Semua Bab Istri Lima Belas Ribu: Bab 31 - Bab 40
608 Bab
Bagian 32
Siang ini, Bapak pergi ke rumah Mas Agam. Aku menanti dengan penuh harap dan cemas. Sepanjang Bapak pergi, hati sungguh tidak tenang. Kerjaku hanya mondar mandir tidak karuan.  Semoga keberangkatan Bapak ke sana tidak sia-sia, ya Allah. Sungguh, diri ini sudah begitu lelah. Lelah dengan pertanyaan tetangga dan kerabat, lelah jika harus bertengkar dengan keluarga Mas Agam, dan lelah bila harus lagi-lagi tahu, pria yang masih suamiku berhubungan dengan perempuan lain.   Hari sudah beranjak sore tapi, Bapak belum juga pulang. Aku semakin cemas. Jangan-jangan, di rumah itu terjadi debat kusir seperti kemarin. Setelah ini, aku tidak ingin lagi berhubungan dengan mereka.  Rasulallah SAW bersabda, “ Saya menjanjikan rumah di pinggiran surga bagi orang-orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar “. 
Baca selengkapnya
Bagian 33
Semua berkas pengajuan gugatan cerai, sudah masuk ke pengadilan. Kini, aku hanya menunggu jadwal sidang saja. Seperti biasa, aku menjalani kehidupan sehari-hari dengan perasaan yang jauh lebih tenang. Namun, lebih banyak meluangkan waktu untuk anak-anak.  “Pabrik, biar Bapak yang urus semuanya, Nia. Buat kerjaan sehari-hari juga. Biar Bapak tidak suntuk. Daripada harus ternak sapi, Bapak sudah lelah. Masalah hasil, terserah kamu saja, yang penting, adikmu Fani bisa bayar kuliah lancar,“ pinta Bapak pada suatu sore.  “Ya Allah, Pak. Tidak usah itung-itungan gitu, lah. Bapak mau kasih berapapun juga, aku terima. Bapak tinggal ambil saja untuk keperluan. Yang penting buatku, kalian hidup tidak kekurangan,“ jawabku. Bapak mengangguk saja.  Hari-hari menunggu panggilan sidang, aku menjadi semakin gugup. Takut, bila Mas Agam da
Baca selengkapnya
Bagian 34
Panggilan sidang, akhirnya datang juga. Dengan diantar Bapak, aku berangkat ke sana. Agenda sidang hari ini adalah mediasi.Sampai di parkiran, aku turun dari mobil. Kulihat Mas Agam datang bersama bapaknya juga. Dia juga masih berada di tempat parkir yang dekat dengan kami.   Melihatku datang, tatapan matanya tak pernah lepas dariku. Aku mencoba mengalihkan pandangan agar tak bersitatap dengannya. Namun, lelaki itu malah menghampiri ke tempat kami berdiri.   “Nia, apa kabar? Anak-anak bagaimana?“ tanya Mas Agam saat dia sudah berada dekat dengan tubuhku.  “Alhamdulillah, baik semua,“ jawabku singkat. Lalu segera berlalu menuju teras depan pintu ruang sidang. Ayahnya Danis dan Dinta mengekor di belakangku. Namun, kuabaikan.   
Baca selengkapnya
Bagian 35
Hari ini, Ibu harus periksa ke rumah sakit untuk cek kolesterol. Bapak tidak bisa mengantar karena sibuk mengurus pabrik. Sedang Fani yang kebetulan libur, tidak bisa mengendarai mobil.  “Dah Mbak, ini kan hari Jum’at. Jam pelajarannya cuma bentar, Danis sama Dinta suruh ijin aja. Kita pergi ke rumah sakitnya bareng-bareng. Mbak yang nyupir, nanti aku yang nemenin Ibu di Poli. Mbak ajak anak-anak main di taman rumah sakit kan ada wahana permainnanya. Sekalian ngadem ama jajan gitu …,” usul Fani.   Betul juga sarannya. Akhirnya aku menyetujui.  “Ya sudah, cepat siap-siap. Kamu urus Dinta ya. Mbak mau panasin mobil dulu. Nanti Danis biar Mbak yang mandiin. Ingat! Dandannya gak usah kelamaan. Ini hari pendek. Nanti polinya keburu nutup.“  “Idih
Baca selengkapnya
Bagian 36
Aira terdengar menangis di dalam toilet. Aku agak cemas jadinya. Bila sesuatu terjadi pada anak kecil itu, toh aku bisa kena masalah. Kubuka pintu toilet, memastikan apa yang terjadi dengan anak Rani.  “Kenapa lagi?“  “Emaknya Mbak Dinta tungguin di sini.“  Ya, memang keluarga Mas Agam kalau sekali-kalinya ngajari anak itu manggil, dengan sebutan emaknya anak-anakku.   Sebegitu rendah diri ini di hadapan mereka. Hingga perihal panggilan saja, dicarikan yang paling tidak bergengsi. Padahal, terhadap Rani, Dinta dan Danis selalu diajari memanggil Tante atau Bu Lik. Pernah aku menyuruh anak-anakku memanggil Rani dengan sebutan Mbak, akibatnya aku kena semprot sama Mbak Eka.  “Kamu menyusahkan sekali sih?“
Baca selengkapnya
Bagian 37
