Masuk初めて藤原彰真(ふじわらしょうま)に会ったとき、私は思った。 「この世にこんなに美しい人がいるなんて」 そして、こう決めた。 「大人になったら絶対彼と結婚する」 最後に彰真に会ったとき、私は言った。 「おじさん、もう二度と会わないで。私、あなたを殺したくなっちゃうから」 彼は静かに答えた。 「梨乃(りの)、俺なら、君に殺されてもいい」
Lihat lebih banyakMalam itu, suasana di rumah kakek Suroto masih diselimuti kesedihan. Hujan turun perlahan, dan suara tetesan air yang mengalir dari atap terasa semakin mencekam di tengah keheningan.
Alya, gadis cantik pemilik rambut panjang nan legam itu berdiri di depan pintu kamar sang kakek, matanya berkaca-kaca. “Kakek, kenapa kau pergi begitu cepat?” gumamnya, terisak pelan. Kamar itu terasa sepi dan dingin, menimbulkan rasa rindu yang menggelora di dalam hati Alya. Ia melangkah masuk, menyusuri ruangan yang kini sepi. Perabotan lama masih teratur, seolah kakek Suroto baru saja pergi keluar sebentar. Alya mengingat betapa hangatnya pelukan kakeknya saat mereka bercerita tentang masa lalu. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Dengan hati-hati, Alya membuka lemari untuk mencari selimut baru, aroma obat dan embun malam mengisi udara. Selimut tua yang biasa digunakan untuk menutupi tubuh kakeknya masih basah oleh air bekas pemandian jenazah. “Aku harus menemukan yang bersih,” gumamnya, berusaha mengusir rasa gelisah yang mulai menggelayut di hatinya. Tiba-tiba, saat ia meraih tumpukan selimut di atas lemari, tangannya menyenggol sebuah kotak kayu kecil yang tersimpan di sudut. Kotak itu jatuh, mengeluarkan bunyi bergetar saat menyentuh lantai kayu. Alya terkejut, menatap kotak itu dengan bingung. “Eh? Apa ini?” pikirnya. Kotak tersebut terbuat dari kayu tua, dihiasi dengan ukiran-ukiran kuno yang tak dikenalnya. Setiap ukiran tampak hidup, seolah menceritakan kisah tersembunyi. Alya menunduk, mencoba melihat lebih dekat, dan rasa penasaran menghampirinya. “Apa ini punya kakek?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik. Pikirannya berkelana, membayangkan apa yang mungkin ada di dalam kotak itu. "Apakah ini milik kakek? Atau mungkin benda pusaka yang dijaga turun-temurun?" batinnya gelisah. Tanpa sadar, ia menggigit bibir bawahnya, menahan ketegangan yang merayap di dalam diri. Jantungnya berdebar kencang. "Ah, ini hanya kotak kayu biasa," batinnya lagi , berusaha menenangkan. Namun, hatinya tak sepenuhnya yakin. Ia menarik napas dalam-dalam, meskipun hatinya mulai bergetar, tangannya perlahan-lahan membuka tutup kotak. Suara gesekan kayu yang bergetar memecah kesunyian malam. Begitu tutup kotak terangkat, bayangan dari dalamnya seakan melompati cahaya bulan yang menerobos jendela. Alya terperangah kaget. Di dalam kotak itu, terdapat serangkaian kertas kuno yang dilipat rapi. Namun, di bawahnya, ada sesuatu yang lebih mengejutkan. Sebuah gelang perak tua, berkilau samar meskipun diselimuti debu. Alya mengulurkan tangan, merasakan dingin saat jarinya menyentuh gelang itu. “Ini … milik kakek atau nenek? Kenapa aku baru tahu kakek menyimpan semua ini? Apa ibu dan ayah juga tahu? Selama ini ... kakek nggak pernah cerita apa-apa." Satu per satu, Alya mengeluarkan kertas-kertas tersebut, merasakan aura mistis yang menyelimuti setiap inci tubuhnya. Namun, saat ia membuka lipatan pertama, angin berembus masuk melalui celah jendela, seolah menyampaikan pesan dari dunia lain. “Jangan!” teriak suara dari sudut gelap, membuat Alya terlonjak. Ia menoleh cepat, mencari sumber suara, tapi tidak ada siapa-siapa di dalam kamar itu. Jantungnya berdegup kencang, dan rasa gelisah melanda. “Siapa itu?!" Suaranya kini dipenuhi ketakutan. Namun, hanya keheningan yang menjawabnya. Alya kembali melihat ke dalam kotak, merasakan ketidakpastian menggelayut di hatinya. Apakah ia harus melanjutkan membuka kertas-kertas itu? Suasana malam semakin mencekam, seolah menanti keputusan yang akan diambilnya. Tubuhnya mematung di tengah kamar yang dingin, gemetar hebat. Ia menggenggam kertas tua itu, merasakan permukaannya yang kasar dan rapuh, seolah menyimpan cerita kelam dari masa lalu. Alya menelan ludah, merasakan bulu kuduknya meremang saat jemarinya mengusap permukaan kertas kuno itu. Dengan napas tertahan, ia membuka lipatan pertama. Tulisan tangan di atas kertas itu tampak pudar dan buram. [Untuk siapapun yang menemukan surat ini, kutukan keluarga kita bukanlah mitos. Setiap tahun, darah harus dipersembahkan, atau arwah-arwah akan bangkit dari alamnya. Mereka akan datang. Menuntut apa yang terlewatkan.] Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Udara di kamar semakin dingin, terasa pengap, seolah ada sesuatu yang diam-diam menyaksikan setiap gerakannya. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, tapi ia tak bisa berhenti. Ia harus tahu kebenarannya. Seketika, suara gemerisik terdengar dari arah lemari. Alya memandang ke sana dengan napas tertahan, tapi tak ada apa-apa. Hanya lemari tua kakeknya yang tampak berdiri diam dalam bayangan gelap. “Ah, hanya suara angin,” gumamnya lirih, mencoba meyakinkan diri. Namun, tiba-tiba terdengar langkah pelan dari luar pintu kamar, berderap lambat tapi pasti, mendekati kamar yang ia tempati. Alya membeku, napasnya tersengal. Ia tahu anggota keluarga yang lain sudah tidur sejak tadi. Sekarang, hanya ada dirinya yang masih terjaga. Langkah kaki itu semakin mendekat. Suaranya berat dan menyeret, seolah-olah seseorang berjalan dengan susah payah. Alya menggigit bibirnya, menahan suara agar tak terdengar. Dalam hatinya ia berdoa, berharap langkah itu segera berlalu. Namun, langkah itu berhenti tepat di depan pintu kamar. Alya menutup mulutnya, mengerjap-ngerjapkan matanya yang mulai dipenuhi air mata ketakutan. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak keras, seakan memukul-mukul dadanya yang kian menambah sesak. Tiba-tiba, terdengar suara mengetuk pintu. Suara ketukan itu rendah dan berirama. Tuk… tuk… tuk… Alya mencengkeram kertas di tangannya lebih erat, hampir merobeknya. Kepalanya berputar, rasa penasaran yang meluap-luap memenuhi benaknya. Namun, ia enggan untuk membuka pintu, berpikir kalau itu keluarganya pasti akan memanggilnya. Ketukan itu berhenti, keheningan kembali memenuhi kamar. Bahkan, udara terasa semakin dingin, menusuk tulang, membuat Alya merasa terperangkap dalam kamar luas ini. Seketika, ia menyadari bahwa kamar itu tampak terasa berbeda. Hawa dinginnya ... terasa lebih menusuk dari beberapa detik lalu. Dari sudut matanya, ia melihat bayangan mengintip di balik jendela. Jendelanya berada di lantai dua, tak mungkin ada siapa pun di sana. Bayangan itu diam di tempatnya, hanya tampak sebagai siluet gelap yang membeku, mengawasi. Alya menutup matanya sejenak, berharap semua ini hanyalah ilusi. Namun, ketika ia membuka mata, bayangan itu telah berpindah, kini lebih dekat, hampir tepat di depannya, seolah melangkah tanpa suara di lantai kayu tua. Bayangan itu berbisik, suara yang rendah dan mematikan. “Kau harus pergi … atau kami akan datang!” Suara itu menggema di kepalanya, membuatnya terhuyung ke belakang, merasakan tubuhnya melemah. Dengan tangan gemetar, ia menunduk menatap kertas di tangannya, seakan mencari jawaban di antara kata-kata itu. Namun sebelum ia sempat melanjutkan membaca, suara langkah berat kembali terdengar dari luar pintu, semakin dekat. Kali ini, pintu kamar berderak perlahan, membuka sedikit demi sedikit dengan bunyi nyaring yang menggema ke seluruh kamar. Dan di balik celah pintu yang semakin terbuka, Alya melihat sesosok bayangan berwajah pucat dengan mata kosong, menatapnya tajam, senyum tipis yang mencekam seolah membekukan darahnya. Suaranya kembali terdengar, kini lebih jelas, penuh ancaman. “Kau milik kami, Alya .…” "Aaargh ...!"あの日以来、私はしばらくの間、視力を失った。 医者によれば、身体的には全く問題がないのに、何も見えない状態が続いているという。 目の前にはいつも炎が広がり、その炎の中に、穏やかに微笑む女性が立っていた。 でも、その人が誰なのか、私は思い出せなかった。 そこで私は彰真に尋ねた。 「おじさん、あなたは私のおじさんなら、私の母さんは誰?」 けれど、すぐに私は彰真が誰なのかすら忘れてしまう。 ただ、小さな山村で暮らしている記憶だけが残っていた。 私の唯一の家族は祖母。 祖母は口が悪いけれど、私をとても大事にしてくれた。 でも、私が「母親に会いたい」と言うのを嫌がった。 「あんたの母はビッチだ。父を台無しにしたんだ」と言った。 そして祖母は、こうも言った。 「この家の女たちはみんなそうやって生きてきたんだよ。私もそうだった。 だったら、なんでお前の母親だけ特別なんだ?」 それから祖母は自分の頬を叩き、こう嘆いた。 「私が優しさなんて持たなければよかった。 自分の息子も、お前も、私がダメにしてしまったんだ」 その後、祖母は亡くなった。そして、一人のとても美しい女性が現れた。 その女性は私を抱きしめ、こう言った。 「私はあなたのお母さんよ」 私は彼女に掴みかかり、叩いた。 でも彼女は、優しく言った。 「おばあちゃんのためにお墓を用意するわ。その代わり、一緒に来てちょうだい」 こうして、私は彼女と山村を出ることになった。 車に乗って振り返ると、彼女は私の顔を優しく、けれどしっかりと両手で正面に向けてこう言った。 「梨乃、振り返らないで。これからはずっと前を向くのよ」 夢から目覚め、私は目を開けた。 そこには、彰真と雅貴が私のベッドのそばに座っていた。 二人とも火傷の痕を残し、彰真の顔には青あざが目立っていた。 「雅貴さん、おじさん……私の母さんは、どこに眠っているの?」 雅貴は答えた。 「君の母さんを彼女の故郷に埋葬した。ここから500キロも離れた場所だ」 そして彼は続けた。 「私は君の母さんと大学の同級生だった。彼女は私のためにこの街に留まり、そしてこの街で人生を終えた」 母が私を桐谷家に迎え入れてくれたとき、私の持ち物は小さなリュックひとつ
