Semua Bab Istri Lima Belas Ribu: Bab 21 - Bab 30
608 Bab
PAK IRSYA
Semalaman aku berfikir keras tentang keputusanku. Mempertimbangkan dampak baik buruknya terutama bagi anak-anak. Bila aku bercerai, ototmatis, Dinta dan danis menjadi anak yang hidup tanpa ayah. Akan tetapi, bila terus bersama Mas Agam, tidak bisa dipungkiri hatiku menolak. Lagipula bukankah selama ini, anak-anakku memang sudah hidup seperti tidak punya sosok ayah? Kupandangi wajah polos mereka berdua saat tengah terlelap. Ada rasa sakit yang menusuk dalam relung hati ini. Mengingat betapa nasib mereka berdua tidak seberuntung teman-temannya yang memiliki keluarga dan orangtua yang harmonis.   Di sepertiga malam, kugelar sajadah. Memohon petunjuk yang terbaik yang harus kulakukan. Karena keputusan kita bisa saja salah, bila tanpa meminta diberi jalan oleh Yang Maha Kuasa  ***  Pagi hari, aku kembali ke rumah. sembari mengecek, apakah Mas Ag
Baca selengkapnya
AGAM MENYEBALKAN
Rupanya, keberadaan Mas Agam di sini bukan sebuah niat tulus ingin menjalin kembali biduk rumah tangga kami yang hampir hancur, tapi karena, lagi-lagi demi keluarga tercinta. Baiklah kalau begitu. Kamu jual, aku beli, Mas.Setelah sekedar menemani anak-anak makan siang dan bermain, aku kembali ke rumah.  Hari ini, kebetulan ada janji dengan reseller yang bernaung pada memberku untuk mengadakan kopi darat di sebuah rumah makan. Mereka berjumlah tiga puluh orang, sekaligus acara tasyakuran bagi pribadiku karena diberikan kemudahan dalam menjalankan bisnis ini. Dan keberhasilanku tentunya tak lepas dari peran mereka, para reseller yang dengan semangat memasarkan produk. Acara akan dimulai jam dua siang. Salah satu dari mereka yang secara hubungan pertemanan paling dekat denganku, sudah kuminta untuk memesan menu ikan bakar terlebih dahulu.  Masuk ke dalam rumah, kulihat Mas Agam sedang tidur di
Baca selengkapnya
BERSAMA PAK IRSYA
Di tempat pertemuan dengan para reseller, sudah pasti kami berfoto-foto bersama. Hal itu menjadikanku ingin mengunggah ke story whatsapp. Kutulis caption, ‘Kalian luar biasa. Tanpa kalian aku bukan siapa-siapa… emot love.  Sebuah notifikasi masuk membalas story yang kupajang. Dari Mas Agam.  [Dek, kamu dimana?]  [Mas susul, ya? Pakai motor kamu.]  Hanya kubaca tanpa kubalas. Lanjut acara sharing dengan para reseller. Seperti menemukan dunia baru saat berjumpa muka dengan mereka. Benar kata pepatah, kita harus sakit dulu agak merasakan nikmatnya sembuh. Dalam hati bertekad, aku harus lepas dari Agam dan keluarganya. Namun, akan kugunakan cara cantik untuk membalas sakit hatiku.  Sebuah notifikasi kembali berbunyi. Kali ini dari Pak Irsya.
Baca selengkapnya
BAGIAN 25
Sepanjang makan, Mas Agam tidak bicara apa-apa lagi. Syukurlah, punya rasa malu juga ternyata. Aku tidak ikut makan, hanya menyuapi Danis saja. “Bu, akhir bulan ini, jadi ke Bali kan?” Tanya Dinta. Aku tersenyum dan mengangguk. Mas Agam mengernyit. “Kamu mau ke Bali, mau ngapain, Dek?” Ini orang, kasih pertanyaan kok ya yang bodoh sekali. “Mau cari dukun santet, Mas.” Jawabku asal. Pertanyaan yang tidak bermutu, ya dijawabnya harus dengan jawaban yang konyol juga. Mas Agam langsung diam tak bertanya lagi. Takut aku nyantet dia kali. “Kakak pengin piknik ke Bali Ya?” Dinta diam tak menjawab pertanyaan ayahnya. “Bareng sama Aira sekalian ya?” Aku melotot. Kemudian membanting sendok. Muka Mas Agam menciut. Seharusnya, sebuah kemarahan dan pertengkaran suami istri jangan dilakukan di
Baca selengkapnya
BAGIAN 26
Pagi hari, aku menjalani aktivitas seperti biasa. Ada yang berbeda dari Mas Agam. Setelah bangun tidur, ia membersihkan seluruh rumah serta halaman. Aku abai saja. Kebaikan yang ia lakukan sekarang, tidak sebanding dengan penderitaan yang ia torehkan padaku. Untuk masak sehari-hari, bila tidak ada jadwal Mbak Wati bersih-bersih di rumah, maka kulakukan sendiri. Sarapan pagi berupa nasi, urab, gorengan dan sambal telah tersedia di meja makan. Begitupun dengan dengan teh manis. Anak-anak yang sedang menonton televisi segera kupanggil untuk mandi. Selesai mandi, kudandani mereka berdua yang hendak pergi ke sekolah. Begitulah kebiasaan kami. Sarapan dilakukan bila kami semua sudah mandi dan berdandan rapi. Selama ayah mereka di rumah, Dinta dan Danis sama sekali tidak tertarik untuk ngobrol. Mas Agam masuk dari pintu samping yang terletak di ruang dapur. Ia sepertinya sudah mencuci tangan, dan langsung bergabung bersama kami. 
