Share

Behind The Scene
Behind The Scene
Penulis: Kaiwen09

Dia Suamiku?

Menyeringai. Sudah seperti kedipan mata bagi Arlan. Lirikkannya menegas, siap melahap para kumpulan tak berguna yang menyerahkan hidupnya pada kartu. Atau lebih tepatnya, sumber pangan mereka. Arlan melempar mata ke arah pria tua di ujung kanan. Terlihat bergetar, meneguk ludah pun terburu. Sesekali mengintai kartu dan uang di meja, membuat Arlan semakin tidak ingin mengalah.

"Sepertinya kita sudah tahu siapa pemenangnya," ujar Arlan.

Semua perhatian tertuju pada Arlan. Sedang, tangan tersebut menutup kartu. Kemudian, mengeluarkan beberapa dolar untuk tambahan. Dia telah siap merugi jika kalah. Tapi, keyakinan begitu membara.

"Woah! Inilah yang membuat kami suka berhadapan denganmu, Ar."

"Aku akan membuat kalian pulang dengan wajah mengenaskan." Arlan menyeringai.

"Apakah hanya itu yang kau punya Tuan Arlan?"

Arlan mendelik pria tua di ujung kanan tersebut. "Kau ingin rumahku? Mobilku? Akan aku berikan jika kau menang."

"Kau terlalu gegabah anak muda. Ya ... jika aku kalah, aku tidak punya apapun untuk kuberikan." Pria tua tersebut tersenyum.

"Aku tidak yakin kau tidak memiliki apapun, Tuan Rian," pancing Arlan.

"Aku tidak punya apapun. Rumah? Itu milik puteriku. Mobil? Jangan tanya, aku mungkin sudah keliling dunia, bertaruh di atas meja."

"Lalu?"

"Yang paling berharga dan tidak berguna--putriku. Kau mau putriku?"

Arlan menyeringai. "Apa dia cantik?"

"Sangat cantik."

Pria dengan stelan jas membalut tubuh, berbisik pada Arlan. "Pesawat sudah tiba, Tuan."

"Aku masih ingin bersenang-senang," cibirnya membuat suasana canggung.

"Jadi?" tanya Rian.

"Deal! Jika kau menang, kau bisa memiliki rumah dan mobilku. Tapi, jika kau kalah--aku ingin putri dan rumah putrimu."

***

Camphagne bertebaran, menyelinapi hidung yang candu akan oksigen. Membuat tidak tahan, tapi Moza tetap mengurus orang tua tunggalnya. Pria yang kerap pulang setelah berminggu-minggu untuk meminta uang, bukan menghasilkan uang. Entah apa yang dilakukan ayahnya di luar sana.

"Putiku, kau sangat cantik."

Moza melirik Ayahnya dengan heran. Tidak biasanya. Ia masih sibuk melepas sepatu, kemudian membawakan segelas air putih. Netra sang Ayah masih saja betah memenjarakannya. Moza menghela napas karenanya.

"Ada apa denganmu, Yah?"

"Berapa usiamu, Nak?"

Dahinya berkerut. "Ayah tidak ingat usia anaknya sendiri? Aku baru saja berusia 21 tahun kemarin."

"Kau sudah dewasa rupanya," puji Ayahnya.

"Sebenarnya Ayah kenapa?"

"Kuliahmu lancar?"

"Ada sedikit masalah, tapi aku bisa mengatasinya."

"Kau masih bekerja selepas pulang kuliah?"

Moza membisu, heran dengan sikap Ayahnya tersebut. Apakah salah makan? Atau sempat membentur dinding di perjalanan pulang? Yang jelas, dirinya cuma bisa menatap aneh. Tawa pria tua tersebut pecah, mabuk parah mungkin.

"Ayah hanya ingin tau keadaan putrinya sendiri. Apa itu salah, Moza?"

"Tidak, Ayah. Hanya--"

"Apa?"

"R--asanya aneh, jika Ayah menanyakannya."

"Berhentilah bekerja! Mulai sekarang, kau hanya akan fokus kuliah saja."

Tercengang? Tentu saja. Moza melongo mendengarnya. Jelas, Ayahnya telah membentur sesuatu. Hingga ia memeriksa kepala pria tersebut. Barangkali terlihat jejak keanehannya. Moza semakin menatapnya tidak percaya.

Mustahil!

Langkah yang seperti menggrebek musuh terdengar. Menyita perhatian. Terlebih pintu rumah Moza yang menjadi sasaran, didobrak amat kasar. Pasti membangunkan warga yang tengah terjebak dalam mimpi. Terlihat pria tampan dengan stelan jas hitam putih membalutnya. Tubuhnya tegas. Matanya menelisik pelosok rumah, sempit, sesak, busuk. Mungkin itu yang mengitari otak.

"Sudah selesai bicara dengan putrimu, Tuan Rian?"

Rupanya pria itu adalah Arlan, sosok yang memenangkan judi tadi. Kedatangannya ingin menagih janji yang telah diikrarkan. Moza-lah sasaran utama.

"K--kau siapa?"

"Masuk ke kamar sebentar!"

"Wah! Ada apa ini? Kau tidak ingin menyerahkan putrimu, Tuan?"

"Dia mungkin akan terkejut," ujarnya hampir berbisik.

"Terkejut? Karena kelakuan busuk Ayahnya?"

