Semua Bab Suami Bersama: Bab 11 - Bab 20
98 Bab
Sehari Bersamamu
Aku sudah rapi dengan setelan kantor yang sudah disiapkan Nadhira untukku. Aku keluar kamar dan menuruni tangga menuju meja makan. Namun, saat aku sudah berada di anak tangga terakhir, kudengar suara merdu seorang wanita yang sedang bernyanyi. Suara nyanyian itu terdengar dari arah dapur. Ternyata Nadhira memasak sambil bernyanyi, mengikuti nyanyian dari ponselnya. Aku melangkah ke dapur agar lebih dekat mendengarnya. Aku bersender di tembok dekat dapur sambil menyilangkan tangan di dada. Pandanganku terarah lurus pada wanita yang selalu mengenakan daster rumahan, tapi tampak seksi menurutku. Aku suka dengan penampilannya seperti itu bila sedang berada di rumah. Cantik, menawan, dan seksi. Bila di luar rumah, semua orang menghormatinya. Selain cantik, ia juga berwibawa dengan pakaian dinas gurunya.  Sepulang makan malam romantis dengannya, aku tidak membiarkannya tidur walau hanya semenit, karena aku sangat merindukannya. Sepanjang malam aku bersamanya.
Baca selengkapnya
Istri atau Atasan
Sesampainya di kantor, aku langsung menuju ruangan Naura dengan penuh amarah. Aku tidak peduli pada beberapa staf yang menyapaku. Aku terus melangkah dengan cepat untuk menanyai istri keduaku itu. Saat sudah di depan ruangan Naura, aku membuka pintu dengan kencang.Brakk.Naura terperanjat. Ia yang tengah duduk di kursi kebesarannya, segera bangkit."Mas, apa yang kamu lakukan? Seharusnya kamu ketuk pintu dulu sebelum masuk. Jaga sopan santunmu, ya, ingat ini kantor!" Ucapan Naura seketika membuatku tertawa."Hahaha... jaga sopan santun katamu? Aku ini suamimu. Apa aku harus bersikap sopan pada wanita yang sudah membohongi istriku?" timpalku sambil mendekat padanya."Jaga sikapmu, ya, Yusuf! Aku ingatkan, ini kantor. Aku atasanmu dan kamu bawahanku. Lagi pula, kenapa kamu baru datang sudah siang begini, heh?" sergah Naura."Oh, gitu, ya, begini cara kamu memperlakukan aku sebagai suami?" tanyaku sambil tersenyum sinis. "Sudah ku
Baca selengkapnya
Belum Bisa Adil
Mobilku sudah memasuki gerbang rumah mewah Naura. Aku segera turun dan membawa Naura ke dalam rumah. Sengaja aku memarkirkan mobil di pelataran depan rumah, agar aku bisa langsung pulang setelah mengantarkan Naura ke kamarnya. Aku mendudukkan Naura di tepi ranjang. Kuangkat kedua kakinya dan meluruskannya di atas kasur, kemudian membuka sepatunya dan kuletakkan di bawah dekat ranjang. Kulihat kakinya yang terkilir tampak lebam dan bengkak. Tanpa banyak bicara, aku keluar kamar untuk mengambil krim pereda nyeri di kotak obat yang ada di lantai bawah, kemudian berlari kembali ke kamar setelah mendapatkannya. Aku duduk di tepi ranjang dan membalurkan krim hangat pada kaki Naura dengan hati-hati untuk mengurangi rasa sakitnya. "A-akh!" Naura meringis. Aku memijatnya secara perlahan. Ia pun mulai rileks merasakan pijatan di kakinya. Melihatnya sudah lebih baik, aku pamit padanya. "Aku pulang sekarang," ucapku sambil bangkit dari duduk. Naura menari
