All Chapters of Behind The Scene: Chapter 1 - Chapter 10
11 Chapters
Dia Suamiku?
    Menyeringai. Sudah seperti kedipan mata bagi Arlan. Lirikkannya menegas, siap melahap para kumpulan tak berguna yang menyerahkan hidupnya pada kartu. Atau lebih tepatnya, sumber pangan mereka. Arlan melempar mata ke arah pria tua di ujung kanan. Terlihat bergetar, meneguk ludah pun terburu. Sesekali mengintai kartu dan uang di meja, membuat Arlan semakin tidak ingin mengalah. "Sepertinya kita sudah tahu siapa pemenangnya," ujar Arlan. Semua perhatian tertuju pada Arlan. Sedang, tangan tersebut menutup kartu. Kemudian, mengeluarkan beberapa dolar untuk tambahan. Dia telah siap merugi jika kalah. Tapi, keyakinan begitu membara. "Woah! Inilah yang membuat kami suka berhadapan denganmu, Ar." "Aku akan membuat kalian pulang dengan wajah mengenaskan." Arlan menyeringai. "Apakah hanya itu yang kau punya Tuan Arlan?" Arlan mendelik pria tua di ujung kanan tersebut. "Kau ingin rumahku? Mobilku? Akan aku berikan jik
Read more
Selamat Datang Neraka!
    Gigi seperti tak merobek daging saja, sendok pun ikut digores, sampai terdengar bunyinya. Wajah Moza memang cantik, namun rasa ingin menelusupkan diri pada meja begitu besar. Tepatnya ketika mendapati seribu netra yang terperangkap kaca tertuju padanya, bahkan lebih, mungkin.  Tubuh yang biasanya diguyur keringat, usai berdesak demi memanjakan perut. Kini begitu lenggang, bahkan Moza tinggal duduk manis saja, kudapan telah tersaji. Juga kipas yang berputar di plafon terasa lebih dingin dari biasanya. Semua itu ulah pria gila yang menerobos rumahnya semalam. Arlan namanya, mengaku kaya raya. Ya mungkin benar adanya, sebab penghuni kantin diboyong oleh pengawal setelah kantong mereka sesak. Moza meletakkan sendok amat kasar. “Bisa berhenti menatapku?” “Sayangnya tidak bisa,” tutur Arlan dengan santai. “Dan bisakah kamu mengusir semua orang di sana,” tunjuknya pada manusia yang berdesak di luar kantin. “Bisa, se
Read more
Rasa Sakit dan Dendam
  Terlalu cepat. Itulah kata yang tepat. Arlan jelas kaya raya, setelah ia meminta acara pernikahan dilaksanakan esok hari. Kini Moza telah berada di depan meja rias. Ditemani tiga penata rias dan dua pembawa gaun. Namun, rasa dongkol masih merajalela di hati, begitu diantar pulang netra menemukan ayahnya yang terbaring santai. Tiada satu goresan pun. Lantas leher siapa yang dimainkan oleh Arlan? Sang iblis yang dalam hitungan jam akan menjadi suaminya. “Moza!”  Teriakan tersebut memang nyaring. Namun, membuyarkan amarah yang melanda. Moza segera berdiri dibantu penata rias. Senyumannya begitu merekah. Ya, Indri namanya, wanita berdarah campuran Jepang tersebut menepuk lengannya keras. Mengejutkan beberapa orang. Jikalau Arlan melihatnya, mungkin temannya sudah jadi pengganti lampu di plafon. “Sakit,” keluhnya sambil tertawa. “Ya, berani se
Read more
Mungkin Saja Aku Juga Hamil
 Eskalator membawa dua insan yang dihinggapi rasa gembira serta kebebasan. Dulu, penampilan buruk seorang Moza dipandang remeh oleh beberapa pengunjung. Kini terlihat memuja, dress bunga yang dibalut kain organza lembut makin menambah kesan cantik. Rambut panjang yang digerai, begitu sempurna di pelupuk mata. Dengan siapa ia pergi? Tentu saja Indri, sang sahabat karib. “Za,” panggil Indri. “Kenapa?” “Bagaimana rasanya?” “Menyenangkan sekali, bahkan ini pertama kalinya kita begitu santai.” Indri menepuk jidat. “Bukan itu, Moza! Aku tanya malam indah kalian.” Moza mendelik menatap sahabatnya yang memainkan kedua alis. “Tidak ada yang terjadi.” “Ah, masa. Pergi begitu cepat, meninggalkan para tamu, memangnya untuk apa selain ingin berdua saja.”
