Semua Bab Mimpi Cinderella: Bab 11 - Bab 20
43 Bab
Terima atau nggak, ya?
 Lagi-lagi kukeluarkan jurus andalan. Menghitung kancing baju. Ciyaaat ...hiyat ... hadezig! Isi, jangan, isi, jangan, isi ....Lho? Kok kancingku jadi lima? Padahal tadi enam. Ke mana yang satunya? Astaga! Ternyata kancingku yang paling atas terbuka. Aku tak menyadari entah sejak kapan itu terjadi. Mungkin waktu menarik-narik tangan gorila tadi. Atau pas lompat-lompat di kasur. Dalam hati merasa khawatir Pak Mahendra sempat melihatnya. Tadi dia sempat membuatku terdesak ke di tembok. Lalu dia sempat berbisik jahil waktu jarak kami sangat dekat. Mungkin dia berpikir jika aku sengaja menggodanya, maka dia tak memberitahuku.Duh Gusti ... kenapa ini harus terjadi? Kugelengkan kepala mengusir pikiran yang berkeliaran ke mana-mana. Kembali perhatian kualihkan ke buku di hadapan. Kolom tentang ukuran belum kuisi juga.Akhirnya kuputuskan untuk mengisi kolom itu belakangan saja. Mengisi yang lainny
Baca selengkapnya
Seri
 Aku melangkah dengan tergesa-gesa sambil menutupi kepala dengan tas sandang agar tak terkena hujan. Aku rela berbasah-basahan karena berpikir jika bos tampan itu akan menawariku masuk ke dalam mobilnya. Lagi pula waktu yang tersisa semakin mepet sementara mobil pesanan belum juga datang."Bapak manggil saya?" tanyaku ketika sudah  berada di dekat jendela mobil yang terbuka. "Di depan itu mobil pesananmu, bukan? Bilangin sama sopirnya, suruh mundur! Saya mau lewat dulu," titahnya dengan suara tegas, pertanda tak bisa dibantah.Bibirku langsung maju beberapa centi. Kesal! Kuentakkan kaki, berjalan cepat ke arah mobil yang ada di depan.Sialan! Dia mengerjaiku lagi! Padahal kan dia bisa nyuruh sopirnya turun. Kenapa mesti aku lagi? Dasar! "Kenapa kesal? Kamu pikir, saya mau nawarin kamu naik mobil ini?" serunya. Rupanya dia menyadari kekesalanku. Tanpa menoleh kulanjutkan langkah dengan tak menghirauka
Baca selengkapnya
Kangen
 Sambil menunggu Asep membuatkan teh manis, aku mengintip dari jendela kaca pantry. Ingin tahu apakah Pak Mahendra mengejarku. Namun tak terlihat siapa pun di lorong. Mungkin dia sedang mengganti bajunya sambil merutuk kesal. Aku tertawa geli membayangkan wajah marahnya tadi. Memang enak, balas dikerjain? "Hei, dipanggilin malah senyam-senyum sendiri!" Gerutuan Asep membuyarkan lamunanku. Kuterima minuman yang diangsurkannya lalu bergegas meninggalkan pantry setelah mengucapkan terima kasih. Sewaktu melewati ruangan Pak Mahendra kusempatkan untuk menengok. Gordennya ternyata tertutup. Rencana mau ngintip dia pun gagal.Mungkin saja dia merasa kalau sudah menjahiliku, makanya dia tidak protes atau mengejar waktu aku membalasnya. Kemarin juga dia diam saja waktu kuisi dengan asal biodata di bukunya. Berarti memang impas dong, kita. Score-nya sama, 2-2. Aih, udah kaya pertandingan bola aja. 
