Share

Selingkuhan

Bukan hanya pernikahan, bahkan pergi kuliah saja mengundang perhatian. Bagaimana tidak? Dengan penampilan Moza yang berubah, ya berkat suaminya. Jangan lupakan mobil keluaran terbaru terjebak di antara puluhan tubuh yang saling desak.

“Apakah kau tidak merasa bahwa sekarang aku seperti artis?” tanyanya dengan tangan bergerak gemulai.

“Tidak,” jawab Hans singkat membuatnya cemberut.

Ucapan Arlan tidaklah hanya kata yang tak kasat mata, buktinya Hans bahkan sudah keluar dari kemudi. Membuat kerumunan akhirnya mundur teratur, entah apa yang digumamkan oleh lelaki itu, mungkin mengusir, lantas membuka pintu untuknya. Sudah pantaskah ia dipanggil ratu? Moza tersenyum ceria seraya melambai pada semuanya. Beberapa orang memilih pergi, ada juga yang menggunjing tak sedap di belakang.

“Moza!”

Indri membelah para manusia yang semakin bubar. Namun, rengkuhan temannya tersebut hanya sampai di depan pundak. Lantas netra melirik, Moza menepuk jidat menemukan penjaga barunya menghadang Indri.

“Dia temanku, kau tidak mau melepaskannya?” 

“Bagaimana kalau dia berniat buruk?”

“Kau gila!” sentaknya.

“Maaf, tapi—”

“Sudah punya pacar?”

Moza akhirnya menoleh pada Indri yang sibuk membingkai wajah Hans. “Kau tidak dengar? Dia menuduhmu mau berbuat buruk padaku.”

“Benarkah?” tanya Indri masih tersenyum.

“Tidak marah?”

“Mana mungkin.” Tangan sebelah Hans masih menghadang, membuat Indri melingkarkan tangan pada punggung, membuat Hans tersentak dan mendorong sahabatnya.

“Kau tak apa?”

“Sepertinya aku sudah gila, Moza.” Indri menepuk lengannya keras.

“Dia sudah punya pacar, lebih baik menyerah saja,” tuturnya sambil menarik Indri untuk melangkah.

“Tidak mungkin!”

“Apa yang tidak mungkin, dia tampan, pasti banyak yang tertarik padanya.” Hans menatap punggungnya yang semakin jauh.

“Tanyakan siapa pacarnya dan tinggal di mana,” pinta Indri.

“Untuk apa?”

“Aku ingin memintanya meninggalkan kekasihku, dan berkata bahwa aku mengandung anaknya.”

Moza memukul kepala sahabatnya pelan, agar semakin tidak geser. “Pikir dulu sebelum bicara, kalau hamil beneran bagaimana?”

“Anaknya? Tidak masalah.”

Moza tersenyum mendengarnya. Sepertinya ia harus meminta Arlan untuk mengurung semua pria tampan, agar terhindar dari mata Indri. Sekadar lewat pun diakui sebagai pacar. Sungguh tidak tahu malu.

“Oh iya, dia siapa? Apa dia supir?”

“Bukan.” Indri terlihat menarik napas lega.

“Pengawal?”

“Lebih tepatnya mata-mata.”

“Arlan tahu?” tanya Indri panik.

“Justru dia suruhan Arlan untuk menjadi pengawalku, tapi aku sangat yakin dia akan memata-matai kita berdua.”

Indri langsung menoleh. “Sepertinya hanya dirimu saja.”

Moza mengangguk pasrah. “Betul sekali.”

“Kelihatannya suamimu sangat mencintaimu.” Moza tidak menyetujui hal tersebut.

Berdesak demi memanjakan perut, sudah hal biasa. Namun, kini Moza dan Indri lebih santai. Tentu saja, Hans sekarang seperti pesuruh untuknya. Toh digaji memang untuk itu. Indri fokus menatapi punggung pemuda itu yang masih menjadi pusat perhatian, mungkin karena tampan. 

“Jangan kemana-mana, oke?”

“Eh—”

“Aku mau melindungi suamiku dari para pelakor.” Moza tertawa geli melihat sahabatnya tersebut mulai berlari dan menggandeng tangan Hans begitu saja.

