Lahat ng Kabanata ng Pura-Pura Buta: Kabanata 121 - Kabanata 130
140 Kabanata
48
POV Anya  Apa mimpi terbesarmu?   Mimpiku ingin jadi orang sukses dan hidup bahagia dengan orang yang kucintai. Kenyataannya … semuanya hancur. Semua yang hampir di depan mata musnah karena satu orang, Delia. Nama yang kuingat sampai sekarang ini, yang selalu menghantuiku dimanapun berada. Kukira setelah berhasil menikah dengan anak orang kaya, hidupku akan bahagia, nyatanya tidak, wanita tersebut terus membayangi.  ***  "Kamu putusin aku karena wanita itu?" Dilan melengos tidak mau menatapku.  "Dilan, jawab!" pekikku karena ia masih diam.  "Bukan seperti itu, An. Maaf, sejak awal aku memang tidak mencintaimu. Perjodohan ini terpaksa kujalani demi hutang almarhum ayahku yang kalian bantu. Sudah kucoba mencintaimu, tapi sulit. Aku tidak bisa. Ditambah kelakuanmu yang sang
Magbasa pa
49
POV Anya  "Bagaimana rasanya hidup miskin?" Sebelum pulang aku menyempatkan bertemu dengan Heru--mantan suami Delia. Sudut bibirku tertarik ke atas, menyindirnya.   Heru tersenyum. "Nyaman, tenang, Nyonya Yudha. Belajarlah untuk ikhlas menerima semuanya, maka hidupmu pun akan setenang ini," jawabnya dengan tersenyum tipis.   Nyonya Yudha? Ternyata dia mengenalku. Tentu saja, siapa yang tidak mengenal pengusaha sukses--Yudhatama Atmanegara. Kukibaskan pelan ujung rambut yang berada di sebelah kanan lalu tersenyum jumawa.   Apakah benar hidup Heru setenang itu? Bahagiakah ia setelah kenikmatan hidupnya harus diambil paksa Delia? Aku mengikuti perkembangan kasus mereka. Delia melaporkan mantan suaminya itu atas tuduhan korupsi dan percobaan pembunuhan. Ngeri membayangkan ia sampai melakukan itu semua hanya untuk menguasai harta istrinya.
Magbasa pa
50
POV Alan  "Alan …." Mami merangsek datang memelukku erat.  "Kamu pulang, Nak?" Diciuminya kedua pipi dan memeluk lagi. Aku diam dengan senyum tipis tersungging di bibir.  "Kok nggak bilang datang? Kapan? Kenapa pulang diam-diam? Mau ngasih kejutan ya?" Senyum sumringah tidak pernah lepas dari bibirnya. "Papi dan Kakek tahu?" Rentetan pertanyaan, Mami lempar dengan tangan yang membingkai wajahku.  Pelukannya kuurai pelan. "Pagi tadi. Alan pulang nggak ada yang menyambut di rumah. Sepi," jawabku datar setengah menyindir. Aku kecewa, orang yang paling kurindukan tidak ada di rumah. Malah bertemu dengan Yudhis dan terlibat pertengkaran dengannya.   "Eh, i--iya. Mami ada janji sama teman, menghadiri peresmian restoran barunya di luar kota, ini juga baru balik." Dengan salah tingkah Mami menjawab. Ia mendekat
Magbasa pa
51
"Iya. Apa?" balasnya kemudian. Aku bernapas lega. Kukira ia marah dan menutup teleponnya. Mood cewek kan suka ambekan, dan berpura tuli saat dipanggil.  "Kamu kenapa? Sakit? Atau …." Sengaja bertanya gantung menunggu jawabnya.  "Nggak, Alhamdulillah sehat kok. Kamu gimana? Pa kabar juga?" Suaranya terdengar sendu.   "Sama, Alhamdulillah baik juga. Pertanyaanku tadi belum dijawab. Tahu darimana aku udah pulang?"  Terdengar desahan berat di seberang sana.   "Mami yang cerita. Barusan kami chatingan. Terus Mami nggak sengaja keceplosan bilang kalau kamu udah pulang. Tadi beliau sempat berpesan jangan telepon kamu dulu, tapi aku nggak sabaran. Habisnya aku kesel kamu pulang diam-diam. Kan aku udah bilang mau jemput kamu kayak yang pertama kamu berangkat ke sana. Pengen mengulang momen itu." Aku merasa b
Magbasa pa
52
Kilas balik  "Jelaskan padaku Dis, apa maksud ucapanmu itu? Jangan memfitnah mamiku begitu rendah hanya karena kamu tidak suka padanya."  Aku tahu Yudhis tidak menyukai Mami, tampak dari gesturnya yang selalu menghindari Mami dan kurang begitu menanggapi omongan Mami kalau lagi bicara padanya.  Kukejar Yudhis sampai ke kamarnya dan menggedor-gedor kamarnya sampai ia akhirnya mau membukakan pintu. Tanganku segera menarik kerah bajunya dengan begitu kasar.  Yudhis menghentakkan tanganku hingga terlepas.  "Santai, Bro. Aku juga bisa marah. Pukulanmu itu belum sempat kubalas. Jangan sampai aku balas sekarang." Matanya mendelik sinis ke arahku.   "Pukul! Pukul dimanapun kamu mau, ini!" Kudekatkan pipi dan badanku ke arahnya.  Yudhis hanya tersenyum.
