Semua Bab My Captain Pilot: Bab 11 - Bab 20
40 Bab
11
Soekarno Hatta International Airport, 13.52 WIBAku dan Kavaleri berjalan hendak turun. Tapi teman-teman seprofesi Kavaleri memanggilnya dan itu membuat ia berbincang sejenak.“Kav! Lu habis bulan madu ya?” Tebak salah satu temannya yang berseragam pilot.“Gue belum nikah woy! Eh Rick, lu masih inget Gadis kan? Cewek gue yang dulu gue kenalin ke elu?”Aku tersenyum ke arahnya, dan dia pun membalasnya. Aku sedikit canggung saat Kavaleri mengenalkan aku sebagai pacarnya, seperti dahulu. Ya walaupun saat ini aku memang pacarnya, tapi yang sah di mata Papanya adalah Asha. Bukan aku.“Yaudah gue duluan ya Rick, udah ditungguin Bokap. Lu ati-ati kerjanya!”Kami berdua keluar dari bandara. Aku menata hati dan perasaanku. Aku berusaha membaca doa yang aku bisa agar nanti tidak terjadi sesuatu yang buruk. Kavaleri yang menyadari kegugupanku langsung menggenggam erat jariku.“Rileks don
Baca selengkapnya
12
GADISAku memasukkan beberapa pin di mesin yang menempel di pintu apartemenku.“Mau mampir dulu?” Tanyaku saat aku berhasil membuka pintu.“Pastilah.” Ucapnya yakin dan penuh semangat.Aku berjalan ke arah sofa dengan langkah gontai. Memijat pelipisku dengan gerakan perlahan sambil memejamkan mataku.“Sayang, kenapa?” Kavaleri menghampiriku dan berusaha menuntunku ke sofa. Aku menggeleng cepat. “Capek Kav. Sedikit pusing.” Aku duduk di sofa dan jarak kami sangatlah dekat.“Mau aku buatin sesuatu? Kamu udah minum obat kamu belum?”Aku lupa! Aku belum meminum obatku sejak tadi pagi! Sebenarnya, aku ini menderita suatu penyakit, tapi entahlah aku tidak mau mengumbarnya disini.“Aku ambilin obat kamu ya, di tas kan?” Aku mengangguk. Hatiku merasa damai saat kehadirannya mengisi apartemenku lagi. Wanginya menguar ke seluruh penjuru apartemenku.
Baca selengkapnya
13
Aku melihat sekali lagi undangan pernikahan yang menampilkan kedua nama mempelainya. Kavaleri Avicenna Sadega dan Asha Putri Aurora. Aku menghembuskan nafasku entah sudah yang ke berapa kali.“Aku harap namaku yang bersanding dengan namamu, Kav. Secepatnya...”Panggilan skype membuyarkan lamunanku.“Hai!” Sapaku bersemangat setelah wajah di seberang sana terlihat di layar handphone-ku. Ya Tuhan! Dia sangat tampan dengan baju kebesarannya dan rambut yang sedikit berantakan.“Hai sayang, udah makan?” tanyanya sembari menyisir rambutnya menggunakan jari.“Tiap ngehubungin aku pasti nanyanya makan. Ntar kalo aku gendut gimana? Kamu mau punya istri gendut?” Aku berpura-pura cemberut. Dia tertawa.“Gendut atau enggak yang penting itu kamu. Bukan yang lain.” Pertahananku yang sok cemberut runtuh saat laki-laki di layar handphone-ku mencium layarnya, berniat menciumku.