Arlan melirik pria tua tersebut yang sepertinya ingin membungkam mulut dengan satu pukulan. Munafik! Di hadapan uang, mata berbinar. Melupakan apa yang akan dirampas dan merampas. Arlan menyeringai, kemudian berjalan mendekat. Ia mengira, akan disergap. Nyatanya, pria nan tampan tersebut mendudukkan diri di depannya.

"Aku calon suamimu." Lelaki tersebut menatapi jemarinya yang kosong.

Ucapan Arlan hampir saja membuat jantungnya melompat. Pria itu sudah tidak waras, pikir Moza. Wajahnya yang dipahat dengan teliti, mata terlihat seperti hanya satu goresan pena, hidungnya yang mancung. Ah ... jangan lupakan alisnya bak jajaran kereta berbaris melengkung, juga bibir tipisnya yang tengah menyeringai. Oh Tuhan! Apakah dia manusia? Ataukah pangeran dari negeri dongeng? Moza yang justru gila sekarang.

"Aku memang tampan, tapi kau jangan cemas. Sebab, wajah ini hanya untukmu seorang."

Moza melengos sambil mengeluarkan lidahnya, seperti ingin muntah. Arlan tersenyum melihatnya, dan itu adalah lengkungan pertama bagi seorang Arlan setelah sekian lama.

"Oh ya ... siapa namamu, Sayang?"

"Bilang calon suami, tapi tidak tahu nama. Apa kau sehat?"

"Namamu sangat berharga ya?" sindir Arlan tidak suka.

"Moza Riandri, itu namanya," tutur Rian.

"Moza, ya? Nama yang cantik, persis seperti wajahnya."

"Apa kau salah alamat? Bisa-bisanya datang dengan tidak sopan, juga mengatakan bahwa kau calon suamiku. Mana ada orang waras yang seperti itu," cibir Moza.

"Bibirmu itu ternyata tidak semanis kelihatannya, ya."

Moza melihat Ayahnya yang berdiri dengan gontai. Ingin membantu, namun dicegah oleh lima jari pria tua tersebut tunjukan. Membuatnya kembali berdiam diri, menelisik Arlan yang sejak tadi tak memindahkan netranya pada hal lain. Dan sesuatu yang menarik itu adalah dirinya. Moza termanggu mengetahui Ayahnya kembali dengan segelas kopi, tersaji dengan hangat untuk Arlan.

"Dia calon suamimu, sebaiknya hormati dia."

"Bagaimana bisa?"

"Ceritanya panjang--"

"Ayahmu mempertaruhkanmu di meja judi. Dan kau tahu, jika Ayahmu menang, maka dia akan kaya mendadak. Tapi, jika kalah ... maka seperti yang aku katakan tadi."

"Ini bukan hari ulang tahunku, ya. Jadi berhenti menjahiliku!"

"Ini kenyataannya, Sayang."

Moza membisu. Tatapannya menajam pada Arlan. Sungguh! Pria tampan yang ingin dikutuk! Ia bangkit dari duduknya, mendekati Arlan yang terlihat senang. Dia beringsut, menepuk-nepuk kursi di samping, membuatnya tersenyum sinis. Perlahan tangannya memungut sapu yang tergeletak di lantai. Mengayunkannya pada Arlan yang buru-buru menghindar.

"Ya! Pergilah kau manusia gila!"

"Berani sekali kau menyebutku gila, Sayang," celoteh Arlan yang dibuat-buat.

"Cih! Sudah jelas otakmu tidak menempati tempat yang benar. Ayo, aku antarkan ke rumah sakit jiwa!"

"Antarkan saja aku ke gedung mewah, yang sudah duduk penghulunya." Arlan menyeringai.

"Kenapa?"

"Langkah akan mengantarkan kita pada pernikahan, Moza."

"Moza hentikan!" perintah Ayahnya, membuatnya melirik.

"Berhentilah berjudi, Ayah! Malam ini, kau sudah mendatangkan orang gila yang mengaku kaya raya. Lalu besok apa? Dokter forensik yang mengaku telah membantu ribuan ibu hamil, atau bidan yang sudah memecahkan kasus kematian?" cerocos Moza hampir tanpa jeda.

"Dia calon suamimu, Nak."

Moza memejamkan matanya kesal. "Jika ini kenyataan, aku mau Ayah pergi dari rumahku, jangan pernah meminta uang dariku lagi!"

"Moza! Apa kau sudah gila!" bentak Ayahnya.

"Dan kau--manusia gila. Sebutkan hutang Ayahku, aku akan melunasinya."

"Kau tidak akan mampu," ujar Arlan yang kini bersandar di pintu.

"Aku akan mencicilnya. Jadi lebih baik kalian semua pergi!"

"Kau sungguh mengusir ayah, Moza?"

Bimbang. Benar, Moza tengah terperangkap dalam dunianya sendiri. Ia menjatuhkan sapu yang pernah dicengkram kuat. Ini salah! Harus diluruskan dengan kepala jernih. Perlahan, ia berjalan mundur, berbalik menuju kamarnya yang tak jauh dari situ. Menutupnya amat kasar. Meninggalkan Arlan yang menyeringai pada Ayahnya. Sungguh hari telah mempermainkannya, setelah bertemu kenyataan yang pahit, harus menghadapi Arlan juga.

“Sepertinya putrimu tidak sayang dengan nyawa ayahnya,” cibir Arlan membuat Rian takut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status