Magbasa pa
53
POV Alan  Kakek menampar Mami. Aku terkejut, begitupun yang lain.  Kedua netra Mami memerah. Ia memegang pipi bekas tamparan Kakek. Pasti sakit karena Mami meringis seraya mengusapnya.  "Kakek!" Shanum maju ke depan Mami, menggelengkan kepala ke arah Kakek seperti menolak tegas perlakuan kasar Kakek barusan. Sedang aku masih terpaku membeku karena syok dengan yang barusan terjadi.  "Mami ti--"   "Aww …." Shanum terdorong hingga terjatuh. Niat Shanum ingin menolong Mami malah dibalas dengan dorongan keras.  "Mami!" Teriakku tidak terima. Yudhis sigap membantu Shanum berdiri karena posisinya yang lebih dekat. Sedangkan aku Bergegas menghampiri Mami dengan raut wajah kecewa.  "Sekarang kamu paham kan, Num, siapa yang harus kita bela dan yan
Magbasa pa
54
POV Shanum  Aku dan Alan saling diam tidak ada yang memulai ingin bicara. Alan fokus menyetir. Sedangkan aku mencoba menikmati pemandangan jalan yang sesak dengan berbagai kendaraan yang sedang melintas.   Pikiranku masih melayang ke peristiwa yang baru saja terjadi, yang mengungkapkan sebuah kebenaran menyakitkan.  Hatiku sakit mengetahui kalau Tante Anya ternyata tidak bisa menerima kehadiranku di dalam hidupnya. Ditambah kebenciannya pada Bunda. Aku tidak tahu apa tanggapan Bunda kalau tahu semua ini. Namun rasaku tidak seberapa dengan apa yang dirasakan Alan. Dia pasti sangat hancur mengetahui ibunya hanya bersandiwara merestui hubungan kami dan berupaya melakukan segala hal untuk menghancurkan hubungan ini. Bahkan hampir membuat Alan terpuruk. Fitnah dan jebakan itu tidak masuk di akal kalau ternyata idenya itu berasal dari ibunya sendiri. Terlalu jahat.  
Magbasa pa
55
"Biasa saja lihatnya jangan kaget gitu. Aku serius," balasnya.     "Se-ka-rang? Tapi mamimu?"     "Tahun depan, ya sekarang Sayang. Kan kita lagi di jalan menuju rumahmu. Soal Mami biar Papi yang urus. Oh, ya. Hari ini weekend, apa Ayah-Bundamu ada di rumah?" Aku mengangguk mengiyakan.     "Ada Nenek juga," imbuhku.     "Benarkah? Kamu beruntung ya. Papiku kalau Minggu baru libur. Hari Sabtu begini dia tetap kerja."      Aku jadi merasa kasihan dengan Alan. Pantas Alan sering merasa kesepian.     ***     Semua keluarga lengkapku berkumpul di ruang keluarga.     Belum ada yang memulai bicara setelah selesai berbasa-basi menyapa Alan yang mendadak datang ke rumah. Aku belum memberitahukan kalau Alan sudah balik d
Magbasa pa
56
POV Alan  Pulang dengan tangan hampa, itulah yang kubawa dari rumah Shanum. Restu mereka masih terhalang keikhlasan hati Mami. Bahkan Bunda Delia sudah memberi peringatan akan membatalkan pertunangan kami kalau Mami masih belum berubah. Aku tak tahu keadaan di rumah seperti apa setelah kutinggal pergi. Apakah Papi sudah pulang dan bisa mengatasi keegoisan Mami? Kulajukan kendaraan roda empat dengan kecepatan sedang, membelah jalan raya ibukota menuju rumah.  *** "Lan, kamu masih di rumah Shanum?" Papi menelepon. Kulirik jam, baru dua jam meninggalkan rumah, mengantarkan Shanum pulang.  "Tidak, ini lagi di jalan mau pulang. Kenapa, Pi?"  "Bagus, Papi tunggu di rumah. Kita harus bicara," jawabnya. Artinya Papi sudah ada di rumah. Entah seperti apa situasi di sana. Dari nada suaranya terdengar serius. Apa Papi sudah bicara dengan M
Magbasa pa
57
Aku berjalan gontai menuju kamar Mami. Kuketuk pintu kamarnya yang tertutup rapat.  Tidak ada sahutan dari dalam. Tidak mungkin Mami tidur, dia baru saja masuk.  Kucoba mengetuk lagi dengan memanggil namanya. Masih tidak ada suara dari dalam. Terpaksa kubuka pintunya tanpa izin darinya.  "Mami."   "Mam, Alan masuk ya?" Izinku berseru memanggil namanya. Aku membuka pelan dan masuk ke dalam. Kulihat Mami duduk di tepi ranjang masih dengan tisu di tangan. Air mata meleleh di kedua pipinya.  Kudekati dan duduk di bawahnya. Berjongkok dengan meraih tangannya tapi malah ditepis. Mami pasti marah padaku.  Aku bangun dan duduk di sampingnya. Ia menggeser badannya menjauhiku.  "Mami marah?"  Ia diam. Tidak menyahut.
Magbasa pa
PREV
1
...
91011121314
DMCA.com Protection Status