Baca selengkapnya
Maduku Hamil
"Dek, malam ini aku pulang ke rumah Naura. Tadi dia menelponku," ucap suamiku. "Bukannya baru kemarin kamu di rumah Naura, Mas?" tanyaku curiga. Sepertinya ada yang disembunyikannya. "Hem... itu. Sebenarnya... Naura sedang hamil, Dek," ungkap Mas Yusuf akhirnya. "Apa?! Naura hamil, Mas?" Aku tercengang dengan pernyataan Mas Yusuf yang mengatakan bahwa Naura hamil.  "Kenapa, Mas? Kamu bilang gak akan melakukan kewajiban kamu sebagai suami kepadanya, tapi kenapa Naura hamil?" tanyaku lagi sambil memukul-mukul dadanya. Aku sangat kecewa padanya karena ia telah mengingkari janjinya padaku. Ia bilang hanya menemani Naura saja dan tidak melakukan lebih. Tapi kenyataannya, maduku hamil. "Maafkan aku, Nadhira! Aku tidak bisa menahan perasaanku. Aku laki-laki normal." "Hehh, bilang saja kamu gak cukup cuma satu istri, Mas. Amanat ayahmu, itu hanya akal-akalan kamu supaya bisa menikah lagi," desisku sinis. "Nadhira!" panggil
Baca selengkapnya
Istri yang Baik
Kandungan Naura mulai membesar. Seperti dugaanku, Mas Yusuf lebih sering berada di rumah istri keduanya. Ia jarang sekali pulang ke rumahku. Dalam seminggu, hanya dua hari ia menghabiskan waktu denganku. Itupun, ia tidak sempat sarapan di rumah, karena harus cepat-cepat menjemput Naura kerja, sementara aku harus berangkat sendiri menggunakan skutermaticku. Aku pulang ke rumah dengan malas. Setelah tadi aku menerima pesan dari Mas Yusuf.  Malam ini ia tidak pulang lagi karena harus menemani Naura memeriksakan kandungannya.  ~Assalamu'alaikum, Dek, malam ini Mas pulang ke rumah Naura, ya. Kamu gak apa-apa, kan? Mas udah telpon Bi Ira untuk nemenin kamu. Oh, ya, nanti Bi Ira bawa cucunya nginep di rumah kita. Biar kamu gak kesepian. Jaga kesehatanmu, ya.~ Aku menghela napas dengan bahu melorot. "Gak pulang lagi," ucapku lesu sambil berjalan gontai ke sofa kemudian menghempaskan tubuhku di atasnya. Karena hari masih siang, aku menelpon R
Baca selengkapnya
Bagi Hari
Aku memikirkan perkataan Rania saat di cafe kemarin. Kebetulan malam ini Mas Yusuf pulang ke rumahku, dan aku harus berbicara dengannya. Aku sedang berdandan di depan meja rias di kamarku. Mematut penampilanku di depan kaca. Ku lirik jam di ponselku, waktu sudah menunjukkan pukul 16.45. Sebentar lagi Mas Yusuf pulang. Jadi, aku harus terlihat cantik saat menyambutnya nanti. Aku tidak boleh kalah cantik dari maduku.  Sambil menunggu suamiku pulang, aku merebahkan tubuhku di kasur. Aku menyalakan layar datar yang menempel di tembok. Jemariku asyik memencet remot mencari acara kesukaanku. Apalagi kalau bukan drama rumah tangga yang berbau bawang. Kadang drama yang aku tonton sama seperti kehidupanku. Aku terbawa suasana hingga meneteskan air mata karena merasakan penderitaan seorang istri yang dimadu oleh suaminya. Tapi, ah... aku tidak boleh lemah seperti tokoh utama itu. Tiba-tiba, mataku terasa ngantuk. Aku mengerjapkan mata agar tidak tertidur karena me
Baca selengkapnya
Hamil?
