All Chapters of If I Could Not Have You No One Could: Chapter 11 - Chapter 20
72 Chapters
Jakarta Punya Cerita
“Mbak Dita, Mas Adim, dan Mas Surya, ini sudah sore dan sepertinya negoisasi ini masih berbelit-belit. Jadi untuk menghemat semuanya, tiket pesawat dan biaya penginapan, biar saya dan Pak Nur saja yang tinggal disini. Kalian bertiga bisa pulang.” kata Bu Celo yang berdiri di depan meja.“Baik Bu.” jawab Dita. Sementara itu, Nur melihat Adim dan Surya mengangguk mengiyakan.“Mbak Dita bawa ATM kan?”“Iya Bu, kenapa?”“Tolong saya dikirimi nomer rekening Mbak Dita, saya mau transfer untuk uang saku kalian bertiga.”Sesaat kemudian mereka berdua sibuk dengan ponsel masing-masing, dimana Nur hanya terdiam. Hatinya bimbang, dia terpikirkan anak dan istrinya. Dia sudah berkata pada istrinya bahwa dia akan pulang sore ini. Bahkan dia lupa tidak menanyakan bagaimana keadaan Wahid. Dia merasa bersalah. Hatinya bergejolak ingin mengetahui keadaan Wahid dan istrinya. Dia rindu anak dan istrinya. Dia
Read more
Ledakan
Nur berdiri dari kursinya. Diambilnya coat warna putih yang tergantung di kursi tempat Bu Celo duduk. Ketika Bu Celo berdiri, dia pakaikan coat itu menyelimuti tubuh beliau. Setelah itu Nur berjalan mendahului Bu Celo ke tempat Pak Asan berada untuk membayar makanan, namun dia tertegun lagi ketika Pak Asan tidak mau menerima uangnya.“Uang temannya Bu Celo tidak laku disini.” kata Pak Asan.Sambil memasukkan lagi uangnya ke sakunya, Nur lihat Bu Celo dan Pak Asan saling berpamitan. Mereka tampak akrab sekali. Bu Celo pun berpamitan pada Pak Asan dan berjalan ke luar warung. Nur pun mengikutinya.Jalanan itu lumayan ramai meskipun sudah malam. Banyak kendaraan yang masih lalu-lalang. Ketika sampai di pinggir jalan, Nur berkata sambil menghadap Bu Celo, “Saya biasanya kalau nyebrang jalan dengan perempuan seperti ini Bu, ada dua syarat. Perempuannya harus milih, digandeng apa digendong?”Di dalam hati, Nur berharap Bu Celo t
Read more
Shock
Nur pun melihat kiri dan kanannya. Dia Dilihatnya, orang-orang disekitarnya juga sedang berjongkok, bahkan ada yang tiarap. Kendaraan yang ada di jalan raya berhenti semua. Dengan penerangan lampu jalan yang masih menyala itu, dia mencari sumber suara meledak barusan. Ditolehnya ke belakang, dilihatnya truk merah yang over dimension over loading tadi. Nur melihat suasana di sekelilingnya berwarna putih seolah olah berkabut.“Masa kabut? Bukan, ini bukan kabut, tapi debu.” batin Nur.  Nur tidak lagi mendengar orang-orang berteriak-teriak. Lolongan orang-orang juga sudah berhenti. Disekitarnya, orang orang sudah bangun dari rundukannya atau tiarapnya. Dia semakin penasaran, akhirnya dilepaskannya pelukannya terhadap Bu Celo. Dia berdiri. Dibiarkannya Bu Celo masih berdiri dengan lututnya. Dia menoleh ke belakangnya. Debu-debu yang menyelimuti udara terlihat semakin tebal. Disiapkannya hatinya untuk melihat pemandangan horor yang mungkin ada. Un
Read more
Malam yang Panjang
Hati Nur berdebar-debar. Pikirannya kalut. Dia bingung. Dia berdiri sambil terus menggaruk-garuk dahinya. Ingin sekali dirinya merokok, diambilnya rokok dari saku celananya. Tapi itu tidak mungkin dilakukannya. Dimasukannya kembali rokok itu kembali.“Apa langkah yang kulakukan ini benar?” batin Nur, “Semoga saja ini baik-baik saja. Semoga yang kulakukan ini benar.”Akhirnya Nur duduk di sofa single warna putih. Dikeluarkannya semua isi kantong celananya, ponsel, rokok, pemantik api, dan uang-uang pecahan dua ribuan di meja yang ada di sebelahnya. Hatinya berdebar-debar dan jantungnya berdetak lebih kencang daripada yang seharusnya. Keringat masih keluar dari punggung dan kepalanya. Diambilnya ponselnya dan dimain-mainkannya ponsel itu ditangannya, diputar-putar dan ditepuk-tepukkan ke telapak tangannya.Di depannya, di atas ranjang ukuran queen, tergeletak tubuh Bu Celo. Tadi dia baringkan tubuh Bu Celo telentang di atas ranjang
