All Chapters of Cinta Berengseklicious: Chapter 21 - Chapter 30
45 Chapters
Chapter 21
Richi makan siang di kantin Klinik Bunda. Mitha pun juga memesan makan siang di tempat yang sama. Ia bertatap pandang dengan Richi. Lalu Richi mendekatinya yang duduk di pojok ruangan. "Mbak Mitha?" tanya Richi ramah pada rekan kerjanya itu. Ia meminta untuk duduk di tempat yang sama. "Iya, Dok. Silakan." kata Mitha ramah. Lalu keduanya membuka masker saat hendak makan nasi dan lauk itu. Keduanya beradu pandang tak sengaja, lalu saling tersenyum. Namanya juga rekan kerja, mana mungkin tak saling ramah. Asalkan menjaga sikap saja. Richi memesan kepala kakap ala minang, sedangkan Mitha memesan lauk dendeng sambalado. Semuanya terkesan khas ranah minang. Memang lidah mereka cocok makan di gerobak minang milik Mak Tina itu. "Suka dendeng batokok ya?" tanya Richi basa-basi. "Gak juga sih, Dok." jawab Mitha. Lalu ia balas bertanya. "Dokter Richi suka kepala kakap? Mitha jago lho bikin itu." kata Mitha lagi. "Oh ya?" jawab Richi.
Read more
Chapter 22
"Kamu pilih mama atau papa?"Wanita umur 50 tahun itu keluar dari kamarnya, lalu menemukan Wendy, anak semata wayangnya yang menonton tivi setelah mandi. Ia belum lama pulang dari sekolahnya sore itu. Aktivitas sekolah yang padat membuat anak lelaki itu hanya diam mendengarkan mamanya bicara sambil menangis. Ia bingung. Entah apa yang bisa dilakukan anak kelas dua SMA itu pada orang dewasa yang menangis. Wanita itu duduk di sofa hijau di samping anaknya itu. Mata wanita umur 50 tahun itu berkaca-kaca dan memerah. Wajahnya basah seperti sering menangis. Mama Wendy memang sudah menangis berhari-hari. Seperti biasa, hanya ada mama dan Bi Ijah di dalam rumah ini. Papa sering tidak pulang ke rumah karena alasan urusan perusahaan. Rumah mereka pun ada dua, satu di Gandaria, Jakarta Selatan, satu lagi di dekat perusahaannya di Gading Putih, Bandung karena perusahaan papa juga ada satu di Bandung. Mereka juga punya satu apartemen di daerah Ancol yang
Read more
Chapter 23
Rssa mengecek urin pertamanya setelah bangun tidur dengan test peck yang dibelinya di apotek. Setiap serapan air urin yang melaju ke atas detik demi detik dari alat kecil itu ada harapan besar di benak Rissa agar garisnya satu saja.Air pun terus diserap alat kecil persegi panjang itu. Lalu mencetak satu garis. Sebentar lagi ia akan berada di garis ke dua. Apakah garis ke dua itu putih atau merah, Rissa memilih agar putih saja. Air pun terserap ke garis ke dua, hasilnya bukan merah atau putih seperti bendera, tetapi hasilnya pink atau merah jambu.Rissa melihatnya seperti garis putih, tetapi dilihatnya lagi seperti merah jambu yang lemah, ia samar-samar, yang menandakan kadar hormon HCG masih sedikit di urin itu.Rissa tergeletak lemah di lantai kosannya. Ia tak menyangka kalau ia hamil. "Mana mungkin?!" "Ceceeep!" ia berteriak sambil menangis tersedu memanggil nama Cecep. Menurut HTHP, Rissa sudah telat haid hari ke 36.Malam itu ia ingat ka
Read more
Chapter 24