Baca selengkapnya
Dimata-matai
 Entah mengapa malam itu aku tidak bisa tidur. Berkali-kali kucoba memejamkan mata tetapi bayangan Pak Mahendra yang datang dan terus membayangi. Mengusik dan mengobrak-abrik pikiranku.Semula kupikir dia diam karena memaklumi kekesalan yang kurasakan. Namun semakin kutelusuri, ada kemungkinan lain yang mengganggu pikiran. Mungkin saja diamnya laki-laki tampan itu pertanda jika dia benar-benar tak peduli padaku. Jika iya, itu berarti aku harus mengubur dalam-dalam segala harapan padanya. Berarti dia memang benar-benar tak mengingatku sebagai perempuan yang telah dia renggut kehormatannya di malam itu. Terkadang aku ingin menanyakan padanya secara langsung mengenai kejadian itu. Namun, aku takut dia menyangkal atau malah menuduhku mengarang cerita untuk memerasnya. Jika diperkarakan dengan hukum pasti juga tak akan bisa karena tak ada bukti dan saksi. Lagipula berhadapan dengan hukum sama saja dengan bersiap-siap mengge
Baca selengkapnya
Cemburukah Dia?
 Ketika memasuki lobi kantor, resepsionis memperhatikan tanpa berani berkomentar apa pun karena ada Pak Mahendra di sampingku. Setelah menempelkan jari pada mesin absen aku pun segera menuju ke meja kerja. Semenjak memasuki lobi tak sepatah kata pun keluar dari bibir si Bos. Aku dan dia bagai kedua orang yang saling tak mengenal, sama-sama diam. Mungkin dia menjaga image-nya di depan karyawan yang lainnya. Mungkinkah sebenarnya dia mengingat dan mengenaliku sebagai gadis yang dia renggut kehormatannya malam itu. Bisa saja dia merasa derajat kami tidak sama. Dia bos, sedangkan aku karyawan biasa. Maka dari itu dia tak mau bertanggung jawab dan berpura-pura tak kenal denganku.Sepertinya kemungkinan ini yang paling mendekati kebenarannya. Perhatiannya kepadaku tak seperti perhatiannya kepada karyawan lain. Maksudku sikapnya kepadaku sangat berbeda layaknya terhadap karyawan yang lain. Di depan mereka dia terkesan angkuh dan di
Baca selengkapnya
Baper
 Kerempongan Pak Mahendra semakin menjadi saat bakso pesananku datang. Pesanannya sendiri baru dibuat karena dia datang belakangan. Kububuhkan saus, kecap, dan sambal sesuai seleraku lalu mengaduknya. "Itu enak, nggak?" tanyanya sambil menunjuk mangkok bakso punyaku.Aku pun langsung menyendok bakso yang paling kecil berikut kuahnya. "Enak, kok, Pak. Seperti biasanya," jawabku jujur.Memang rasanya seperti biasanya tak ada yang berubah. Kuletakkan lagi sendok di mangkuk lalu menyeruput teh botol di meja. Haus, Gaes! Terkejut. Itu yang kualami saat tiba-tiba saja Pak Mahendra mengambil mangkuk punyaku lalu dengan santainya menyuapkan bakso ke mulutnya. Sendok itu kan bekasku tadi. Dia tanpa sungkan memakainya. Entah dia sadar atau tidak.Si Bos Sengklek meleletkan lidah. "Pedas! Nggak enak! Kamu mau meracuni saya?" Dia mengatakan itu sambil kembali menyodorkan mangkuk ke hadapanku.Ealah ...