Read more
Wahid
Nur masih terus berpikir tentang semalam. Pertanyaan yang sama terus menerus berputar di kepalanya. “Apakah yang kulakukan semalam benar?” Benaknya memproyeksikan bayangan Dara dan Wahid. “Apa yang terjadi jika Dara mengetahui ini semua?” Tak sanggup Nur membayangkan efek dari perbuatannya semalam. Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya untuk mengusir perasaan bersalah. Ingin sekali dia marah, marah pada dirinya sendiri. Rasa yang kuat muncul di dadanya untuk memukul kepalanya sendiri atas kebodohannya. Nur menggaruk dahinya. Pandangan Nur terus melihat keluar jendela. Mentari sudah setinggi galah, sinarnya sedang kuat-kuatnya. Nur tepat memandang ke mentari, namun sinar mentari itu tak mampu membuat Nur silau. Keadaan jalan yang padat dan ramai itu juga tak bisa membuyarkan lamunan Nur, pun dengan suara klakson-klakson kendaraan yang bersahutan saat taksi yang membawanya ke bandara berhenti di lampu merah. “Pak Nur,” kata Bu Celo yang d
Read more
Mis-Fortune (Part I)
Hari itu minggu pagi pukul lima tiga puluh. Matahari masih baru sedikit menyembul dari ufuk timur. Awan yang bergerombol di ufuk timur membuat sinar mentari tidak sempurna menyiram bumi. Udara khas minggu pagi di daerah pegunungan, sejuk sekaligus dingin, membuat orang malas untuk beranjak dari peraduan mereka. Kelihatannya minggu pagi yang cocok untuk bermalas-malasan. Apalagi ada embun yang turun, membuat suasana pagi itu semakin cocok untuk tidur-tiduran saja.Namun tidak dengan Pak Mis. Beliau sudah dari subuh tadi bersiap-siap untuk bersepeda. Sekarang, beliau sedang berdiri dengan berkacak pinggang mengamati sepedanya. Beliau sudah mengelap sepeda tipe lightweight itu. Body sepeda yang ramping dengan stang model drop bar sudah tampak kinclong. Ban bertapak kecil itu juga sudah beliau tambahi tekanan anginnya. Beliau juga sudah mengecek rem dan gir sepedanya. Yakin sudah, sepeda ini dalam kondisi prima dan siap diajak untuk berpetualang.
Read more
Mis-Fortune (Part II)
Selama bersepeda hari itu, pikiran Pak Mis melayang-layang. Memang di masa lalu, ketika Pak Mis belum mempunyai apa-apa, beliau selalu di rumah setiap hari minggu. Seluruh waktunya di hari minggu hanya buat istri dan kedua anaknya. Apalagi di saat di masih menganggur gegara perusahaan beliau dulu melakukan perampingan. Beliau totalitas menjadi bapak rumah tangga.Pak Mis, sebagai lelaki, tidak tahan dan malu jika bergantung pada istrinya. Harga diri seorang lelaki adalah dengan bekerja. Akhirnya, beliau melamar pada sebuah bengkel yang baru buka dua belas tahun lalu. Beliau diterima oleh pemilik bengkel itu, seorang perempuan muda, di bagian administrasi karena beliau ahli dalam bidang administrasi. Beliau benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Beliau sadar bahwa bengkel ini memberikan kesempatan baginya, tidak ada yang mau menerima seorang dengan usia tiga puluh tujuh tahun untuk bekerja. Sejak awal itu, beliau dikenal sebagai orang yang rendah hati dan pekerja keras.
