Semua Bab Grafiti Dinding Hati: Bab 21 - Bab 30
36 Bab
20. Cinta yang Lain
“Terima kasih, Pa.” Nada menyindir William terdengar sangat kentara. Johan memperdengarkan dengusan kasar pertanda kesal. Pekerjaannya kini bertambah satu lagi akibat ulah William, yakni bicara pada Citta serta berusaha meluruskan kesalahpahaman yang tercipta.“Elena, sebaiknya kau pergi!” Johan mengusir Elena tanpa melihat wajah wanita itu. Sejak dulu Johan tidak pernah suka dengan Elena. Wanita itu adalah penggoda ulung, meskipun mulutnya selalu mengatakan bahwa ia telah bertunangan, tapi segala tindak tanduknya mengisyaratkan hal yang sebaliknya. Seolah ia adalah wanita bujang yang haus belaian laki-laki.“Papa tidak berhak mengusir Elena!” Hardik William dengan suara keras. Johan berdecak kesal. Kesal akan pembelaan William juga upaya putranya itu untuk menahan kepergian Elena. Johan melirik Elena dan sialnya wanita itu tengah menyeringai padanya."Aku ingin bicara berdua saja denganmu, William Rustenburg!" Johan menegaskan tujuannya datang ke apartemen saat ini."Jadi aku minta
Baca selengkapnya
21. Tunduk dan Patuh
Johan tersenyum miring mendengar pertanyaan putranya meskipun dalam hati ia tidak percaya dengan tuduhan yang dialamatkan William pada dirinya. Tidak butuh waktu lama bagi Johan untuk membuat keputusan. Keputusan untuk mengabaikan pertanyaan William dan memilih untuk segera meninggalkan apartemen anak laki-lakinya. Johan membawa kakinya melangkah mantap, menjauh dari pintu sambil tak lupa menutupnya dengan penuh kehati-hatian. Johan yakin saat ini William pasti tengah menatapnya dengan amarah yang meluap.Benar saja. Selepas pintu tertutup sempurna, William segera mengangkat satu tangannya yang tengah terkepal. Gerakan tangannya meninju dinding di dekatnya sebagai pelampiasan amarah terlihat sangat kuat. “Sial!” Maki William dengan rahang tetap terkatup. Ayahnya tidak menanggapi pertanyaannya. William yakin bahwa ayahnya sengaja melakukan itu. Membiarkannya menduga-duga sendiri. Membiarkannya bermain dengan asumsinya sendiri. Membuat otaknya yang sempat berpikir liar, kini beruba
Baca selengkapnya
22. Apa Boleh Buat
“Kamu akan mendapatkan semuanya, Will. Semua yang kamu inginkan.” Janji Johan yang langsung disambut dengan binar pada sepasang netra milik William. Namun, pancaran sukacita di mata William tidak berlangsung lama. Dalam hitungan detik yang terasa seperti kedipan mata, William langsung menatap ayahnya penuh curiga. Satu pasang mata dengan sorot tajam milik William sontak memicing, pertanda kecurigaan yang menguasainya semakin bertambah.“Papa tidak akan mengingkari semuanya, kan?” Tanya William sambil enggan melepas pandangan dari sosok sang ayah. Johan tentu saja tersinggung dengan pertanyaan sang putra.“Laki-laki pantang ingkar janji, Will. Aku mengajarimu hal itu karena aku sendiri tidak pernah mengingkari janji atau perkataan yang keluar dari mulutku.” Ingin rasanya Johan menampar mulut lancang William, tapi lagi-lagi ia
Baca selengkapnya
23. Persiapan Pernikahan