Baca selengkapnya
BAGIAN 27
Hatiku sudah lelah dengan keadaan rumah tangga kami. Hari ini, aku sengaja tidak berangkat sekolah. Rencananya, akan menemui salah satu teman yang bekerja di Pengadilan Agama. Kepadanya, diriku akan meminta saran, langkah apa yang harus kuambil bila ingin mengajukan gugatan cerai terhadapnya. Mengingat, suamiku bukanlah warga biasa. Biarlah, aku yang membiayai semua proses perceraian kami, daripada hubungan ini semakin tidak jelas. Saat ini, aku masih di rumah Ibu. Merekap keperluan belanja produk kecantikan untuk seminggu ke depan. Produk kecantikan yang kujual, laris manis di pasaran, sehingga, aku harus rajin-rajin mengecek stok persediaan, agar pelangganku tidak sampai kekurangan barang. Di zaman yang serba canggih seperti sekarang ini, semuanya jadi lebih mudah. Untuk urusan belanja, aku tinggal transfer sejumlah barang yang akan kubeli, dan menunggu hingga pesananku datang. Setelah semuanya beres, aku pulang ke rumah,
Baca selengkapnya
Bagian 28
Ditatap tajam oleh wanita terhormat, versi suamiku, aku balik melotot sambil berkacak pinggang.  “Apa? Hah? Tidak terima?” Tantangku yang kini sudah berpindah posisi menghadap mereka berdua. Pengunjung warung makan, sontak melihat ke arah kami semua. Beberapa yang datang dengan teman atau pasangan, terdengar berbisik-bisik.  “Dasar wanita tidak berpendidikan. Bar bar sekali sikap kamu.” Umpatnya sambil mengambil tissue untuk mengelap wajah pria selingkuhannya yang sudah basah kuyup. Mas Agam terlihat enggan dibersihkan olehnya. Ia segera menepis tangan wanita itu.  Aku tertawa terbahak-bahak. Sejenak menoleh pada yang punya warung. Entahlah, orang itu yang punya atau pelayan.  “Maaf, Ibu. Saya membuat kacau sejenak. Mohon ijin. Bila nantinya Ibu merasa dirugikan, bisa minta ganti rugi pada saya.” Ucapku sopan, pad
Baca selengkapnya
Bagian 29
Berita memalukan yang barusan aku dengar, menjadi alasan kuat untukku mengajukan gugatan cerai. Bukti kuat pengajuan gugatan cerai sudah jelas nyata. Salah satu poin PNS bisa mengajukan gugatan cerai salah satunya adalah terbukti berselingkuh. Lagipula, yang PNS Mas Agam, bukan aku. Jadi, tidak perlu membuat ijin dari atasan. Itulah mengapa, Bapaknya Mas Agam waktu itu menyarankan agar dari pihakku yang mengajukan gugatan. Karena, prosesnya lebih mudah.  Setelah mengakhiri percakapan di telepon dengan Pak Irsya, aku ijin pulang lebih dulu. Danis, ah kasihannya anak itu. Harus banyak kehilangan waktu bersamaku. Meski berada pada satu sekolah, tapi karena terkadang ada acara mendadak, dia harus diantar jemput Mbahnya. Begitupun Dinta, setiap hari setelah pulang sekolah, seringnya pulang ke rumah Ibu. Aku janji, setelah masalah dengan ayah mereka selesai, akan kuluangkan waktu lebih banyak untuk mereka berdua. Pabrik keripik, biarlah Bapa
Baca selengkapnya
Bagian 30
“Bagaimana, Nia? Ibu harap, kamu bisa melewati ujian ini dengan baik ya? Semoga setelah ini, kamu, Agam serta anak-anak, akan hidup bahagia.” Kepalaku sudah berdenyut tidak karuan.  “Kenapa tidak minta sama selingkuhannya saja, Bu? Kenapa harus aku?” Protesku lirih. Mereka saling berpandangan.  “Kalau ngomong yang bener dong, Nia! Kamu kan yang istrinya? Anti kan Cuma selingan Agam saja, ya kamu-lah yang ikut memikirkan semua masalah yang menimpa adikku. Sebagai istri, seharusnya kamu sudah siap mendampingi suami apapun kondisinya.”  “Mbak Eka!” Bentakku mulai hilang kendali. Bicara dengan mereka, percuma pakai kata-kata yang sopan. Tetap saja kan, aku yang salah. “Dalam hal ini, aku yang paling tersakiti. Harusnya, kalian tidak pernah datang untuk meminta bantuanku, apalagi uang dalam jumlah banyak. Asal kalian tahu saja ya, aku
Baca selengkapnya
Bagian 31
“ Ya kalau begitu, mobilnya dijual bisa kan Pak? ” Pertanyaan yang lebih mirip permintaan dari Bapak Mas Agam membuat aku dan Bapak saling berpandangan.  Bapak menghela napas panjang. Aku kasihan padanya, harus terlibat dengan urusanku yang rumit. Namun, mau bagaimana lagi? Pada siapa aku akan bersandar, bila tidak pada dirinya?  “ Mobil siapa yang Bapak maksud? “ Tanya Bapak memastikan dirinya tidak salah dengar dengan permintaan konyol dari sang besan.  “ Mobil Nia lah Pak Rahman. “ Pak Hanif menjawab tegas.  “ Itu mobil Nia, saya belikan untuk dia mengantar barang, bila mobilnya dijual, Nia mau pergi pakai apa? “   “ Pak Rahman, tidak punya uang tiga puluh juta? “ Dengan terus terang tanp
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
61
DMCA.com Protection Status