Baca selengkapnya
Hati yang Bercabang
 Siang setelah jam istirahat aku tak bisa konsentrasi. Otak ini terus saja bekerja memikirkan ucapan teman-temanku tadi. Baik tentang Pak Mahendra ataupun tentang Andra. Kedua laki-laki yang kata mereka menyukaiku.Aaargh! Kenapa bayangan mereka nggak mau pergi? Benar-benar menyiksa! Aku merutuk sambil mengacak-acak rambut. Tiba-tiba saja kepala terasa gatal. Aku tersentak ketika merasa seperti ada yang bergerak di antara helaian rambut. Jangan-jangan ... di sana ada kutunya. Aduh ... seperti ada yang menggigit! Segera kugerakkan jari di tempat yang terasa gatal. Tak sengaja telunjukku mengenai sesuatu. Rasa curiga mendorongku untuk menjumputnya.Ealah ... ternyata beneran kutu! Duh Gusti ... kenapa binatang penghisap darah itu bisa ada di rambutku? Segera kupites mahluk kecil itu sambil bayangin lagi mites miniaturnya Pak Mahendra. Ssst! Jangan dibilangin, ya! Sial! Kepala
Baca selengkapnya
Kejadian Tak Terduga
 Aku merasa kesal sekali dengan Pak Mahendra. Sepertinya dia tak berhenti mengusik ketenangan hidupku. Jika tidak marah-marah dan menghukum, dia berbuat jahil kepadaku. Sebenarnya dia itu manusia atau bukan, sih? Kenapa kelakuannya mirip sekali dengan set ... ah, terusin aja sendiri, ya? Yang jelas, menggoda iman manusia. Tahu, kan, apa namanya? Dia membuatku terpaksa beristigfar berkali-kali karena kelakuannya. Jika imanku tak kuat mungkin sudah keluar sumpah jerapah eh salah, maksudku, sumpah serapah buatnya. Kadang terbersit tanya dalam hati apakah yang dilakukannya itu hanya karena mencari perhatian dariku. Rasanya impossible, sih, tapi, kok ya kalau dipikir-pikir sampai jungkir balik rasanya masuk akal juga.Aku hanya bisa bertanya pada rumput yang bergoyang. Atau pada bulan dan bintang. Namun sepertinya jawaban mereka sudah tak updated lagi. Baiklah lebih baik aku bertanya pada Simbah Gugel bagaimana caranya agar bisa
Baca selengkapnya
Dia Mau Apa Lagi, Sih?
 Motor yang kami tumpangi terasa melambat. Rasa penasaran membuatku membuka mata karena ingin tahu berada di mana. Samar-samar terlihat berbagai jenis gerobak dan stand makanan berjajar. Ah, coba aku nggak lagi kaya gini, pasti senang banget bisa makan di situ. Perut sama mataku nggak singkron amat, sih! "Jadi mau beli makan, nggak?" tanya Andra ketika motor sudah berhenti.  "Aku ngantuk dan pusing banget, Ndra. Aku mau mau pulang aja deh. Nggak jadi beli makannya," sahutku setengah sadar.Motor pun kembali melaju. Kembali kututup mata yang terasa lengket untuk dibuka karena percaya Andra akan membawaku pulang ke kontrakan.Tak lama kurasa motor kembali berhenti. Kupaksakan untuk membuka mata dan menyadari jika tempat yang ada di depan  mata bukanlah kontrakanku."Kita di mana ini, Ndra?" tanyaku."Ini di rumah sakit, Nara. Katanya kan kamu pusing, jadi kuantar periksa dulu ke dokter," sahutnya
Baca selengkapnya
Andra Babak Belur?
 Aku melengos. Malas melihat wajah tampan tetapi menyebalkan itu. Wajah yang dulu amat kukagumi, tetapi sekarang ingin kulupakan.Sebenarnya apa yang diinginkannya sehingga selalu muncul untuk mengusikku. Mungkin dia merasa belum cukup menggangguku selama ini. "Kinara Ailani!" panggilnya lagi. Dia tak ada bosannya memanggil namaku. Ah, bahkan mungkin supirnya juga sudah bosan disuruh membuntutiku setiap hari. Kalau protes diizinkan, mungkin dia juga akan melakukannya."Kenapa masih ada disitu? Cepat pulang!"Enak saja menyuruhku pulang. Sudah seperti bapakku saja. Aku bergeming dan pura-pura tak mendengar perkataannya. Masa bodoh dia mau bilang apa anggap saja angin lalu. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Eh, lewat belakang juga kayanya. "Cepat pulang! Jangan keluyuran di jalan!" serunya lagi.Sambil menahan geram kupalingkan wajah dan memasang wajah sinis padanya. "Siapa sih, Bapak ini? In
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status