Baca selengkapnya
14
CELINEAku tidak tau harus berbuat apa saat mendapat kabar bahwa Gadis mengalami kecelakaan fatal di daerah Kebayoran. Valerie terdengar sangat histeris di telepon, dan aku tidak berani mengabari Bapak atau Ibu. Aku segera menginjak pedal gas mobilku dan menuju RSPP Jakarta.Pikiranku kalut, membayangkan sesuatu menakutkan yang akan menimpa adik semata wayangku itu. Entahlah, aku rasa akhir-akhir ini terlalu banyak cobaan yang datang padanya. Aku tidak memikirkan lagi berapa kecepatan mobilku. Yang aku butuhkan sekarang adalah sampai di tempat adikku dirawat. Untung jalanan Jakarta agak lengang.Rumah Sakit Pusat Pertamina, 19.02 WIBAku segera berlari ke ruang IGD karena Valerie mengatakan Gadis dirawat di sana. Aku menangis di sepanjang lorong rumah sakit ini. Tidak kupedulikan pandangan orang-orang yang berpapasan denganku.Aku melihat Valerie duduk di kursi panjang depan pintu IGD. Dia menangis, sama sepertiku.
Baca selengkapnya
15
CELINEAku mengeringkan rambutku dengan handuk dan mencoba mendekati tubuh Gadis yang masih belum juga sadarkan diri. Ini sudah hari keenam sejak kecelakaan itu, dan Gadis belum juga membuka matanya.Aku sedikit terbiasa dengan keadaan ini. Keadaan dimana aku berbicara dengan Gadis tanpa ada sahutan sepatah kata pun. Keadaan dimana aku sedikit melupakan pekerjaanku sebagai seorang pilot. Dan semua ini membuat hatiku teriris, menangis tanpa ada yang nengetahui.Aku tidak pernah sedetik pun meninggalkan Gadis dan mempercayakannya kepada orang lain. Walaupun itu Bapak, Ibu, Valerie, ataupun Mbak Celine. Aku merasa lebih baik jika bisa melihat langsung kondisi kekasihku.“Dis... apa kamu nggak kangen sama aku?” Aku mengelus fotonya yang menjadi wallpaper iPhone-ku. Dia terlihat sangat bahagia, berdiri dengan satu kakinya, dan kaki lain ia tekuk ke belakang. Menara Eiffel berdiri gagah dibelakang Gadis, menjadi saksi betapa bahagia
Baca selengkapnya
16
Aku mengepak beberapa pakaian dan barang bawaanku yang kubawa untuk menginap di rumah sakit. Hari ini kabar yang sangat menggembirakan setelah kesadaran Gadis. Gadis diperbolehkan pulang dan menjalani rawat jalan.Bapak, Ibu, Mbak Celine, Valerie, dan juga Papa ikut mengantar Gadis pulang dan telah menyiapkan sedikit kejutan karena kepulangannya. Aku memandangnya yang sedang turun dari ranjangnya. Walaupun sudah jauh membaik, tapi aku tau bahwa tubuh dan raganya masih lemah.“Bisa?” Aku langsung meraih tangannya saat dia mulai berjalan. Ia tersenyum dan mengangguk.“Janji ya Dis, mulai sekarang kamu harus lupain hal-hal yang bikin pikiran kamu nggak fokus, yang bisa bahayain nyawa kamu sendiri.” Papa mencoba memberikan petuah kepada Gadis.“Iya Pa, Gadis janji.”Ya, Gadis memang memanggil Papa seperti itu. Atas paksaan Papa tentunya. Entahlah, akhir-akhir ini semuanya menjadi lebih indah dan satu persatu beban te
Baca selengkapnya
17
Tak terasa sudah satu bulan berlalu sejak kejadian yang hampir membuat nyawaku melayang. Dan sudah dua minggu ini aku tidak bertemu Kavaleri. Aku terus berpikiran positif jika dia sedang banyak kerjaan dan tidak bisa seenak jidat pulang untuk menemuiku. Aku tau jika bekerja menjadi seorang pilot selama berada di dalam pesawat handphone harus dimatikan. Tapi waktu dia landing atau mau take off bisa kan telfon aku dulu? Seperti kebiasaan sebelumnya yang rutin ia lakukan padaku?Entahlah, dia berubah. Dia berubah sejak kejadian itu. Dimana secara informal dia melamarku, dan secara terang-terangan aku menolaknya dengan halus. Bodoh? Mungkin iya. Tapi aku merasa itulah yang pertama-tama harus aku lakukan. Mengingat penyakitku yang sudah dua tahun ini mendiami tubuhku.“Dis?” Suara Kak Celine membuyarkan lamunanku. Aku menatapnya, memberikan senyumku untuk kakakku satu-satunya dan setia merawatku di rumah sakit.“Lagi ngelamunin apa?”