"Terima kasih, Om Johan." Ujar Citta sambil terisak. Hati Citta tergetar setelah mendengar Johan memanggilnya putriku. Hal itu kembali mengingatkannya pada sang ayah. Selama ini hanya sang ayah yang memanggilnya putriku. Johan mafhum akan ucapan terima kasih Citta. "Bukankah sebentar lagi kamu memang akan segera jadi putri Om?" Tanya Johan sambil kembali membelai rambut Citta penuh kasih sayang. Citta menganggukkan kepalanya, pertanda setuju dengan kalimat Johan. "Ya, Om. Bahkan sebentar lagi Om Johan tidak hanya akan punya satu, tapi dua putri sekaligus. Bukankah itu hal yang sangat membahagiakan?" Kali ini ganti Citta yang bertanya. Gadis itu perlahan bergerak, mencoba mengambil jarak dengan Johan, meskipun sebenarnya ia masih enggan. Dulu, Citta sangat suka jika dipeluk oleh ayahnya. Dan sekarang–setelah sekian lama tidak merasakan pelukan penuh kasih sayang–Citta kembali merasakan itu. Citta baru saja merasakan kenyamanan seperti dipeluk ayah sendiri ketika bersama Johan. Dalam h
Baca selengkapnya
24. Kejutan Setelah Wisuda
Johan datang ke auditorium kampus Citta dengan wajah semringah. Kemarin Citta memberitahunya bahwa ia didapuk oleh panitia wisuda di fakultasnya untuk memberikan pidato singkat. Johan dipilih sebagai wali mahasiswa yang lulus tepat waktu serta berprestasi. Tidak ada sedikit pun raut tegang akibat gugup di wajah Johan. Laki-laki itu telah mempersiapkan semuanya tadi malam. Sebuah pidato singkat yang berisi pujian serta kebanggaan dirinya pada sosok Citta.“Kamu memang luar biasa, Sayang.” Puji Johan untuk yang kesekian kalinya. Citta juga demikian. Entah ini sudah kali ke berapa gadis itu mengucapkan terima kasih dengan wajah bersemu kemerahan.Johan sedikit menengadahkan kepala. Dengan senyum terukir di wajah, ia berkata dalam hati. Memuji kehebatan sahabatnya dalam mendidik anak.“Kita berpisah di sini ya, Om Johan. Citta akan berbaris di pintu sebelah sana.” Tunjuk Citta pada kerumunan wisudawan yang tengah mengantri giliran untuk masuk ke auditorium. Johan mengangguk sembari menepu
Baca selengkapnya
25. Pesta Pernikahan
Citta memasuki rumah dengan binar pada sepasang bola matanya. Lengkung senyum juga turut menghiasi wajah gadis itu. Dengan langkah penuh semangat karena gembira, Citta langsung menuju ruang makan. Ia seperti mendengar orang bercakap-cakap dari arah ruang makan.“Hai, Sayang.” Sapa Johan dengan suara yang cukup jelas didengar. Senyum di wajah Citta perlahan memudar. Semua ini dikarenakan dua hal. Pertama, panggilan sayang Johan padanya dan kedua, tentu saja karena ada William di sana. Citta menduga bahwa Johan sengaja menyapanya demikian, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain membalas sapaan Johan.“Halo, Om. William.” Agar terasa tidak janggal, Citta juga menyapa William. Namun William hanya bergeming. Laki-laki itu hanya melihat dirinya dari sudut matanya. Citta kemudian menuju tempat cuci piring untuk mencuci tangan. Ia kemudian duduk di tempat yang biasa ia duduki. “Bagaimana?” Tanya Johan antusias. Citta tersenyum. Pasti Johan ingin tahu apa yang dilakukannya seharian tadi di
Baca selengkapnya
26. Nikah di Bawah Tangan
“Jangan coba-coba untuk memikat William!” Ujar Dhita memperingatkan. Kakak perempuan Citta itu pun menambahkan tekanan intimidasinya dengan mencengkeram lengan adiknya yang kurus. Citta mengangguk sambil meringis karena cengkeraman kuat di lengannya. Tetiba ingatannya kembali ketika ia juga diperlakukan yang sama oleh William ketika magang dahulu.“Satu lagi! Kamu harus membuat acara pernikahanmu dengan William selesai lebih cepat. Bagaimanapun caranya. Bukankah kamu pintar? Gunakan kepintaranmu untuk itu.” Imbuh Dhita lagi. Kilatan kebencian di mata Dhita membuat Citta bergidik. Kakak yang belum Citta kenal dengan baik, kini seolah tengah memberi tahu seperti apa karakter aslinya. Sungguh sebuah kenyataan yang sangat tidak menyenangkan bagi Citta. Kakak yang diharapkannya bisa mengasihi dirinya, ternyata menganggapnya saingan juga musuh. 
