Share

Dia Kembali

Sepekan sudah umur pernikahan. Mata melihat kebahagian yang terpancar dari tawanya, kemewahan turut hadir. Namun—semua itu hanya pandangan orang lain tentangnya. Juga tidaklah semanis bibir mengumbar kebaikan suaminya, ya, Moza telah belajar menjadi orang yang membanggakan pendamping meski ternyata buruk. Memang benar adanya. 

Bukan masalah tidak pernah satu kamar, hanya saja sikap Arlan semakin hari mengekangnya.

Pernah sewaktu malam ketika bertemu kolega, hanya karena staff biasa menatap saja langsung marah. Memaksa untuk pulang dan berakhir dengan pertengkaran. Sama seperti sekarang. Moza memasuki ruang kerja tanpa izin saja membuatnya berdiri di depan Arlan yang tengah menyesap kopi, mata elang tersebut tak pernah lepas darinya.

“Sudah tahu kesalahanmu?” tanya Arlan meletakkan cangkir.

“Aku memasuki ruang kerja suamiku sendiri, apa itu salah? Kecuali kalau itu ruangan atasanku, harus mengetuk dulu.”

“Siapapun dirimu, kau bukan pemilik rumah, maka harus bersikap sopan.”

“Bukan pemilik?” Moza naik pitam mendengarnya, semakin maju, “benar, kaulah pemilik di sini. Dan aku istrimu, bukan orang lain!”

“Sudah merasa jadi istri rupanya.” Arlan menariknya, duduk di pangkuan membuat Moza melotot dan menghindar, Arlan menyeringai melihatnya.

“Pokoknya seisi rumah ini juga milikku. 70% kekayaanmu milikku.” Moza menunjukkan 7 jarinya di depan muka Arlan, yang menghindar.

“Kalau aku menyembunyikan mayat di dalam bagaimana?” goda Arlan.

Moza mengernyitkan dahi melihat perubahan suaminya yang begitu cepat. “Apa kau waras, hah? Mayat? Mana ada. Paling di sana ada berkas saja. Dasar bodoh!”

“Justru itu aku melarangmu masuk tanpa izin, karena di sana banyak berkas yang berharga.”

Moza tersenyum. “Emas? Kau menyimpannya di sana juga?”

Katanya, orang kaya kadang pelit dan tidak. Benar sekali, sekarang bukti nyata sedang duduk di sampingnya. Hanya memberi uang saja, Arlan tidak pernah membocorkan letak tanah atau bangunan lain miliknya. Arlan menyeringai lantas mengusap lehernya.

“Malam ini aku akan tidur di kamarmu.”

Moza segera berdiri mendengarnya. “Aku tidak kesepian terima kasih.”

Arlan tersenyum. “Tidak masalah, aku tetap akan menunggu.”

“Baguslah.”

“Kau memblokir kontak ayahmu?”

“Ayahku? Kau kenal dia? Aku bahkan tidak ingat punya ayah.”

“Dasar anak durhaka,” sindir Arlan.

“Memangnya dia menghubungimu?”

“Ada yang ingin dibicarakan, aku malas menjawab telepon darinya, jika bukan karena kau anaknya.”

Moza memukul lengan suaminya hingga terkejut. “Menantu idaman, tapi kurang ajar.”

“Tidak bisakah kau merubah sikapmu!” sentak Arlan.

Moza menaikan alisnya. “Kau lelaki, Cuma dipukul sedikit saja sudah kesakitan.”

"Bukan masalah lelaki atau perempuan, pukulanmu terlalu menyakitkan." Moza tersenyum mendengarnya.

Sore yang cerah. Padahal Moza berharap hujan menyapa, nyatanya musim kemarau masih betah. Berakhirlah ia di restaurant mewah samping apartement milik Arlan, katanya. Setelah bicara singkat dengan ayahnya serta dibumbuhi debat karena menginginkan uang untuk judi. Kumpulan kursi hanya diisi beberapa pengunjung saja, itu pun datang dengan gaya yang super mewah. Sepertinya harga makanan satu porsi setara gaji satu bulan di perkantoran.

“Ini steek dan jus mangganya, Nona.” Ramah sekali pelayannya, membuat Moza tersenyum.

Netranya terpaku, seorang wanita setengah baya berdiri di ambang pintu masuk. Tersenyum, lantas mendekat. Menarik kursi dan duduk di depannya. Lengkungan di bibir masih sama, hanya tatapan yang sudah berbeda.

“Sudah lama, ya, tidak bertemu, Moza.” Panggilan itu rasanya begitu menyakitkan.

“Bagaimana kabarmu, Bu?” Ya, bagaimana pun ia harus menghormati seorang ibu, sekali pun hati meronta ingin segera pergi.