Netranya terpaku pada alat makan yang diletakan tepat di kursi depan. Tawa Moza mulai luntur, bahkan kepala sengaja melengos. Mencari apapun yang penting bisa ditatap, selain lelaki di hadapannya—Angga.

“Untukmu,” kata Angga menggeser makanan padanya.

“Tidak perlu.”

“Kenapa? Tidak masalah jika kau mengabaikanku, tapi setidaknya hargai kebaikanku, Moza. Sebegitu bencinyakah padaku? Sampai kau tidak mau makanan dariku.”

Moza menatap jengah. “Pikiranmu itu tidak bisakah positif?”

“Bagaimana bisa positif, jika kau sendiri seperti ini.”

“Memangnya aku seperti apa, hah? Aku menolak makanan darimu, karena Hans sedang mengantre, jika dia kembali dan aku sudah makan, itu artinya lelahnya menunggu sia-sia, kau paham?” keluhnya hampir tanpa jeda.

“Hans? Siapa dia? Apa dia selingkuhanmu?”

Inilah yang tidak ia suka dari Angga. “Selingkuhan?”

“Aku tidak menyangka, ya, Za. Suami kau itu terlihat baik dan sangat menyayangimu. Malah kau selingkuh di kampus.”

“Dia pengawalku, disuruh oleh suamiku. Lagi pula kalau pun aku selingkuh, kenapa kau peduli dan terlihat marah. Suamiku itu Arlan, bukan Angga.”

Moza yang menggebrak meja menyita perhatian. Angga bergeming melihatnya. Hans tahu ada yang tidak beres, segera meninggalkan makanan di tangan dan Indri. Membuat sahabatnya ikut mendekat.

“Ada apa?” tanya Hans.

“Aku ingin makan dengan suamiku,” tutur Moza tanpa berpikir, tatapannya mengunci Angga yang mengepalkan tangan.

***

“Jelaskan.”

Moza dan Indri saling tatap. Sang penghuni kursi di samping begitu garang. Tentu saja, sepuluh menit lalu ia mendatangi kantor suaminya, yang ternyata masih berkutat dengan komputer. Indri mengambil hidangan amat pelan, lantas disodorkan padanya. 

“Berikan pada Hans,” pinta Indri berbisik, menatap Hans yang berlutut.

“Letakan!” titah Arlan membuatnya menciut.

Hidangan cukup mewah tersaji, Moza mengalihkan pandangannya pada staff yang sangat cantik, dengan pakaian seksi. Bahkan Hans saja terus melirik. Arlan mengetuk meja dengan jari, membuat semua mata tertuju.

“Masih tidak bicara?”

“Masalah ini dibicarakan setelah pulang bagaimana? Aku lapar.” 

Moza mengambil sendok, namun langsung diambil oleh Indri, membuatnya menoleh kesal. “Selesaikan dulu, ya, kan, Arlan?”

Arlan mendelik, sahabatnya otomatis menatap Hans. “Sahabatmu saja mengerti.”

Moza cemberut. “Intinya, dia memberikan makanannya padaku, tapi aku menolak.”

“Terus?”

“Terus?” ulang Moza membuat suaminya mengangguk, “tidak ada.”

“Bukannya Non menyebut perihal selingkuhan juga?” Moza mendelik ke arah Hans.

“Jelaskan,” titah Arlan mengepalkan tangan.

“Jangan marah pada Hans, oke?”

“Bukannya kau yang harus marah, karena dia—”

“Bukan itu. Angga menuduh Hans selingkuhanku.”

Arlan hendak berdiri sambil menatap Hans yang menggeleng. “Selingkuhan?”

“Itu tidak benar, dia pacarku,” tutur Indri dengan cepat, mengode pada Hans.

“I-iya betul.”

Moza langsung mengambil makanan dan menyuapkannya pada Arlan yang ingin bicara. “Makan.”

Indri melirik sang lelaki pujaan dan mengedipkan mata, mengundang tawanya. Sedang Arlan hanya membisu, membingkai wajahnya yang makin cantik. Dipoles manja oleh penata busana di rumah Arlan. Sungguh pandai membuang uang, juga menghasilkan. Namun, senyum yang menyeringai itu tak disadari oleh semua orang.

Next part 5 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status