Varian covid-19 bertambah lagi. Mulai dari varian B.117, varian alfa hingga delta. Efektivitas vaksin covid-19 berkurang, dari 65 % menjadi 40 - 45 % saja. Varian delta yang dari India ini sangat mudah sekali menular, bahkan jika kita hanya berpapasan dengan pengidap, apalagi kalau seruangan dengan pengidap, baik itu seruangan ketika makan siang di kantin, ketika beli makanan di mall, serta kerumunan lainnya. Hiruk pikuk mall dan tempat hiburan yang menjadi gudang penularan tercepat itu membuat Richi tak ingin meninggalkan Bengkulu. Toh ia masih bisa bertahan hidup dengan menjadi dokter di Klinik Bunda. Tapi memang pengasilannya masih kurang jika ingin hidup lebih mewah dan hedon. Ah, Richi bukanlah tipe lelaki hedon. Ia ke Bengkulu pun hanya ingin mencari belahan jiwanya, memata-matai, lebih dari mencari karena jika tidak begitu, siapa pun pasti mau menikah dengannya. Sudah ganteng, kaya raya, keturunan baik-baik, bukan pria nakal, dan mandiri, seorang dokter pula. Jik
Read more
Chapter 25
Rissa kewalahan membantu mengobati pasien covid di RSUD Gading Cempaka. Dokter Yusuf kali ini sering menjadi partnernya. Sehari bisa datang 10 pasien covid baru. Tapi jumlah itu tidaklah sebanyak pasien covid yang lalu lalang di rumah sakit se-Jabodetabek. Ia merasa sedikit lebih beruntung waktu itu tidak mendapatkan penugasan internship di Jakarta dan sekitarnya karena nyatanya teman-teman Rissa yang mendapatkan lokasi iship di Jakarta sudah sangat kewalahan. Boro-boro pulang ke rumah di Gandaria, kalau saja ia waktu itu dapat iship di Jakarta, mungkin Rissa juga tak pulang-pulang karena dinas di rumah sakit. Hanya bisa pulang sebulan sekali. Itu pun dinas harus selalu pakai hazmat yang sangat mengerikan itu. Selalu membuat badan basah kuyup sekujur tubuh, seperti mandi sauna setiap hari. Beda seperti iship di Bengkulu, karena pasir covid di RSUD ini tidak sebanyak di Jakarta, ia masih bisa menjauhi hazmat, si APD level tiga itu.Rissa sudah pulih dari sakit kepala dan mualn
Read more
Chapter 26
Malang, 2011"Mitha, tolong kecilkan tivinya." kata Amak dengan suara tinggi padaku yang menonton serial kartun Chibi Maruko Chan di vcd yang aku beli sendiri."Iya, Amak." jawab Mitha. Sekarang Amak sangat mudah marah.Kota dingin ini membuatku ingin pulang ke rumah Eyang Kakung di Surabaya. Tapi Apak dan Amak menggelar dagangannya di sini. Gorden-gorden jahitan Amak dipajang di lapak kecil Pasar Tradisional Modern ini. Tapi kalau sudah malam begini biasanya Apak dan Amak sudah pulang.Pring!Prang!Preng!Prang!Kudengar ada suara piring melamin yang dilempar. Kulihat Amak melempar piring itu ke arah Apak, tetapi tidak kena. Apak menghindar dan mencoba menangkis lemparan piring dari Amak. "Modalnyo 30.000, awak jual 35.000 sehelai. Ba a ko nak untuang, Pak?!" omel Amak pada Apaknya yang cuma mengambil untung 5000 perak dari penjualan satu gorden."Biar laku lah, Maimunah." jawab Apak yang memanggil nama Am
Read more
Chapter 27
Sudah sebulan ini kudengar Amak selalu meminta diceraikan Apak. "Ada apa, Amak? Apak setia dengan Amak. Pulang ke kampung Amak di Jawa Timur pun Apak lakukan." kata Apak pagi itu pada Amak yang menyiapkan koper di kamar. Aku mengintipnya dari balik gorden panjang.Amak diam saja. Tangannya cekatan memindahkan baju dari lemari ke kopernya. Dalam hatiku berkata, apakah Amak hari ini benar-benar akan meninggalkan kami?Tiba-tiba Amak angkat suara. Suara itu memecahkan gendang telinga. "Wes lama aku hidup denganmu, Pak. Ora pernah aku sugih. Gak pernah kaya-kaya. Aku ora gelem hidup susah terus, Pak." jawab Amak yang akhirnya mengancing koper besarnya.Apak terdiam. Sepertinya Apak sudah pasrah. Amak menggendong adikku yang paling kecil, Gibran. Ia masih umur 3 tahun. Amak pun berdiri dari tempat duduknya. Sambil membawa koper dan menggendong Gibran. "Saya tunggu surat cerainya, Pak! Gibran saya bawa karena masih sangat kecil."