Baca selengkapnya
27. Satu-satunya Menantu
William merasa bahwa ia perlu bicara lagi dengan ayahnya mengenai kesepakatan lain yang menyangkut pernikahannya. Setelah menghabiskan hampir dua jam untuk berpikir di apartemennya, William memutuskan untuk segera menghubungi Johan. Ia tidak mau menunda lebih lama lagi karena ia merasa sangat perlu mendapat kejelasan tentang masalah pernikahannya segera.“Halo?” Suara Johan langsung terdengar ketika panggilan yang dilakukan William terhubung. Kening William sontak mengernyit. Suara ayahnya terdengar tidak seperti biasanya.“Ada apa?” Tanya William ingin tahu. William yakin suara ayahnya terdengar seperti orang yang baru menangis, tapi kenapa ayahnya sampai menangis? William benar-benar dibuat penasaran karena Johan tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Justru yang terdengar kemudian adalah suara Johan yang tengah bicara dengan setengah b
Baca selengkapnya
28. Baju Tidur Seksi
Di dalam kamarnya, Citta menanggalkan pakaian pengantinnya dengan dibantu Ratih. Mereka berdua memilih bekerja dalam diam. Namun sebenarnya Ratih ingin bertanya tentang banyak hal, tapi ia lebih kasihan ketika melihat sahabatnya yang tampak kelelahan. Setelah membersihkan riasan yang menempel pada wajah Citta, Ratih kemudian berpamitan. “Tidak perlu diantar, oke.” Tolak Ratih ketika mereka sampai di depan pintu kamar Citta. Citta mengangguk tanda setuju. Tubuhnya memang terasa sangat lelah sehingga tanpa perlu berdebat, Citta langsung mengiyakan permintaan Ratih.“Terima kasih.” Ucap Citta sambil bertumpu pada daun pintu yang terbuka. “Sama-sama. Kita berdua sama-sama lelah, kan. Oya, aku selalu siap kapan pun kamu mau cerita.” Kode Ratih diikuti cengiran jenakanya. Citta tersenyum tipis. Ratih memang memahaminya dengan sangat baik.“Iya, kalau waktunya sudah tiba, aku akan ceritakan semuanya.” Jawaban Citta terdengar seperti sebuah janji. Ratih menepuk perlahan lengan sahabatnya ke
Baca selengkapnya
29. Lebih Baik Menghindar
Citta terbangun ketika merasakan tengkuknya seperti diterpa embusan napas.Tunggu! Embusan napas?Bukankah tadi malam ia tidur sendirian. William memilih tidur di sofa, kan?Atau….Citta menjerit tertahan karena otaknya membawanya pada kemungkinan yang sama sekali tidak diperhitungkannya.Bagaimana jika William pindah ke tempat tidur?Menyadari peluang itu sangat mungkin terjadi, Citta pun segera mengubah posisi tidurnya. Dan kali ini ia benar-benar memekik, meski tidak kencang, ketika netranya menangkap sosok William yang tengah meringkuk pulas di dekatnya.William yang tampak terusik dengan jeritan Citta, membuka sedikit kelopak matanya. Lalu, tanpa mengatakan apapun William langsung menarik Citta mendekat padanya dan serta merta mengunci tubuh Citta dengan pelukan yang cukup erat. Pinggang Citta yang ramping terasa sangat pas dalam pelukan William. William sebenarnya sudah bangun dari tadi sehingga ia tahu semua reaksi Citta yang menurutnya lucu sekaligus menggemaskan. Sangat mu
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status