Aku terbangun dari tidurku dan merasakan pening yang hebat di kepala. Akhir-akhir ini aku tidur larut dan tidak nyenyak. Saat adzan subuh berkumandang, aku bangun untuk menunaikan kewajibanku pada Tuhan, lalu kembali tertidur. Ternyata benar, tidur setelah subuh memang tidak baik bagi kesehatan. Badanku lemas dan kepalaku berat. Semalaman aku menangis mengingat kejadian pagi kemarin saat di cafe. Mas Yusuf tega sekali mengatakan obrolan tentang jatah hari yang kuminta katanya tidak penting. Ia marah karena aku mengajak Naura ketemuan, sehingga mengakibatkan perut istri mudanya itu sakit. Padahal Naura hanya pura-pura. Aku tahu dan maklum atas sikap Mas Yusuf kemarin. Ia terlalu posesif karena khawatir terjadi sesuatu pada anak dalam kandungan Naura. Anak yang ia idam-idamkan selama ini, yang belum bisa aku berikan. Tapi, seharusnya ia juga tahu bahwa Naura itu licik. "Sudah siang rupanya," ujarku seraya melihat ke arah jendela. Terlihat sinar mentari menyorot
Baca selengkapnya
Mas Yusuf dan Adrian
Cukup lama aku tertidur di dalam kamar. Kepalaku masih terasa pusing, saat mencoba untuk bangun. Aku menyandarkan tubuhku di kepala ranjang agar kondisiku lebih baik. Ternyata beginilah rasanya hamil. Baru sehari saja, tubuhku sudah merasa lemas. Pantas saja Mas Yusuf begitu intens menemani Naura di awal kehamilan istri keduanya itu. Sekarang, aku mengerti setelah aku mengalaminya sendiri. Aku berharap Mas Yusuf ada bersamaku di saat seperti ini. Adrian bilang, menurut dokter yang berbicara dengannya tadi, ini biasa terjadi di tiga semester pertama masa kehamilan. Setelah itu, akan hilang dengan sendirinya. Beruntung ada Adrian yang menolongku saat aku pingsan di apotik tadi dan ia yang membawaku ke rumah sakit. Adrian memang selalu ada di saat aku membutuhkan pertolongan. Ia seperti berada di dekatku dan menolongku di saat yang tepat. Adrian? Apa lelaki itu sudah pulang? Atau... masih di ruang tamu menungguku bangun?  "Kenapa aku bisa melupakan
Baca selengkapnya
Salah Paham
Aku menyesali sikapku pada Nadhira. Tidak seharusnya aku meninggalkannya sendiri di cafe kemarin. Saat itu aku panik karena Naura merasakan sakit di perutnya. Sebagai suami yang belum berpengalaman ketika istrinya mengandung anak pertama mereka, tentunya aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan selain melarikannya ke rumah sakit. Aku khawatir dan takut terjadi sesuatu pada anak yang ada dalam kandungan Naura sehingga aku melampiaskan kemarahanku pada Nadhira. Kalau saja dia tidak mengajak Naura bertemu, pasti Naura akan baik-baik saja. Karena jika di rumah pun, istri keduaku itu sering mengeluh sakit dan selalu meneleponku agar cepat pulang.  Aku pergi meninggalkan cafe dan segera membawa Naura ke rumah sakit. "Hahh...!" Aku menghela napas frustasi. Apa yang aku lakukan pada Nadhira kemarin? Aku merasa bersalah padanya. Bahkan aku sudah keterlaluan dengan membentaknya di depan umum dan meninggalnya sendiri di cafe. Nadhira pasti terluka karena s
Baca selengkapnya
Maaf
Adrian pergi meninggalkanku setelah Nadhira siuman. Aku merasa bersalah padanya. Apa lagi yang bisa aku ucapkan pada Adrian selain kata maaf. Seharusnya aku berterima kasih padanya, karena ia telah menolong istriku saat aku tidak ada. Namun, aku malah memukulinya karena rasa cemburuku. Nadhira sudah lebih baik. Aku membawanya pulang dan saat ini ia sedang tidak ingin berbicara denganku. Aku mengerti dengan suasana hatinya saat ini dan aku tidak ingin mengganggunya. Kubiarkan ia menenangkan diri di dalam kamar. Setelah cukup lama, barulah aku ke kamar dan membawakan makanan untuknya. Hingga malam menjelang, ia belum mau makan. Aku khawatir akan kesehatannya juga janin yang dikandungnya. Ah... rasanya seperti mimpi. Akhirnya aku akan mempunyai anak dari Nadhira, istri pertamaku yang sangat aku cintai. "Sayang!" panggilku sambil membuka pintu dengan susah payah dan perlahan karena kedua tanganku membawa nampan yang di atasnya ada semangkuk bubur
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status