama nanti.Kate memutar bola matanya malas. Agaknya, Liam dan rayu