Di sinilah kami berada, dalam bisu yang mengiringi kebersamaan di teriknya siang. Hanya suara udara bergerak yang kadang singgah di telinga. Aroma ikan bakar sesekali menguar menghampiri indera penciuman ini. Aku diam dalam lamunan dan rasa cemas.  Entah apa yang dirasa olehnya, sama-kah?   “Nia, apa kabar?“   Suara lelaki di depanku memecah kesunyian. Netra yang semula menatap nikmat liukan daun padi yang masih menghijau oleh terpaan angin, terpaksa berpaling pada sang pemilik suara.   “Baik …,” jawabku singkat sambil tersenyum.    Kembali, wajah ini kupalingkan pada hamparan tanaman yang memiliki nama ilmiah oryza sativa itu. Sedamai inikah menatap pemandangan sederhana itu? Ya, terkadang, saat  le
Baca selengkapnya
Bagian 38
Hari ini, aku ada jadwal meet up dengan reseller. Acaranya dibuat pagi, jam sepuluh. Ini karena permintaan mereka. Dengan alasan, biar makan siangnya, pas di jam dua belas. Tempat yang kami pilih, sebuah caffe kekinian dengan nuansa terbuka. Seperti biasa, kami membahas trik-trik untuk menarik konsumen agar membeli produk sama kami. Jam sebelas lewat, acara inti selesai. Dilanjutkan dengan obrolan santai. Tak lupa juga berswa foto ria. Saat tengah menunggu makan siang tiba di meja, netraku menangkap segerombol lelaki yang baru datang. Salah satu diantaranya, seorang pria yang mengenakan setelan olahraga dengan kaus berwarna orange, memakai kacamata hitam. Terlihat semakin tampan.  Pria itu berjalan semakin dekat dengan meja tempatku. Degup jantung ini terasa bertalu-talu, melihat langkah gagahnya saat berjalan, sambil mengobrol dengan rekannya. Sesekali, senyum manis itu merekah dari bibir manisnya. 
Baca selengkapnya
Bagian 39
Setelah pertemuan kami di caffe, Pak Irsya benar-benar tidak pernah menghubungiku. Hati ini menjadi dilema. Satu sisi, tidak kupingkiri bahwa duda itu mulai mengetuk pintu hati ini. Akan tetapi, di sisi yang lain, Bapak sangat tidak ingin hubungan kami berlanjut. Pasrah, hanya itu yang kulakukan. Bila jodoh, maka ada jalan buat bersama. Pun sebaliknya, sekuat apa berusaha bersatu, jika memang bukan takdirnya, pasti akan pergi. Lagipula, saat ini, perceraianku dengan Mas Agam belum terjadi.[Nia, apapun yang Agam minta dari kamu, jangan pernah kamu turuti. Jangan mau dimanfaatkan. Bila Agam mengatakan akan mempersulit proses cerai kalian, jangan percaya. Hakim lebih tahu, mana yang benar dan mana yang salah.] Pesan dari Sintia saat aku menceritakan perilaku keluarga Agam, kubaca berulang-ulang. Ah, aku harus mempercayai sahabatku. Dia kan bekerja di pengadilan, pasti lebih tahu semuanya.Surat panggilan sidang dari penga
Baca selengkapnya
Bagian 40
Saat melewati jalan depan masjid, terlihat Pak Irsya memperhatikan ke arah kami. Pria itu tersenyum pada Danis dan melambaikan tangan.  “Dadah, Om …,” teriak Danis dari atas delman.   Aku hanya menunduk saja, saat delman berlalu di hadapannya.  Kusandarkan seluruh rasa padaMu, Sang Pemilik hati. Ucap batinku.  Saat akan melewati sebuah pertigaan, delman yang kami tumpangi berhenti. Entah kebetulan dari mana, datang sebuah delman lain dari arah kiri, yang penumpangnya adalah orang yang sangat kami kenal. Mas Agam bersama Aira, Rani dan Mbak Eka. Mereka terlihat bahagia.  Kuda yang menarik delmannya hampir menabrak kuda yang menarik delman kami. Sehingga, mau tidak mau, mereka melihatku dan anak-anak. Segera kupalingkan muka.  “Habis ini, kita ke
Baca selengkapnya
Bagian 41
                    Setelah memilih masing-masing satu balon, aku membayar.      Jujur saja, hati ini sakit, melihat betapa terlalunya Agam pada Aira. Lelaki itu benar-benar harus diberi pelajaran.    Kami sudah berada di mobil saat ini. Kulajukan kendaraan roda empat secara pelan-pelan. Mas Agam dan kroninya terlihat berdiri di samping jalan. Kebetulan sekali, ada kubangan air bekas hujan tadi siang. Segera kulajukan mobil dengan cepat agar air yang menggenang itu mengenai tubuh mereka. Dan, kejahatanku sukses. Badan mereka pasti basah kuyup.   
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
61
DMCA.com Protection Status