Read more
Selingkuhan
  Bukan hanya pernikahan, bahkan pergi kuliah saja mengundang perhatian. Bagaimana tidak? Dengan penampilan Moza yang berubah, ya berkat suaminya. Jangan lupakan mobil keluaran terbaru terjebak di antara puluhan tubuh yang saling desak. “Apakah kau tidak merasa bahwa sekarang aku seperti artis?” tanyanya dengan tangan bergerak gemulai. “Tidak,” jawab Hans singkat membuatnya cemberut. Ucapan Arlan tidaklah hanya kata yang tak kasat mata, buktinya Hans bahkan sudah keluar dari kemudi. Membuat kerumunan akhirnya mundur teratur, entah apa yang digumamkan oleh lelaki itu, mungkin mengusir, lantas membuka pintu untuknya. Sudah pantaskah ia dipanggil ratu? Moza tersenyum ceria seraya melambai pada semuanya. Beberapa orang memilih pergi, ada juga yang menggunjing tak sedap di belakang. “Moza!” Indri membelah para manusia yang
Read more
Dia Kembali
 Sepekan sudah umur pernikahan. Mata melihat kebahagian yang terpancar dari tawanya, kemewahan turut hadir. Namun—semua itu hanya pandangan orang lain tentangnya. Juga tidaklah semanis bibir mengumbar kebaikan suaminya, ya, Moza telah belajar menjadi orang yang membanggakan pendamping meski ternyata buruk. Memang benar adanya.  Bukan masalah tidak pernah satu kamar, hanya saja sikap Arlan semakin hari mengekangnya.Pernah sewaktu malam ketika bertemu kolega, hanya karena staff biasa menatap saja langsung marah. Memaksa untuk pulang dan berakhir dengan pertengkaran. Sama seperti sekarang. Moza memasuki ruang kerja tanpa izin saja membuatnya berdiri di depan Arlan yang tengah menyesap kopi, mata elang tersebut tak pernah lepas darinya. “Sudah tahu kesalahanmu?” tanya Arlan meletakkan cangkir. “Aku memasuki ruang kerja suamiku sendiri, apa itu salah? Kecuali kalau itu ruangan
Read more
Keluarga
 Tujuh jam perjalanan, hal yang melelahkan. Kini Moza hanya terdiam. Menatap tangan yang lihai menabur tersebut. Sangat terawat, bahkan rumput baru tumbuh pun tidak dibiarkan singgah. Inilah keluarga yang suaminya maksud. Sepertinya ia lebih baik, meski mempunyai ibu yang baru-baru ini ingat padanya, serta ayah yang selalu memukul dan meminta uang. Moza menepuk pundak suaminya. “Kau tidaklah sendiri. Masih ada aku di sini.” Arlan melirik singkat. “Keluargaku meninggal karena kecelakaan, tepatnya 15 tahun lalu. Saat aku kabur dari rumah, rasanya sangat menyesal.” Ini pertama kalinya. Arlan yang angkuh dan tegas, begitu lemah di hadapannya. Moza ikut menabur bunga di makan paling ujung. Ukurannya kecil, kemungkinan belum beranjak remaja. Arlan terpaku pada makam tersebut, mata mulai bergerak dan tersenyum sinis. “Maukah kau sering mengunjungi mereka bersamaku?
Read more
Pengakuan
 Moza tak habis pikir. Sudah tahu tidak ada bahan makanan, juga fasilitas yang mencukupi. Arlan kekeh tak ingin meninggalkan villa. Murah, namun tak layak huni. Kini ia duduk di samping Arlan yang fokus menyetir. Bukan mencari hotel atau menikmati pemandangan, melainkan belanja kebutuhan pangan ke pasar. Cukup sesak untuk seorang Arlan. "Masuk," titah Arlan. "Kenapa tidak ikut saja?" "Bau, lagi pula tidak ada yang sedap dipandang." Moza merasa kesal dengan tingkah suaminya. "Mau makan saja susah." "Kau sudah terbiasa dengan lingkungan kumuh, kan? Cepat belanja setelah itu pulang dan masak." "Aku tidak pandai memasak, apa telur kemarin belum cukup membuktikan?" Moza berkacak pinggang. "Ini," kekeh Arlan menyerahkan atm padanya. Moza semakin tak habis pikir. "Kau kira pasar itu mall? Supermarket? Di sini pa
Read more
Berbeda
 Terbangun dari tidur yang tidak nyenyak. Bahkan lingkaran di bawah mata tampak sangat jelas. Mungkin efek menangis terus. Mbok Lidia datang dengan membawa sarapan dan pakaian kuliah. Moza hanya menatap. "Sarapan dulu, Non." "Kenapa dibawa, Mbok? Kan biasanya jyga di meja makan." "Itu," Lidia tampak bingung. "Apa Arlan tidak ingin makan denganku?" Tebakannya benar, Mbok Lidia mengangguk. "Tuan, ada tamu juga, Non." Moza membawa pakaian kuliahnya seraya tersenyum miris. "Sepertinya punya istri miskin sangat memalukan, sampai tidak ingin diperlihatkan." Moza menuruni tangga. Bukan pemandangan seperti yang Lidia katakan. Bukanlah tamu, melainkan penghuni kamar belakang. Pelayan yang dulu pernah mengantarnya ke kamar di hari pertama menikah, gadis yang cantik. Duduk di pangkuan Arlan tanpa merasa risih dengan tangan yang mengelus
Read more
Rahasia
 Moza memasuki kamar setelah mengobati luka di tangan Arlan. Dikuncinya sangat rapat, bukan takut akan suaminya. Melainkan sesuatu yang disembunyikan. Ya, betul, segera duduk di ruang ganti. Penuh dengan baju, tas, perhiasan juga sepatu. Jangan tanya berapa harganya. "Hallo, Sayang," sapa Moza begitu wajah yang tampan mulai terlihat di ponselnya. "Bunda!" Moza menyeka air matanya yang jatuh. Inilah rahasia yang ia sembunyikan sangat rapat. Bahkan ayah sendiri yang hidup dengannya cukup lama tidak tahu. Tian Riandri namanya, mengikuti marga keluarganya. Jangan tanya siapa ayahnya, karena itu masa kelam yang menyakitkan. "Bagaimana kabarmu, Tian?" "Baik, Bun. Bunda gimana, kuliahnya lancar?" "Kuliah bunda sangat lancar." "Terima kasih sama Bunda," bisik seorang wanita di samping Tian. "Makasih, Bunda! Tian
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status