私は日記の扉に記された名前を見た瞬間、得体の知れない恐怖に襲われた。 美織の日記 2005年6月3日。私は嫉妬から、親友だった美沙を山奥に売り飛ばした。 私が母に連れられて、あの山奥の村から戻ってきたとき、一時期狂ったように小説を読み漁ったことがある。 あらゆるあり得ないようなストーリーを読んだが、こんな馬鹿げた展開には出会ったことがなかった。 善も悪も、一瞬にしてひっくり返る。 私の母は私を見捨てたことなんて一度もなかった。 私の母は誰も傷つけていなかった。 私の母は不倫相手なんかじゃなかった。 彼女は一番輝いていた時期に、一番愛していた人に出会った。 だが、親友の嫉妬によって山奥に売り飛ばされ、人生を狂わされた。 そして、その親友は母を陥れた後、薬を使って母の最愛の人と結婚し、 彼女の親族の前で徹底的に母の評判を貶めた。 その間、母がどんな苦しみを味わったのか、日記には一切書かれていない。 記されているのは、加害者である美織の自己満足と―― 母が命がけで逃げ出し、加害者の目の前に現れたときの、美織の恐怖と狼狽だけだった。 美織は日記の中でこう書いている。 「彼女がどれだけの苦痛を味わったかなんて知らない。けれど、彼女が私の病室に現れた瞬間、 老け込んだ姿の彼女に、私の輝きはすべて奪われてしまった」 「弟は彼女の献身ぶりを褒め、いいお姉さんだと言った。 夫は私の過去の悪事を知らないはずなのに、彼女を気遣い、昇給まで提案した」 「私は憎らしかった。けれど、彼女を一度破滅させた私なら、二度目もできるはず」 母が聖母のように振る舞い、過去を隠して許してくれたのなら、 美織はそれを逆手に取り、母を再び破滅させることを選んだ。 「彼女が顔を上げられないよう、恥の柱に永遠に釘付けにしてやる」 その後、美織はまた母に薬を盛り、彰真を連れて不倫の現場を仕立て上げた。 命の残り少なかった美織は、その「不倫現場の刺激」を口実に彰真の目の前で飛び降り自殺を遂げた。 その結果、世間は母を誤解し、彰真は母を憎んだ。 そして、私も母を憎むようになった。 その事実を知り、私は自分の頬を狂ったように叩き続けた。 母に浴びせた罵倒の数だけ、自分を叩いて償おうとしたのだ。 最初
まさか、彰真の姉も私たちと同じ場所の出身なの? そんな疑問が浮かんだが、私はただの子どもで、長い間おばあさんのお墓にも行っていなかった。 「姉さんのお墓参りが終わったら、母に相談して祖母のお墓も訪れよう」 そう考えながら、私は車に揺られていた。母はついてくる必要はない。私一人で十分だ。 車内は無言のまま。到着したのは午後だった。 駐車場から墓地までは少し距離がある。母はどうしても行きたいと言い張ったが、彰真に止められた。 「美沙さんは来ないでください。姉さんは、美沙さんにお参りされるのを望んでいない」 なんだよ、この犬野郎! その言葉を聞いた瞬間、私は母を侮辱されたと怒りに震えた。母のために何か言い返してやろうとしたが、次の瞬間、彰真が深々と頭を下げた。 「美沙さん、ごめんなさい。姉さんに代わって謝ります」 そう言うと、彼は突然踵を返し、姉の墓へと駆けて行った。私はその場に取り残され、完全に混乱していた。 「車に戻って休んでいて。美沙」 雅貴が母に言ったが、母は首を振り、毅然とした表情で私たちを見つめた。 「私は行かないわ。梨乃、雅貴と一緒に行ってらっしゃい。過去は過去よ。それより、これからは彰真と支え合っていくのよ」 母の言葉に逆らえない雅貴は、仕方なく彼女を車に戻し、ドライバーにしっかりと世話をするよう念を押した。 墓地に向かう途中、私はぼんやりと周囲の景色を見つめていた。 さすが年間500万円の墓地だけあって、眺めが素晴らしい。 そして、ふと目を凝らすと、遠くに見慣れた山が見えた。私の故郷の山だ。 その山の麓には祖母の墓があり、ここからわずか2キロほどの距離だった。 雅貴と共に彼の前妻の墓へ行くと、そこには彰真の細い背中があった。 空気は重く、私の忍耐が限界に近づいた頃、雅貴が口を開いた。 「彰真、美沙は過去を許している。でも、俺はそう簡単には許さない。お前とお前の姉が彼女にしたことを、お前は……」 「雅貴さん、俺が必ず償います」 二人のやり取りがあまりにも意味深で、私は言葉の真意を理解する間もなかった。 そして、考える間もなく、運転手が慌てた様子で駆け寄ってきた。 「旦那様、大変です!奥様が、車ごと姿を消しました!」 母がいなくなった。車と一緒に。 私
母の声が聞こえた瞬間、私は慌てて御守りを握りしめ、反射的にそれを見られないようにした。 「寒くなってきたわ。こんなところに立ってないで」 母が私の肩にそっと手を置く。その瞬間、二人とも少し驚いた。 私がその手を振り払わないのを確認すると、母の手は微かに震えながらも、私を部屋へと優しく導いていった。 ベッドに横たわる私に、母は布団を掛け直してくれる。 「まだ彰真のこと、怒ってるの?」 母の声は優しく、責めるような響きはない。でも私は、彼女の目を見ることができなかった。 「友達に裏切られるのは、とても辛いことよね。母さんも若い頃、親友に裏切られたことがあるの」 ふと顔を上げると、母の目元が少し潤んでいるのが見えた。 その涙を拭おうとする衝動を抑え、私はまた顔を伏せた。 「でもね、友達に裏切られたのは、梨乃のせいじゃないの。許すか許さないかは梨乃の自由だけど、自分を責めるのはやめなさい。 裏切られること自体が十分な傷になるのに、自分を責めたら、その傷をさらに深くするだけよ」 「でも、母さんは……私のことを怒らないの?」 私は恐る恐る尋ねた。 「梨乃は母さんの子どもだもの。母さんがどうして怒れるの?」 「でも、あの子も……母さんの子どもだったでしょ?」 その言葉に、母はしばらく黙り込んだ。そして、私をそっと抱きしめた。 「たぶんね、私とあの子の縁は、梨乃ほど深くなかったのかもしれないわ。母さんは、あの子も梨乃のことを責めたりしないと信じている」 温かな涙が私の首筋を伝い落ちた。 その温もりに耐えきれなくなって、私は感情を抑えきれずに泣きじゃくった。 背中に触れる母の手は少し粗かったけれど、優しくポンポンと私を撫でてくれた。 それは、幼い頃に何度も夢見た「母親の手」そのものだった。 耳元では柔らかな声が響く。 「大丈夫よ、梨乃。母さんがいるから。ずっと一緒にいるからね」 その夜を境に、私は母と仲直りした。 圧倒的な罪悪感が、私の中にあった不必要な憎しみを一掃した。 そして、私は故郷に向かい、祖母の墓の前で深々と頭を下げた後、心の中で母を赦す決心をした。 「梨乃、おじさんにリンゴを渡してきて」 母が私にリンゴを手渡し、わざと聞こえるような声でそう言った。 彰真はす