Read more
Chapter 28
Richi masih memakai jas putihnya. Ia tampak baru keluar dari lobby Klinik Bunda, tanda tugasnya sore itu telah usai. Tak perlu naik mobil untuk tiba di kosannya, hanya jalan kaki. Mobil yang dikirimkan sopirnya itu pun sering hanya tergeletak di parkiran samping kosannya tanpa sering dipanaskan.Ia menyusuri jalan setapak. Baru kali ini ia merasa merdeka. Jadi dokter yang simple. Cuma bercelana jeans, berkaos oblong dengan jas dokternya, dan bersendal jepit tapak biru yang baru ia beli di warung tetangga. Kini dia berjalan dari klinik itu menuju kosannya. Tampak rumah-rumah warga pribumi di sepanjang jalan setapak itu di kanan dan kirinya. Jalan setapak ini masih berbatu kerikil. Belum diaspal. Jadi, kalau siang terik dan panas biasanya debu-debu beterbangan ke atas awan. Rumah-rumah yang berjejer itu beberapa di antaranya berjualan di depan rumahnya. Dipikirnya, beruntung juga ngelapak di dekat bahkan di depan lokasi klinik yang ramai. Di antara rumah-rumah yang berjualan it
Read more
Chapter 29
 Pagi ini tak seindah biasanya. Alias lebih indah dari hari-hari indah biasanya bagi Mitha. Tentu saja karena sore kemarin ia bertemu dengan cinta pertamanya ketika ia masih kecil dulu. Subuh ini ia sudah bangun salat sunnah rawatib sebelum subuh, salat subuh, lanjut mengaji, lalu ia membaca dzikir pagi, memohon perlindungan Allah. Itulah yang dilakukannya setiap hari kalau di kosan. Guru ngajinya pas kuliah dulu yang mengajarkannya. Setelah merapikan alat salat dan kitab mengajinya, ia menuju kamar mandi. Ia mandi tidak sambil bernyanyi karena kata guru ngajinya dulu, WC adalah sarang setan atau rumah setan yang ditangguhkan Tuhan sampai hari kiamat nanti. Jadi, kalau nyanyi-nyanyi di kamar mandi, bisa jadi setannya tertawa. Makanya kadang ada cerita kalau kita bernyanyi di kamar mandi, terkadang kita mendengar ada yang melanjutkan nyanyian kita. Itu karena setannya ikut nyanyi, lho. Ah, kini Mitha telah selesai mandi. Mandi subuh
Read more
Chapter 30
Pak Marwan duduk di pos satpam. Sore itu Mitha pulang dari dinas pagi di RSUD. Kini saatnya dia kembali dinas lagi sore ini di Klinik Bunda. Cari duit sebanyak-banyaknya buat sekolah FKG-nya Shinta, adiknya yang padahal sudah dapat beasiswa. Ia hanya takut kurang dana beasiswanya. Jadi bisa menolong adiknya kuliah.Mitha pun menunggu ojek online di dekat pos satpam itu. Seperti biasa, mata Mitha agak jeli. Ia menelusuri ruang kecil satpam itu. Dilihatnya ada jam dinding putih di dalam sana, ada satu kursi dan meja kecil. Cukuplah untuk menonton siaran tivi di Hp sambil menjaga pos."Lho, Pak Marwan, itu kok di meja satpam ada buku diary pink." kata Mitha.Sebenarnya Mitha barusan ingin bilang kalau itu buku diary pink punya Dokter Rissa. Tapi, karena di sepanjang jalan ia merasa Dokter Rissa sangat save dengan diary itu, Mitha penasaran. Pikirnya, sebaiknya Mitha saja yang mengembalikannya diary itu pada Dokter Rissa. Jangan Pak Satpam."Lho, ini diary ka
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status