Read more
Sakit Hati Anwar
Anwar membuka pintu rumahnya dengan kasar. Pintu itu terbuka dengan terbanting ke tembok hingga menimbulkan suara berdebum yang keras. Dia tidak percaya dengan keputusan Celo. Dia sakit hati dan merasa dipermalukan di depan semua bawahannya. Dia menuju ke lemari pendingin. Dia mengambil gelas lalu menuang air putih ke dalam gelas tersebut. Setelah air itu habis diteguk, Dia  membanting gelas itu sampai pecah berkeping-keping. Dia lalu berjalan ke meja makannya. Dia berdiri di samping meja makannya, kedua tangannya ada di pinggiran meja. Dia bersandar ke meja makan tersebut dengan tangannya.Dadanya serasa mau pecah menahan amarah dan malu. Tak pernah sekalipun sepanjang hidupnya dipermalukan dan direndahkan seperti ini. Dia adalah seorang yang berkedudukan tinggi, seorang bangsawan, seseorang yang harus selalu dihormati dan disegani. Seperti bapaknya dulu yang selalu disegani dan ditakuti bawahannya, dia ingin seperti itu.Semua bawahan-bawahan itu sudah mendengun
Read more
Rencana Anwar
Keesokan paginya, pikirannya masih berpacu, bagaimana caranya si penjilat itu bisa disingkirkan. Kalau memakai cara yang sama seperti cara menyingkirkan si tua Mis, bisa-bisa ada yang curiga. Tidak, cara yang tepat adalah dengan meneror keluarga si tukang jilat itu. Sebarkan saja berita di kantor dulu bahwa si tukang jilat dan tukang pelet ada hubungan. Suatu saat pasti sampai ke telinga istrinya.Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Pada saat dia masuk ruangannya pagi itu, si Toni sudah menunggunya dengan membawa kabar yang menyejukkan hatinya. Toni menyambut dirinya di ruangannya dengan membawa sebuah berkas. Seperti biasa, Toni berdiri ketika dia datang, menuju ke arahnya dan mencium tangannya. Suatu perlakuan yang sangat menyenangkan dirinya. Memuaskan dahaganya atas rasa hormat yang tidak didapatkannya kemarin sore. Mengobati rasa sakit hatinya meskipun sedikit.“Ada apa Ton?” kata Anwar sambil duduk di kursi kerjanya.“Mohon maaf Bapak, saya mem
Read more
Komunikasi
Nur merasakan kakinya lemas, seolah-olah kaki itu tidak sanggup lagi untuk menahan berat tubuhnya. Namun dia tetap berusaha untuk berdiri, paling tidak selama Pak Anwar masih di depannya. Dilihatnya Pak Anwar tersenyum.“Tidak, apakah aku terlihat terkejut?” batin Nur.“Kenapa terkejut? Kamu pikir saya tidak bisa tahu apa yang kamu sembunyikan?  Ternyata apa yang saya curigai selama ini benar. Kamu menjadi wakil ketua karena kamu adalah gundik Bu Bos. Apa yang terjadi jika istrimu mengetahui hubunganmu dengan bu bos?”Nur hanya terdiam. Dia tidak sanggup berkata-kata. Otaknya sudah tak mampu diajak berpikir, lidahnya serasa kelu dan kaku.“Saya juga sudah selesai mengaudit laporanmu, ternyata kamu menggelapkan dana bengkel sebesar dua ratus juta. Segera saja mengundurkan diri. Atau istrimu dan bawahan-bawahan tahu tentang aibmu.” kata Pak Anwar pelan-pelan menegaskan ancamannya.Nur melihat Pak Anwar berbali
Read more
PREV
123456
...
8
DMCA.com Protection Status