Baca selengkapnya
18
Aku mengenakan dress selutut berwarna biru tua dan high heels berwarna senada. Kubiarkan rambut hitam keunguanku tergerai. Untuk kesekian kalinya aku menghadap cermin lagi, memastikan bahwa penampilanku tidak berlebihan.Entahlah aku mau dibawa kemana, Kavaleri hanya berpesan untuk mengenakan pakaian formal, dan aku menurutinya saja. Setelah aku cukup yakin dengan penampilanku, aku menyambar tas tanganku dan turun ke lobi berniat menunggu Kavaleri.Saat aku duduk di sofa panjang dekat kolam ikan, sekilas aku melihat Asha sedang berjalan masuk ke lobi dan menggandeng tangan seorang pria bule. Tinggi, kekar, dan tampan. Untung saja dia tidak menyadari keberadaanku.“Syukurlah kalo dia udah dapet pengganti Kava...” gumamku pelan.“Mbak, sudah ditunggu di luar.” Seorang petugas keamanan menginterupsi gendang telingaku. “Oh ya, terima kasih Pak.” Aku berdiri, melangkahkan kakiku ke mobil Audi hitam milik Ka
Baca selengkapnya
19
Soekarno-Hatta International Airport, 05.12 WIB Disinilah aku berdiri, di antrian panjang para penumpang yang memiliki kepentingan sama denganku, check-in. Aku berdiri di urutan keempat dari meja petugas check-in, dari sini aku bisa melihat Kavaleri sedang berbicara dengan beberapa petugas bandara yang mungkin dikenalnya. Sedangkan Kak Celine sedang memainkan smartphone-nya tepat di samping Om Gandi. Ya, hanya aku yang berdiri mengantre di sini.“Selamat pagi, bisa saya lihat tiketnya?” Sapa mbak-mbak cantik di depanku dengan ramah. Aku menyodorkan empat tiket agar diperiksa dan kami semua bisa menuju ruang tunggu. Tak berapa lama petugas check-in tersebut mengembalikan tiketku.“Terima kasih dan semoga perjalanan anda menyenangkan.”“Terima kasih mbak...” ucapku dengan ramah, membalas keramahan petugas itu.Aku berjalan ke arah Kavaleri dan dia menyambut
Baca selengkapnya
20
5 bulan kemudian...Aku memandangi jari manisku, tersenyum simpul dan merasa sangat bahagia. Di sana, bertengger cincin bermata berlian pemberian Kavaleri saat lamaran dahulu. Sekali lagi aku tersenyum bahagia.“Nggak nyangka deh gue sekarang bisa jadi nyonya Kavaleri wanna be.” Suaraku terdengar sangat bangga.“Woy! Lagi apa lu?”  Valerie membuka pintu ruanganku tanpa permisi. Tapi, itulah kebiasaannya. Dan aku tidak mempermasalahkannya karena dia adalah sahabat terbaikku di kantor.“Nih, lihatin ini.” Aku menyodorkan tanganku dan dia hanya cemberut. “Enak deh udah lamaran gitu, gue kapan kali ah dapetin cowoknya?” Valerie duduk di sofa dan aku menghampirinya.“Hahaha, ya makanya lu tuh cari dong! Jangan kaya Kak Celine dulu selalu sibuk mikirin kerjaan.”“Gue mah udah sekuat tenaga Dis nyarinya, cuma belum ada yang nyari gue balik aja.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status