“Ibu selalu baik.” Senyum yang jelas dipaksakan.

Moza terlihat mencari. “Sendiri?”

“Ya, ayahmu tidak datang, aku yang memintanya untuk bertemu denganmu. Maaf jika ini mengejutkanmu.”

“Tidak masalah, Bu.” Moza tersenyum sebisa mungkin.

“Selama 15 tahun di kampung, ibu sebelumnya memutuskan untuk tidak pernah kembali ke kota. Tapi, karena anak ibu tinggal di sini, jadi terpaksa berkunjung.”

“Terpaksa,” gumamnya sambil menyantap steek tadi.

“Tidak menawari ibu makan?”

Moza mendongkak mendengarnya. “Oh, aku sudah pesan tadi, sebentar lagi diantar.”

“Apa ayahmu mengajarimu seperti ini? Memang benar, jika anak dibesarkan oleh seorang ayah itu tidak baik tingkah lakunya.”

Moza meletakkan garpu sedikit kasar. “Tidak semua anak yang dibesarkan oleh ayah itu buruk, hanya saja ayahku pemabuk dan penjudi, apa yang bisa dia ajarkan padaku selain pulang meminta uang dan memukul?”

“Ya, ibu tahu itu. Harusnya ibu tidak meninggalkanmu dengannya.”

“Kenapa mencariku?” Kini Moza tak seramah tadi.

“Ibu dengar kau menikah dengan orang kaya.”

Moza mengerti arah pembicaraan. “Aku tidak punya uang.”

“Suamimu pasti punya, kan? Ibu hanya butuh sedikit.”

“Nanti aku bicara dengannya.”

“Ini nomor ibu, jika suamimu mengizinkan segera hubungi ibu.” Moza menatap sepotong kertas di atas meja, sudah disiapkan rupanya.

“Ada lagi, Bu? Setelah ini aku harus ke kampus.”

“Bisakah kau membantu ibu? Sudah lama ibu mencari di seluruh kampung, bahkan bertanya pada kenalan di kota, tapi Reni masih tidak ditemukan.”

Moza tertegun mendengarnya. “Reni kenapa?”

“Lima tahun lalu, Reni memaksa ingin kuliah di kota. Ibu larang, karena ibu tahu dia menyukai pria asal kota yang kebetulan ada bisnis di kampung. Ibu takut dia pergi bersama pria itu.” Moza melihat Ibunya yang begitu tertekan.

“Pria itu Ibu pernah melihatnya?”

“Belum. Sepertinya sangat kaya, banyak pengawal di sekitarnya, itu yang ibu dengar.”

“Sudah lapor polisi, atau minta untuk menyelidiki latar belakang pria itu?”

Ibunya menggeleng. “Polisi tidak bisa mencari tanpa alasan, apalagi tidak ada bukti kalau pria itu yang membawa Reni.”

Reni, kakaknya. Sampai sekarang merebut perhatian ibunya. “Jika benar Reni pergi dengan pria itu, belum tentu juga mereka ada di kota, lagi pula di sini sangat luas.”

“Suamimu kaya, Moza. Pasti bisa membantu.” Moza terdiam mendengarnya.

Lama melamun, menatapi kursi yang sudah kosong. Moza tersenyum miris, bagaimana sengsarannya hidup dengan seorang ayah. Kini, ibunya menemuinya di saat jaya, dulu ke mana saja. Moza meletakkan uang di meja, lebih dari cukup. Lantas melangkah keluar, sedikit gontai. Begitu di depan mobil, ia menyadari sesuatu. Terlebih bukan Hans yang membuka pintu belakang. Arlan menatapnya dengan ipad di tangan.

“Masuk,” titah suaminya.

“Hans ke mana?” Moza duduk di samping Arlan.

“Mengurus perusahaan.”

“Mengurus? Dia bisa?”

“Apa yang tidak bisa dilakukan anak buah seorang Arlan?"

"Mbok Lidia bisa juga mengurus perusahaan?"

"Dia sudah kesusahan mengurus anak tiga tahun," sindir Arlan meliriknya.

"Aku sudah 21 tahun, bukan anak lagi. Lagi pula, aku tidak ingin selalu merepotkan mbok Lidia, sudah tua. Tapi karenamu, mbok selalu berlutut kalau aku tidak menurut," keluhnya hendak memukul, tapi Arlan menghindar.

"Kita ke butik, cari gaun," kata Arlan tiba-tiba.

“Untuk apa?”

“Menemui keluargaku.”

Moza melotot. Bagai diserang petir. Keluarga? Apakah lebih kasar dan galak dari Arlan? Karena buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Arlan tersenyum melihatnya yang menelan ludah sambil membayangkan yang tidak-tidak.

Next part ya

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status